Você está na página 1de 4

http://guteartikel.blogsome.

com/2005/03/

March 13, 2005


Anak Sportif Tak Takut Dikritik Filed under: Pendidikan Anak

Ada yang mengibaratkan kehidupan ini sama dengan arena olahraga. Di dalamnya sarat
dengan kompetisi teratur dan ketat, serta aturan main yang jelas. Ada yang menang, ada
yang kalah. Untuk itu, diperlukan sikap sportif dan kemampuan berkompetisi secara fair.
Sikap ini rasanya perlu pula ditanamkan pada anak sejak dini sebagai bekal dalam
kompetisi hidup di masa depan. Seorang anak berusia delapan tahun, sebut saja Badu,
menangis terisak-isak di sebuah mal di Jakarta. Ia baru saja mendengar pengumuman hasil
lomba lukis yang diikutinya. Badu dinyatakan sebagai juara ketiga. Padahal, dalam lomba
sejenis selama dua tahun terakhir, gelar juara pertama tidak pernah lepas dari tangannya.
Badu terlihat kecewa. Ia merasa, secara teknis tidak berbuat kesalahan dalam lomba itu.
Kualitas lukisannya juga sama bagusnya dengan lukisannya pada lomba-lomba
sebelumnya. Tapi mengapa juri memilih dua saingan bebuyutannya - yang selalu
dikalahkannya - menjadi pemenang kali ini? Ia cuma mendapat sebuah piala dan hadiah
uang yang lebih kecil dari kedua pemenang lainnya. Merasa anaknya dicurangi, ibunda
Badu bermaksud mengajukan protes kepada juri. Untunglah sebelum protes itu meluncur,
ayah Badu mencegahnya. “Jangan, Bu. Keputusan sudah dikeluarkan dan tidak bisa
diganggu gugat. Kita nanti malah malu,” kata ayah Badu sambil menarik lengan istrinya.
“Tapi juri sudah berbuat kesalahan!” balas ibu Badu sengit. “Belum tentu, Bu. Siapa tahu
kemampuan lawan Badu sudah meningkat pesat dan anak kita yang kurang berlatih keras,”
kata ayah Badu mengingatkan. Untunglah ibunda Badu mampu meredam emosi. Keduanya
akhirnya malah berdiskusi dan sepakat memberi pengertian tentang perlunya bersikap
sportif kepada putranya.

Tidak lebih hebat

Badu adalah satu contoh kenyataan dalam hidup, ketika seseorang pasti akan menghadapi
persaingan dengan orang lain di tengah masyarakat. Berapa pun usia anak saat
memulainya, ia akan mulai menghadapinya di lingkungan terdekat seperti di sekitar rumah
atau sekolah. Di sana banyak hal baru yang belum pernah didapati sebelumnya. Bahkan
mungkin tidak disukainya. Untuk mempersiapkan anak menghadapi lingkungan sosialnya,
Dr. Seto Mulyadi, psikolog yang bergelut di pendidikan anak, memandang perlu
merancang kecerdasan sosial anak sedini mungkin. Kecerdasan sosial akan menjadi bekal
buat anak. Satu hal yang harus diprioritaskan adalah, jangan membeda-bedakan diri sendiri
dengan orang lain. “Kita tidak lebih hebat dari teman kita hanya karena kita kaya, kulit kita
lebih bersih, dan sebagainya. Ini yang harus ditanamkan sebelum mereka melangkah ke
masyarakat,” jelas Seto. Berawal dari semangat kesejajaran itu, terciptalah aturan-aturan
yang berlaku di masyarakat dan disepakati semua orang. Anak harus diperkenalkan dan
dilatih mengikutinya. Misalnya saat seseorang diberi sesuatu, maka harus ada ucapan
terima kasih. Jika berbuat kesalahan, wajib meminta maaf, dan sebagainya. Di dalamnya
termasuk juga budaya antre, siapa yang terlebih dahulu datang maka bisa berdiri di depan.

Apa yang dipaparkan Seto kedengarannya sepele. Tapi akan sulit dilakukan jika tidak
dimulai dari dalam keluarga. Untuk itu, iklimnya harus mendukung. Seluruh anggota

1
keluarga harus men-cerminkan kesejajaran itu dan harus saling menghormati. Misalnya,
dari orangtua tidak ada kata-kata otoriter seperti, “Pokoknya, kalau kata Ibu harus makan,
ya harus makan. Titik!” Atau, “Ayah maunya begini!” Jika ada perkataan-perkataan
semacam itu, anak akan belajar bahwa kekuasaan adalah segalanya.

Anak-anak - seperti umumnya manusia - juga sering melakukan kesalahan. Namun saat ini
terjadi, orangtua dapat menanamkan pendidikan tentang tanggung jawab. Jika misalnya
suatu hari si Upik mengompol, maka ia harus dilibatkan untuk membersihkannya. Ketika
itu secara perlahan orangtua dapat memberi pengertian mengapa anak diharapkan
menghentikan kebiasaannya mengompol. Anak akan berlajar bahwa jika berbuat seperti
itu, ia juga harus menanggung risikonya. Saat memasuki lingkungan sekolah, anak akan
berinteraksi dengan lebih banyak orang dan sekaligus memasuki pendidikan sosial tahap
kedua. Di dalamnya akan lebih banyak persaingan, baik dari pelajaran maupun kegiatan-
kegiatan semacam lomba. Selain minat dan bakat mereka akan terasah, mengikuti
kegiatan-kegiatan kompetisi semacam ini juga dapat mengajarkan kepada anak tentang arti
kemenangan. “Dengan mengikuti perlombaan, kita dapat menanamkan bahwa dalam setiap
kompetisi selalu ada yang menang, ada yang tidak. Jika anak tampil sebagai pemenang, dia
tidak boleh sombong. Jika dia kalah, tidak boleh berkecil hati dan harus berusaha untuk
mengejar ketertinggalannya. Siapa yang ingin menang, dia harus bekerja keras,” jelas
pengajar di Universitas Tarumanegara, Jakarta ini.

Mengikutsertakan anak dalam aneka pertandingan atau perlombaan juga merupakan sarana
yang baik untuk menanamkan sportivitas. Kepada anak perlu ditanamkan bahwa kompetisi
adalah hal yang wajar. Namun, kemenangan bukanlah segala-galanya. Setiap anak harus
bertanding secara sehat. Tidak dibenarkan saling menjegal, berbuat curang, atau
mencemooh pihak yang kalah. Pada pertandingan dengan peraturan yang jelas, anak akan
belajar bahwa dalam kehidupan juga ada aturan-aturan yang harus ditaati. Misalnya, saat
bertanding sepakbola atau bulu tangkis, anak akan memahami fungsi peraturan itu untuk
mengatur hubungan dirinya dengan orang lain. Di situlah anak akan belajar mengakui
keberadaan lawannya karena aturannya jelas.

Genting berwarna lain

Beraneka kondisi negatif yang belakangan terjadi di negeri kita, menurut Seto, menjadi
satu bukti tidak dipersiapkannya kecerdasan sosial sejak dini. Adanya peledakan bom,
teror, atau perseteruan antarelite politisi, menjadi bukti ketidaksiapan kita menerima
demokrasi. Selain itu ada sebagian orang lagi yang ingin cepat mencapai tujuan tanpa
menghargai prosesnya, sehingga akhirnya terjadi jual-beli gelar untuk mencapai jabatan
tertentu dan semacamnya.

Penyebab segala ketidakberesan itu antara lain terletak pada sistem pendidikan nasional di
negeri ini yang tidak menghargai proses. Masih banyak terjadi, satu-satunya jawaban yang
benar hanyalah berasal dari guru. Misalnya, ada pertanyaan, “Apa warna genting rumah?”
Jika murid menjawab cokelat, akan dibenarkan. Tapi bila jawabannya biru atau hijau, bisa
disalahkan karena tidak sesuai jawaban guru. “Padahal, mungkin murid itu pernah melihat
genting berwarna lain di perumahan tertentu,” kata pencipta tokoh Si Komo ini. Sistem
pendidikan seperti itu membuat anak tidak mencintai proses belajar dan hanya mengejar
nilai semata. Hasil akhir menjadi tujuan utama. Kelak, ketika anak tumbuh dewasa, bukan
tidak mungkin dia akan mementingkan diri sendiri (atau kelompoknya) saja untuk menang.

2
Seto menyoroti Kurikulum Berbasis Kompetensi yang disodorkan Departemen Pendidikan
Nasional saat ini. Menurut dia, kata “kompetensi” belum ditangkap secara jernih, yaitu
kemampuan yang berbeda pada setiap anak. Merujuk kepada teori multiple intellegences
(kecerdasan majemuk) yang dikemukakan Howard Gardner (1983), pendidikan untuk anak
seharusnya kaya akan pilihan. Psikolog dari Universitas Harvard ini mengemukakan,
sedikitnya ada tujuh tipe kecerdasan dari seorang anak. Kecerdasan musik, kinestetik-
tubuh, logika-matematika, bahasa, spasial, interpersonal, dan intrapersonal. Semua itu bisa
dikembangkan! Ironisnya, meski potensinya berbeda-beda, setiap anak harus tetap melahap
pelajaran yang mungkin tidak berguna bagi dirinya kelak. Seorang anak yang berbakat
musik dan ingin menjadi musisi tidak perlu mempelajari matematika atau fisika secara
mendalam. Begitu pula sebaliknya.

Seto mengibaratkan pendidikan dengan meniru kurikulum di hutan di mana ada


anak kucing hutan, anak bebek, dan anak burung. “Kalau bebek ya belajar berenang. Kalau
kucing hutan me-manjat, dan burung belajar terbang,” tandasnya. Di rumah, anak harus
bisa berekspresi sebebas-bebasnya. Biarkan anak bebas bergerak. Konsekuensinya, rumah
harus bebas dari benda pecah-belah. Biarkan ia bebas bermain dan bergerak. Hak anak
untuk tumbuh optimal jangan dirampas. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak ini
pun prihatin melihat kondisi saat ini, anak harus menempuh kurikulum pendidikan yang
berat. Membawa tas penuh buku dan di rumah masih mengerjakan banyak PR. Apalagi
jika ditambah orangtua yang otoriter. Hasilnya, anak akan menjadi stres, agresif, dan cepat
marah. Anak-anak yang diperlakukan seperti itu akhirnya akan berlaku agresif pula
terhadap teman-temannya di sekolah. Mereka akhirnya akan diberi cap “anak nakal”.
“Sementara anak-anak itu sendiri tidak mengerti. Mereka sudah masuk ke dalam sistem itu
dan menjadi ’robot-robot’. Mereka jadinya hanya tahu bahwa untuk memenangkan
persaingan harus dengan kekuasaan, kekerasan, dan kekuatan,” papar pendidik kelahiran
Klaten 28 Agustus 1951 ini.

Sidang MPR

Cara penyampaian pendidikan kepada anak itu seperti melatih memakai bahasa ibu. Di
belahan dunia mana pun, bahasa ibu adalah yang pertama kali dikuasai anak. Caranya yaitu
mendidik dengan perlahan, berulang, serta efektif. Tidak ada lain, orang yang paling tepat
melakukannya adalah orangtua atau siapa pun yang efektif berada di rumah. Pendidikan
sejati memang dilakukan sepenuhnya di rumah, sekolah hanyalah pelengkap. Di rumah,
penanaman nilai-nilai moral, agama, dan budi pekerti menjadi lebih efektif. “Caranya pun
harus efektif dan bukan efisien,” jelas Seto. Penyampaiannya penuh dengan kasih sayang
dan bukan kekerasan.

Penyampaian semacam itu dapat berhasil bila dilakukan dengan komunikasi yang baik.
Orangtua harus mampu membangun komunikasi dengan cara selalu melakukan dialog
dengan anak-anak. Caranya, bisa dengan selalu mengajak anak-anak berdiskusi mengenai
segala hal. Untuk membiasakannya, sedari kecil bisa dilakukan dengan mendongeng. Seto
menyarankan, kalau perlu diadakan Sidang “MPR” (majelis permusyawaratan rumah),
sekali dalam beberapa waktu. Di sana dibicarakan secara terbuka tentang persoalan seluruh
keluarga. Seluruh anggota keluarga - termasuk orangtua - harus bersedia dikritik jika
memang berbuat salah. “Jika anak melihat orangtuanya bisa dikritik, dia akan belajar
sportif. Sportif itu ’kan (artinya) setiap orang ’sejajar’, bisa hebat bisa juga keliru. Kelak si
anak akan menjadi orang yang juga biasa menerima kritik,” kata Seto. (Intisari)

3
4

Você também pode gostar