Você está na página 1de 14

Jurnal

Angiofibroma Nasofaring Juvenil, Aspek Baru


dalam Penatalaksanaan
Mojtaba Mohammadi Ardehali1, Jahangir Ghorbani2
1

Otorhinolaryngology Research Center, Amir-Alam Hospital, Tehran University


of Medical Sciences, Tehran, Iran
2

Department of otorhinolaryngology, Tehran University of Medical Sciences,


Tehran, Iran
Iranian Journal of Otorhinolaryngology, 2011, 3(23): 61-68
Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
SMF Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
RSD dr. Soebandi Jember
Disadur Oleh:
Anas Bakhtiar Diyansah
112011101011
Pembimbing:
dr. Maria Kwarditawati, Sp. THT
SMF ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RSD DR. SOEBANDI-FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
JEMBER
2015

Angiofibroma Nasofaring Juvenil, Aspek Baru dalam Penatalaksanaan


Mojtaba Mohammadi Ardehali1, Jahangir Ghorbani2
1

Otorhinolaryngology Research Center, Amir-Alam Hospital, Tehran University

of Medical Sciences, Tehran, Iran


2

Department of otorhinolaryngology, Tehran University of Medical Sciences,

Tehran, Iran
ABSTRAK
Angiofibroma Nasofaring Juvenil (ANJ) merupakan tumor jinak yang
jarang terjadi dan bersifat invasif secara lokal. Perdarahan masif yang timbul
karena vaskularisasi tumor dan kekambuhan pasca operasi menjadi permasalahan
dalam penatalaksanaan. Pendekatan endonasal mengurangi tingkat kekambuhan
pasca operasi, perdarahan intraoperatif, komplikasi akibat operasi, waktu operasi,
dan durasi waktu rawat inap. Pada artikel ilmiah ini, kami meninjau indikasi dan
kontraindikasi operasi endoskopi, indikasi radioterapi dalam pengobatan ANJ, dan
prosedur kami dalam menindaklanjuti kondisi pasien pasca operasi dan
penatalaksanaan terhadap pasien.
Kata Kunci:
Pendekatan endoskopik, operasi endoskopik, angiofibroma nasofaring juvenil
PENDAHULUAN
Angiofibroma Nasofaring Juvenil (ANJ) adalah massa vaskular jinak yang
jarang terjadi dengan prevalensi kurang dari 0,05% tumor kepala dan leher.(1) Pada
umumnya ANJ dialami oleh pasien laki-laki berusia muda. Beberapa ahli bedah
meyakini bahwa ANJ adalah tumor atau neoplasma, namun menurut penelitian
baru, massa vaskular ini adalah hamartoma atau malformasi pembuluh darah yang
berasal dari regresi inkomplit dari beberapa cabang arteri.(2,3,4) Efek hormon
seksual, beberapa pembuluh darah, dan faktor endotel ditengarai berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan ANJ; meskipun penggunaan hormon seksual
dalam pengobatan ANJ tidak terbukti berkhasiat. (5,6) Secara histologis, ANJ adalah
tumor jinak, namun invasi lokal menjadi karakteristik utama dari massa tumor ini.
(7)

Di balik prevalensi yang jarang, tumor ini menarik dibahas oleh karena

dampaknya secara klinis, potensi dalam hal morbiditas dan mortalitas, serta
kesulitan dalam terapi secara pembedahan.

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Perjalanan klinis ANJ bersifat lambat dan memiliki ekspansi yang
progresif dengan erosi tulang, serta perluasan cakupan area melalui celah dan
foramen dari basis cranial. Obstruksi hidung secara unilateral atau bilateral,
epistaksis berulang, proptosis dan wajah yang tampak asimetri merupakan tanda
dan gejala klinis ANJ. Biasanya anak laki-laki atau laki-laki usia muda mengeluh
hidung tersumbat dan epistaksis berulang. diagnosis ANJ harus dipertimbangkan.
Pada endoskopi nasal, sebuah pembuluh darah yang rapuh dan massa submukosa
terlihat melalui konka medius. Diagnosis dikonfirmasi melalui pemeriksaan CTscan dengan kontras secara IV atau MRI yang berkontras.
Mengingat kemungkinan timbulnya pendarahan hebat setelah biopsi,
diagnosis jaringan preoperatif hanya dilakukan pada kasus yang jarang di mana
data pemeriksaan melalui pencitraan ANJ tidak cukup menunjang diagnosis. Hasil
temuan melalui pemeriksaan CT-scan atau MRI berikut ini mendukung diagnosis
secara sugestif: daerah asal tumor selalu pada tingkat fossa pterygopalatine.(1,2)
Setelah injeksi kontras secara IV, massa tumor menunjukkan gambaran
hipervaskuler(3); Tumor memiliki pola yang berbeda ditinjau dari pertumbuhan
dan perluasan.(8) Angiografi preoperatif berguna untuk evaluasi pembuluh darah
dari massa tumor dan juga embolisasi, terutama pada tumor tingkat lanjut.
EKSTENSI TUMOR
ANJ pada umumnya berasal dari margo superior foramen sphenopalatina.
Pada awalnya tumor tumbuh dalam lapisan submucosa dan subperiosteum di atap
nasofaring. Kemudian tumor mencapai septum nasi dan posterior cavum nasi.
Secara bertahap tumor mencakup dinding anterior dari sinus sphenoidalis melalui
area di mana tumor menginvasi basisphenoid dan clivus secara posteroinferior.(9)
Ekstensi secara lateral dan anterior melalui fisura pterigomaxillaris menyebabkan
dinding posterior sinus maksilaris menonjol ke rongga sinus. Ekstensi lateral yang
lebih lanjut melibatkan fossa infratemporal. Tumor meluas ke atas melalui dasar
prosesus pterigoideus ke fossa cranialis media. Rute lainnya untuk ekstensi
intrakranial yaitu melalui foramen lacerum, sepanjang saraf nervus maksilaris,

kanalis pterigoideus atau fissura orbita superior.(8,10) Ada hambatan besar untuk
penatalaksanaan pembedahan pada hampir 20% pasien karena penetrasi tumor
dalam basis cranii.(11) Salah satu karakteristik penting dari tumor ini adalah
kecenderungan ANJ untuk kambuh kembali setelah bedah reseksi. Erosi basis
cranii dan ekstensi melalui kanal neurovaskular menjelaskan karakteristik ini.
Jangkauan tumor secara intrakranial yang sering ialah sampai regio ekstradural.
(1,12)

Meskipun dalam pengalaman kami, semua kasus ANJ primer yang

berekstensi ke basis cranii dan intrakranial ialah sampai ekstradural, beberapa


kasus revisi atau ANJ yang berulang dapat mencapai duramater dan berekstensi ke
intradural.
STADIUM
Beberapa sistem klasifikasi telah diusulkan untuk penggolongan ANJ.
Sistem yang paling umum digunakan adalah sistem grading Radkowski (Tabel 1).
(13,14)

Tabel 1. Sistem klasifikasi stadium untuk angiofibroma nasopharyngeal juvenil


Sumber
Onerci et

Stadium I
Stadium II
Hidung, NP, Sinus

Stadium III
Stadium IV
Ekstensi dalam Ekstensi

al, 2006

sinus

pada tulang kalus intrakranial

maksilaris,

etmoidalis dan cakupan


spheinoidalis,
atau

pada basis atau di

penuh FPM, corpus

kelenjar

ekstensi ekstensi pada pterigoidea


crania ala

antara

dan pituitary dan

minimal

fossa

major

dalam FPM

anterior,

spheinoidalis,

ekstensi

ekstensi

os arteri carotis
interna,

lateral lokalisasi

terbatas pada signifikan dalam lateral tumor


FIT

FIT atau lamina terhadap


pterigoidea,

arteri carotis

orbita,

interna,

musnahnya sinus
cavernosus

ekstensi
fossa media,
dan ekstensi
intrakranial
secara
ekstensif.
Radkowski

Stadium

et al, 1996

terbatas pada ekstensi


hidung
NP;
Ib:

Ia: Stadium IIa: Erosi


crania:

atau minimal pada IIIa:

Stadium FSP

stadium
ekstensi

dan minimal

seperti dalam

ke

FPM intrakranial;

pada stadium media;


Ia

basis NA

stadium

IIIb:

dengan stadium IIb; ekstensi

yang

ekstensi dalam cakupan


1 sinus

penuh

meluas

ke

pada intrakranialsinu

FPM, dinding s cavernosus


posterior
maxilla
pindah
kedepan,
erosi

orbita,

pemindahan
cabang arteri
maxillaries;
Stadium IIc:
FIT,

pipi,

posterior dari
lamina
Andrews et

pterigoidea
Terbatas pada Invasi FPP Invasi FIT atau Tumor

al, 1989

NP; kerusakan atau

regio

tulang

stadium

maxillaries,

orbita; intrakranial,
IIIa: intradural:

diabaikan atau sinus

tidak ada ekstensi stadium IVa:

terbatas pada ethmoidalis

intrakranial;

FSP

atau

stadium

sphenoidalis

cakupan

dengan

ekstradural

destruksi

parasellar

dengan
IIIb: infiltrasi
sinus
dan cavernosus,
kelenjar

tulang

pituitari atau
kiasma
optikus;
stadium IVb:
tanpa
infiltrasi
sinus
cavernosus,
kelenjar
pituitari atau
kiasma

Chandler et

Terbatas pada Ekstensi

al, 1984

NP

optikus
ke Tumor ke dalam Ekstensi

dalam cavum antrum,


nasi

atau ethmoidalis,

sinus
Stadium

al, 1981

terbatas pada ekstensi


NP;

FPM, FIT, orbita,

sphenoidalis dan atau pipi


Ia: Stadium IIa: Ekstensi

Sessions et

hidung

dan minimal

intrakranial
ke

stadium dalam FPM;

Ib: ekstensi ke Stadium IIb:


dalam

sinus intrakranial

1 cakupan

NA

sinus

penuh

PMF

dengan

atau

tanpa

erosi

orbita;
Stadium IIc:
FIT

dengan

atau

tanpa

ekstensi

ke

pipi
Keterangan:
FIT:

fossa

infratemporal;

FPM:

fossa

pterigomaxillaris;

FPP:

fossa

pterigopalatina; FSP: foramen spenopalatina; NA: not applicable; NP:


nasopharynx
Ciri khas dari klasifikasi stadium ini adalah bahwa stadium tumor
tergantung pada sejauh mana ekstensi dan tempat cakupan tumor. Sistem staging
baru dari Universitas Pittsburgh Medical center (UPMC) menggabungkan faktorfaktor prognostik yang tidak tercantum dalam sistem staging sebelumnya: rute
ekstensi dan vaskularisasi residual yang diikuti embolisasi (Tabel 2).(14)
Tabel 2. Sistem stadium angiofibroma Nasofaring juvenil dari Universitas
Pittsburgh Medical Center (UPMC)
Stadium
I
II

Sistem stadium UPMC


Cavum nasi, fossa pterigopalatina media
Sinus paranasalis, fossa pterigopalatina

III
IV

lateral; tidak ada vaskularitas residual


Erosi basis cranii, orbita, fossa infratemporal
Erosi basis cranii, orbita, fossa infratemporal;

ada vaskularitas residual


Ekstensi intrakranial, vaskularitas residual; M,
ekstensi medial; L, ekstensi lateral.

Menurut kami klasifikasi ini tidak sepenuhnya sesuai untuk semua ANJ
yang dibedah endoskopi; misalnya ANJ yang dapat menginvasi fossa
infratemporal atau ruang retropterigoid (stadium IIc dalam sistem Radkowski) dan
di bagian ini lebih sulit untuk menyingkirkan tumor dan berisiko tinggi timbul
perdarahan dibandingkan dengan tumor yang menginvasi planum sphenoidalis
dan memasuki ruang intrakranial (stadium III di sistem Radkowski). Meskipun,
klasifikasi UPMC terhadap ANJ adalah klasifikasi lebih bisa diterima dan akurat,
tetapi hal itu hanya berdasarkan angiografi. Hari ini dan berdasarkan literature
terkini, angiografi tidak diperlukan untuk semua kasus JNA.(15)
PENATALAKSANAAN
Strategi terapi yang berbeda telah diusulkan dalam penatalaksanaan JNA
selama beberapa tahun terakhir: radioterapi, terapi hormonal, cryoterapi dan
elektrokoagulasi; Namun demikian, dalam banyak kasus, operasi adalah
penatalaksanaan yang terpilih.(1,8,9)
Teknik bedah yang berbeda yang telah digunakan bergantung pada lokasi
tumor, ukuran tumor, dan pengalaman dari ahli bedah. Transpalatal, rhinotomi
lateral, degloving midfasial, Lefort 1 osteotomi dan teknik endoskopik terbaru
digunakan sebagai penanganan secara umum dalam tindakan pembedahan.
Sebuah teknik bedah yang optimal harus mampu mengendalikan perdarahan,
meminimalkan kerusakan jaringan sehat, dan mengurangi tingkat kekambuhan.
(9,13)

Saat ini, pembedahan dengan pendekatan endoskopik dapat dilakukan pada

sebagian besar tumor, bahkan pada beberapa tumor besar dengan cakupan yang
terbatas di fossa cranii media.
Dibandingkan teknik bedah tradisional, pembedahan dengan pendekatan
endoskopik memiliki beberapa keuntungan, yaitu pencegahan terhadap insisi
fasial, serta tidak perlu menghilangkan tulang-tulang fasial dan plating untuk
rekonstruksi. Manuver ini mengakibatkan asimetri pertumbuhan di wajah anak.
Endoskopik memungkinkan ahli bedah memiliki jangkauan pandang secara
multiangle dengan perbesaran ukuran massa dan jaringan sekitarnya.(1,10,16) Ahli
bedah dapat menemukan sisa massa tumor di luar sudut dan wilayah yang tidak

terjangkau.(1) Waktu operasi, durasi rawat inap, dan komplikasi (seperti lakrimasi
pasca operasi, anestesi pada wajah, trismus dan nyeri), lebih berkurang
dibandingkan dengan teknik tradisional.(9,10,17)
Dalam review sistematis, Hwang mengevaluasi 26 studi yang terdiri dari
547 pasien. 62% pasien menjalani operasi terbuka tradisional. Operasi endoskopik
dilakukan pada 26% pasien. 12% pasien sisanya menjalani operasi kombinasi
antara operasi terbuka dan endoskopik. Pendekatan endoskopik secara signifikan
lebih baik daripada teknik operasi yang tradisional ditinjau dari tingkat
kekambuhan, tingkat perdarahan intraoperatif, dan komplikasi yang timbul.(18)
Di waktu bersamaan, teknik operasi endoskopik memiliki beberapa
keterbatasan juga, seperti hilangnya peran kedua belah tangan dalam melakukan
operasi dan hilangnya lapang pandang pada area bedah karena perdarahan yang
masif.

Kerjasama antara dua ahli bedah selama operasi mampu mengatasi

masalah-masalah tersebut hingga beberapa tahapan.


Pada laporan ilmiah lainnya tentang teknik endoskopik dalam mengeksisi
tumor stadium (staging) tinggi bahkan stage III. Keterlibatan fossa infratemporal,
orbita, dan area parasella, tidak menjadi kontraindikasi teknik endoskopik,
sementara eksisi endoskopik pada tumor di area tersebut menjadi tantangan besar
bagi ahli bedah. Akses pembedahan dan reseksi tumor di area sulit di basis crania
juga menjadi permasalahan dalam melakukan pembedahan terbuka.(7)
Secara keseluruhan, calon pasien dengan criteria terbaik untuk dilakukan
teknik eksisi endoskopik ialah pasien ANJ stadium 1a hingga 1b (sistem grading
Radkowski) dengan invasi fossa pterigopalatina yang terbatas. strategi
menggunakan teknik eksisi endoskopik ini juga dapat digunakan pada ANJ
stadium IIIa dan ekspansi menengah dari stadium IIIb. Teknik bedah dengan
pendekatan konvensional seperti insisi dan dorongan sublabial ditambahkan pada
penanganan ANJ stadium IIc.
Kombinasi antara teknik endonasal dan pendekatan bedah externa
direkomendasikan pada tumor yang berkembang meluas dan mencakup sinus
cavernosus atau arteri carotis interna. Pada pasien dengan perluasan tumor ke
intrakranial, teknik degloving midfacial atau pendekatan fossa infratemporal dapat

diaplikasikan. Alternative lainnya dalam menegatasi tumor yang meluas ke


intrakranial ialah eksisi komponen intrakranial dan ektrakranial dari tumor dengan
dua tahapan yang terpisah. Nicolai mempercayai bahwa adanya pendarahan dari
arteri carotis interna, pada tumor yang melingkupi arteri tersebut atau oleh
perluasan tumor lateral secara intrakranial pada segmen paraclival dari arteri
carotis interna, merupakan kontraindikasi pembedahan secara endonasal.(10)
EMBOLISASI PREOPERATIF
Banyak ahli bedah percaya bahwa embolisasi pembuluh darah tumor
selama beberapa hari sebelum operasi (1-2 hari sebelum operasi) mengurangi
perdarahan intraoperatif dan membuat operasi lebih mudah.(20,21) Douglas dan
Wormald menyatakan bahwa embolisasi pra operasi mengurangi kehilangan darah
intraoperatif menjadi kurang dari 1000 ml. (7) Dalam kasus dari ANJ yang besar,
tumor dapat menerima darah dari pembuluh darah di kedua sisi yang memerlukan
embolisasi bilateral. Dengan adanya erosi basis cranii, tumor dapat menerima
cabang dari arteri karotis interna. Embolisasi dari cabang arteri carotis interna
tersebut tidak aplikatif.(22) Di beberapa pusat, embolisasi preoperatif merupakan
prasyarat untuk operasi endoskopi di semua kasus ANJ.(14) Gagasan ini
dipertanyakan. Tampaknya embolisasi preoperatif pada tumor kecil tidak
bermanfaat dalam mengurangi perdarahan intraoperatif.(15) Lloyd percaya bahwa
embolisasi preoperatif meningkatkan risiko tertinggalnya residu selama operasi. (23)
Gagasan ini belum terbukti dalam banyak studi lain yang sejenis.

TERAPI RADIASI
Ada beberapa keraguan tentang penggunaan terapi radiasi dalam
pengobatan ANJ karena potensi terjadinya perubahan sarcomatoid dalam tumor
dan induksi tumor ganas oleh radiasi di tahun-tahun berikutnya (10). Terapi
radiasi harus dibatasi untuk kasus ANJ yang tidak dapat direseksi dengan teknik
operasi. Beberapa ahli bedah merekomendasikan penatalaksanaan dengan terapi

radiasi ini pada tumor yang telah berkembang atau dalam kasus ANJ berulang
yang tidak dapat direseksi total dengan morbiditas yang dapat diterima.(8)
TUMOR REKUREN
Umumnya, rekurensi tumor adalah tanda dari adanya residu massa tumor.
Banyak faktor yang mengurangi kemampuan untuk kontrol secara lokal: invasi ke
processus sphenoidalis atau pterigoideus, keterlibatan fossa infratemporal,
foramen lacerum dan sinus kavernosa.(8) Untuk pencegahan rekurensi tumor,
operasi endoskopi dilakukan dengan dua aturan penting. Pertama adalah bahwa
ANJ tidak pernah direseksi sedikit demi sedikit. Dalam pengalaman kami,
sebagian besar tumor didorong ke ruang nasofaring dengan cermat menggunakan
teknik diseksi secara mekanik. Ketika menuju daerah nasofaring, setiap bagian
tambahan pada tumor ditangani secara eksklusif. Misalnya, ekstensi tumor ke arah
fissura pterigomaxillaris ditangani dengan menyingkirkan dinding posterior sinus
maxillaris dan memaksa penyisipan ke arah keluarnya tumor dari wilayah itu.
Setelah bagian utama dari tumor dibawa ke daerah orofaringeal dan nasofaring,
mereka dibersihkan sepenuhnya dengan menggunakan instrumen penyumbat
mulut dan forsep berukuran besar secara intraoral.
Aturan kedua ialah pada akhir operasi; pencarian jaringan yang tersisa dan
tempat-tempat perdarahan abnormal yang bisa memicu timbulnya penyakit sisa.
Kami sangat menyarankan pengeboran clivus, radix pterigoideus dan diploe
sphenoidalis pada pasien dengan keterlibatan tumor pada tulang di lokasi tersebut.
Strategi ini mengurangi kemungkinan meninggalkan residu di basis cranii.(9)
Karena keterbatasan pengetahuan kami saat ini tentang riwayat perjalanan
ANJ dan pola residif pada ANJ, kami menyarankan untuk memantau adanya ANJ
yang residif melalui pencitraan yang menggunakan kontras. Hal ini untuk
menunjukkan kemungkinan terjadinya perubahan pasca operasi pada tumor yang
tersisa.(10)
Ketika tanda-tanda yang jelas dari pembesaran tumor konstan dapat
terlihat atau ketika pasien menunjukkan gejala klinis, dapat diputuskan untuk

dilakukan reseksi tumor yang residif atau tumor yang tersisa. Regresi spontan
pada residu tumor postoperasi tidak jarang terjadi.
TINDAK LANJUT PASCA OPERASI
Pada kebanyakan kasus, ANJ yang berulang tumbuh dalam tahap/bagian
submukosa. CT-scan atau MRI dengan kontras IV memiliki peran yang lebih
penting daripada pemeriksaan endoskopik pada tahap tindak lanjut (follow-up).
Banyak kekambuhan terjadi selama tahun pertama pasca operasi.(8) Di klinik kami,
pasien dievaluasi secara endoskopik dalam dua minggu pasca operasi, tiap bulan
untuk enam bulan berikutnya, dan tiap tahun untuk waktu setelahnya. CT-scan
tahunan dengan kontras IV dilakukan sejak bulan ketiga pasca operasi.(9)
KESIMPULAN
Kemajuan dalam penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Juvenil (ANJ)
ialah pengenalan pembedahan dengan pendekatan endoskopi. Eksisi bedah ANJ
telah berkembang dari pendekatan terbuka secara tradisional ke arah pendekatan
endoskopik yang lebih baru. Eksisi endoskopik dari ANJ tampak unggul daripada
teknik terbuka dalam hal kekambuhan, kehilangan darah intraoperatif, dan tingkat
komplikasi. Eksisi endoskopik secara endonasal dapat dilakukan dengan aman
pada tumor stadium awal. Pada lesi lanjut, eksisi endoskopik secara endonasal
dapat digunakan sebagai adjuvan untuk teknik eksternal lainnya untuk
menghasilkan pengangkatan tumor secara lengkap dan kehilangan darah yang
minim intraoperatif..
Embolisasi preoperatif jika dilakukan oleh seorang ahli radiologi
intervensi, secara dramatis dapat mengurangi tingkat perdarahan intraoperatif.
Dua poin sangat disarankan dalam pencegahan rekurensi ANJ; pertama ialah
reseksi tumor secara global dan bukan reseksi sedikit demi sedikit, yang kedua
ialah pengeboran clivus perioperatif.
REFERENSI

1. Bleier BS, Kennedy DW, Palmer JN, Chiu AG, Bloom JD, OMalley BW.
Current management of juvenile nasopharyngeal angiofibroma: A tertiary
center experience 1999-2007. Am J Rhinol Allergy 2009; 23(3): 328-30.
2. Pauli J, Gundelach R, Vanelli-Rees A, Rees G, Campbell C, Dubey S, et al.
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma: An immunohistochemical
characterization of the stromal cell. Pathology 2008; 40(4): 396-400.
3. Schik B, Urbschat S. New aspects of pathogenesis of juvenile angiofibroma.
Hospital Med 2004; 65: 269-73.
4. Beham A, Beham-Schmid C, Regauer S. Nasopharyngealangiofibroma: True
neoplasm or vascular malformation? Adv Anat Pathol 2000; 1: 36-46.
5. Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, Roth Y, Szyfter W, Mann WJ.
Immunohistochemical analysis of growth mechanisms in juvenile
nasopharyngeal angiofibroma. Eur Arch Otorhinolaryngol 2007; 264: 389-94.
6. Zhang PJ, Weber R, Liang HH, Pasha TL, Li Volsi VA. Growth factors and
receptors in juvenile nasopharyngeal angiofibroma and nasal polyps. Arch
Pathol Lab Med 2003; 127: 1480-4.
7. Douglas R, Wormald PJ. Endoscopic surgery for juvenile nasopharyngeal
angiofibroma: Where are the limits? Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg
2006; 14: 1-5.
8. Nicolai P, Castelnuovo P. Benign tumors of sinunasal tract. In: Cummings
CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins KT, et al.
(editors). Cummings otolaryngology head and neck surgery. 5th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010: 717-27.
9. Mohammadi Ardehali M, Samimi Ardestani SH, Yazdani N, Goodarzi H,
Bastaninejad S. Endoscopic approach for excision of juvenile nasopharyngeal
angiofibroma: Complications and outcomes. Am J Otolaryngol Head Neck
Surg 2010; 31: 343-9.
10. Nicolai P, Villaret AB, Farina D, Nadeau S, Yakirevitch A, Berlucci M, et al.
Endoscopic surgery for juvenile angiofibroma: A critical review of indications
after 46 cases. Am J Rhinol Allergy 2010; 24: 67-72.
11. Bales C, Kotapka M, Loevner LA, AL-Rawi M, Weinstein G, Hurst R, et al.
Craniofacial resection of advanced juvenile nasopharyngeal angiofibroma.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002; 128: 1071-8.
12. Harvey RJO, Shean P, Schlosser RJ. Surgical management of benign
sinonasalmasses. Otolaryngol Clin N Am 2009; 42: 353-75.
13. Radkowski D, McGill T, Healy GB. Angiofibroma changes in staging and
treatment. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1996; 122: 122-9.
14. Snyderman CH, Pant H, Carrau RL, Gardner P. A new endoscopic staging
system for angiofibromas. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2010; 136(6):
588-94.
15. Mohammadi Ardehali M, Saedi B, Basam A. Effect of embolisation on
endoscopic resection of angiofibroma. J Laryngol Otol 2010; 124(6): 631-5.
16. Gaillard AL, Anastacio VM, Piatto VB, Maniglia JV, Molina FD. A sevenyear experience with patients with juvenile nasopharyngeal angiofibroma.
Braz J Otorhinolaryngol 2010; 76(2): 245-50.

17. Herman B, Bublik M, Younis R. Endoscopic embolisation and resection of


juvenile nasopharyngeal angiofibromas. Oper Tech Otolaryngol 2009; 20:
183-6.
18. Hwang P. Endoscopicvs open excision of JNA: A systematic review.
Otolaryngol Head Neck Surg 2010; 143(2s2): 280.

Você também pode gostar