Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Tehran, Iran
ABSTRAK
Angiofibroma Nasofaring Juvenil (ANJ) merupakan tumor jinak yang
jarang terjadi dan bersifat invasif secara lokal. Perdarahan masif yang timbul
karena vaskularisasi tumor dan kekambuhan pasca operasi menjadi permasalahan
dalam penatalaksanaan. Pendekatan endonasal mengurangi tingkat kekambuhan
pasca operasi, perdarahan intraoperatif, komplikasi akibat operasi, waktu operasi,
dan durasi waktu rawat inap. Pada artikel ilmiah ini, kami meninjau indikasi dan
kontraindikasi operasi endoskopi, indikasi radioterapi dalam pengobatan ANJ, dan
prosedur kami dalam menindaklanjuti kondisi pasien pasca operasi dan
penatalaksanaan terhadap pasien.
Kata Kunci:
Pendekatan endoskopik, operasi endoskopik, angiofibroma nasofaring juvenil
PENDAHULUAN
Angiofibroma Nasofaring Juvenil (ANJ) adalah massa vaskular jinak yang
jarang terjadi dengan prevalensi kurang dari 0,05% tumor kepala dan leher.(1) Pada
umumnya ANJ dialami oleh pasien laki-laki berusia muda. Beberapa ahli bedah
meyakini bahwa ANJ adalah tumor atau neoplasma, namun menurut penelitian
baru, massa vaskular ini adalah hamartoma atau malformasi pembuluh darah yang
berasal dari regresi inkomplit dari beberapa cabang arteri.(2,3,4) Efek hormon
seksual, beberapa pembuluh darah, dan faktor endotel ditengarai berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan ANJ; meskipun penggunaan hormon seksual
dalam pengobatan ANJ tidak terbukti berkhasiat. (5,6) Secara histologis, ANJ adalah
tumor jinak, namun invasi lokal menjadi karakteristik utama dari massa tumor ini.
(7)
Di balik prevalensi yang jarang, tumor ini menarik dibahas oleh karena
dampaknya secara klinis, potensi dalam hal morbiditas dan mortalitas, serta
kesulitan dalam terapi secara pembedahan.
kanalis pterigoideus atau fissura orbita superior.(8,10) Ada hambatan besar untuk
penatalaksanaan pembedahan pada hampir 20% pasien karena penetrasi tumor
dalam basis cranii.(11) Salah satu karakteristik penting dari tumor ini adalah
kecenderungan ANJ untuk kambuh kembali setelah bedah reseksi. Erosi basis
cranii dan ekstensi melalui kanal neurovaskular menjelaskan karakteristik ini.
Jangkauan tumor secara intrakranial yang sering ialah sampai regio ekstradural.
(1,12)
Stadium I
Stadium II
Hidung, NP, Sinus
Stadium III
Stadium IV
Ekstensi dalam Ekstensi
al, 2006
sinus
maksilaris,
kelenjar
antara
minimal
fossa
major
dalam FPM
anterior,
spheinoidalis,
ekstensi
ekstensi
os arteri carotis
interna,
lateral lokalisasi
arteri carotis
orbita,
interna,
musnahnya sinus
cavernosus
ekstensi
fossa media,
dan ekstensi
intrakranial
secara
ekstensif.
Radkowski
Stadium
et al, 1996
Stadium FSP
stadium
ekstensi
dan minimal
seperti dalam
ke
FPM intrakranial;
basis NA
stadium
IIIb:
yang
penuh
meluas
ke
pada intrakranialsinu
orbita,
pemindahan
cabang arteri
maxillaries;
Stadium IIc:
FIT,
pipi,
posterior dari
lamina
Andrews et
pterigoidea
Terbatas pada Invasi FPP Invasi FIT atau Tumor
al, 1989
regio
tulang
stadium
maxillaries,
orbita; intrakranial,
IIIa: intradural:
intrakranial;
FSP
atau
stadium
sphenoidalis
cakupan
dengan
ekstradural
destruksi
parasellar
dengan
IIIb: infiltrasi
sinus
dan cavernosus,
kelenjar
tulang
pituitari atau
kiasma
optikus;
stadium IVb:
tanpa
infiltrasi
sinus
cavernosus,
kelenjar
pituitari atau
kiasma
Chandler et
al, 1984
NP
optikus
ke Tumor ke dalam Ekstensi
atau ethmoidalis,
sinus
Stadium
al, 1981
Sessions et
hidung
dan minimal
intrakranial
ke
sinus intrakranial
1 cakupan
NA
sinus
penuh
PMF
dengan
atau
tanpa
erosi
orbita;
Stadium IIc:
FIT
dengan
atau
tanpa
ekstensi
ke
pipi
Keterangan:
FIT:
fossa
infratemporal;
FPM:
fossa
pterigomaxillaris;
FPP:
fossa
III
IV
Menurut kami klasifikasi ini tidak sepenuhnya sesuai untuk semua ANJ
yang dibedah endoskopi; misalnya ANJ yang dapat menginvasi fossa
infratemporal atau ruang retropterigoid (stadium IIc dalam sistem Radkowski) dan
di bagian ini lebih sulit untuk menyingkirkan tumor dan berisiko tinggi timbul
perdarahan dibandingkan dengan tumor yang menginvasi planum sphenoidalis
dan memasuki ruang intrakranial (stadium III di sistem Radkowski). Meskipun,
klasifikasi UPMC terhadap ANJ adalah klasifikasi lebih bisa diterima dan akurat,
tetapi hal itu hanya berdasarkan angiografi. Hari ini dan berdasarkan literature
terkini, angiografi tidak diperlukan untuk semua kasus JNA.(15)
PENATALAKSANAAN
Strategi terapi yang berbeda telah diusulkan dalam penatalaksanaan JNA
selama beberapa tahun terakhir: radioterapi, terapi hormonal, cryoterapi dan
elektrokoagulasi; Namun demikian, dalam banyak kasus, operasi adalah
penatalaksanaan yang terpilih.(1,8,9)
Teknik bedah yang berbeda yang telah digunakan bergantung pada lokasi
tumor, ukuran tumor, dan pengalaman dari ahli bedah. Transpalatal, rhinotomi
lateral, degloving midfasial, Lefort 1 osteotomi dan teknik endoskopik terbaru
digunakan sebagai penanganan secara umum dalam tindakan pembedahan.
Sebuah teknik bedah yang optimal harus mampu mengendalikan perdarahan,
meminimalkan kerusakan jaringan sehat, dan mengurangi tingkat kekambuhan.
(9,13)
sebagian besar tumor, bahkan pada beberapa tumor besar dengan cakupan yang
terbatas di fossa cranii media.
Dibandingkan teknik bedah tradisional, pembedahan dengan pendekatan
endoskopik memiliki beberapa keuntungan, yaitu pencegahan terhadap insisi
fasial, serta tidak perlu menghilangkan tulang-tulang fasial dan plating untuk
rekonstruksi. Manuver ini mengakibatkan asimetri pertumbuhan di wajah anak.
Endoskopik memungkinkan ahli bedah memiliki jangkauan pandang secara
multiangle dengan perbesaran ukuran massa dan jaringan sekitarnya.(1,10,16) Ahli
bedah dapat menemukan sisa massa tumor di luar sudut dan wilayah yang tidak
terjangkau.(1) Waktu operasi, durasi rawat inap, dan komplikasi (seperti lakrimasi
pasca operasi, anestesi pada wajah, trismus dan nyeri), lebih berkurang
dibandingkan dengan teknik tradisional.(9,10,17)
Dalam review sistematis, Hwang mengevaluasi 26 studi yang terdiri dari
547 pasien. 62% pasien menjalani operasi terbuka tradisional. Operasi endoskopik
dilakukan pada 26% pasien. 12% pasien sisanya menjalani operasi kombinasi
antara operasi terbuka dan endoskopik. Pendekatan endoskopik secara signifikan
lebih baik daripada teknik operasi yang tradisional ditinjau dari tingkat
kekambuhan, tingkat perdarahan intraoperatif, dan komplikasi yang timbul.(18)
Di waktu bersamaan, teknik operasi endoskopik memiliki beberapa
keterbatasan juga, seperti hilangnya peran kedua belah tangan dalam melakukan
operasi dan hilangnya lapang pandang pada area bedah karena perdarahan yang
masif.
TERAPI RADIASI
Ada beberapa keraguan tentang penggunaan terapi radiasi dalam
pengobatan ANJ karena potensi terjadinya perubahan sarcomatoid dalam tumor
dan induksi tumor ganas oleh radiasi di tahun-tahun berikutnya (10). Terapi
radiasi harus dibatasi untuk kasus ANJ yang tidak dapat direseksi dengan teknik
operasi. Beberapa ahli bedah merekomendasikan penatalaksanaan dengan terapi
radiasi ini pada tumor yang telah berkembang atau dalam kasus ANJ berulang
yang tidak dapat direseksi total dengan morbiditas yang dapat diterima.(8)
TUMOR REKUREN
Umumnya, rekurensi tumor adalah tanda dari adanya residu massa tumor.
Banyak faktor yang mengurangi kemampuan untuk kontrol secara lokal: invasi ke
processus sphenoidalis atau pterigoideus, keterlibatan fossa infratemporal,
foramen lacerum dan sinus kavernosa.(8) Untuk pencegahan rekurensi tumor,
operasi endoskopi dilakukan dengan dua aturan penting. Pertama adalah bahwa
ANJ tidak pernah direseksi sedikit demi sedikit. Dalam pengalaman kami,
sebagian besar tumor didorong ke ruang nasofaring dengan cermat menggunakan
teknik diseksi secara mekanik. Ketika menuju daerah nasofaring, setiap bagian
tambahan pada tumor ditangani secara eksklusif. Misalnya, ekstensi tumor ke arah
fissura pterigomaxillaris ditangani dengan menyingkirkan dinding posterior sinus
maxillaris dan memaksa penyisipan ke arah keluarnya tumor dari wilayah itu.
Setelah bagian utama dari tumor dibawa ke daerah orofaringeal dan nasofaring,
mereka dibersihkan sepenuhnya dengan menggunakan instrumen penyumbat
mulut dan forsep berukuran besar secara intraoral.
Aturan kedua ialah pada akhir operasi; pencarian jaringan yang tersisa dan
tempat-tempat perdarahan abnormal yang bisa memicu timbulnya penyakit sisa.
Kami sangat menyarankan pengeboran clivus, radix pterigoideus dan diploe
sphenoidalis pada pasien dengan keterlibatan tumor pada tulang di lokasi tersebut.
Strategi ini mengurangi kemungkinan meninggalkan residu di basis cranii.(9)
Karena keterbatasan pengetahuan kami saat ini tentang riwayat perjalanan
ANJ dan pola residif pada ANJ, kami menyarankan untuk memantau adanya ANJ
yang residif melalui pencitraan yang menggunakan kontras. Hal ini untuk
menunjukkan kemungkinan terjadinya perubahan pasca operasi pada tumor yang
tersisa.(10)
Ketika tanda-tanda yang jelas dari pembesaran tumor konstan dapat
terlihat atau ketika pasien menunjukkan gejala klinis, dapat diputuskan untuk
dilakukan reseksi tumor yang residif atau tumor yang tersisa. Regresi spontan
pada residu tumor postoperasi tidak jarang terjadi.
TINDAK LANJUT PASCA OPERASI
Pada kebanyakan kasus, ANJ yang berulang tumbuh dalam tahap/bagian
submukosa. CT-scan atau MRI dengan kontras IV memiliki peran yang lebih
penting daripada pemeriksaan endoskopik pada tahap tindak lanjut (follow-up).
Banyak kekambuhan terjadi selama tahun pertama pasca operasi.(8) Di klinik kami,
pasien dievaluasi secara endoskopik dalam dua minggu pasca operasi, tiap bulan
untuk enam bulan berikutnya, dan tiap tahun untuk waktu setelahnya. CT-scan
tahunan dengan kontras IV dilakukan sejak bulan ketiga pasca operasi.(9)
KESIMPULAN
Kemajuan dalam penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Juvenil (ANJ)
ialah pengenalan pembedahan dengan pendekatan endoskopi. Eksisi bedah ANJ
telah berkembang dari pendekatan terbuka secara tradisional ke arah pendekatan
endoskopik yang lebih baru. Eksisi endoskopik dari ANJ tampak unggul daripada
teknik terbuka dalam hal kekambuhan, kehilangan darah intraoperatif, dan tingkat
komplikasi. Eksisi endoskopik secara endonasal dapat dilakukan dengan aman
pada tumor stadium awal. Pada lesi lanjut, eksisi endoskopik secara endonasal
dapat digunakan sebagai adjuvan untuk teknik eksternal lainnya untuk
menghasilkan pengangkatan tumor secara lengkap dan kehilangan darah yang
minim intraoperatif..
Embolisasi preoperatif jika dilakukan oleh seorang ahli radiologi
intervensi, secara dramatis dapat mengurangi tingkat perdarahan intraoperatif.
Dua poin sangat disarankan dalam pencegahan rekurensi ANJ; pertama ialah
reseksi tumor secara global dan bukan reseksi sedikit demi sedikit, yang kedua
ialah pengeboran clivus perioperatif.
REFERENSI
1. Bleier BS, Kennedy DW, Palmer JN, Chiu AG, Bloom JD, OMalley BW.
Current management of juvenile nasopharyngeal angiofibroma: A tertiary
center experience 1999-2007. Am J Rhinol Allergy 2009; 23(3): 328-30.
2. Pauli J, Gundelach R, Vanelli-Rees A, Rees G, Campbell C, Dubey S, et al.
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma: An immunohistochemical
characterization of the stromal cell. Pathology 2008; 40(4): 396-400.
3. Schik B, Urbschat S. New aspects of pathogenesis of juvenile angiofibroma.
Hospital Med 2004; 65: 269-73.
4. Beham A, Beham-Schmid C, Regauer S. Nasopharyngealangiofibroma: True
neoplasm or vascular malformation? Adv Anat Pathol 2000; 1: 36-46.
5. Schuon R, Brieger J, Heinrich UR, Roth Y, Szyfter W, Mann WJ.
Immunohistochemical analysis of growth mechanisms in juvenile
nasopharyngeal angiofibroma. Eur Arch Otorhinolaryngol 2007; 264: 389-94.
6. Zhang PJ, Weber R, Liang HH, Pasha TL, Li Volsi VA. Growth factors and
receptors in juvenile nasopharyngeal angiofibroma and nasal polyps. Arch
Pathol Lab Med 2003; 127: 1480-4.
7. Douglas R, Wormald PJ. Endoscopic surgery for juvenile nasopharyngeal
angiofibroma: Where are the limits? Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg
2006; 14: 1-5.
8. Nicolai P, Castelnuovo P. Benign tumors of sinunasal tract. In: Cummings
CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins KT, et al.
(editors). Cummings otolaryngology head and neck surgery. 5th ed.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010: 717-27.
9. Mohammadi Ardehali M, Samimi Ardestani SH, Yazdani N, Goodarzi H,
Bastaninejad S. Endoscopic approach for excision of juvenile nasopharyngeal
angiofibroma: Complications and outcomes. Am J Otolaryngol Head Neck
Surg 2010; 31: 343-9.
10. Nicolai P, Villaret AB, Farina D, Nadeau S, Yakirevitch A, Berlucci M, et al.
Endoscopic surgery for juvenile angiofibroma: A critical review of indications
after 46 cases. Am J Rhinol Allergy 2010; 24: 67-72.
11. Bales C, Kotapka M, Loevner LA, AL-Rawi M, Weinstein G, Hurst R, et al.
Craniofacial resection of advanced juvenile nasopharyngeal angiofibroma.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002; 128: 1071-8.
12. Harvey RJO, Shean P, Schlosser RJ. Surgical management of benign
sinonasalmasses. Otolaryngol Clin N Am 2009; 42: 353-75.
13. Radkowski D, McGill T, Healy GB. Angiofibroma changes in staging and
treatment. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1996; 122: 122-9.
14. Snyderman CH, Pant H, Carrau RL, Gardner P. A new endoscopic staging
system for angiofibromas. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2010; 136(6):
588-94.
15. Mohammadi Ardehali M, Saedi B, Basam A. Effect of embolisation on
endoscopic resection of angiofibroma. J Laryngol Otol 2010; 124(6): 631-5.
16. Gaillard AL, Anastacio VM, Piatto VB, Maniglia JV, Molina FD. A sevenyear experience with patients with juvenile nasopharyngeal angiofibroma.
Braz J Otorhinolaryngol 2010; 76(2): 245-50.