Você está na página 1de 3

Analisa kasus bank BCA

Latar belakang

Awal mula kasus ini terjadi 17 Juli 2003. Saat itu BCA mengajukan surat keberatan pajak kepada
Direktorat Pajak Penghasilan (PPH) Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan karena
memiliki nilai kredit bermasalah atau non-performing loan sebesar Rp 5,7 triliun.
Kemudian pada 13 Maret 2004, Direktur PPH mengirim surat kepada Dirjen Pajak yang ketika
itu dijabat Hadi Purnomo. Surat itu berisi hasil telaah terhadap surat keberatan pajak BCA dengan
kesimpulan menolak permohonan keberatan wajib pajak BCA.
Di sinilah kemudian diduga Hadi Purnomo memainkan peran sebagai Dirjen Pajak, dengan
meloloskan permintaan BCA. Selaku Dirjen Pajak dia meminta Direktur PPH mengubah
kesimpulan atas hasil telaah surat keberatan pajak BCA. Sementara bank lain dengan kasus yang
sama ditolak permohonannya. Kerugian negara ditaksir 370 miliar.
Pada 18 juli 2004 tepatnya Satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final
terhadap surat keberatan pajak Abraham sahad mengatakan HP selaku Dirjen Pajak
memerintahkan Direktur PPH lewat nota dinas untuk mengubah kesimpulan telaah.
Permohonan BCA kemudian diterima, sedangkan beberapa bank lain dengan kasus yang sama
ditolak. Ketua KPK menyampaikan bahwa HP mengabaikan adanya fakta bahwa materi
keberatan pajak yang sama juga diajukan oleh bank-bank lain, tapi ditolak. Dalam kasus BCA,
surat keberatan pajaknya diterima.
Kerugian negara akibat kasus ini ditaksir Rp 370 miliar. Pasal yang dikenakan terhadap tersangka
Hadi Purnomo yakni Pasal 2 Ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tentang penyalahgunaan wewenang, junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Pembahasan

Bank Central Asia (IDX: BBCA) adalah bank swasta terbesar di Indonesia. Bank ini didirikan
pada 21 Februari 1957 dengan nama Bank Central Asia NV dan pernah merupakan bagian
penting dari Grup Salim. Presiden Direktur saat ini (masa jabatan 1999-sekarang) adalah
Djohan Emir Setijoso. PT Bank Central Asia Tbk (BCA) berada diposisi ketiga sebagai 10
bank dengan aset terbesar dengan jumlah aset Rp381,90 triliun atau naik 17,72% dari
Rp324,41 triliun pada 2010.
Hadi Poernomo terkait kasus Pajak BCA ditetapkan sebagai tersangka, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Mantan Direktur Pajak Penghasilan (PPH) di
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sumihar Petrus Tambunan.
Dia dipanggil dalam penyidikan kasus dugaan korupsi terkait penerimaan seluruh
permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak
Penghasilan badan PT Bank Cetral Asia (BCA) tbk tahun pajak 1999.
SPT akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka HP.

Sumihar merupakan Direktur PPH yang kala itu menangani kasus dugaan pengemplangan
pajak. Direktorat PPH pun sempat menolak keberatan pajak yang diajukan Bank Central
Asia. Belakangan, keputusan itu dianulir Hadi Poernomo lewat nota dinas yang
dikeluarkannya.
Sebelumnya, KPK telah memanggil mantan Ketua Tim Pemeriksaan pajak atas wajib pajak
PT Bank Central Asia Tbk Hudari Idris, Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan
Penagihan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I, Dahlia selaku pegawai
negeri sipil di Direktorat Jenderal Pajak dan Flora Anita Diasari PNS di Badan Pemeriksa
Keuangan.
KPK juga telah memanggil Mantan Kepala Seksi Keberatan Pajak Penghasilan Direktorat
Pajak Penghasilan di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Tonizar Lumbanbatu, dosen Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia Profesor Gunadi, Mantan Kepala Bidang Keberatan dan
Banding Kantor Wilayah LTO (large tax office/pajak besar)Yoyok Satiotomo, dan pensiunan
Direktorat Jenderal Pajak Muhammad Said.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Hadi Purnomo dalam kapasitasnya sebagai Direktur
Jenderal Pajak periode 2002-2004 sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang
setidaknya merugikan keuangan negara sebesar Rp 375 miliar.
Hadi diduga telah menerbitkan surat keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang keberatan
wajib pajak atas surat ketetapan pajak nihil (SKPN) PT Bank Central Asia. Padahal Direktur
Pajak Penghasilan (PPh) telah mengirimkan surat, yang menyimpulkan bahwa permohonan
keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Kasus ini berawal pada 17 Juni 2003, BCA mengajukan surat keberatan pajak transaksi nonperforming loan (kredit macet) tahun 1999 sebesar Rp 5,3 triliun kepada Direktorat Pajak
Penghasilan (PPh). Dengan adanya kredit macet tersebut, BCA diperkirakan harus membayar
pajak Rp 375 milliar.
Apabila kredit macet dihapuskan, maka BCA tidak jadi membayar pajak senilai tersebut.
Selama setahun melakukan pendalaman, Direktorat PPh mencapai satu kesimpulan bahwa
permohonan itu harus ditolak.
Kemudian, pada 13 Maret 2004 Direktorat PPh mengirimkan surat pengantar risalah
keberatan ke Direktur Jenderal Pajak yang berisikan hasil telaah kesimpulan. Dan pada 18
Juni 2004, atau satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final terkait
permohonan BCA, Hadi mengirimkan nota dinas kepada Direktorat PPh. Isinya
memerintahkan agar mengubah hasil kesimpulan, dari yang semula menolak diubah menjadi
menerima seluruh keberatan.
Direktorat PPh bahkan kembali mengirimkan surat pengantar risalah atas SKPN PPh BCA.
Namun, Hadi mengabaikan surat tersebut. Padahal, bank lainnya yang mengajukan keberatan
serupa dengan BCA, ditolak oleh Dirjen Pajak. KPK menjerat Hadi dengan pasal 2 ayat 1 dan
atau ayat 3 Undang-Undang No.31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo
pasal 55 ayat 1 KUHP.

Solopos.com, JAKARTA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus


yang menjerat mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo (HP) terkait kasus pajak Bank
BCA pada 1999.
Penyidik KPK memanggil tiga Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dirjen Pajak untuk untuk
menggali informasi keterlibatan Hadi dalam kasus tersebut. Mereka adalah, PNS Direktorat
Pajak, Ridwan, Dwi Sugeng Riyatna dan Peter Umar.
Ketiganya diiperiksa sebagai saksi terhadap tersangka HP, ujar Kepala Pemberitaan dan
Informasi KPK Priharsa Nugraha kepada wartawan, Selasa (29/4/2014).
Sejauh ini, KPK memang tengah mendalami pihak yang bertindak sebagai pemberi kepada
Hadi terkait permintaan untuk mengubah hasil telaah Direktur PPh, dari menolak keberatan
BCA menjadi menerima keberatan tersebut.
Hadi Poernomo yang saat itu duduk sebagai Dirjen Pajak pada 17 Juli 2004 merubah
kesimpulan yang semula dinyatakan menolak menjadi menerima seluruh permohonan PT
Bank BCA. Yang mencurigakan, kesimpulan itu dikeluarkan satu hari sebelum jatuh tempo
pembayaran pajak Bank BCA pada 18 Juli 2004.
Hal mencurigakan lainnya, Hadi Poernomo justru mengabaikan adanya fakta materi
keberatan yang sama oleh bank lain. Padahal kecenderungan kasus sama.
Masalah lain adalah, tahun pajak yang dibebankan kepada Bank BCA adalah 1999. Namun,
BCA baru mengirimkan surat keberatan pada 2003. Untuk itu sejauh ini KPK masih
mendalami ada tidaknya penerimaan oleh Hadi dari penanganan kasus ini.

Você também pode gostar