Você está na página 1de 13

Analisis Keuntungan dan Kerugian Rokok Bagi

Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya kami dapat menyelesaikan karya tulis ini tepat pada waktunya. Mengucap syukur
buat berkat yang diberikan melalui tugas ini. Dengan adanya tugas ini boleh menambah
pengetahuan kami dan menambah pengalamankami. Kami juga mengucapkan banyak terima
kasih kepada dosen mata kuliahPerekonomian Indonesia, atas kesempatan yang diberikan
kepada kami untuk menyelesaikan karya tulis ini. Dan pada kesempatan membuat karya tulis
ini, pengetahuan tentang Analisis kerugian dan keuntungan bagi Indonesia semakin
bertambah. Dan juga kepada teman-teman yang memberikan motivasi dan inspirasi dalam
membuat karya tulis ini.
Dalam pembuatan karya tulis ini, kami mungkin membuat banyak kesalahaan secara
tidak sengaja. Banyak kelemahan dalam membuat karya tulis ini. Oleh sebab itu, mengingat
akan tujuan kami menulis karya tulis ini adalah untuk menambah pengetahuan,
maka kami mohon maklum atas segala kesalahan dalam penulisan karya tulis ini. Kami juga
menerima kritik dan saran pembaca karya tulis ini dan berharap dapat menjadi inspirasi serta
motivasi di penulisan karya tulis lainnya.
Demikianlah kata pengantar dari kami. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi
kita semua yang membacanya.

Penulis,

BAB I.
PENDAHULUAN

Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat dari tahun 1995 hingga kini. Yaitu dari
sebanyak 34,7 juta perokok menjadi 65 juta perokok. Ini berdasarkan data dari Survei Sosial
Ekonomi Nasional dan Riset Kesehatan Dasar. Berdasarkan jenis kelamin pada tahun 1995
diperkirakan ada 33,8 juta perokok laki-laki dan 1,1 juta perokok perempuan. Namun, pada
tahun 2007 angka ini meningkat drastis menjadi 60,4 juta perokok laki-laki dan 4,8 juta
perokok perempuan, kata Peneliti Lembaga Demografi FEUI, Abdillah Hasan, Jakarta,

Rabu. Ia menjelaskan, prevalensi merokok pada usia remaja juga sangat mengkhawatirkan,
jika pada tahun 1995 hanya tujuh persen remaja merokok, lalu 12 tahun kemudian meningkat
menjadi 19 persen. Menurut dia, peningkatan yang drastis ini membuktikan betapa efektifnya
strategi industri rokok dan betapa lemahnya pemerintah dalam melindungi remaja dari rokok.
Dikatakan Abdillah, fenomena tersebut disebabkan oleh tingginya pertumbuhan
penduduk, tingginya pertumbuhan ekonomi, belum efektif kawasan bebas rokok dan
lemahnya peraturan tentang pengendalian konsumsi rokok di Indonesia. Ada empat
instrumen untuk menurunkan konsumsi rokok, yaitu peningkatan harga rokok melalui
peningkatan cukai, pelarangan iklan rokok secara meluruh, peringatan kesehatan bergambar
di bungkus rokok dan kawasan tanpa rokok, kata dia. Sementara itu, Wakil Kepala Lembaga
Demografi FEUI, Dwini Handayani mengatakan rokok termasuk barang yang konsumsinya
perlu dikendalikan dan diawasi peredarannya karena efek rokok sangat buruk bagi perokok
dan lingkungan. Dikatakannya, untuk mengendalikan konsumsi rokok memang memerlukan
biaya yang sangat besar. Ia menjelaskan, efek buruk dari rokok akan dirasakan jangka
panjang yaitu, sekitar 25 tahun ke depan.
Keberadaan industri rokok di Indonesia memang dilematis. Di satu sisi mereka
diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan bagi pemerintah karena cukai rokok
diakui mempunyai peranan penting dalam penerimaan negara. Namun di sisi lainnya
dikampanyekan untuk dihindari karena alasan kesehatan. Peranan industri rokok dalam
perekonomian Indonesia saat ini terlihat semakin besar, selain sebagai motor penggerak
ekonomi juga menyerap banyak tenaga kerja. Dalam 10 tahun terakhir industri rokok di
Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal. Resesi ekonomi yang dimulai dengan krisis
moneter sejak Juli 1997 tidak terlalu berpengaruh dalam kegiatan industri tersebut. Pada
Tahun 1994 penerimaan negara dari cukai rokok saja mencapai Rp 2,9 triliun, Tahun 1996
meningkat lagi menjadi Rp 4,153 triliun bahkan pada tahun 1997 yang merupakan awal dari
krisis ekonomi penerimaan cukai negara dari industri rokok menjadi Rp 4,792 triliun dan
tahun 1998 melonjak lagi menjadi Rp 7,391 triliun (Indocommercial, 1999: 1).

BAB II.
ISI
A. ROKOK SEBAGAI SALAH SATU DEVISA DAN KEKAYAAN NEGARA.
Rokok selalu menjadi perbincangan banyak orang. Hal utama yang dibahas sudah tentu
tentang berbagai masalah yang disebabkannya, baik bagi kesehatan ataupun kualitas hidup
pecandunya. Memang hampir kebanyakan opini publik jika ditanya soal rokok akan
mengarah pada sisi negatif, padahal di balik rokok tersebut hidup juga para petani tembakau,
pengusaha rokok, pekerja pabrik rokok, penjual rokok serta orang-orang yang menjual jasa
pada pengusaha pabrik rokok. Mereka semua bisa bertahan hidup karena manfaat rokok.

Ini adalah salah satu manfaat rokok. Selain itu, negara juga menetapkan bea cukai rokok yang
besar, tujuannya memang untuk membatasi peredaran rokok dengan menaikan harga. Namun
sepertinya strategi tersebut tidak begitu relevan dalam usaha membatasi perdaran rokok,
melainkan malah berjasa pada pendapatan negara.
Kita memang sudah tahu bahwa rokok merupakan salah satu penghasil devisa
negara. Tingginya cukai rokok disebut-sebut sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar,
tercatat sebesar 16,5 triliun Rupiah pada tahun 2004. Namun fakta selanjutnya lebih
mencengangkan lagi. Masih pada tahun yang sama pemerintah mengeluarkan anggaran lebih
dari 127 triliun Rupiah untuk mengatasi berbagai masalah yang berhubungan dengan rokok.
Lebih dari tujuh kali lipatnya sekaligus kembali menguras cukai rokok serta pendapatan
negara yang didapatkan sebelumnya. Sebuah jumlah yang mencengangkan jika dibandingkan
dengan pengetahuan masyarakat umum.
Selintas memang kita lihat rokok tersebut berjasa bagi anggaran serta kekayaan
negara, padahal selain biaya untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibatnya jauh lebih
besar, negara juga kehilangan sesuatu yang lebih penting yaitu generasi muda yang cerdas
dan sehat. Tingginya tingkat perokok dalam masyarakat hampir-hampir mencekik segala
bidang, mulai dari pendidikan, tingkat perekonomian dan terutama kesehatan. Rokok
memiliki 40.000 bahan kimia yang berbahaya, masuknya semua bahan kimia tersebut dapat
merusak fungsi organ tubuh, menyerang saraf, menurunkan daya pikir dan menyerang gen.
Harga rokok di Indonesia sangat rendah karena cukai yang dikenakan sangat rendah
(yakni 38% terendah setelah kamboja), sehingga konsumsi rokok meningkat. Hal ini bisa
dibandingkan dengan harga jual rokok Marlboro pada tahun 2008 yang di Singapura berharga
USD 8.64, di Malaysia USD 2,56 sementara di Indonesia hanya USD 1,01 (data dari Fact
Sheet TCSC ISMKMI). Rokok juga menjadi pengeluaran terbesar kedua bagi para rakyat
Indonesia. Pada data di Lembaga Demografi FE UI tahun 2006 tercatat pengeluaran rokok
sebesar 11,89%, setengahnya dari pengeluaran terhadap padi-padian yang mencapai 22,10%,
namun lebih tinggi daripada Listrik, telepon dan BBM yang sebesar 10,95 % serta lebih
tinggi dari pada Sewa dan Kontrak yang mencapai 8,82%.
Penerimaan cukai tembakau meningkat 29 kali lipat dari Rp 1,7 trilyun menjadi Rp.
49,9 trilyun dari tahun 1990-2008. Ini bukti bahwa kenaikan tingkat cukai tembakau yang
dilakukan pemerintah efektif untuk meningkatkan penerimaan negara. Dengan fakta ini,
mitos bahwa peningkatan cukai tembakau akan mengurangi penerimaan negara dapat
terbantahkan. Ironisnya, kontribusi cukai ini terhadap total penerimaan negara menurun
menjadi 5,2% pada tahun 2008. Peningkatan cukai sebesar 2 kali lipat akan menambah
1.
Pendapatan masyarakat sebesar Rp. 491 Milyar
2.
Output perekonomian sebesar Rp. 333 Milyar
3.
Lapangan kerja sebanyak 281.135
Dilain sisi, peningkatan cukai menjadi 57%, maka:
1.
Jumlah perokok akan berkurang 6,9 juta orang
2.
Jumlah kematian terkait rokok turun 2,4 juta

3.
Penerimaan negara dari cukai tembakau bertaambah dengan Rp. 50,1 trilyun.
B. ROKOK SEBAGAI KERUGIAN NEGARA.
Selama ini rokok dibilang sebagai penyumbang devisa terbesar untuk negara padahal
nyatanya rokok justru menyumbang kerugian terbesar negara. Kerugian yang ditimbulkan
rokok bukan hanya masalah kesehatan saja tapi juga masalah moral dan finansial.
Menurut data Depkes tahun 2004, total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau
adalah Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan dan kematian
akibat tembakau. Sementara itu penerimaan negara dari cukai tembakau adalah Rp 16,5
triliun. Artinya biaya pengeluaran untuk menangani masalah kesehatan akibat rokok lebih
besar 7,5 kali lipat daripada penerimaan cukai rokok itu sendiri. Jadi sebenarnya kita ini
sudah dibodohi, sudah tahu rugi tapi tetap dipertahankan dan dikerjakan. Inilah cara berpikir
orang-orang tertentu yang bodoh, tutur kata Prof Farid A Moeloek, Ketua Komisi Nasional
Pengendalian Tembakau dalam acara Peningkatan Cukai Rokok: Antara Kepentingan
Ekonomi dan Kesehatan di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (17/2/2010).
Prof Farid mengatakan, rokok adalah pintu gerbang menuju kemaksiatan, penurunan
moral dan lost generation. Tidak ada orang yang minum alkohol, terkena HIV, atau memakai
narkoba tanpa merokok terlebih dahulu, kata Prof Farid yang juga mantan menteri kesehatan
ini. Menurut agama saja menghisap rokok adalah kegiatan yang mubazir atau makruh.
Memang dilema, di satu sisi negara butuh uang tapi di sisi lain banyak yang dirugikan akibat
rokok, tambahnya.
Dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 disebutkan bahwa nikotin adalah zat aditif,
sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. Jadi rokok harusnya juga diperlakukan
sama dengan narkoba. Artinya kalau narkotik tidak diiklankan, merokok juga harusnya tidak
boleh. Masalah rokok juga harus ditangani secara spesial, ujarnya. Kenaikan cukai tembakau
rokok sebesar 15 persen menurut Prof Farid dianggap tidak akan berpengaruh.
Pertama, karena rokok mengandung nikotin yang bersifat candu, jadi bagaimanapun juga
orang akan terus mencari dan mencari rokok untuk memenuhi kebutuhannya.
Kedua, grafik elastisitas rokok bersifat inelastis, jadi kenaikan harga rokok tidak akan terlalu
mengurangi konsumsi rokok. Ketiga, pertambahan penduduk terus terjadi dan hal ini
memungkinkan semakin banyak orang yang merokok.
Untuk itu solusinya adalah, perlu regulasi atau Peraturan Pemerintah (PP) khusus yang
mengatur ketat penggunaan rokok. Sebenarnya sudah banyak UU yang mengatur tentang
rokok, misalnya UU Kesehatan No 36/2009, UU Penyiaran No 33/1999, UU Perlindungan
Anak No 23/2002, UU Psikotropika No 5/1997 dan UU Cukai No 39/2007.
Di situ ada aturannya nikotin harus dibagaimanakan. Tapi karena UU itu berjalan sendirisendiri maka tujuannya jadi tidak tercapai. Yang dibutuhkan hanya harmonisasi UU,
katanya.
Peningkatan cukai rokok juga menurut Prof Farid harus didistribusikan pada kegiatankegiatan untuk menangani sektor kesehatan. Perokoklah yang membayar cukai tembakau

sehingga sudah semestinya dana cukai dikembalikan untuk memperbaiki kesehatan


masyarakat, ujarnya.

C. MELIHAT DARI ANALSIS HUBUNGAN KEUNTUNGAN DARI PABRIK ROKOK PT.


GUDANG GARAM PADA TAHUN 2007.

Dalam industri rokok, dominasi dari para pelaku utama bisnis ini sudah cukup
dikenal. Pada tiga tahun terakhir (tahun 1999, 2000, 2001) ternyata 3 perusahaan rokok, yaitu
PT.Gudang Garam Tbk, PT. HM Sampoerna Tbk dan PT. Djarum, selalu masuk dalam jajaran
Sepuluh Besar Perusahaan Terbaik di Indonesia di antara 200 Top Companies di Asia yang
disusun peringkatnya oleh majalah Far Eastern Economic Review (FEER). Di tengah krisis
ekonomi yang dinilai belum tampak pangkal akhirnya, sungguh melegakan bahwa setidaknya
ada 10 perusahaan yang masuk kategori berkinerja prima di antara 200 perusahaan terbaik di
kawasan Asia. Menariknya, di antara 10 besar tersebut, tiga di antaranya merupakan raksasa
kretek Indonesia.
Uniknya, lokasi empat perusahaan rokok yang mengusai pasar di Indonesia PT.
Gudang Garam Tbk, PT. HM. Sampoerna Tbk, PT Djarum, dan PT. Bentoel masing-masing
amat terkonsentrasi secara geografis. Secara regional, masing-masing Perusahaan ini
berperanan dalam tumbuh dan berkembangnya kluster industri rokok di Kabupaten Kediri,
Kota Surabaya, Kabupaten Kudus dan Kota Malang. PT. Gudang Garam Tbk didirikan pada
tahun 1958 di Kediri, pertama kali memproduksi klobot kretek. Berkat sistem manajemen
yang profesional terutama menjelang tahuntahun awal 1980-an perusahaan ini melejit
mendahului perusahaan-perusahaan lainnya. Perusahaan ini menjadi perusahaan publik
terbesar dalam industri rokok. PT Gudang Garam, Tbk adalah penguasa pangsa pasar terbesar
industri rokok kretek di Indonesia yang menghasilkan 74,4 miliar batang rokok atau 45,4 %
dari jumlah produksi 22 perusahaan terbesar yang bergabung dalam GAPPRI. Porsi sigaret
kretek tangan (SKT) yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut terus menurun, pada tahun
1998 dari 74,4 miliar batang rokok yang dihasilkan 61,2 miliar batang rokok (82,1%) adalah
sigaret kretek mesin (SKM), sementara produksi SKT dan klobot hanya 13,1 miliar
(Indocommercial,
1999:1)
Melalui merek andalannya, Gudang Garam Pada tahun 2002 Pernah menguasai

pangsa pasar hingga 50%. Sumbangan terbesar Gudang Garam diperoleh dari SKM dengan
merek Gudang Garam Filter International. Merek dalam segmen SKM yang dimiliki oleh
Gudang Garam antara lain Gudang Garam Surya 12, Gudang Garam Surya 16, Gudang
Garam Filter International Merah 12, Gudang Garam Filter International Merah 16.
Sedangkan merek dalam segmen SKT yang dimiliki Gudang Garam adalah Gudang Garam
King Size 12,Gudang Garam King Size 16 dan Gudang Garam Surya Pro (Indocommercial,
2002: 4)
PT. Gudang Garam juga merupakan salah satu produsen rokok kretek terkemuka
yang menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, memproduksi lebih dari 70 miliar batang
rokok dari 220 miliar produksi rokok nasional pada tahun 2001 atau menguasai sekitar 32%
produksi rokok nasional. Selain itu PT. Gudang Garam Tbk. dikenal sebagai produsen rokok
kretek yang bermutu tinggi. Sehingga sejak 8 tahun lalu, selain memproduksi rokok untuk
memenuhi permintaan nasional, PT. Gudang Garam juga memproduksi rokok dengan kualitas
dunia untuk diekspor ke beberapa negara di dunia seperti Brunei Darussalam, Malaysia,
Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Saudi Arabia, Australia, Jepang, Belanda, Jerman, Prancis
dan Inggris sesuai dengan permintaan khusus atas jenis rokok yang paling diminati oleh
masing-masing
negara
pengimpor.
Berdasarkan sekilas deskripsi Perkembangan Industri Rokok di indonesia
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa PT. Gudang Garam Tbk. sebagai bagian dari Industri
rokok di Indonesia dapat dikategorikan dalam Industri Oligopoli. Sebab, pangsa pasar rokok
di Idonesia hanya dikuasai oleh 4 perusahaan besar Lokal sejenis dan satu Perusahaan Asing
yaitu Philip Morris Co.Ltd. (perusahaan penghasil rokok) saat itu. Sehingga Setiap
perusahaan yang bersangkutan harus mengetahui bahwa setiap kebijakan harga, kualitas,
output, dan iklan yang mendorong reaksi dari pesaing merupakan kunci Keberhasilan
Perusahaan dalam memperebutkan konsumen. Selain itu, kondisi persaingan yang ketat akan
menjadi hambatan yang berarti bagi pesaing baru untuk masuk dalam industri tersebut
.
Salah satu prinsip penting yang perlu dicermati oleh perusahaan dalam Industri
Oligopoli adalah Perusahaan tidak memiliki kekeluasaan terhadap Penentuan harga, faktorfaktor yang melatarbelakanginya antara lain :
1. Kebijakan suatu perusahaan untuk menurunkan harga dengan maksud meningkatkan
permintaan hanya menghasikan peningkatan keuntungan sesaat. Sebab, kebijakan tersebut
akan memicu reaksi perusahaan pesaing untuk melakukan penurunan harga pula. Sehingga
kondisi tarik-menarik permintaan yang terjadi antara Perusahaan dalam Industri Oligopoli
akan selalu terjadi. Kondisi tersebut dapat terlihat dalam Kurva Permintaan Patah.
2. Sebaliknya, dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, Kebijakan suatu Perusahaan
untuk menaikkan harga dengan maksud menekan kerugian atas kenaikan biaya total atau
dengan maksud meningkatkan keuntungan, akan menimbulkan reaksi dari Perusahaan
pesaing untuk tetap mempertahankan harga lama. Hal itu dilakukan perusahaan pesaing
dengan tujuan untuk menyerap permintaan baru yang timbul akibat penurunan permintaan
perusahaan yang menetapkan kenaikan harga tersebut.

A. Analisis Keuntungan Produksi Rokok PT.Gudang Garam Tbk.


a. Internal
Analisis internal Produksi Rokok PT.Gudang Garam adalah analisis untuk mengetahui
produktifitas dan pencapaian keuntungan atas produksi kretek PT.Gudang Garam tahun 2007.
Dalam Analisis Internal terdapat beberapa tahap analisis yaitu 1.)identifikasi faktor-faktor
produksi dan variabel-variabel yang digunakan dan mendukung fungsi-fungsi yang menjadi
indikator pencapaian keuntungan Produksi Rokok PT.Gudang Garam tahun 2007. Fungsifungsi tersebut antara lain :
1. Fungsi Pendapatan (Revenue)
Fungsi Pendapatan dalam Produksi Rokok adalah fungsi yang menjadi indikator tingkat
penjualan Rokok selama periode tertentu. 2 Variabel yang menyusun fungsi pendapatan
adalah Harga Rokok /Batang (P) dan Jumlah Rokok (Q). Berdasarkan 2 variabel tersebut
dapat ditentukan Pendapatan Total (TR), Pendapatan Rata-Rata (AR) dan Pendapatan
Marginal (MR).
a. Pendapatan Total (Total Revenue)
Pendapatan total dalam produksi rokok adalah pendapatan yang diperoleh melalui penjualan
atas total rokok yang diproduksi selama periode tertentu.
b. Pendapatan Rata-Rata (Average Revenue)
Pendapatan Rata-rata dalam produksi rokok adalah pendapatan yang diperoleh melalui
penjualan atas setiap batang rokok yang diproduksi selama periode tertentu.
c. Pendapatan Marginal (Marginal Revenue)
Pendapatan Marginal dalam produksi rokok adalah pendapatan Tambahan yang diperoleh
penjualan atas setiap tambahan batang rokok yang diproduksi selama periode tertentu.
Beberapa persamaan pendapatan yang telah dipaparkan sebelumnya dan data tentang
jumlah rokok yang terjual sebesar 59,986 M serta perkiraan harga rokok per-batangnya
sebesar Rp.469 pada tahun 2007, dapat diketahui bahwa total Penjualan PT.Gudang Garam
pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 28.158.428.000.000 yaitu meningkat sebesar 6,9% dari
tahun 2006 yang mencpai 26,34 T. Peningkatan tersebut didipicu oleh pertumbuhan tingkat
produksi rokok sebesar 0.5%/bulan sehingga tingkat penjualan rokok meningkat sebesar 0,5
0,6%.
2. Fungsi Biaya ( Total Cost)
Fungsi biaya dalam Produksi Rokok adalah fungsi yang menjadi indikator tingkat
pengeluaran PT.Gudang Garam untuk memproduksi rokok selama tahun 2007. Fungsi
pengeluaran atau fungsi biaya terbagi manjadi 3 yaitu :

a. Biaya Total ( Total Cost )


Biaya total Dalam Produksi Rokok adalah Keseluruhan Biaya yang dikeluarkan perusahaan
untuk menghasilkan sejumlah rokok selama periode tertentu. Biaya Total tersusun atas Biaya
Tetap dan Biaya Variabel dan berikut ini persamaan yang digunakan untk menentukan Total
Cost :
Biaya tetap (fix cost)

Biaya Tetap Dalam Produksi Rokok adalah biaya yang tidak dipengaruhi oleh perubahan
Jumlah Rokok yang diproduksi dalam periode tertentu. Biaya tetap meliputi biaya
administrasi (biaya perlengkapan kantor), biaya umum(biaya listrik, air, telepon dan PBB).
Biaya variabel (vareable cost)
Biaya veriabel Dalam Produksi rokok adalah biaya yang besar pengeluarannya dipengaruhi
oleh perubahan tingkat jumlah Rokok yang diproduksi dalam periode tertentu. Dalam hal ini
biaya veriabel meliputi biaya pokok penjualan dan biaya pokok produksi (bahan baku :
tembakau dan cengkeh;, upah tenaga produksi) dan biaya penjualan (transportasi, PPN/bea
cukai dan lain-lain).
b. Biaya Total Rata-rata (Average Total Cost )
Biaya Total Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya Total yang dikeluarkan Perusahaan
untuk memproduksi satu batang rokok selama periode tertentu.

Biaya Tetap Rata-rata (Average Fix Cost)

Biaya tetap Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya tetap yang dikeluarkan untuk
menghasilkan setiap batang rokok secara eksplisit selama periode tertentu.
Biaya Variabel Rata-rata (Average Vareable Cost)
Biaya Varebel Rata-rata Dalam Produksi rokok adalah biaya yang besar pengeluarannya
dipengaruhi oleh setiap batang rokok yang dihasilkan secara selama periode tertentu
c. Biaya Marginal (Marginal Cost)
Biaya Marginal Dalam Produksi rokok adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk
setiap tambahan produksi rokok selama peride tertentu.
3. Fungsi Keuntungan ( Profit)
Fungsi Profit dalam Produksi rokok adalah fungsi yang terbentuk dari selisih yang
terjadi antara Total Pendapatan atas penjualan rokok dan Total biaya yang dikeluarkan
Perusahaan untuk menghasilkan rokok selama periode tertentu. Dalam Industri Oligopoli,
perusahaan dapat mempertahankan keuntungan tanpa menaikkan harga yang memicu
penurunan permintaan dengan cara melakukan program efisiensi penggunaan bahan baku
yaitu melalui pemilihan bahan baku alternatif dengan harga terjangkau dan kualitas terjamin.
Selain itu penghematan energi dan pemanfaatan semaksimal mungkin teknologi yang ada
dalam memproduksi Rokok.

b. Eksternal
Analisis Eksternal Produksi Rokok PT.Gudang Garam adalah analisis untuk
mengetahui kondisi persaingan atas penguasaan pasar Rokok PT.Gudang Garam tahun 2007
dibanding Perusahaan Pesaing dalam industri rokok di indonesia. Melalui analisis
Keuntungan Produksi Rokok yang dicapai PT. gudang Garam Tahun 2007 dan Tingkat
Persaingan produksi rokok PT. Gudang Garam dalam Industri rokok di Indonesia, dapat
ditarik garis besar bahwa Suatu Perusahaan yang termasuk dalam Kategori Industri Oligopoli
harus memiliki 2 Target yang berjalan beriringan yaitu :
1. Perusahaan Mampu meningkatkan perolehan keuntungan bersih perusahaan dalam jangka
panjang.
2. Perusahaan mampu meningkatkan Total Produksi untuk menguasai pasar di atas para
perusahaan pesaing dan menjadi Pihak yang dominan dalam penguasaan kondisi pasar baik
dalam penetapan tingkat harga barang hingga tingkat kualitas barang.

BAB III.
PENUTUP
A. KESIMPULAN.
Dilihat dari segi keuntungan, pendapatan negara oleh produksi rokok sangat besar
tetapi sama dengan pengeluarannya dikarenakan bea cukai yang cukup besar. Manfaat dari
rokok hanya berada pada produsen yang menghasilkan rokok. Tentunya juga untuk para
pekerja dan buruh yang terkait dengan pembuatan rokok. Karena rokok mereka dapat
mencapai keuntungan yang besar dan dapat bertahan hidup. Lain halnya dengan pengguna,
khususnya para remaja dan orang tua yang mayoritas mengkonsumsi rokok setiap harinya.
Sampai ada yang menjadi perokok berat. Rokok dapat merusak kesehatan karena banyaknya
unsur-unsur zat kimia yang terkandung didalamnya.
Dilihat dari pabrik yang memproduksi rokok yaitu PT. Gudang Garam, PT. Gudang
Garam Tbk. adalah salah satu Perusahaan Rokok dari 4 Perusahaan besar lainnya seperti PT.
HM Sampoerna, PT. Djarum, Philip Morris Co.Ltd dan PT. Bentoel yang termasuk dalam
kategori Industri Oligopoli dengan menguasai hingga 30% Produksi Rokok Kretek Nasional
pada tahun 2007. Dalam Persaingan Industri Rokok sebagai Industri oligopoly, Setiap
perusahaan terkait memiliki peran untuk saling meningkatkan produksi rokok dengan tujuan
menjadi perusahaan yang dominan dalam penguasaan pasar sehingga memiliki kekuatan
untuk menetapkan standar harga dan kualitas rokok yang ada dalam pasar yang secara tidak
langsung akan memberikan reaksi perusahaan pesaing lain untuk menyesuakan diri.
B. KRITIK DAN SARAN.
1. Dari makalah yang telak kami buat ini kami berharap negara Indonesia tidak hanya
memanfaatkan rokok sebagai penghasil devisa negara, tetapi juga sebagai motivasi untuk
mengurangi jumlah kematian akibat rokok dan pengeluaran bea cukai yang cukup besar
untuk produksi rokok.

2. PT. Gudang Garam walaupun sangat membantu sebagai penerimaan penghasilan negara
tetapi juga sebagai neraka bagi Indonesia, karena banyaknya jumlah kematian yang dihadapi
rakyat Indonesia karena rokok. Tetapi juga PT. Gudang Garam sebagai sponsor terbesar untuk
menuju kemajuan negara.
http://herlinamayangsari.blogspot.co.id/2012/04/analisis-keuntungan-dankerugian-rokok.html
Mengenai Saya

Herlina Mayang Sari

8 April 2012

ROKOK DAN GEJOLAK EKONOMI

Dari berbagai dampak negatif rokok, mungkin dampak ekonomi yang


paling memiliki pengaruh besar, bukan hanya bagi perokok, bagi
pemerintah serta kondisi perkonimian negara bisa dipengaruhi. Ketika
berbicara terait masalah perekonomian yang disebabkan oleh rokok tentu
berhubungan dengan jumlah perokok di Indonesia serta terkait dana yang
dihabiskan masyarakat untuk membeli rokok.
Beberapa sumber menyebutkan semakin tahun jumlah perokok di
Indonesia semakin meningkat. Tidak hanya dari kalangan orang laki-laki
dewasa, perokok juga mulai banyak dari kalangan para remaja dan
wanita. Menurut WHO jumlah perkokok di Indonesia mencapai
146.860.000 jiwa, yang terdiri dari laki-laki remaja, dewasa, bahkan
anak-anak, serta wanita. Banyak sumber menyebutkan jumlah perokok
setiap tahun akan semakin meningkat. Dan sebagai jumlah perokok
kelima terbanyak di dunia, sudah seharusnya pemerintah mulai fokus
dalam mengendalikan jumlah perokok di Indonesia dengan membuat
peraturan terkait rokok, dan yang membuat prihatin adalah peningkatan
jumlah perokok usia 5-9 tahun mencapai 2,8% (2004), usia 15-19 tahun
mencapai 24,2%.
Dilihat dari segi pengeluaran sehari-hari, dalam waktu satu bulan
masyarakat bisa menghabiskan banyak uang hanya untuk rokok. Jika
diasumsikan 1 orang menghabiskan 1 pack rokok sehari seharga 10.000,
maka dalam waktu satu bulan satu orang menghabiskan 300.000, dan
jika perokok di Indonesia adalah 146.860.000 jiwa, maka sebanyak
44.058.000.000.000 dihabiskan untuk konsumsi rokok. Ketika uang

tersebut dialokasikan untuk hal yang lebih bermanfaat, mungkin angka


kemiskinan di Indonesia bisa berkurang. Tidak heran jika semakin lama
jumlah orang miskin semakin meningkat di Indonesia, karena banyak
orang yang berpikiran lebih baik nggak makan daripada nggak ngrokok.
Peraturan pemerintah yang berkaitan dengan rokok sering kali terlihat
lemah dan tidak berdaya ketika sampai di lapangan. Kampanye anti rokok
pun lebih sering digencarkan oleh LSM-LSM serta para aktivis yang peduli
pada efek negative akibat rokok. Pemerintah memang sering terlihat
lemah ketika sudah dihadapkan pada masalah satu ini. Entah dilema
karena apa, tapi lebih sering berdalih melindungi petani tembakau dan
tenaga kerja industri rokok, pemerintah melegelkan dan seolah-olah
mendukung para produsen rokok ini. Padahal disebutkan dalam sebuah
sumber, jumlah petani tembakau di Indonesia hanya kurang dari 2% dari
pekerjaan di semua sector. Sedangkan dari upah yang diterima, pekerja
industri tembakau menduduki peringkat ke-37 dengan rata-rata upah Rp
662.000 perbulan. Upah buruh tersebut sama sekali tidak menjamin
mobilitas vertikal ekonomi para buruh, karena hanya cukup untuk biaya
makan. Melihat hal ini menunjukkan bahwa memang industri rokok
seolah-olah dilindungi oleh negara dan beberapa oknum birokrasi yang
diuntungkan dari bisnis ini.
Banyak orang yang berdalih bahwa industri rokok banyak memberikan
devisa dan pemasukan bagi negara, serta banyak memberi lapangan
pekerjaan bagi masyarakat. Ada sebuah sumber yang menyebutkan cukai
dari rokok tahun 2011 mencapai 77 trilyun. Jumlah ini memang terlihat
besar, namun jika dibandingkan dengan biaya yang harus ditanggung
pemerintah untuk mengatasi akibat dari rokok di bidang kesehatan,
sosial, maupun ekonomi, ternyata jumlah ini tidak ada apa-apanya. Dan
biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh lebih besar dari pada yang
diterima. Dan kerugian nonmaterial yang lebih berakibat fatal adalah
perusakan generasi muda baik secara kesehatan maupun moral akibat
rokok.
Jika dilihat dari segala aspek, banyak dikemukakan alasan ekonomilah
yang memberatkan kebijakan rokok masih legal dan seolah-olah didukung
oleh pemerintah. Namun ternyata dari segi ekonomi pun sebenarnya
negara dan pemerintah masih harus lebih banyak mengeluarkan anggaran
untuk menutupi efek negatif akibat rokok. Mungkin hanya beberapa orang
dari oknum birokrasi yang diuntungkan dari bisnis ini, sehingga sampai
saat ini industri rokok masih subur dan semakin banyak di Indonesia. Dan
sekali lagi yang banyak mengambil keuntungan dari rokok adalah para
produsennya.
www.rempahtubruk.com

http://www.rempahtubruk.com/news/11/Kenapa-Sich-Masih-Mau-MerokokBag-2

Você também pode gostar