Você está na página 1de 14

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR TIBIA

A. Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusya kontinuitas jaringan tulang dan
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner and Suddarth,
2001).
Fraktur Tibia adalah fraktur yang terjadi pada bagian tibia sebelah kanan
maupun kiri akibat pukulan benda keras atau jatuh yang bertumpu pada kaki. (E.
Oswari, 2011).
Fraktur Tibia adalah patah atau gangguan kontinuitas pada tulang tibia.
B. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur ada empat yang utama adalah :
1. Incomplit
Fraktur yang hanya melibatkan bagian potongan menyilang tulang.
2. Complit
Garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan
fragmen tulang biasanya berubah tempat atau bergeser (bergeser dari posisi
normal).
3. Tertutup (simple)
Fraktur tidak meluas dan tidak menyebabkan robekan pada kulit.
4. Terbuka (compound)
Fragmen tulang meluas melewati otot dan adanya perlukaan di kulit yang
terbagi menjadi 3 derajad :
Derajad 1 : luka kurang dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak
ada tanda remuk, fraktur sederhana atau kominutif ringan dan
kontaminasi minimal.
Derajad 2 : laserasi lebih dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak, tidak luas,
fraktur kominutif sedang, dan kontaminasi sedang.
Derajad 3 : terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas(struktur kulit, otot,
dan neurovaskuler) serta kontaminasi derajad tinggi.

C. Etiologi

Menurut (Rasjad, 2009) penyebab paling utama fraktur tibia yang


disebabkan oleh pukulan yang membengkokkan sendi lutut dan merobek
ligamentum medialis sendi tersebut, benturan langsung pada tulang tibia misalnya
kecelakaan lalu lintas, serta kerapuhan struktur tulang. Penyebab terjadinya
fraktur yang diketahui adalah sebagai berikut :
1. Trauma langsung (direct)
Fraktur yang disebabkan oleh adanya benturan langsung pada jaringan tulang
seperti pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda
keras oleh kekuatan langsung.
2. Trauma tidak langsung (indirect)
Fraktur yang bukan disebabkan oleh benturan langsung, tapi lebih disebabkan
oleh adanya beban yang berlebihan pada jaringan tulang atau otot , contohnya
seperti pada olahragawan atau pesenam yang menggunakan hanya satu
tangannya untuk menumpu beban badannya.
3. Trauma pathologis
Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti osteomielitis,
osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome, komplikasi kortison / ACTH,
osteogenesis

imperfecta

(gangguan

congenital

yang

mempengaruhi

pembentukan osteoblast). Terjadi karena struktur tulang yang lemah dan


mudah patah.
a. Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsobsi tulang melebihi kecepatan
pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi keropos dan
rapuh dan dapat mengalami patah tulang.
b. Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus
ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c. Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak atau menipisnya bantalan sendi
dan tulang rawan
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur tibia adalah :
1. Nyeri hebat pada daerah fraktur, dan bertambah jika ditekan/diraba
2. Tak mampu menggerakan kaki

3. Terjadi deformitas (kelainan bentuk) diakibatkan karena perubahan


posisi fragmen tulang. Dapat membentuk sudut karena adanya tekanan
penyatuan dan tidak seimbangnya dorongan otot. Dapat pula memendek
ekstermitas bawah karena adanya tarikan dari otot ektermitas bawah saat
fragmen tergelincir dan tumpah tindih dengan tulang lainnya. Dan dapat
juga terjadi rotasional karena tarikan yang tidak seimbang oleh otot yang
menempel pada fragmen tulang sehingga fragmen fraktur berputar
keluar dari sumbu longitudinal normalnya.
4. Adanya krepitus (teraba adanya derik tulang) diakibatkan karena
gesekan antara fragmen satu dengan fragmen yang lainnya.
5. Terjadi ekimosis atau perdarahan subkutan diakibatkan kerusakan
pembuluh darah sehingga darah merembes dibawah kulit sekitar area
kulit.
6. Terjadi pembengkakan dan perubahan warna pada kulit diakibatkan
karena terjadi ekstravasasi darah dan cairan jaringan di sekitar area
fraktur.
E. Patofisiologi
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q.
R.
S.
T.
U.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Rongent
Menentukan luas atau lokasi minimal 2 kali proyeksi, anterior, posterior
lateral.
2. CT Scan tulang, fomogram MRI
Untuk melihat dengan jelas daerah yang mengalami kerusakan.
3. Arteriogram (bila terjadi kerusakan vasculer)
4. Hitung darah kapiler

HT mungkin meningkat (hema konsentrasi) meningkat atau menurun.


Kreatinin meningkat, trauma obat, keratin pada ginjal meningkat.
Kadar Ca kalsium, Hb

G. Penatalaksanaan
Konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu :
rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi /Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Metode reduksi terbagi atas ;
Reduksi Tertutup ; dilakukan dengan mengembalikan fragmen
tulang

ke posisinya

(ujung-ujungnya

saling

berhubungan).

Ektermitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara


gips, bidai atau alat lain. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan
menstabilkan ekstermitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X
harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah

dalam kesejajaran yang benar.


Traksi ; alat yang dapat digunakan menarik anggota tubuh yang
fraktur untuk meluruskan tulang. Beratnya traksi disesuaikan
dengan spaasme otot yang terjadi.
o Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur
dengan menepelkan plester langsung pada kulit untuk
mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme
otot pada bagian yang cidera dan biasanya digunakan
untuk jangka pendek (48-72jam).
o Skeletal traksi adalah traksi yang digunakan untuk
meluruskan tulang yang cidera dan sendi panjang untuk
mempertahankan

traksi,

memutuskan

pins

(kawat)

kedalam tulang.
o Maintenance traksi merupakan lanjutan dari traksi,
kekuatan lanjutan dapat diberikan secara langsung pada

tulang dengan kawat atau pins.


Reduksi Terbuka : dilakukan dengan pembedahan fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan

fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang


solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung
ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan
fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
OREF (Open Reduction Eksternal Fixation) adalah reduksi
terbuka

dengan

fiksasi

internal

dimana

tulang

di

transfiksasikan di atas dan di bawahnya fraktur, sekrup atau


kawat ditransfiksi dibagian proksimal dan distal kemudian
dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain.
Fiksasi eksternal ini digunakan utnuk mengobati fraktur
terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini
memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur komunitif
(hancur atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar
tetap

terjaga

posisinya,

kemudian

dikaitkan

pada

kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi


pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah metode
penatalaksanaan patah tulang dengan cara pembedahan
reduksi terbuka dan fiksasi internal dimana dilakukan insisi
pada tempat yang mengalami cedera dan ditemukan
sepanjang bidang anatomic temapt yang mengalami fraktur.
3. Retensi/Immobilisasi
Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
untuk

menghindari

memungkinkan,harus

atropi
segera

atau

kontraktur.

dimulai

Bila

latihan-latihan

mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.

keadaan
untuk

H. Proses Penyembuhan Tulang


1. Tahap Hematoma atau Inflamasi (1-3 hari)
Hematoma terbentuk dari darah yang berasal dari pembuluh darah yang robek.
Hematoma dibungkus oleh jaringa lunak sekitar (periosteum dan otot). Hal ini
terjadi sekitar 1-2 x 24 jam.
2. Tahap Proliferasi (3 hari 2 minggu)
Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum di sekitar frakur. Sel-sel
ini menjadi precursor osteoblast, dan akan tumbuh kearah fragmen tulang.
Proliferasi juga terjadi di jaringan sumsum tulang.
3. Tahap Kallus (2-6 minggu)
Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus) dan memberikan rigiditasi pada
fraktur. Jika terlihat massa kallus pada X-ray berarti fraktur telah menyatu.
4. Tahap Ossifikasi/Jaringan lunak mengeras (3 minggu-6 bulan)
Kallus mengeras dan menutup lubang frakturb(fraktur gap) antara periosteum
dan korteks menggambungkan fragmen. Dan secara bertahap tulang menjadi
mature. Union tulang yang dapat dipastikan melalui X-ray dikatakan telah
terjadi ketika tidak ada gerakan dengan stress (tekanan) ringan dan tidak ada
tenderness dengan pressure (penekanan) langsung pada area langsung.
5. Tahap Konsolidasi dan Remodelling (6 bulan 1 tahun)
Kallus yang tidak diperlukan dibuang/reabsorbsi dari tulang yang sembuh.
Proses reabsorbsi dan penyimpanan tulang sepanjang garis yang fraktur
memberikan kekuatan tulang dalam menahan semua beban.
I. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada fraktur tibia adalah :
1. Komplikasi awal ;
Compartemant Syndrome : Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan gangguan vaskularisasi ektermitas bawah yang dapat
mengancam kelangsungan hidup ektermitas bawah. Mekasnisme terjadi
fraktur tibia terjadi perdarahan intra compartment, hal ini akan
menyebabkan tekanan intrakompartemen meninggi, menyebabkan aliran
balik balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebabkan oedema.
Dengan adanya oedema tekanan intrakompartemen makin meninggi sampai
akhirnya

sedemikian

tinggi

sehingga

menyumbat

arteri

di

intrakompartemen. Gejalanya rasa sakit pada ektermitas bawah dan


ditemukan paraesthesia, rasa sakit akan bertambah bila jari digerakan secara

pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat terjadi paralyse pada otototot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum longus dan tibial anterior.
2. Komplikasi dalam waktu lama :
Malunion : Dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas).
Delayed Union : adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed
union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
Non Union : merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Non union di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
J. Konsep Asuhan Keperawatan
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur ada berbagai
macam meliputi:
a. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris,
pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah
tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut
berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi akan
menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma
rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah
kecelakaan lalu lintas darat.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung.

Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami
osteomielitis akut dan kronik serta

penyakit diabetes menghambat

penyembuhan tulang.
c Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering
terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan
secara genetik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena (mungkin
segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan
jaringan, nyeri)
2) Sirkulasi
a. Hipertensi ( kadang kadang terlihat sebagai respon nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b. Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
c. Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera,pengisian
kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
d. Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
3) Neurosensori
a. Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
b. Kebas/ kesemutan (parestesia)
c. Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi
(bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
d. Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
4) Nyeri / kenyamanan
a. Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat
kerusakan syaraf .
b. Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5) Keamanan
a. Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
b. Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tiba- tiba).

6) Pola hubungan dan peran


Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat karena
klien harus menjalani rawat inap.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan dan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa ketidak
mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal dan pandangan
terhadap dirinya yang salah.
8) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami gangguan. Selain
itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
9) Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel nyeri dan keterbatasan
gerak yang di alami klien
K. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1) Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan : Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria : Klien akan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi
dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan
penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai
indikasi untuk situasi individual.
Intervensi :
a) Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips,
bebat dan atau traksi
R/ : Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
b) Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
R/ : Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
c) Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
R/ : Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi
vaskuler.
d) Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan
posisi)
R/ : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal
dan kelelahan otot.

e) Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual,
aktivitas dipersional)
R/ : Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol
terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
f) Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.
R/ :Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.
g) Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
R/ :Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri
baik secara sentral maupun perifer.
2) Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah
(cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
Tujuan
: Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik
Kriteria
: Akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara
aktif.
Intervensi :
a) Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan
jari/sendi distal cedera.
R/ : Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
b) Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu
ketat.
R/ : Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian
keketatan bebat/spalk
c) Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada
kontraindikasi adanya sindroma kompartemen
R/ : Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada
adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan
perfusi.
d) Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
R/ : Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan
trombus vena.
e) Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan
kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
R/ : Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi
sesuai keadaan klien.
3) Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi
Kriteria : Tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas
normal
Intervensi :

a) Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif.


R/ : Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.
b) Lakukan dan ajarkan perubahan posisi yang aman sesuai keadaan klien.
R/ : Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti
paru.
c) Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan
kortikosteroid sesuai indikasi.
R/ : Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli.
Kortikosteroid

telah

menunjukkan

keberhasilan

untuk

mencegah/mengatasi emboli lemak.


d) Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit
R/ : Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan
pertukaran gas; anemia, hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar
lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan
dengan emboli lemak.
e) Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya
stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan
sianosis sentral
R/ : Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda
dini insufisiensi pernapasan, mungkin menunjukkan terjadinya emboli
paru tahap awal.
4) Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat
paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional
meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi
bagian tubuh.
Kriteria : Klien dapat menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan
aktivitas
Intervensi :
a) Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran,
kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien
R/ : Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga
diri, membantu menurunkan isolasi sosial.
b) Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai keadaan klien.

R/ : Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan


tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.
c) Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai
indikasi.
R/ : Mempertahankan posis fungsional ekstremitas.
d) Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan
klien.
R/ : Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi
keterbatasan klien.
e) Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.
R/ : Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)
f) Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.
R/ : Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius
dan konstipasi.
g) Berikan diet TKTP.
R/ : Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses
penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.
h) Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.
Pemberian tambahan oksigen, Hindari penggunaan barbiturate/opiate.
R/ : Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program
aktivitas fisik secara individual.
5) Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup).
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang,
Kriteri : Klien menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
kulit/memudahkan

penyembuhan

sesuai

indikasi,

mencapai

penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi


Intervensi :
a) Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat
tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit).
R/ : Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
b) Masase kulit terutama daerah penonjolan tulang dan area distal
bebat/gips.
R/ : Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit
dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi
c) Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
R/ : Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat
kontaminasi fekal

d) Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi


pen/traksi.
R/ : Menilai perkembangan masalah klien.
e) Jaga keadaan kulit agar tetap kering dan bersih.
R/ : Kulit yang basah terus menerus memicu terjadi iritasi yang
mengarah terjadinya dikubitus.
f) Anjurkan pada klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan kering
yang menyerap keringat dan bebas keriput.
R/ : Mencegah iritasi kulit dan meningkatkan evaporasi.
g) Kolaborasi dalam pemberian foam dan tempat tidur angin.
R/ : Mencegah penekanan yang terlalu lama pada jaringan yang dapat
membatasi perfusi seluler, sehingga dapat mengurangi iskemik jaringan.
6) Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
Kriteria : Bebas drainase purulen atau eritema dan demam
Intervensi :
a) Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol
R/ : Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.
b) Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.
R/ : Meminimalkan kontaminasi.
c) Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
R/ : Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara
profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk
mencegah infeksi tetanus.
d) Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED,
Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
R/ : Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan
peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk
mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.
e) Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.
R/ : Mengevaluasi perkembangan masalah klien.
7) Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada.
Tujuan : Klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat.
Kriteria : Klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya
Intervensi :
a) Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.
R/ : Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.
b) Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.

R/ : Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan


dan pelaksanaan program terapi fisik
c) Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri
berat, demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)
R/ : Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini
yang memerulukan intervensi lebih lanjut.
d) Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.
R/ : Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha
sesuai kondisi klien.

DAFTAR PUSTAKA
E. Oswari, 2011, Bedah dan Perawatannya, cetakan VI, Jakarta.
Keliat Anna Budi, SKp, MSC,2010, Proses Keperawatan, penerbit EGC, Jakarta.
Mariylnn E. Doenges, at all 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, edisi III, penerbit EGC,
Jakarta.
Priharjo Rasional, 2009, Perawatan Nyeri Untuk Paramedis, edisi revisi penerbit EGC,
Jakarta.
Rasjad Chaeruddin, Ph. D. Prof, 2009, Ilmu Bedah Orthopedi, cetakan IV, penerbit Bintang
Lamumpatue, Makassar

Você também pode gostar