Você está na página 1de 3

Ada 13 SOP dalam Pelayanan Rumah Sakit

June 17, 2009 Filed under Others

Selasa, 16 Juni 2009 15:06


Standard Operating Prosedur (SOP) pada dasarnya adalah pedoman yang berisi
prosedur-prosedur operasional standar yang ada dalam suatu organisasi yang
digunakan untuk memastikan bahwa semua keputusan dan tindakan , serta
penggunaan fasilitas-fasilitas proses yang dilakukan oleh orang-orang dalam
organisasi berjalan secara efisien dan efektif, konsisten, standar dan sistematis
Berikut wawancara SH dengan Komisaris Rumah Sakit Krakatau Medika, Serang,
Banten, DR Dr H Tb Rachmat Sentika Sp.A, MARS.
Berkaca dari kasus Prita Mulyasari versus Rumah Sakit Omni Internasional Alam
Sutera, Tangerang, sebenarnya Standar Operasional Prosedur (SOP) sebuah
rumah sakit dalam menangani pasien itu seperti apa?
Sebuah rumah sakit wajib menyusun standard operating procedure. Setidaknya
ada 13 jenis standar yang diperlukan. Di antaranya adalah untuk pelayanan
medis, penunjang medis, keperawatan, sumber daya manusia, keuangan dan
adminitrasi, pelayanan umum, pemasaran, manajemen infus, QUMR, kebersihan
dan keselamatan kerja, perinasia/kamar bayi, dan penyebaran bahan-bahan
berbahaya dari rumah sakit. Jadi rumah sakit yang tidak punya standar seperti
ini tidak bisa keluar surat izin sementaranya.

Penjelasannya seperti apa?


Ada pula untuk pelayanan medis bagaimana penerimaan pasien di UGD,
penerimaan pasien di poliklinik dan unit rawat jalan, bagaimana menangani
pasien di rawat inap. Untuk penunjang medis ada farmasi, laboratorium,
radiologi, instalasi medik. Sementara untuk laboratorium medis ada beberapa
tindakan, cara memilih kreagen, kesesuaian hasil, ketidaksesuaian hasil
bagaimana cara penanganannya.

Apakah pihak rumah sakit sudah memberi tahu pasien tentang hak-haknya?
Ada Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dalam Pasal
47 dikatakan bahwa setiap pasien berhak untuk menerima informasi mengenai
penyakitnya, hasil pemeriksaan dirinya, dan rencana pengobatannya. Setiap
kejadian ditulis di medical record. Medical record kepunyaan rumah sakit, tapi
isinya kepunyaan pasien. Dan pihak yang berhak mengetahui hanya dokter dan
pasien itu sendiri, bahkan pihak manajemen rumah sakit tidak boleh
mengetahuinya. Selanjutnya, hak-hak pasien lainnya ialah berhak mendapat

informasi dari ahli/dokter lainnya. Setiap pasien berhak mengemukakan


pendapatnya, tetapi dokter tidak boleh.

Tetapi pasien sering tidak tahu hak-haknya?


Rumah sakit yang memiliki penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit
(PKMRS) wajib memberitahukan mengenai hak-hak pasien. Di setiap rumah sakit
pasti ada tulisan mengenai hak-hak pasien. Untuk itu, diperlukan SOP di setiap
rumah sakit, yang setidaknya ada 13 standar itu.

Bagaimana dengan rumah sakit yang tidak memberi tahu hak-hak pasien?
Sekarang yang diperlukan ialah kepercayan pasien dan dokter, begitu pula
sebaliknya. Ketika dia menyerahkan jiwa raganya kepada dokter, memang
terkadang ada dominasi dari pihak rumah sakit yang kadang membuat pasien
menderita. Untuk menghilangkan hal seperti itu, kami di rumah sakit dilatih
bagaimana supaya bukan pasien yang membutuhkan kami, tetapi kami yang
membutuhkan mereka. Kalau falsafah ini diterapkan, maka tidak akan ada
masalah di kemudian hari.

Apakah setiap rumah sakit harus memiliki falsafah seperti itu?


Rumah sakit yang memberikan pelayan prima bukanlah mengatur. Seperti yang
tertulis di UU Praktik Kedokteran, setiap dokter harus menjunjung tinggi sifat
humanitas. Jika tidak memiliki sifat seperti itu, jangan menjadi dokter. Dan
rumah sakit harus menganggap setiap pasien yang datang untuk berobat adalah
mitra rumah sakit, karena secara tidak langsung pasien akan mengeluarkan
uang untuk sembuh, kenapa kami tolak?

Dalam kasus Prita Mulyasari, bagaimana dengan soal rekaman medis itu?
Prita meminta rekaman medisnya dari dokter di gawat darurat (emergency),
padahal dia harusnya meminta rekaman medis pada dokter penyakit dalam yang
memeriksanya. Prita memang tidak diberikan hasil rekaman medis yang pertama
karena hasilnya belum valid.
Hasil pemeriksaan trombosit belum bisa dijadikan alat diagnostik yang
menunjukkan seseorang menderita demam berdarah dengue (DBD).
Berdasarkan WHO, ada enam substansi yang bisa dijadikan alat diagnostik
seseorang terserang DBD, di antaranya adalah panas tubuh 39 derajat Celcius
selama tiga hari berturut-turut, ada rasa nyeri di ulu hati, disertai dengan bintikbintik merah dan pendarahan, pembesaran hati dan limpa, ada pengentalan
hemotoklit serta trombosit.

Namun orang selalu mengartikan kalau trobositnya kurang dari normal, langsung
mencap dia terserang DBD. Itu tidak bisa serta merta dijadikan alat diagnostik.
Dalam kasus Prita ini, terjadi kesalahan komunikasi antara dokter dengan
pasiennya.

Você também pode gostar