Você está na página 1de 6

Antara Al Ghazali VS Ibnu Rusyd (Problem Ketuhanan dan Alam Semesta) 12 Juni 2011

07:20:57 Diperbarui: 26 Juni 2015 04:35:49 Dibaca : 7,445 Komentar : 4 Nilai : 1 Diantara
banyaknya perdebatan filsafat yang rumit dan radikal, terdapat hal yang sangat menarik dan
menjadi perhatian banyak kalangan akademisi juga para pecinta filsafat. Hal tersebut adalah
perang argument antara Al Ghazali versus Ibnu Rusyd. Perang argument filosofis antara Al
Ghazali versus Ibnu Rusyd yang paling menonjol adalah mengenai problem ketuhanan dan alam
semesta. Keduannya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menginterpretasi teks Al
Quran secara filosofis. Menariknya, keduanya sama-sama dari kalangan muslim, akan tetapi
argument-argument diantara keduanya mengundang kontrovesi yang sangat mendasar, baik bagi
kalangan umat muslim sendiri maupun bagi kalangan non-muslim (baca : dunia barat).
Perdebatan mengenai persoalan ketuhanan dan alam semesta dalam filsafat Islam, dapat
ditemukan dalam aliran pemikiran Tasawuf dan Falasifa (filsafat dalam Islam). Berdebatan ini
adalah antara Al Ghazali dengan kritiknya Tahafutul Falasifa (Incoherence of the Philosophers)
dengan Ibnu Rusyd dalam karyanya Tahafutul Tahafut (Incoherence of the Incoherence).
Perdebatan ini dimulai ketika Al Ghozali mulai mengkritisi para filsuf-filsuf muslim sebelumnya,
yaitu Al Farabi dan Ibnu Sina yang pemikirannya berbau Aristotelian. Secara intensif Al Ghozali
mengkritisi tentang problem ketuhanan dan alam semesta yang telah dipikikan secara metafisis
spekulatif oleh para filsuf. Menurut Al Ghazali, hal ini tidak sesuai dengan ajaran Al Quran dan
Al Hadits yang merupakan sumber kebenaran mutlak kaum muslimin. Kemudian, timbullah
respond dan sanggahan dari Ibnu Rusyd terhadap pemikiran Al Ghazali. Perdebatan antara
keduanya akan saya coba jabarkan dalam makalah ini. PERSOALAN KETUHANAN DAN
ALAM SEMESTA PERDEBATAN ANTARA AL GHAZALI VERSUS IBNU RUSYD A. Abu
Hamid Al Ghazali Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad Al Thusi Al Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus, sebuah daerah
dekat Masyhad, di Khurasan (Iran). Al Ghazali wafat pada tahun 505 H/1111 M. Nama Al
Ghazali diambil dari kata Ghazalah nama sebuah kampung, dimana Al Ghazali dilahirkan. Kota
Thus adalah tempat Al Ghazali menerima pendidikan awalnya. Tidak lama sebelum meninggal,
ayahnya mempercayakan pendidikan Al Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (1126 M) kepada
seorang sufi yang saleh. Al Ghazali dididik untuk dapat mempelajari Al Quran dan Al Hadis,
mendengarkan kisah tentang ahli hikmah, juga menghafal puisi cinta mistis. Setelah dana
pendidikannya habis, ia dikirim ke sebuah madrasah, dimana disanalah ia pertama kali mulai
mempelajari fikih dari Ahmad Al Raskani. Al Ghazali pergi ke Jurjan di Mazardaran untuk
melanjutkan studinya dibidang fikih di bawah bimbingan Abu Nashr Al Ismaili pada usianya
yang masih dini, yakni sebelum lima belas tahun. Pada usia tujuh belas tahun, ia kembali ke
Thus. Sebelum ulang tahunnya ke dua puluh, Al Ghazali berangkat ke Naisyapur (Naizabur)
untuk belajar fikih dan kalam di bawah didikan Al Juwaini. Al Ghazali diangkat sebagai asisten
pengajar Al Juwaini dan terus mengajar pada madrasah Nizamiyah di Nizabur hingga Al Juwaini
meninggal tahun 478 H/1085 M. Al Ghazali mempunyai nama yang harum dalam Islam. Ia
adalah seorang yang termahsur sebagai pengarang, sebagai sufi dan sebagai Shaykh Madrasah Al
Nizamiah. Al Ghazali menyusun banyak buku untuk membersihkan ilmu-ilmu agama Islam dari
kesesatan. Karena jasanya itu, ia dinobatkan sebagai seorang muslim terbesar sesudah Nabi
Muhammad SAW. Dibalik nama harumnya dikalangan umat muslim, terdapat fakta lain, bahwa
Al Ghazali juga di klaim sebagai penentang dan penghancur pemikiran filsafat, baik filsafat
dalam Islam sendiri, maupun filsafat di dunia barat. Al Ghazali adalah orang yang berkebangsaan
Persia. Ia sempat mengalami krisis keimanan dan kemudian mampu menempuh hidup sufi
selama 10 tahun. Krisis keimanan yang dialaminya dipaparkannya sendiri melalui sebuah

otobiografi yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dimana dalam buku itu ia mengkritik
4 aliran dalam alam pikiran Islam pada masa itu, yaitu aliran ismailli atau batiniah, madzhab
para mutakalimun, tarikat tassawuf dan terutama falsafah hellenisme. Pertama, Al Ghazali
menulis buku berjudul Al Maqasid Al filasifah, kemudian ia melengkapinya dengan menulis
buku keduanya yang berjudul Tahafutul Falasifa (ketidakberesan, kekaburan dari filsafat, yang
lazimnya diterjemahkan dengan penghancuran filsafat). Kitab Tahafut terdiri dari 20 diskusi
yang merupakan sistematisasi dari ajaran falsafah yang berbentuk semacam dialog tertulis diikuti
bantahan-bantahan. Dari 20 dalil filsafat yang ditegurnya, hanya 4 yang disebutnya secara
langsung sebagai kufurat dan subversif terhadap iman Iislam yang sejati yaitu dalil 1, 13, 18, 20.
Isinya adalah sebagai berikut : 1. Dalil falsafah yang menyatakan bahwa dunia (alam) berfisat
azali dan sama abadinya dengan Tuhan, juga termasuk hasil emanasi, semuanya wajib
mengandung kufurat. 2. Dalil falsafah bahwa Tuhan tidak tahu hal-hal yang bersifat khusus
(partikular), tetapi hanya mengetahui dunia (alam) dari aspek umum (universal), bertentangan
dengan ajaran Al Quran : Tiada yang luput bagi pengetahuan Ilahi dan merupakan suatu
kufurat. 3. Dalil bahwa tidak semua jiwa manusia sesudah maut (kematiannya) masuk taraf
hidup baru (Farabi, Razi) menyimpang dari konsep keimanan Islam, dengan kata lain masih
dalam tataran kufurat. Bila mereka membuktikan dengan akal bahwa jiwa tidak bisa hancur,
bukti mereka batal, karena hal tersebut hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu Tuhan. 4.
Penolakan kenikmatan badaniyah kelak dalam akhirat, dan penggantiannya dengan kebahagiaan
rohani semata-mata, adalah argument yang melwan wahyu Al Quran. Yang dimaksud dengan
penolakan tersebut juga merupakan dosa kufur. Al Ghazali kembali mengkoreksi kepada faham
yang lebih umum. Selanjutnya dia mengkritik sejumlah dalil-dalil lain bukan sebagai suatu
kekufuran, melainkan sebagai suatu bidah dan tidak logis. Dalam diskusi enam, Al Ghozali
melawan ajaran tatil dari mutazilah dan falsafah yang meniadakan adanya sifat-sifat nyata pada
Tuhan. Al Ghozali juga menulis dalam beberapa argumen lain dengan memperbincangkan bukti
tentang keberadaan Tuhan, keesaan Tuhan, pengetahuan Tuhan, penciptaan dan persoalan
mengenai jiwa manusia. Al Ghazali mengkritik filsafat yang semata-mata mempergunakan akal
dalam memahami persoalan ketuhanan. Menurutnya, hal tersebut seperti mempergunakan suatu
alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Salah satu kritiknya berisi: Apa yang mereka sebutkan
itu adalah buatan mereka sendiri, bahkan pada hakikatnya merupakan kegelapan diatas
kegelapan. Pernyataan mereka itu sama seperti ucapan orang yang sedang tidur dan bermimpi
lalu mengeluarkan kata-kata yang dapat dikirakan berasal daripada orang-orang yang berubah
akalnya. Al Ghazali mengkhawatirkan pemikiran Al Farabi dan Ibnu Sina merusak keimanan
umat Islam yang umumnya kurang kritis, terutama tentang permasalahan yang terkait dengan
problem ketuhanan dan alam semesta. Al Ghazali juga menentang pernyataan yang lahir dari
filsafat Aristotelian bahwa alam adalah kekal. Menurutnya, alam berasal dari ketiadaan menjadi
ada karena ciptaan Tuhan. Dunia berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata dan tidak
bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu,
namun ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia/alam) dapat ditangkap oleh akal manusia, karena
dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transenden, namun kemauan (iradat)
Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian. B. Abu Yala Al Walid
Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd Dikalangan filsafat barat, Ibnu Rusyd lebih
dikenal dengan sebutan Averroes. Nama lengkapnya adalah Abu Yala Al Walid Muhammad ibn
Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd (1126-1198). Ia lahir di Cordova, Andalusia. Kakeknya
adalah seorang ahli fiqih dan ilmu hukum terkenal yang menjabat sebagai imam besar di Masjid
Jami Cordova, kemudian diangkat menjadi qadi atau hakim agung. Setelah sepeninggalan

akakeknya, jabatan hakim agung ini diteruskan oleh puteranya, ayah dari Ibnu Rusyd. Ibnu
Rusyd terlahir dari keluarga ahli fiqih dan hakim. Tidak mengherankan jika salah satu karyanya,
Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtasid, menjadi salah satu karya terkemuka dalam
bidang. Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya
diuraikan pendapat Ibnu Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat para imam fiqih.
Selain pandai dalam hal hukum dan ilmu fiqih, ia juga merupakan seorang dokter dan astronom.
Tetapi, provesii ini kurang terkenal dibandingkan dengan reputasinya sebagai filsuf. Ia dianggap
sebagai salah satu dokter terbesar di zamannya. Menurut Sarton, ia adalah orang pertama yang
menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama
akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan. Sebagai seorang pemikir
besar muslim, ia mempunyai gagasan-gagasan filosofis mengenai problem ketuhanan dan alam
semesta. Pemikirang Ibnu Rusyd ini, nantinya akan memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan filsafat, terutama di dunia barat, yang kemudian direinterpretasi oleh filsuf barat
hingga melahirkan renaisans dan zaman modern. Berikut akan saya coba uraikan pemikiran Ibnu
Rusyd mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. 1. Pengetahuan Tuhan Pertanyaan
Pertama : Apakah Tuhan mengetahui segala perincian juziyat? Dalam usaha menjawab
pertanyaan ini Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang telah disetujuinya.
Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui persoalah juziyat (hal-hal partikular).
Tuhan ibarat seorang kepala negara yang tidak mengetahui persoalan-persoalan kecil
didaerahnya. Pendapat Aristoteles itu disetujuinya dengan didasarkan atas argumen sebagai
berikut : Yang menggerakkan itu yakni Tuhan Al Muharrik. Tuhan itu merupakan akal yang
murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Karena itu pengetahuan dari akal yang
tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara
yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin Tuhan itu mengetahui
selain daripada zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau
Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil-kecil (juzilat/partikular), maka itu berarti bahwa
pengetahuan Tuhan itu disebabkan hal hal yang kurang sempurna daripadaNya. Ini adalah tidak
wajar. Maka sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain dari zat-Nya sendiri.
Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai kehidupan yang abadi, sempurna dari segala jurusan
dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri. Maksud pemikiran Ibnu Rusyd adalah,
Tuhan itu hruslah berupa suatu akal yang tertinggi. Penciptaan haruslah berawal dari akal
pertama, yang memerintahkan akal kedua untuk mencipta, dan seterusnya hingga akal kesepuluh.
Yang dimaksud Tuhan hanya mengetahui secara universal dan tidak mengetahui masalah juziyat
atau hal-hal partikular adalah, bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Tahu. Artinya, haruslah Ia
sudah mengetahui segala perincian dari awal, ketika Ia menciptakan alam. Jadi kalau Tuhan
mengetahui hal-hal partikular, maka Ia tidak layak disebut Tuhan, karena pengetahuan partikular
adalah pengetahuan yang didapat dari proses tidak tahu menjadi tahu. Kalau Tuhan itu
mengetahui secara partikular, berarti sebelumnya Tuhan tidak mengetahui hal partikular
tersebut, kemudian setelah hal-hal partikular terjadi, barulah Tuhan tahu. Jika akal Tuhan
bergerak dari tidak tahu menjadi tahu, maka Ia tidak layak disebut Tuhan. Menurut Ibnu Rusyd,
Tuhan haruslah sudah mengetahui segala bentuk perincian (yang partikular) dari awal
penciptaannya secara universal. Ibnu Rusyd menyetujui argumen Aristoteles dan Ibnu Sina,
tetapi Al Ghazali membantah keras argumen tersebut. Ibn Rusyd menentang Al Ghazali dan tetap
membela argumen Aristoteles dan Ibn Sina. Dalam pembelaannya, Ibnu Rusyd mengatakan
bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat yang memungkiri pengetahuan terhadap juziyat

itu disebabkan karena mereka tidak dapat memahami maksud dari para ahli filsafat. Maksud para
ahli filsafat tersebut adalah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana
pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa. Sebagai penganut Aristoteles, ia mencari jalan
dengan begitu saja meninggalkan pendapat Aristoteles disamping ia juga tetap tidak mau
meninggalkan prinsip-prinsip agama. 2. Keazalian Alam Perdebatan mengenai keazalian alam
juga sangat menarik. Ibnu Rusyd berusaha mengemukakan argumennya yang menyikapi
pertanyaan tentang ; Apakah alam ini mempunyai permulaan atau tidak? Menurud Ibnu Rusyd
alam ini adalah azali, tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua
hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam itu sendiri. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd, keazalian Tuhan
itu berbeda dengan keazalian alam. Menurutnya, keazalian Tuhan lebih utama daripada keazalian
alam. Untuk memperkuat argumennya, ia menyatakan pembelaannya sebagai berikut :
Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya, maka alam ini menjadi hadits (baru), mesti
ada yang menjadikannya, dan yang menjadikan alam, haruslah ada yang menjadikan pula.
Demikian berturut-turut tak ada habisnya. Keadaan berantai seperti itu (tasalsul) dengan tiada
berkeputusan akan merupakan hal yang tidak dapat diterima akal pikiran. Jadi mustahil kalau
alam itu hadis (baru). Karena diantara Tuhan dengan alam ada hubungan, meskipun tidak sampai
pada masalah perincian walhal Tuhan azali, dan Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan
sama, terkecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali, meskipun keazaliannya
kurang utama daripada keazalian Tuhan. C. Incoherence of the Philosophers dan Incoherence of
The Incoherence Buku Incoherence of the Philosophers berisi sangahan Al Ghazali terhadap teori
keabadian alam yang dikemukakan oleh filsuf sebelumnya. Al Ghazali menyanggah 4 poin
terhadap filsuf-filsuf. Poin pertama: Mengenai pernyataan bahwa dunia ini ada begitu saja.
Melalui pemahaman Aristotelian, setiap perubahan yang terjadi harus ditentukan oleh suatu
sebab yang berada di luar dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga
berlaku untuk keadaan pikiran. Maka, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, maka
beberapa sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunnya kearah
terwujudnya keputusan itu. Konsekuensinya, dunia harus kekal karena jika dunia tercipta dari
ketiadaan (ex nihilo), muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan adanya ketiadaan praadanya dunia dan mengapa Tuhan harus menunggu untuk membuat alam semesta. Menurut
petunjuk Al Quran, Tuhan menciptakan segala sesuatu hanya dengan berkata Jadilah, maka
jadilah ia (QS Ali Imran ayat 42). Jika Ia menginginkan adanya sesuatu, mengapa ia harus
menunggu padahal Ia memiliki ke-mahakuasaan untuk memenuhi apapun yang ia mau. Menurut
Al Farabi: Jika yang menunda tindak pelaksanaan suatu perbuatan adalah suatu halangan bagi
Tuhan, maka hal tersebut mengurangi ke-mahakuasaan Tuhan. Hal itu jelas tidak mungkin.
Dengan begitu, Tuhan tidak menunggu untuk membuat alam semesta, yang berarti alam semesta
bersifat kekal. Para filsuf yang disanggah oleh Al Ghazali menganut emanasi Plotinos dimana
model penciptaan melalui emanasi. Dunia ini terus-menerus terpancar dari Yang Satu. Maka hal
itu akan berarti bahwa keberadaan sesuatu adalah tidak lebih lambat atau lebih akhir waktunya
dari keberadaan Sang Pelaku (Sang Satu). Sanggahan Al Ghazali: Menurut Al Ghazali, teori
semacam ini tidak koheren. Al Ghazali mengikuti teori kausalitas dimana Tuhan sudah
merancang sebab-akibat dari segala sesuatu dan ciptaannya. Tuhan menggunakan tata aturannya
sendiri dan mempunyai tujuan dari segala rancangannya karena kemauannya (iradat) mutlak.
Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan (dalam hal
ini dunia) dapat ditangkap oleh akal manusia karena dunia terbatas dalam ruang dan waktu.
Tuhan bersifat transeden, namun kemauan (iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab
hakiki dari segala kejadian. Poin Kedua: Hakikat waktu adalah kekal. Berangkat dari premis-

premis Aristoteles, waktu mengandaikan atau sebagai ukuran keberadaan gerakan atau adanya
pergerakan. Dalam pengertiannya, sekarang merupakan perkelanjutan dari masa lalu yang
masih terus bergerak. Sekarang merupakan akhir dari masa lalu namun merupakan awal dari
masa depan. Maka, tidak mungkin ada sekarang yang pertama tanpa adanya waktu sebelum
sekarang itu. Juga tidak ada sekarang yang terakhir dengan tidak ada waktu setelah
sekarang itu. Dengan demikian, tidak ada awal maupun akhir dari waktu. Karena waktu itu
kekal dan waktu merupakan pengandaian dan ukuran adanya pergerakan. Sedangkan dunia terus
bergerak, maka kesimpulannya adalah dunia itu kekal. Sanggahan Al Ghazali: Waktu juga
diciptakan dan sebelum itu tidak ada waktu sama sekali. Tuhan ada lebih dulu sebelum adanya
dunia dan waktu dan tanpa keberadaan dunia dan waktu. Kemudian, Ia ada dan bersamanya ada
dunia dan ada waktu tapi Tuhan terlepas dari dunia dan waktu itu sendiri. Poin Ketiga: Tentang
Potensialitas. Alam semesta tidak diciptakan. Pada saat sebelum adanya alam semesta, yang ada
hanyalah kemungkinan bahwa alam semesta itu ada. Dan harus selalu dalam keadaan mungkin
karena sekarang alam semesta itu nyata. Dengan demikian, dunia ini kekal dan bukannya
terbatas. Sanggahan Al Ghazali: Argumen ini adalah argumen yang ganjil. Segala sesuatu yang
tidak rusak bersifat abadi karena yang jelas hal-hal seperti itu tidak akan pernah keluar atau
masuk ke dalam wilayah keberadaan. Sesuatu yang ada itu pasti rusak. Dunia itu mungkin dan
dia ada pada satu waktu. Jika dia ada pada satu waktu, dia harus ada pada setiap waktu sehingga
dia tidak akan punah atau rusak. Ada dugaan tersembunyi (suatu prinsip tersembunyi) yang
dalam argumen seperti itu dapat diterima Poin Keempat: Prinsip kelimpahan. Alam semesta
sebagai totalitas yang tidak akan punah karena bagian-bagiannya terus berganti. Materi
membutuhkan materi lain untuk menjadi ada. Perubahan hanya bisa mungkin jika materi
membutuhkan bentuk-bentuk yang berbeda dan dengan demikian sesuatu yang baru pun timbul.
Sanggahan Al Ghazali: Jika kemungkinan mengandaikan keberadaan suatu materi, maka akan
menjadi mustahillah untuk dapat memahami sifat-sifat tertentu, katakanlah sebagai contoh,
warna sebagai suatu hal yang munkin ketika mereka tidak dikaitkan dengan benda. PENUTUP
Perang wacana antara Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd mencerminkan munculnya pemikiran
filosofis yang cukup serius dan berpengaruh luar biasa terhadap pemahaman manusia mengenai
pandangannya terhadap konsep ketuhanan dan alam semesta, yang sebenarnya jika dikaji lebih
kritis, juga merupakan pukulan telak bagi seluruh umat Islam. Umat Islam dituntut memahami
dan meningkatkan kemurnian keimanan, dalam usaha memecahkan banyaknya misteri
kehidupan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam teks Al Quran ataupun Al Hadits.
Keduanya, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah para pemikir cerdas yang bersikap kritis dalam
mencari hakikat hidup dan pengertian-pengertian yang mungkin dapat dipahami oleh akal budi
manusia. Hanya saja memang, diantara keduanya terdapat kontroversi pemahaman. Perbedaan
itu adalah berupa cara mereka memahami hal-hal metafisik untuk mencapai pengertianpengertian yang bersifat adikodrati. Maksud Al Ghazali mengkritik pemikiran filsuf-filsuf
sebelumnya adalah demi mempertahankan kemurnian agama Islam. Ia mencoba menunjukkan
pada interpretasi teks dengan pertimbangan yang lebih gamblang. Artinya, segala informasi yang
terkandung dalam teks Al Quran itu sudah sempurna, sudah bisa dipahami sebagai petunjuk
hidup, dengan syarat mutlak harus memiliki keimanan yang paripurna. Berbeda dengan Al
ghazali, Ibnu Rusyd bermaksud mengadakan kompromi antara filsafat dan agama yang sepintas
terlihat saling berlawanan satu sama lain. Ibnu Rusyd berusaha menjelaskan teori metafisika
spekulatif para filsuf sebelumnya, juga menambahkan argument pribadinya, dalam
menginterpretasi firman Tuhan. Ia mencoba menjelaskan kemungkinan-kemungkinan tentang
sifat-sifat Tuhan dan alam ciptaanya menggunakan akal. Biarpun diantara keduanya terdapat

pertentangan dalam hal yang paling mendasar mengenai problem ketuhanan dan alam semesta,
namun keduanya sama-sama memberikan kontribusi dan pelajaran berharga yang mampu
diambil hikmahnya oleh manusia, baik sebagai muslim maupun bukan. Sintesa dari perdebatan
mereka mengajarkan pada pentingnya menggunakan akal yang disertai keimanan yang kuat,
dalam memahami masalah-masalah rumit yang metafisis spekulatif sepertihalnya problem
ketuhanan dan alam semesta.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/taurahida/antara-al-ghazali-vs-ibnu-rusyd-problemketuhanan-dan-alam-semesta_5500e072a33311ac0a510ef3

Você também pode gostar