Você está na página 1de 31

PERLINDUNGAN HAK-HAK BURUH SEBAGAI UPAYA

MENCAPAI GOOD CORPORATE GOVERNANCE


DI INDONESIA DAN SINGAPURA

I. PENDAHULUAN
Corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang
menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan
yang menentukan arah kinerja perusahaan. Isu mengenai corporate
governance ini mulai mengemuka, khususnya di Indonesia pada tahun
1998, yaitu ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi berkepanjangan.
Terdapat dugaan bahwa berlarut-larutnya proses perbaikan atas krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia ini disebabkan oleh sangat lemahnya
corporate governance yang diterapkan perusahaan-perusahaan di
Indonesia. Sebagai reaksi terhadap dugaan tersebut, baik pemerintah
maupun investor mulai memberikan perhatian yang cukup signifikan
terhadap praktik corporate governance ini dan ditindaklanjuti dengan
menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).

Penerapan Good Corporate Governance merupakan salah satu upaya


untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Investor dan kreditor asing menganggap penerapan prinsip Good
Corporate Governance sebagai salah satu faktor penentu bagi
pengambilan keputusan untuk berinvestasi di suatu perusahaan. Dengan
demikian, penerapan prinsip Good Corporate Governance dalam dunia
usaha di Indonesia telah menjadi tuntutan zaman agar perusahaan-
perusahaan yang ada tidak sampai terlindas oleh persaingan global yang
semakin keras.

Page 1 of 31
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance pada dasarnya bertujuan
untuk memajukan kinerja suatu perusahaan yang di dalamnya tercakup
serangkaian pola perilaku perusahaan yang diukur melalui kinerja,
pertumbuhan, struktur pembiayaan serta perlakuan terhadap para
pemegang saham dan pemangku kepentingan (stake holders) dengan
memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan
keputusan yang sistematis yang dapat digunakan sebagai dasar
pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja perusahaan. Good
Corporate Governance juga mencakup korelasi antar kebijakan tentang
buruh dan kinerja perusahaan. Sehingga, untuk memajukan kinerja
perusahaan, prinsip-prinsip Good Corporate Governance ini semestinya
dijalankan secara amanah, akuntabel, transparan dan fair demi
terciptanya nilai kinerja perusahaan jangka panjang seraya terlayaninya
kepentingan semua pihak yang berkepentingan dengan jalannya
perusahaan (stakeholders).

Penelitian tentang variasi penerapan Good Corporate Governance di


tingkat perusahaan masih sangat sedikit dilakukan. Di antara yang sedikit
itu, riset The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) pada
tahun 2002, menemukan bahwa alasan utama perusahaan menerapkan
Good Corporate Governance adalah kepatuhan terhadap peraturan.
Perusahaan meyakini bahwa implementasi Good Corporate Governance
merupakan bentuk lain penegakan etika bisnis dan etika kerja yang sudah
lama menjadi komitmen perusahaan, dan implementasi Good Corporate
Governance berhubungan dengan peningkatan citra perusahaan.
Perusahaan yang mempraktikkan Good Corporate Governance diyakini
akan mengalami perbaikan citra dan peningkatan nilai perusahaan.

Kepatuhan terhadap peraturan dalam konteks Good Corporate


Governance antara lain mencakup terjalinnya hubungan yang baik dan
sehat antara perusahaan dan pekerja (buruh) dengan menjunjung tinggi

Page 2 of 31
etika bisnis dan etika kerja sebagaimana diamanatkan dalam hukum
perburuhan, termasuk di dalamnya adalah terlindunginya hak-hak buruh
sebagai aset utama perusahaan. Namun, lazim dijumpai dalam praktik di
berbagai negara undang-undang perburuhan yang ada dan berlaku di
suatu negara sama sekali tidak mencerminkan praktik perburuhan yang
ada. Hal ini lazim dijumpai baik di negara-negara industri maju maupun di
negara-negara berkembang. Di kelompok negara industri maju, misalnya,
The Singapore Trade Union Act mengijinkan dilakukannya pemogokan
atau aksi-aksi lainnya apabila sebagian besar anggota serikat pekerja
menghendaki hal itu. Namun, dalam praktiknya, penerapan undang-
undang tersebut sangat jauh berbeda. Misalnya, pemogokan hanya boleh
dilakukan atas seijin pemerintah dengan alasan kekhawatiran akan
terjadinya kerusuhan, huru-hara atau tindakan-tindakan buruh yang dapat
mempengaruhi keamanan publik atau mengganggu keharmonisan
masyarakat yang menjadi kebanggaan Singapura selama ini. Perbedaan
antara teori hukum perburuhan Singapura dan praktik hubungan
perburuhan di lapangan ini jelas menunjukkan bahwa aturan-aturan
hukum itu harus dianalisis dari perspektif atau konteks sosial dan politik.

Untuk dapat memahami secara lebih baik tentang penerapan prinsip


Good Corporate Governance dalam bentuk kepatuhan terhadap peraturan
in casu hukum perburuhan yang mengatur hubungan antara perusahaan
dan pekerja (buruh), makalah ini membahas disparitas antara pengaturan
masalah perburuhan (dalam hukum perburuhan) dan pelaksanaannya
dalam praktik. Diyakini bahwa disparitas antara teori (hukum perburuhan)
dan praktik (penerapan ketentuan hukum perburuhan) ini terkait erat
dengan setting historis, sosial-ekonomi dan politik suatu negara. Agar
uraian yang diberikan dapat lebih komprehensif, maka dalam makalah ini
diberikan pula perbandingan tentang penerapan undang-undang
perburuhan di Indonesia dan Singapura.

Page 3 of 31
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian dalam bagian Pendahuluan di atas, permasalahan
utama yang dianggap menarik untuk dikaji dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah perlindungan hak-hak buruh yang ada di
Indonesia dan Singapura?
2. Bagaimanakah disparitas yang terjadi antara perlindungan hak-
hak buruh dalam hukum perburuhan dan dalam praktik penerapan
hukum perburuhan di Indonesia dan Singapura?

III. PEMBAHASAN DAN ANALISIS


Lahirnya hukum perburuhan terkait erat dengan Revolusi Industri yang
terjadi di Eropa, khususnya di Inggris, pada abad 19. Revolusi Industri
yang ditandai dengan ditemukannya mesin uap mengubah secara
permanen hubungan antara buruh dan majikan. Penemuan mesin-mesin
telah mempermudah proses dalam berproduksi. Revolusi Industri ini
menandai munculnya jaman mekanisasi yang tidak dikenal sebelumnya.
Ciri utama zaman mekanisasi ini adalah hilangnya usaha-usaha industri
kecil, membesarnya jumlah buruh yang bekerja di pabrik, kondisi kerja di
pabrik yang umumnya berbahaya dan tidak sehat, anak-anak dan
perempuan ikut diterjunkan bekerja di pabrik dalam jumlah massal, jam
kerja yang panjang, upah yang sangat rendah, dan perumahan yang
sangat buruk.1 Keprihatinan utama yang mendasari lahirnya hukum
perburuhan adalah kondisi anak-anak dan perempuan yang bekerja di
pabrik-pabrik tenun/tekstil dan pertambangan yang sangat membahayakan
kesehatan dan keamanan mereka.

Undang-undang pertama dalam bidang perburuhan muncul di Eropa Barat,


yaitu Inggris tahun 1802, disusul Jerman dan Perancis sekitar tahun 1840,
sedangkan Belanda sesudah tahun 1870. Undang-undang pertama ini
1
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, Hukum Perburuhan. Buku Ajar A, (Depok : Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 87

Page 4 of 31
bersifat memberikan perlindungan terhadap kesehatan kerja ( healthy )
dan keselamatan kerja ( safety ). Undang-undang perlindungan inilah yang
menandakan berawalnya hukum perburuhan. Pada hakekatnya peraturan
atau hukum perburuhan dibuat sebagai perangkat untuk mengurangi
ekses dari pemujaan dan pemanfaatan mesin-mesin.2 Pada masa itu
sudah mulai muncul tendensi bahwa para pengusaha lebih menghargai
mesin yang baru ditemukan daripada para pekerjanya. Upaya pemerintah
melindungi kesehatan dan keselamatan kerja melalui hukum tidak berjalan
dengan mulus.

Saat maraknya Revolusi Industri, teori sosial yang dominan adalah faham
liberalisme dengan doktrin laissez-faire. Dalam doktrin ini negara tidak
intervensi ke bidang ekonomi selain menjaga keamanan dan ketertiban.
Konsep negara yang dominan waktu itu adalah Negara Penjaga Malam
(the night-watchman-state ). Oleh karena itu, upaya pemerintah dalam
rangka perlindungan buruh mendapat perlawanan keras dari kelompok
pengusaha dan para intelektual pendukung laissez-faire, terutama Adam
Smith. Mereka menuduh intervensi pemerintah menggangu kebebasan
mereka dalam perdagangan dan asas kebebasan berkontrak.3

Pada jaman liberalisme ekonomi ini, sejalan dengan filsafat laissez-faire,


cukup kuat desakan agar hubungan kerja dibebaskan dari segala
pembatasan. Yang dianut di sini adalah asas bahwa majikan dan buruh
haruslah mutlak bebas untuk mengadakan hubungan kerja berdasarkan
perjanjian, dan hubungan kerja seperti ini dapat diakhiri kapan saja oleh
salah satu pihak.4

2
H.P. Rajagukguk, “Transformasi Ketenagakerjaan. Perwujudan Standar Hak-Hak
Normatif dan Politik bagi Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Era Pasar Bebas” dalam
Peran Serta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2002), hlm. 23-24.

3
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, op. cit., hal. 100.

4
Prof. Imam Soepomo, SH., Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Penerbit Djambatan,

Page 5 of 31
Pada saat yang sama, serikat-serikat buruh belum cukup berkembang
sehingga tidak dapat berbuat banyak. Sikap anti serikat buruh masih
sangat kuat baik dari kalangan pengusaha maupun dari sistem hukum
yang ada. Sebagai contoh, hingga tahun 1825 di Inggris masih berlaku
Undang-Undang Penggabungan (Combination Acts) yang menganggap
sebagai ilegal semua aksi kolektif ( collective action ) untuk tujuan apapun.
Di Belanda, larangan untuk berorganisasi/berserikat ( coalitie verbod ) baru
dihapus pada tahun 1872.5 Sejak penghapusan inilah buruh dapat
melakukan konsolidasi dalam serikat-serikat buruh.6 Oleh karena itu,
hukum perburuhan yang bertujuan melindungi buruh terutama adalah hasil
desakan para pembaharu di dalam maupun di luar parlemen.

Secara perlahan, lahirnya hukum perlindungan buruh merupakan bukti


bahwa secara sosial mulai muncul kesadaran bahwa doktrin laissez-faire
mulai ditinggalkan atau setidaknya tidak lagi dapat diterapkan secara
mutlak. Mulai muncul kesadaran bahwa negara harus intervensi dalam
hubungan buruh dan majikan.7 Kesadaran baru ini ditandai dengan
munculnya teori sosial yang ingin mengimbangi gagasan di balik doktrin
laissez-faire . Misalnya, M. G. Rood berpendapat bahwa undang-undang
perlindungan buruh merupakan contoh yang memperlihatkan ciri utama
hukum sosial yang didasarkan pada teori ketidakseimbangan kompensasi.
Teori ini bertitik-tolak pada pemikiran bahwa antara pemberi kerja dan
penerima kerja ada ketidaksamaan kedudukan secara sosial-ekonomis.

1999), hlm. 3-4.

5
W. E. J. McCarthy, “Principles and Possibilities in British Trade Union Law,” dalam Trade
Union, edited by W. E. J. McCarthy, (England: Penguin Education, 1976), hal. 345.
6
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, op. cit., hal. 113

7
Akan terbukti kemudian, khususnya di Inggris, bahwa negara juga tidak sewenang-
wenang dalam intervensi itu. Doktrin laissez-faire tidak dihapuskan sepenuhnya oleh
negara.

Page 6 of 31
Penerima kerja sangat tergantung pada pemberi kerja. Oleh karena itu,
hukum perburuhan memberi hak lebih banyak kepada pihak yang lemah
daripada pihak yang kuat. Hukum bertindak “tidak sama” kepada masing-
masing pihak dengan maksud agar terjadi suatu keseimbangan yang
sesuai. Hal ini dipandang sebagai jawaban yang tepat terhadap rasa
keadilan umum.8

Terhadap pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa perlindungan


sosial bagi buruh oleh negara merupakan pelanggaran atas prinsip
perlakuan yang sama oleh undang-undang, Levenbach yang disebut juga
bapak hukum perburuhan mengatakan:

“Peraturan-peraturan perburuhan dapat disebut sebagai pengeculian


darurat karena peraturan-peraturan itu memuat campur tangan negara
yang ditujukan kepada hubungan yang seharusnya merupakan kebebasan
para pihak. Aturan-aturan mutlak dalam hal perorangan yang tak terbatas
sudah tidak diakui lagi. Mengenai peraturan perburuhan, orang terlalu
banyak melihat dari segi persamaan hak yang tidak normal, yang akan
mengingkari persamaan hak di depan hukum. Pendapat seperti ini keliru
dalam menafsirkan pengertian persamaan kedudukan di depan hukum”.9

Mendukung pendapat Levenbach, pakar hukum perburuhan lainnya, S.


Mok mengemukakan,

“Pada umumnya orang tidak melihat lagi bahwa pemberi kerja dan
penerima kerja di dalam hukum perburuhan, bukan lagi mitra yang
sederajat. Kepentingan buruh jauh lebih besar. Merekalah, kaum lemah,
yang harus dilindungi. Sedangkan pengusaha (pemberi kerja), walaupun
mereka menyetujui pemberian perlindungan bagi buruh, mereka sendiri
tidak membutuhkannya”.10

Pendapat yang paling banyak dikutip berkaitan dengan sifat khas

8
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, op. cit., hal. 89-90

9
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, hlm. 115
10
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, hlm. 116

Page 7 of 31
perlindungan buruh dalam hukum perburuhan adalah ungkapan dari
Commons dan Andrews berikut ini:

“Dimana para pihaknya tidak setara (dan jelas adanya kepentingan


umum), maka negara yang menolak memperbaiki ketidaksetaraan itu
sebenarnya tidak memberikan kepada pihak yang lemah perlindungan
hukum yang sama”.11

Dari pendapat di atas, terdapat dua hal yang sangat penting.


Pertama, bahwa para pihak dalam hukum perburuhan, yaitu buruh dan
majikan, adalah pihak yang tidak seimbang kedudukannya. Kedua, bahwa
perlindungan yang sama di hadapan hukum bagi mereka harus berarti
mengatasi ketidakseimbangan itu. Di sini Commons dan Andrews
memakai istilah yang suka dipakai oleh penganut paham liberalisme untuk
membela keberadaan hukum perburuhan, yaitu “equal protection of the
laws” .

A. Pengaturan Masalah Perburuhan di Indonesia


1. Hak Kerja dan UU No. 12 tahun 1964
Undang-Undang No. 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan
Swasta lahir pada periode demokrasi terpimpin yang otoriter dimana
Presiden Soekarno dan militer memegang posisi sentral dalam
menyelenggarakan negara. Demokrasi parlementer sebagai sistem politik
yang cukup demokratis berakhir pada bulan Juli 1959 saat Presiden
Soekerno mengeluarkan suatu Dekrit tentang pemberlakuan kembali UUD
1945. Dekrit itu disusul dengan pembubaran DPR dan Majelis Konstituante
hasil Pemilu 1955.12

11
“Where the parties are unequal (and a public purpose is shown) then the State which
refuses to redress the inequality is actually denying to the weaker party the equal
protection of the laws .” Dikutip dalam H.P. Rajagukguk, Ibid., hlm. 25
12
Abdul Hakim G. Nusantara, “Tinjauan Terhadap Organisasi Buruh dan Hukum
Perburuhan di Indonesia” dalam Tahanan dari Kemajuan. Penelaahan Situasi Perburuhan
Indonesia Saat Ini, disunting oleh David R. Harris, (Jakarta: INFID, 1995), hlm. 29

Page 8 of 31
Konsep yang dianut UU No. 12 /1964 mengenai hak kerja dapat ditelusuri
dari isi dan penjelasannya serta dari risalah sidangnya. Pertimbangan
utama dari UU ini adalah untuk lebih menjamin ketenteraman serta
kepastian bekerja bagi kaum buruh (bagian Menimbang). Untuk menjamin
ketenteraman serta kepastian bekerja itu maka PHK sedapat mungkin
harus dihindarkan. Pasal 1 UU ini menegaskan bahwa ”Pengusaha harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Segala
daya upaya harus dilakukan untuk menghindari terjadinya PHK (pasal 2).
Penjelasan UU ini mengakui bahwa:

“Bagi kaum buruh putusnya hubungan kerja berarti permulaan masa


pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk menjamin
kepastian ketenteraman hidup kaum buruh, seharusnya tidak ada
pemutusan hubungan kerja”.

Akan tetapi, UU ini juga mengakui bahwa pemutusan hubungan kerja


tidak
dapat dicegah seluruhnya. PHK dapat saja terjadi setelah berbagai cara
mencegahnya dilakukan dan pengusaha telah melakukan langkah-langkah
yang harus dilalui sesuai ketentuan UU ini.

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa UU No.12/1964 menganggap


bahwa hubungan antara buruh dan pengusaha adalah hubungan 2 (dua)
pihak yang tidak seimbang kekuatannya. Hampir seluruh uraian isi dan
penjelasan UU ini menyangkut PHK yang dilakukan pengusaha terhadap
buruh dan apa artinya PHK itu bagi seorang buruh. UU ini ingin
menekankan bahwa pengusaha tidak diperbolehkan melakukan PHK
sewenang-wenang. Kendatipun merupakan pemberi kerja, keinginan
pengusaha semata untuk melakukan PHK belum menjadi alasan yang
cukup untuk PHK.

Page 9 of 31
Melalui UU No. 12 tahun 1964 pemerintah menjamin salah satu hak asasi
rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi, yaitu hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak demi kemanusiaan (pasal 27 ayat (2)UUD 1945
sebelum amandemen). Sumber lain yang memberi penjelasan tentang UU
No.12/1964 ini adalah risalah sidangnya. Dalam risalah sidang Paripurna
pengesahan UU ini terungkap beberapa hal yang menerangkan UU No.
12/1964 ini. Hal-hal itu terungkap melalui pendapat terakhir golongan-
golongan yang menjadi anggota Komisi D DPR-GR. Berikut ini beberapa
aspek penting dalam pembasahan sebelum disahkannya UU No. 12/1964,
sebagai berikut:

Pertama, terdapat perubahan mendasar yang terjadi dari rancangan


pertama hingga yang terakhir disahkan menjadi UU. Terjadi empat (4) kali
perubahan atas RUU yang diajukan oleh Pemerintah hingga akhirnya
disetujui di rapat Paripurna. Rancangan pertama yang diajukan oleh
pemerintah tidak mencabut peraturan tentang pemecatan (PHK) yang
berlaku pada masa kolonial, yaitu: Regeling Ontslagrecht voor bjpaalde
neit Europese Arbeiders (Peraturan Pemberhentian Buruh bukan Eropa)
dan ketentuan PHK dalam KUHPerdata buku ketiga bab 7a.

Perubahan fundamental dari rancangan pertama yang diajukan


Pemerintah dengan yang akhirnya disahkan adalah bahwa Rancangan
Undang-Undang yang semula dimaksudkan sebagai UU yang mengatur
pelaksanaan suatu ketentuan pemecatan (PHK) yang sudah ada
(Ontslagrecht dan KUHPerdata) ternyata kemudian menjadi suatu UU
yang memuat suatu konsep tersendiri tentang pemecatan (PHK).
Terjadinya perubahan besar itu memperlihatkan besarnya peran anggota
parlemen sebagai wakil rakyat dalam menetapkan Undang-Undang.
Terlihat sekali bahwa para anggota parlemen saat itu cukup menguasai
masalah yang sedang dibahas. Mereka mampu menawarkan suatu konsep
yang sama sekali baru dan mengajukan banyak sekali data-data dalam

Page 10 of 31
mendukung konsep itu.

Kedua, terdapat keprihatinan yang besar tentang pelaksanaan Undang-


Undang. Bahwa Undang-Undang sebaik apapun tidak akan berguna jika
tidak diawasi pelaksanaannya.

Ketiga , terdapat kekhawatiran tentang tidak adanya sanksi pidana dalam


UU No. 12/1964. Kekhawatiran ini juga terkait dengan tidak akan efektifnya
pelaksanaan UU ini jika tidak memuat juga ketentuan pidana. Pemerintah,
melalui Menteri Perburuhan, berpendapat bahwa soal sanksi pidana ini
berat untuk dimasukkan dalam rangancan Undang-Undang ini karena
dikuatirkan akan berdampak negatif terhadap dunia usaha.

Terkait dengan keprihatinan tentang ketiadaan sanksi pidana ini perlu


dikemukakan hasil penelitian berupa naskah akademis peraturan
perundang-undangan tentang PHK untuk perubahan dan penyempurnaan
UU No.12/1964 yang dilakukan oleh suatu Tim Kerja yang dibawahi oleh
Marzuki Achmad, SH. Salah satu rekomendasi naskah akademis ini adalah
pentingnya penetapan sanksi pidana terhadap pelanggaran UU No.
12/1964. Pasal 10 UU No.12/1964 menyebutkan bahwa PHK tanpa izin
dari Panitia Daerah atau Pusat adalah batal demi hukum.

“Ketentuan Pasal 10 tersebut sudah tidak sesuai lagi untuk tetap


dipertahankan mengingat pentingnya upaya peningkatan perlindungan
tenaga kerja, sehingga setiap pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
tanpa izin, perlu dikenakan sanksi pidana, dalam pengertian tidak sekedar
batal demi hukum. Penerapan sanksi pidana perlu...guna meningkatkan
kewibawaan undang-undang…”13

13
Marzuki Achmad et.al, Naskah Akademis untuk Perubahan UU No. 12 tahun 1964, (Tim
Kerja, 1994), hlm. 30.

Page 11 of 31
Keempat , keprihatinan tentang praktek-praktek ketidakadilan di bidang
perburuhan ( unfair labour practices ) secara umum. Dalam pembahasan
di rapat paripurna ini para anggota parlemen masih mengungkapkan
pemecatan sewenang-wenang yang dialami para aktivis serikat buruh.

Mencermati risalah sidang di atas, dapat diketahui beberapa hal sebagai


berikut. Pertama, bahwa UU No.12/1964 yang akhirnya diterima dan
disahkan memuat konsep yang sama sekali berbeda dari konsep yang
diajukan pemerintah pertama kali. Yang dihasilkan akhirnya adalah suatu
Undang-Undang yang diharapkan akan melindungi buruh dari pemecatan
(PHK) sewenang-wenang. Kedua , bahwa UU No. 12/1964 ini menganut
pendirian bahwa hubungan antara buruh dan pengusaha/majikan bukan
semata hubungan dua pihak yang sejajar. Dengan kata lain, pemerintah
melakukan “intervensi positif” dalam hubungan itu dengan melarang
pengusaha melakukan pemecatan (PHK) sewenang-wenang. “Intervensi
positif” ini didasarkan pada pandangan bahwa secara sosial ekonomis
posisi buruh lemah di hadapan pengusaha. Di dalamnya juga terkandung
amanat konstitusi tentang perlindungan akan hak atas pekerjaan.

2. Pelaksanaan UU No. 12 tahun 1964


Dalam penerapan UU No. 12 tahun 1964 tentang PHK terjadi banyak
ketidakpastian yang terutama terkait dengan peraturan pelaksana dan
aparat penegaknya. Selama berlakunya UU No. 12 tahun 1964 sudah lebih
dari 15 buah peraturan, keputusan, petunjuk pelaksana atau produk lain
yang dibuat oleh birokrasi (oleh Menteri atau jajaran di bawahnya).
Diantaranya ada yang sungguh-sungguh berfungsi sebagai penjabaran
dari peraturan di atasnya, tetapi ada juga yang inkonsisten dengan
peraturan di atasnya.14
14
Fauzi Abdullah, “Perselisihan Perburuhan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia:
Sebuah Catatan Pendek,” (Makalah disampaikan pada Diskusi Panel dengan tema
“Perselisihan Perburuhan” yang diselenggarakan oleh Institut Perburuhan Jakarta (IPJ) di
Jakarta, 31 Juli 2000), hlm. 2

Page 12 of 31
Terdapat beberapa contoh peraturan di bawah UU No. 12 tahun 1964 yang
inkonsisten dengan UU tersebut. Pertama , peraturan yang memberi
kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan skorsing bagi buruh
selama proses perijinan PHK. Selama masa skorsing, upah buruh juga
dipotong. Ini bertentangan dengan UU No. 12 tahun 1964 yang
menegaskan bahwa sebelum ijin PHK belum diberikan masing-masing
pihak harus tetap melaksanakan kewajibannya. Dalam UU No. 12 ini
dianut prinsip praduga tak bersalah. Kedua , beberapa peraturan Menteri
yang terus menambah daftar alasan yang bisa dipakai oleh pengusaha
untuk melakukan PHK, seperti: 6 hari berturut-turut tidak masuk kerja
tanpa pemberitahuan dianggap mengundurkan diri, PHK dapat didasarkan
pada alasan tidak harmonisnya hubungan buruh dan pengusaha.15

Tidak efektifnya bidang pengawasan ketenagakerjaan juga berdampak


pada terjadinya ketidakpastian dalam penerapan UU No. 12 tahun 1964.
Dalam banyak kasus, buruh sendirilah yang menyampaikan pengaduan ke
Depnaker tentang PHK yang dialaminya. Dalam surat-surat yang
dikeluarkan oleh Depnaker dalam kaitan dengan perselisihan perburuhan,
misalnya, tertera kalimat seperti: ”Berkenaan dengan masalah PHK/PHI
yang telah disampaikan oleh__________ dengan suratnya No.___”.
Format surat seperti itu memperlihatkan bahwa PHK dianggap sebagai
salah satu jenis perselisihan yang ditangani oleh Depnaker dan P4.

Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UU No. 12 tahun 1964


yang tidak melihat PHK sebagai salah satu jenis perselisihan. Seharusnya,
jika ada buruh mengadukan PHK yang dialaminya, Depnaker tidak perlu
memprosesnya sebagai perselisihan yang bisa terus berlanjut ke P4
Daerah atau Pusat, tetapi pejabat pengawas perlu memeriksa apakah PHK
tersebut sudah sesuai ketentuan UU No. 12/1964 atau tidak. Pejabat

15
Ibid

Page 13 of 31
pengawas harus memeriksa apakah PHK tersebut sudah berdasarkan ijin
yang dikeluarkan oleh P4D/P. Dalam kenyataan sering terjadi bahwa
pengaduan buruh atas PHK yang dialaminya berlanjut terus hingga P4P
tanpa pejabat P4 memahami ketentuan UU No. 12/1964 yang mengatur
bahwa untuk melakukan PHK, pengusaha harus memohonkan ijin.

Dari pendekatan daya saing ekonomi dan penciptaan lapangan kerja,


perlindungan hak kerja yang dijamin oleh UU No. 12/1964 sudah cukup
lama menjadi perdebatan dan termasuk salah satu keprihatinan (area of
concern). Pola pikir yang mengatakan bahwa cara meningkatkan
kesejahteraan buruh adalah melalui perlindungan hak kerja ( job security )
sebagaimana dianut oleh UU No. 12 tahun 1964 dianggap sudah tidak
relevan dan dimulai ditantang. Misalnya, Alejandra Cox Edwards
mengatakan bahwa transformasi ekonomi memerlukan proses realokasi
buruh. Kebijakan atau UU, seperti di Indonesia, yang melindungi buruh dari
resiko kehilangan pekerjaan atau mempersulit pengusaha memecat buruh
akan memperlambat proses penciptaan lapangan kerja baru. Dalam
konteks seperti itu pengusaha tidak berani mengambil banyak resiko
dengan membuka lapangan kerja baru.16

3. Konsepsi Dan Visi Tentang Hak Kerja Dalam UU Tentang PPHI


Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI disahkan pada tanggal
16 Desember 2003, setelah melalui pembahasan selama tiga tahun tujuh
bulan. Undang-undang ini terdiri dari 9 Bab, 126 pasal dan 204 ayat.
Sedangkan ide baru yang diperkenalkan dalam UU ini adalah Pengadilan
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dibentuk di 2 (dua)
tingkat, yaitu Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA).
16
Alejandra Cox Edwards, “Labor Regulations and Industrial Relations in Indonesia”,
(Paper yang dipresentasikan dalam Workshop dengan tema: “Indonesian Workers in the
21 Century”, kerjasama antara Departemen Tenaga Kerja dan World Bank, Jakarta, 2-4
April 1996), hlm. 19-20.

Page 14 of 31
Bagian penjelasan UU PPHI memuat beberapa alasan dan pertimbangan
untuk menghapus atau mengganti UU yang sebelumnya berlaku untuk
pemutusan hubungan kerja (PHK) yaitu UU No. 12 tahun 1964. Berikut ini
2 (dua) pertimbangan yang dimuat dalam Penjelasan UU PPHI tentang UU
No. 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta:

1. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh


pemutusan hubungan kerja.
2. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama
ini diatur dalam UU No. 12 tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta ternyata tidak efektif lagi
untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan
hubungan kerja. Hal ini disebabkan karena hubungan antara
pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang
didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri
dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak
menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut,
maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan
hubungan yang harmonis.”

Pertimbangan pertama di atas memperlihatkan perbedaan konsepsi


tentang hak kerja antara UU No 12/1964 dengan UU PPHI. UU No.
12/1964 tidak menempatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai
salah satu jenis perselisihan. Pertimbangan 1 di atas mengimplikasikan
bahwa secara teoritis pengusaha/majikan dapat sewaktu-waktu melakukan
PHK. Jika tidak setuju dengan PHK tersebut, pihak buruh dapat
menggugat di Pengadilan. Jadi, untuk melakukan PHK pengusaha tidak
perlu lagi memohonkan ijin kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (P4) sebagaimana ditentukan dalam UU No. 12/1964. Dalam
konsepsi UU No. 12/1964, jika ijin PHK tidak diberikan maka buruh yang

Page 15 of 31
bersangkutan harus tetap dipekerjakan. Dengan demikian, sebagai
pemberi kerja, majikan tidak berkuasa secara absolut mencabut pekerjaan
yang telah diberikannya kepada seorang buruh. Pemerintah, dalam hal ini
P4, dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang pemutusan
hubungan kerja.

Sedangkan dalam UU PPHI, kendatipun seorang buruh menolak PHK


yang dilakukan oleh majikan dengan menggugat ke Pengadilan PPHI,
yang dapat dituntutnya hanyalah ganti rugi atau pesangon. Buruh tidak
mungkin menuntut dipekerjakan kembali karena Pengadilan PPHI adalah
peradilan perdata.Pertimbangan kedua di atas secara sederhana ingin
mengatakan bahwa UU No. 12/1964 tidak efektif mencegah dan
menanggulangi kasus-kasus PHK karena didasarkan pada konsepsi yang
keliru tentang hakekat hubungan antara buruh dan pengusaha/majikan.
Pada bagian uraian tentang UU No.12/1964 telah dijelaskan tentang
konsepsi yang dianutnya tentang hubungan buruh dan majikan. Dalam UU
No. 12/196 dianut konsepsi bahwa buruh sebagai penerima kerja berada
pada posisi yang lemah secara sosial ekonomis di hadapan majikan
sebagai pemberi kerja. Dalam kondisi yang demikian, hubungan kerja
antara buruh dan majikan tidak bisa dilepaskan menjadi urusan kedua
belah pihak.

Sementara itu, UU PPHI menganut konsepsi yang lebih “liberal” tentang


relasi antara buruh dan majikan. Buruh dan majikan dianggap sebagai dua
pihak yang sama kedudukannya. Dalam UU ini gagasan yang dominan
adalah bahwa relasi buruh dan majikan mutlak bersifat perdata. Ini sama
sekali berbeda dengan UU No. 12/1964 yang berpandangan bahwa ikatan
antara buruh dan majikan juga memiliki aspek hukum publik karena posisi
keduanya tidak seimbang.

Selain itu, pertimbangan kedua di atas juga memperlihatkan kelemahan

Page 16 of 31
metodologis. Penilaian itu hanya memakai satu aspek saja dari tiga (3)
aspek yang seharusnya dilihat untuk menguji efektivitas suatu produk
perundangan, yaitu isi/substansi ( legal substance ), struktur hukum ( legal
structure ), dan budaya hukum (legal culture). Penilaian di atas hanya
melihat segi substansi dengan mengatakan bahwa UU No.12/1964 tidak
efektif karena isinya tidak mencerminkan hakikat hubungan antara buruh
dan pengusaha.

Terlihat bahwa dalam pelaksanaannya kelemahan utama UU No. 12/1964


adalah penyelewengan pada tingkat peraturan pelaksana aparat birokrasi
dan bukan pada tingkat/aspek substansinya.

Selain UU No.12/1964, perkembangan hukum perburuhan di Indonesia


ditandai pula oleh lahirnya 4 undang-undang yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh;
2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial;
4. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang Perlindungan
dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat


Buruh telah mengubah sistem keserikatburuhan di Indonesia. Dengan
diundangkannya UU ini maka sistem keserikatburuhan di Indonesia
berubah dari single union system menjadi multi union system. Hal ini
disebabkan karena menurut UU No.21/2000, sekurang-kurangnya 10
orang buruh dapat membentuk serikat buruh di suatu perusahaan.
Meskipun sedikit menyimpang dari konvensi inti ILO No.87 namun UU

Page 17 of 31
No.21/2000 ini mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja
melalui serikat pekerja/serikat buruh. Buruh diberikan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya.
Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan hukum perburuhan yang
mengatur keserikatburuhan mempunyai nilai positif.

Selanjutnya UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti


UU No.25/1997 yang sempat diundangkan namun tidak pernah efektif. UU
No. 13/2003 ini juga mengandung banyak permasalahan, misalnya
masalah inkonsistensi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal yang
inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Perjanjian Kerja Waktu tertentu. Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu


Tertentu dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak
mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain
pihak, ada pasal lain dalam UU No.13/2003 ini yang melarang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut akan berubah secara otomatis menjadi
perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketidakpastian hukum dalam
masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan
karenapihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya
dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan pekerja lebih
memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih menjamin
job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan
yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk
kemudian direkrut kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu
(kontrak). Dalam situasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain
kecuali menerima tawaran itu.

Page 18 of 31
2. Outsourcing. Sejak diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing
pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan karena pengusaha,
dalam rangka efisiensi, merasa aman jika buruh yang di-outsource
adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang
bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan
jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa di-back up oleh
pasal 6 ayat 2 a yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa
pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan
pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang di-
outsource juga merasa di-back up oleh pasal 1 butir 15 yang
menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan
jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini
disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada
dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan
perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing
pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan
hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut
kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini
berarti bahwa melalui Pasal 6 ayat (2a) UU No.13/2003 Pemerintah
melagalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga
termasuk human-trafficking. Hal ini pada hakikatnya adalah suatu
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kemudian UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial


meskipun sampai saat ini masih belum diberlakukan namun melalui kajian
yuridis-normatif dapat dikemukakan bahwa UU No.2/2004 masih
mengandung banyak kelemahan yang mengakibatkan proses
Penyelesaian Perselisihan Industrial yang lama dan ini berarti mahal. Hal
ini antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

Page 19 of 31
1. UU ini berparadigma konflik karena hanya memberikan kesempatan
kepada pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara, sedangkan
pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan tidak diberi
keleluasaan dalam menggunakan mekanisme yang ditawarkan oleh
UU ini. Hal ini tercermin dari perbedaan kewenangan pengadilan
hubungan industrial dibandingkan dengan kewenangan arbitrase.
Menurut UU ini, pengadilan hubungan industrial diberi kewenangan
untukmenyelesaikan semua jenis perselisihan hubungan industrial
sebagaimana dimaksudkan oleh UU ini, yaitu: perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja. Sedangkan
kewenangan arbitrase terbatas pada perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja. Pihak-pihak yang ingin
memenangkan perkara jalurnya adalah pengadilan, sedangkan pihak-
pihak yang ingin menyelesaikan persoalan bukan ke pengadilan
melainkan ke arbitrase sebagai alternative dispute resolution. Menurut
UU ini, para pihak yang menyelesaikan perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan hak tidak dapat menyelesaikannya
melalui arbitrase. Mereka harus menempuh jalur pengadilan
hubungan industrial. Padahal 99, 9 % perselisihan perburuhan adalah
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak. Dengan
demikian 99,9 % dari ribuan kasus perburuhan akan diselesaikan
melalui jalur pengadailan hubungan industrial dan akan bermuara di
Mahkamah Agung. Timbul pertanyaan di sini apakah pengadilan
hubungan industrial dapat menyelesaikan kasus perburuhan yang
jumlahnya ribuan itu dalam waktu 50 hari untuk setiap kasusnya?
Pertanyaa serupa juga dapat dikemukakan disini kepada Mahkamah
Agung yang diberi waktu selama 30 hari untuk menyelesaikan setiap
kasusnya. Dengan demikian harapan terselesaikannya kasus
perburuhan dalam waktu 140 hari melalui mekanisme yang

Page 20 of 31
ditawarkan UU ini akan jauh dari kenyataan.

2. Dengan dicabutnya pasal 158 tentang Kesalahan Terberat untuk


kasus pemutusan hubungan kerja sebagaimana tercantum dalam UU
No.13/2003 juga akan memperlama proses penyelesaian perselisihan
pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan pengadilan hubungan
industrial baru dapat memproses kasus tersebut terutama dengan
alasan pencurian, penggelapan atau penganiayaan setelah kasus
tersebut mendapatkan keputusan yang mengingat dari pengadilan
pidana.

Akhirnya UU No.39/2004 tentang Pembinaan dan Perlindungan Tenaga


Kerja Indonesia di Luar Negeri juga masih memposisikan TKI sebagai
ekspor komoditi, bukan sebagai manusia dengan segala harkat dan
martabatnya. Hal ini terjadikarena UU ini belum menciptakan sistem
penempatan TKI ke Luar Negeri yang berpihak kepada TKI sebagaimana
terurai di bawah ini:

1. Perusahan penempatan TKI yang pada dasarnya business-oriented


diberi kewenangan untuk merektut, menampung, melatih dan
sekaligus menempatkan TKI, melindungi TKI selama masa pra
penempatan, pada masa penempatan dan pasca penempatan.
Pembebanan tanggung jawab yang sangat berat ini tidak dapat
dibebankan kepada perusahaan penempatan TKI yang business-
oriented. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penempatan TKI yang
tidak selektif. Penempatan TKI yang tidak selektif ini akan merupakan
akar permasalahan terjadinya penganiayaan, pelecehan seksual, tidak
dibayar upahnya, penipuan, pemerasan dan lain-lain akan merupakan
persoalan laten yang akan berulang kembali pada masa mendatang.

2. Tidak adanya ketentuan yang melarang kegiatan penempatan TKI

Page 21 of 31
secara ilegal serta tidak adanya ketentuan yang melarang pejabat
Depnaker, Deplu dan Depkumham termasuk saudara-saudaranya
yang menurut garis keturunan menyamping atau kebawah akan
menimbulkan persoalan TKI sebagaimana tersebut di atas.

B. Pengaturan Masalah Perburuhan di Singapura17


Untuk memahami tentang masalah perburuhan in casu perkembangan
undang-undang perburuhan dan hubungan perburuhan di Singapura,
terlebih dahulu perlu diberikan ulasan sekilas tentang setting sejarah dan
geopolitik Singapura.

Singapura merupakan sebuah negara pulau dan negara kota yang terletak
di kawasan Asia Tenggara. Luas negara ini hanya 622 kilometer persegi,
setara dengan 223 mil persegi, atau sekitar tiga setengah kali ukuran luas
kota Washington DC. Republik Singapura terdiri dari satu pulau utama
dan beberapa pulau kecil yang terbentang di sisi selatan Semenanjung
Malaysia. Negara ini memiliki jalur lalulintas darat dan kereta api yang
dapat menghubungkan lalulintas dari dan ke Malaysia.

Singapura merupakan dataran rendah yang cukup kaya kandungan


mineral, namun ia tidak memiliki kekayaan alam lain selain dari sumber
daya manusia, perikanan serta pelabuhan perairan dalam yang telah
memberikan kontribusi besar bagi negara ini melalui aktivitas
perdagangan laut sejak para penjelajah dari Eropa menemukan pulau ini
di abad ke-sembilan belas. Bahkan, pelabuhan utama Singapura telah
menjadi satu titing penting bagi rute pelayaran di kawasan Asia Tenggara.
Sebagian besar wilayah daratan negara ini telah mengalami tahap
perkembangan industri yang masif, dimana sekitar 84% wilayah daratan
Negara ini telah dibangun atau sedang dalam tahap pembangunan.

17
Uraian ini diambil dari Elizabeth C. Surin, “Government Influence On Labor
Unions In A Newly Industrialized Economy: A Look At The Singapore Labor
System”.

Page 22 of 31
Singapura merupakan negara multi-rasial, multi-agama dan multi bahasa.
Pada tahun 1994, penduduknya berjumlah 2.859.142 jiwa dengan tingkat
pertumbuhan penduduk sebesar 1,12 persen per tahun. Bahasa Inggris
merupakan bahasa resmi utama negara ini sekaligus bahasa administrasi
pemerintahan. Bahasa resmi lainnya meliputi bahasa Cina, Tamil dan
Melayu. Sebagian besar sekolah di Singapura mewajibkan penggunaan
setidaknya dua bahasa sejak dari kelas 1 SD. Bahasa Inggris selalu
menjadi salah satu dari bahasa wajib tersebut.

Singapura menjadi koloni Inggris pada tahun 1819. Bahkan, hingga saat
ini, negara kota ini mengakui Sir Stamford Rafles sebagai Bapak Pendiri
Negara Singapura modern.

Setelah Perang Dunia II, yaitu setelah Jepang melepaskan kekuasaannya


di kawasan Asia Tenggara, Singapura bergabung dengan negara-negara
semenanjung Malaysia lainnya untuk membentuk Negara Malaysia
sebagai koloni kerajaan Inggris Raya. Negara Koloni Malaysia ini
memperoleh kemerdekaan parsial dari Inggris pada tahun 1955 dan
kemudian dipimpin oleh David Marshall. Singapura dan Malaysia akhirnya
memperoleh kemerdekaan penuh dari Inggris pada tahun 1959 ketika
penduduk Singapura secara bulat terpilih sebagai pemimpin partai
berkuasa di Singapura, yaitu People’s Action Party (PAP). Pada tahun
1963, negara Singapura dan Malaysia merdeka bersatu untuk membentuk
sebuah Negara Federasi, yaitu Federasi Malaysia. Namun, tidak lama
sesudah itu terjadi ketegangan antara warga Singapura keturunan China
dan penduduk muslim Malaysia. Perselisihan ini berlanjut hingga akhirnya
Singapura keluar dari Federasi Malaysia dan membentuk negara
Singapura yang merdeka dan berdaulat pada tanggal 9 Agustus 1965.

Sistem pemerintahan Singapura, baik itu lembaga-lembaga pemerintah


dan hukum yang ada di Singapura mengikuti model yang ada di Inggris.
Singapura, misalnya, menerapkan sistem parlementer, dimana Perdana

Page 23 of 31
Menteri merupakan kepala pemerintahan negara sekaligus ketua partai
politik yang berkuasa. Presiden hanya merupakan kepala negara
seremonial, seperti halnya Ratu yang ada dalam sistem monarkhi Inggris.
Pemilihan Umum untuk memilih partai yang berkuasa dilaksanakan setiap
4 tahun sejak tahun 1959. Hak suara dimiliki oleh setiap warga Negara
Singapura yang telah berusia 21 tahun atau lebih. Calon-calon yang akan
menduduki jabatan-jabatan publik terlebih dahulu dipilih oleh pimpinan
partai-partai. Pemilu dilaksanakan untuk memilih partai yang akan
berkuasa, bukan memilih nama-nama calon yang akan menduduki
jabatan-jabatan publik. Pola seperti ini memunculkan kecenderungan
bahwa calon-calon pejabat tersebut diuntungkan oleh kedekatannya
dengan partai penguasa, bukan karena prestasi atau capaian politik dari
individu calon.

Negara Singapura memiliki tiga organ/lembaga negara, yaitu eksekutif,


legislatif dan yudikatif. Pemahaman tentang struktur pemerintahan ini
merupakan prasyarat penting untuk memahami fungsi hubungan
perburuhan/hubungan industrial di Singapura, karena di negara ini
pemerintah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap gerakan
buruh.

Hingga bulan Januari 1991, jabatan presiden sebagai kepala negara tetap
merupakan jabatan seremonial belaka. Sebelum itu, presiden dipilih oleh
partai berkuasa dan Perdana Menteri merupakan penentu akhir dari
proses pemilihan itu. Pada tahun 1991 dilakukan amandemen terhadap
konstitusi Singapura, yang memuka jalan bagi proses pemilihan presiden
secara langsung oleh rakyat. Pemilihan presiden secara langsung
pertama kali dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 1993. Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Dasar hasil amandemen, Presiden memegang
jabatan selama enam tahun. Presiden memiliki kekuasaan untuk mem-
veto kebijakan anggaran negara dan untuk menunjuk pejabat-pejabat

Page 24 of 31
publik. Presiden juga mmeiliki kewenangan untuk mereview kebijakan
investasi pemerintah, memerintahkan penahanan orang-orang yang
membahayakan keamanan dan mengeluarkan undang-undang tentang
keagamaan.

Kekuasaan presiden di Singapura relatif terbatas, namun pada tahun 1993


kekuasaan presiden diperluas sehingga mencakup pengawasan terhadap
pejabat-pejabat korup di dalam partai yang berkuasa. Pada tahun yang
sama, Perdana Menteri Lee Kuan Yew, yang telah berkuasa sejak
berdirinya negara merdeka Singapura, mengundurkan diri serta
menyerahkan kekuasaan kepada kadernya yang berusia lebih muda.
Sekalipun demikian, Lee mengangkat dirinya sendiri sebagai “Menteri
Senior” dan tetap memiliki kekuasaan yang signifikan dalam pemerintahan
dengan kewenangannya untuk mengawasi dan memberikan nasihat
kepada Perdana Menteri Goh Chok Tong.

Cabang kekuasaan eksekutif di Singapura terdiri dari presiden, perdana


menteri dan para menteri kabinet. Para menteri kabinet ini dipilih dari
anggota-anggota parlemen. Presiden memilih para menteri berdasarkan
masukan dari Perdana Menteri. Perdana Menteri merupakan pemimpin
cabinet. Para menteri cabinet ini bertanggungjawab kepada parlemen.
Tugas para menteri ini antara lain adalah melaksanakan seluruh kebijakan
pemerintah serta menjalankan urusan-urusan administrasi kenegaraan
sehari-hari.

Sedangkan, cabang kekuasaan legislatif terdiri dari presiden dan


parlemen unikameral yang mencakup pula perdana menteri di dalamnya.
Perdana menteri tidak hanya memimpin kabinet yang merupakan salah
satu unsur dari cabang kekuasaan eksekutif, melainkan juga merupakan
pemimpin mayoritas di parlemen. Oleh karena itu, cabang kekuasaan
eksekutif dan legislatif di Singapura tidak saling independen antara satu
dan yang lainnya. Dengan kata lain, sistem checks and balances

Page 25 of 31
sebagaimana yang dikenal dalam sistem demokrasi politik Amerika justru
tidak dikenal dalam struktur pemerintahan Singapura. Karena perdana
menteri Singapura memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif
sekaligus, maka kecil atau bahkan tidak ada sama sekali peluang bagi
partai oposisi untuk menjatuhkan undang-undang produk legislatif atau
kebijakan-kebijakan pemerintah.

Sementara itu, dalam cabang Yudikatif, Hakim-hakim di Singapura


menduduki jabatannya karena ditunjuk, bukan dipilih. Kekuasaan
kehakiman di negara ini dipegang oleh Mahkamah Agung dan pengadilan-
pengadilan di bawahnya. Mahkamah Agung terdiri dari Ketua Mahkamah
Agung dan Hakim-Hakim Banding (appeal judges). Konstitusi Singapura
mengatur secara khusus tentang masa jabatan dan independensi hakim-
hakim Mahkamah Agung.

Sistem hukum Singapura mengikuti model sistem hukum common law


Inggris. Namun, berbeda dengan Inggris, Singapura tidak mengakui
yurisdiksi Mahkamah Internasional. Singapura juga tidak semata-mata
mengadopsi sistem hukum Inggris. Negara ini juga mengadopsi sistem
Australia untuk mendesain undang-undang arbitrase perburuhannya.
Pengadopsian model Australia ini berimplikasi pada dibentuknya Industrial
Arbitration Court (IAC) di Singapura yang memiliki kekuasaan luas untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa perburuhan. Berikut ini beberapa
peraturan perundang-undangan tentang perburuhan yang ada di
Singapura.

1. The Employment Act

The Employment Act 1968 ini merupakan salah satu undang-undang yang
dirancang untuk menciptakan iklim yang menarik bagi para investor untuk
menanamkan modalnya di perusahaan-perusahaan Singapura. Undang-
undang ini merupakan penyempurnaan sekaligus konsolidasi atas
berbagai ordonansi yang dibuat oleh penguasa kolonial, diantaranya

Page 26 of 31
adalah The Labor Ordonance 1957, The Shop Assistants Employment
Ordinance 1957 dan The Clerck’s Employment Ordinance 1957.

Melalui undang-undang ini pemerintah Singapura berupaya menciptakan


standarisasi kondisi kerja. Diantaranya, diatur tentang standar hari kerja
dalam satu minggu (yaitu maksimal 44 jam dalam seminggu), besaran
upah lembur dan batas waktu lembur yang diijinkan untuk dilaksanakan
oleh para pekerja/buruh. Selain itu, diatur pula tentang besaran tunjangan
yang diterima oleh pekerja/buruh yang sakit serta ketentuan tentang masa
cuti bagi mereka dalam satu tahun. Melalui berbagai peraturan tersebut
diharapkan dapat dicegah timbulnya biaya-biaya tersembunyi yang tinggi
atas lembur yang dilakukan oleh para pekerja/buruh sehingga melalui
penghambatan biaya tinggi ini investor-investor asing diharapkan tertarik
untuk menanamkan modal mereka di Singapura. Melalui undang-undang
ini pemerintah Singapura juga mengharapkan dapat mengakselerasi
pertumbuhan industri di negaranya.

Pada tahun 1975 undang-undang ini diamandemen, yaitu dengan


membekukan kewajiban pemberian bonus atau pembayaran-pembayaran
lainnya kepada para pekerja/buruh hingga pada tingkatan atau jumlah
tertentu. Dengan amandemen ini berarti pemerintah memberikan jaminan
bagi para investor untuk mendapatkan biaya tenaga kerja yang lebih
murah. Disisi lain, pemerintah membatasi atau mengurangi hak berupa
bonus atau pembayaran-pembayaran lainnya bagi para pekerja/buruh
hingga pada tingkatan atau jumlah tertentu.

Pada tahun 1984 undang-undang ini kembali diamandemen dengan


tujuan untuk meningkatkan produktivitas. Amandemen kedua ini
memberikan ijin bagi perusahaan/pengusaha untuk mengatur jam kerja
secara lebih fleksibel, yaitu dengan mengijinkan pekerja-pekerja non-shift
untuk selama dua belas jam sehari apabila pekerja bersangkutan
memberikan persetujuan tertulis kepada perusahaan. Selain itu,

Page 27 of 31
amandemen kedua ini juga memberikan larangan bagi perusahaan-
perusahaan untuk mempekerjakan anak-anak di bawah usia dua belas
tahun. Sekalipun demikian, perusahaan-perusahaan boleh mengajukan
ijin untuk mempekerjakan anak-anak di bawah usia dua belas tahun untuk
bidang-bidang pekerjaan non industri dan sesudah mendapatkan
sertifikasi dari petugas kesehatan.

Ketentuan Bab II dari undang-undang in menyatakan bahwa setiap


hubungan kerja antara perusahaan dan pekerja/buruh harus dibuat
berdasarkan kontrak, baik kontrak lisan maupun tertulis. Dalam keadaan-
keadaan tertentu, pekerja/buruh dalam kontrak ini dapat mengakhiri
kontrak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada perusahaan,
misalnya apabila ternyata perusahaan melanggar ketentuan kontrak kerja
yang telah mereka sepakati, perusahaan tidak membayar gaji sesuai yang
telah disepakati, atau apabila bidang kerja yang ditangani oleh si
pekerja/buruh menghadapkannya pada resiko bahaya, kekerasan atau
penyakit.

2. The Industrial Relation Act

Undang-undang ini dirancang untuk merestrukturisasi hubungan


ketenagakerjaan di Singapura sekaligus untuk menciptakan sistem
kerjasama tripartite yang melibatkan pemerintah/negara dalam masalah-
masalah perburuhan. Melalui undang-undang ini, maupun
amandemennya tahun 1968, penyelesaian sengketa perburuhan
diarahkan untuk dicegah dan diselesaikan di luar pengadilan, yaitu melalui
proses tawar-menawar kolektif (collective bargaining), konsiliasi dan
arbitrase. Proses tawar-menawar kolektif menggariskan bahwa apabila
negosiasi gagal menyelesaikan sengketa antara perusahaan dan
pekerja/buruh, maka langkah berikutnya yang harus ditempuh adalah
proses konsiliasi. Konsiliasi ini dilaksanakan oleh The Office of

Page 28 of 31
Commissioner of Labor yang berada di bawah naungan departemen
tenaga kerja. Jika upaya konsiliasi masih mengalami kegagalan, maka
langkah berikutnya adalah penyelesaian sengketa melalui mahkamah
arbitrase, yaitu The Industrial Arbitration Court (IAC). Ketua dan Wakil
Ketua lembaga arbitrase ini ditunjuk langsung oleh presiden atas saran
dari Perdana Menteri. Dengan posisi seperti ini, nampak bahwa IAC
memiliki kekuasaan yang sangat besar serta posisi yang sangat kuat
untuk menyelesaikan sengketa antara perusahaan dan pekerja/buruh.

3. The Trade Union Act

Undang-undang ini mengadopsi The British Trade Unions Ordinance yang


memberikan kekuasaan dan kewenangan yang sangat luas pada Negara
untuk memberikan atau menolak pengakuan terhadap serikat-serikat
pekerja. Negara diperkenankan mengambil tindakan-tindakah atau
pembatasan-pembatasan dan pengawasan-pengawasan guna menjamin
keamanan nasional serta untuk memastikan terlaksananya kebijakan anti
dukungan bagi komunisme dan aktivitas-aktivitas komunisme. Dengan
kata lain, undang-undang ini membuka jalan bagi pemerintah untuk
menutup pintu bagi oposisi atau bagi pandangan-pandangan yang
bertentangan dengan ideologi pemerintah. Peluang bagi terjadinya dialog
yang terbuka dan transparan antara perusahaan, pekerja/buruh dan
pemerintah juga menjadi semakin sempit karena pemerintah memiliki
kekuasaan yang besar untuk menentukan serikat pekerja yang mana yang
boleh mengikuti negosiasi dan hal-hal apa yang boleh dinegosiasikan.

Undang-undang ini juga mengatur hak pekerja untuk melakukan


pemogokan. Namun demikian, dalam praktiknya sangat jarang pekerja
dapat menikmati atau melaksanakan haknya tersebut tanpa ada ijin
terlebih dahulu dari pemerintah, sekalipun hak untuk melakukan

Page 29 of 31
pemogokan secara nyata-nyata telah ada dan diatur dalam undang-
undang ini.

IV. KESIMPULAN

Undang-Undang adalah sarana untuk mengukuhkan suatu pandangan


tertentu/partikular tentang kehidupan sosial atau relasi antara pihak-pihak
dalam masyarakat. Maka produk UU tidak pernah bebas nilai. UU selalu
menganut paradigma tertentu tentang relasi sosial. UU PPHI tidak hadir
tanpa maksud. Di dalamnya terkandung pandangan tertentu tentang
hakeket relasi buruh dan majikan yang sifatnya lebih liberal dan hal ini
berbeda dengan konsepsi yang dianut dalam peraturan yang dicabutnya,
yaitu UU No. 12/1964. Gagasan tentang perlindungan hak atas pekerjaan
yang dianut oleh UU No. 12/1964 telah lenyap dengan dihapuskannya
kewajiban majikan memohonkan ijin untuk melakukan PHK.

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang tahap


pembangunannya dilakukan secara konkuren (tahap unifikasi, tahap
industrialiasi dan tahap kesejahteraan berlangsung secara bersamaan),
kondisi ini sangat mempengaruhi perkembangan hukum perburuhan.
Tahap industrialisasi yang menekankan pertumbuhan ekkonomi setinggi-
tingginya akan mengarahkan hukum perburuhan untuk melindungi pemilik
modal. Hal ini berarti bahwa buruh dikorbankan demi pertumbuhan
ekonomi yang setinggi-tingginya. Di lain pihak pada tahap kesejahteraan
fokus pembangunan adalah untuk memperhatikan kesejahteraan
masyarakat termasuk buruh. Tuntutan pemulihan ekonomi dari krisis
multidimensional dan tuntutan peningkatan kesejahteraan buruh berjalan
bersamaan. Kondisi ini akan mempengaruhi perkembangan hukum
perburuhan, sehingga akan terjadi tarik menarik kepentingan dari kedua
belah pihak. Pengusaha akan berusaha untuk tetap mempertahankan

Page 30 of 31
ketentuan yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan
outsourcing, di lain pihak buruh akan berusaha agar ketentuan Perjanjian
Kerja Waktu tertentu dan outsourcing dihapuskan. Pengusaha akan
berusaha menekan besarnya upah minimum, di lain pihak pekerja akan
berusaha meningkatkan upah minimum. Pihak pemerintah cenderung
untuk memihak para pelaku bisnis karena Pemerintah menghadapi
persoalan bagaimana menarik investor domestik/asing dan untuk
mengatasi masalah pengangguran. Dengan demikian tren hukum
perburuhan 2006 akan diarahkan keberpihakannya kepada pelaku bisnis
bukan kepada pekerja/buruh semata-mata.

Secara nyata dapat diketahui bahwa perlindungan terhadap hak-hak


buruh, baik di Indonesia maupun di Singapura, telah diatur dan dijamin
oleh undang-undang, bahkan di dalam konstitusi. Namun, dalam
praktiknya, terdapat disparitas yang lebar antara teori yang tertulis dalam
hukum perburuhan kedua negara dengan apa yang terjadi dalam praktik.
Dengan kata lain, ketentuan dalam undang-undang perburuhan kedua
negara tidak selalu sebangun dengan praktik yang terjadi di lapangan.
Contoh nyata adalah praktik outsourcing di Indonesia dan penerapan ijin
pemogokan bagi pekerja/buruh di Singapura. Ketimpangan-ketimpangan
seperti ini merupakan faktor-faktor yang dapat menjadi perintang bagi
terwujudnya good corporate governance yang justru sangat menjunjung
tinggi transparansi, keterbukaan dan akuntabilitas publik.

Page 31 of 31

Você também pode gostar