Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
I. PENDAHULUAN
Corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang
menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan
yang menentukan arah kinerja perusahaan. Isu mengenai corporate
governance ini mulai mengemuka, khususnya di Indonesia pada tahun
1998, yaitu ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi berkepanjangan.
Terdapat dugaan bahwa berlarut-larutnya proses perbaikan atas krisis
ekonomi yang terjadi di Indonesia ini disebabkan oleh sangat lemahnya
corporate governance yang diterapkan perusahaan-perusahaan di
Indonesia. Sebagai reaksi terhadap dugaan tersebut, baik pemerintah
maupun investor mulai memberikan perhatian yang cukup signifikan
terhadap praktik corporate governance ini dan ditindaklanjuti dengan
menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Page 1 of 31
Prinsip-prinsip Good Corporate Governance pada dasarnya bertujuan
untuk memajukan kinerja suatu perusahaan yang di dalamnya tercakup
serangkaian pola perilaku perusahaan yang diukur melalui kinerja,
pertumbuhan, struktur pembiayaan serta perlakuan terhadap para
pemegang saham dan pemangku kepentingan (stake holders) dengan
memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan
keputusan yang sistematis yang dapat digunakan sebagai dasar
pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja perusahaan. Good
Corporate Governance juga mencakup korelasi antar kebijakan tentang
buruh dan kinerja perusahaan. Sehingga, untuk memajukan kinerja
perusahaan, prinsip-prinsip Good Corporate Governance ini semestinya
dijalankan secara amanah, akuntabel, transparan dan fair demi
terciptanya nilai kinerja perusahaan jangka panjang seraya terlayaninya
kepentingan semua pihak yang berkepentingan dengan jalannya
perusahaan (stakeholders).
Page 2 of 31
etika bisnis dan etika kerja sebagaimana diamanatkan dalam hukum
perburuhan, termasuk di dalamnya adalah terlindunginya hak-hak buruh
sebagai aset utama perusahaan. Namun, lazim dijumpai dalam praktik di
berbagai negara undang-undang perburuhan yang ada dan berlaku di
suatu negara sama sekali tidak mencerminkan praktik perburuhan yang
ada. Hal ini lazim dijumpai baik di negara-negara industri maju maupun di
negara-negara berkembang. Di kelompok negara industri maju, misalnya,
The Singapore Trade Union Act mengijinkan dilakukannya pemogokan
atau aksi-aksi lainnya apabila sebagian besar anggota serikat pekerja
menghendaki hal itu. Namun, dalam praktiknya, penerapan undang-
undang tersebut sangat jauh berbeda. Misalnya, pemogokan hanya boleh
dilakukan atas seijin pemerintah dengan alasan kekhawatiran akan
terjadinya kerusuhan, huru-hara atau tindakan-tindakan buruh yang dapat
mempengaruhi keamanan publik atau mengganggu keharmonisan
masyarakat yang menjadi kebanggaan Singapura selama ini. Perbedaan
antara teori hukum perburuhan Singapura dan praktik hubungan
perburuhan di lapangan ini jelas menunjukkan bahwa aturan-aturan
hukum itu harus dianalisis dari perspektif atau konteks sosial dan politik.
Page 3 of 31
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian dalam bagian Pendahuluan di atas, permasalahan
utama yang dianggap menarik untuk dikaji dalam makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah perlindungan hak-hak buruh yang ada di
Indonesia dan Singapura?
2. Bagaimanakah disparitas yang terjadi antara perlindungan hak-
hak buruh dalam hukum perburuhan dan dalam praktik penerapan
hukum perburuhan di Indonesia dan Singapura?
Page 4 of 31
bersifat memberikan perlindungan terhadap kesehatan kerja ( healthy )
dan keselamatan kerja ( safety ). Undang-undang perlindungan inilah yang
menandakan berawalnya hukum perburuhan. Pada hakekatnya peraturan
atau hukum perburuhan dibuat sebagai perangkat untuk mengurangi
ekses dari pemujaan dan pemanfaatan mesin-mesin.2 Pada masa itu
sudah mulai muncul tendensi bahwa para pengusaha lebih menghargai
mesin yang baru ditemukan daripada para pekerjanya. Upaya pemerintah
melindungi kesehatan dan keselamatan kerja melalui hukum tidak berjalan
dengan mulus.
Saat maraknya Revolusi Industri, teori sosial yang dominan adalah faham
liberalisme dengan doktrin laissez-faire. Dalam doktrin ini negara tidak
intervensi ke bidang ekonomi selain menjaga keamanan dan ketertiban.
Konsep negara yang dominan waktu itu adalah Negara Penjaga Malam
(the night-watchman-state ). Oleh karena itu, upaya pemerintah dalam
rangka perlindungan buruh mendapat perlawanan keras dari kelompok
pengusaha dan para intelektual pendukung laissez-faire, terutama Adam
Smith. Mereka menuduh intervensi pemerintah menggangu kebebasan
mereka dalam perdagangan dan asas kebebasan berkontrak.3
2
H.P. Rajagukguk, “Transformasi Ketenagakerjaan. Perwujudan Standar Hak-Hak
Normatif dan Politik bagi Penegakan Hukum Ketenagakerjaan Era Pasar Bebas” dalam
Peran Serta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2002), hlm. 23-24.
3
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, op. cit., hal. 100.
4
Prof. Imam Soepomo, SH., Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Penerbit Djambatan,
Page 5 of 31
Pada saat yang sama, serikat-serikat buruh belum cukup berkembang
sehingga tidak dapat berbuat banyak. Sikap anti serikat buruh masih
sangat kuat baik dari kalangan pengusaha maupun dari sistem hukum
yang ada. Sebagai contoh, hingga tahun 1825 di Inggris masih berlaku
Undang-Undang Penggabungan (Combination Acts) yang menganggap
sebagai ilegal semua aksi kolektif ( collective action ) untuk tujuan apapun.
Di Belanda, larangan untuk berorganisasi/berserikat ( coalitie verbod ) baru
dihapus pada tahun 1872.5 Sejak penghapusan inilah buruh dapat
melakukan konsolidasi dalam serikat-serikat buruh.6 Oleh karena itu,
hukum perburuhan yang bertujuan melindungi buruh terutama adalah hasil
desakan para pembaharu di dalam maupun di luar parlemen.
5
W. E. J. McCarthy, “Principles and Possibilities in British Trade Union Law,” dalam Trade
Union, edited by W. E. J. McCarthy, (England: Penguin Education, 1976), hal. 345.
6
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, op. cit., hal. 113
7
Akan terbukti kemudian, khususnya di Inggris, bahwa negara juga tidak sewenang-
wenang dalam intervensi itu. Doktrin laissez-faire tidak dihapuskan sepenuhnya oleh
negara.
Page 6 of 31
Penerima kerja sangat tergantung pada pemberi kerja. Oleh karena itu,
hukum perburuhan memberi hak lebih banyak kepada pihak yang lemah
daripada pihak yang kuat. Hukum bertindak “tidak sama” kepada masing-
masing pihak dengan maksud agar terjadi suatu keseimbangan yang
sesuai. Hal ini dipandang sebagai jawaban yang tepat terhadap rasa
keadilan umum.8
“Pada umumnya orang tidak melihat lagi bahwa pemberi kerja dan
penerima kerja di dalam hukum perburuhan, bukan lagi mitra yang
sederajat. Kepentingan buruh jauh lebih besar. Merekalah, kaum lemah,
yang harus dilindungi. Sedangkan pengusaha (pemberi kerja), walaupun
mereka menyetujui pemberian perlindungan bagi buruh, mereka sendiri
tidak membutuhkannya”.10
8
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, op. cit., hal. 89-90
9
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, hlm. 115
10
Tim Pengajar Hukum Perburuhan, hlm. 116
Page 7 of 31
perlindungan buruh dalam hukum perburuhan adalah ungkapan dari
Commons dan Andrews berikut ini:
11
“Where the parties are unequal (and a public purpose is shown) then the State which
refuses to redress the inequality is actually denying to the weaker party the equal
protection of the laws .” Dikutip dalam H.P. Rajagukguk, Ibid., hlm. 25
12
Abdul Hakim G. Nusantara, “Tinjauan Terhadap Organisasi Buruh dan Hukum
Perburuhan di Indonesia” dalam Tahanan dari Kemajuan. Penelaahan Situasi Perburuhan
Indonesia Saat Ini, disunting oleh David R. Harris, (Jakarta: INFID, 1995), hlm. 29
Page 8 of 31
Konsep yang dianut UU No. 12 /1964 mengenai hak kerja dapat ditelusuri
dari isi dan penjelasannya serta dari risalah sidangnya. Pertimbangan
utama dari UU ini adalah untuk lebih menjamin ketenteraman serta
kepastian bekerja bagi kaum buruh (bagian Menimbang). Untuk menjamin
ketenteraman serta kepastian bekerja itu maka PHK sedapat mungkin
harus dihindarkan. Pasal 1 UU ini menegaskan bahwa ”Pengusaha harus
mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Segala
daya upaya harus dilakukan untuk menghindari terjadinya PHK (pasal 2).
Penjelasan UU ini mengakui bahwa:
Page 9 of 31
Melalui UU No. 12 tahun 1964 pemerintah menjamin salah satu hak asasi
rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi, yaitu hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak demi kemanusiaan (pasal 27 ayat (2)UUD 1945
sebelum amandemen). Sumber lain yang memberi penjelasan tentang UU
No.12/1964 ini adalah risalah sidangnya. Dalam risalah sidang Paripurna
pengesahan UU ini terungkap beberapa hal yang menerangkan UU No.
12/1964 ini. Hal-hal itu terungkap melalui pendapat terakhir golongan-
golongan yang menjadi anggota Komisi D DPR-GR. Berikut ini beberapa
aspek penting dalam pembasahan sebelum disahkannya UU No. 12/1964,
sebagai berikut:
Page 10 of 31
mendukung konsep itu.
13
Marzuki Achmad et.al, Naskah Akademis untuk Perubahan UU No. 12 tahun 1964, (Tim
Kerja, 1994), hlm. 30.
Page 11 of 31
Keempat , keprihatinan tentang praktek-praktek ketidakadilan di bidang
perburuhan ( unfair labour practices ) secara umum. Dalam pembahasan
di rapat paripurna ini para anggota parlemen masih mengungkapkan
pemecatan sewenang-wenang yang dialami para aktivis serikat buruh.
Page 12 of 31
Terdapat beberapa contoh peraturan di bawah UU No. 12 tahun 1964 yang
inkonsisten dengan UU tersebut. Pertama , peraturan yang memberi
kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan skorsing bagi buruh
selama proses perijinan PHK. Selama masa skorsing, upah buruh juga
dipotong. Ini bertentangan dengan UU No. 12 tahun 1964 yang
menegaskan bahwa sebelum ijin PHK belum diberikan masing-masing
pihak harus tetap melaksanakan kewajibannya. Dalam UU No. 12 ini
dianut prinsip praduga tak bersalah. Kedua , beberapa peraturan Menteri
yang terus menambah daftar alasan yang bisa dipakai oleh pengusaha
untuk melakukan PHK, seperti: 6 hari berturut-turut tidak masuk kerja
tanpa pemberitahuan dianggap mengundurkan diri, PHK dapat didasarkan
pada alasan tidak harmonisnya hubungan buruh dan pengusaha.15
15
Ibid
Page 13 of 31
pengawas harus memeriksa apakah PHK tersebut sudah berdasarkan ijin
yang dikeluarkan oleh P4D/P. Dalam kenyataan sering terjadi bahwa
pengaduan buruh atas PHK yang dialaminya berlanjut terus hingga P4P
tanpa pejabat P4 memahami ketentuan UU No. 12/1964 yang mengatur
bahwa untuk melakukan PHK, pengusaha harus memohonkan ijin.
Page 14 of 31
Bagian penjelasan UU PPHI memuat beberapa alasan dan pertimbangan
untuk menghapus atau mengganti UU yang sebelumnya berlaku untuk
pemutusan hubungan kerja (PHK) yaitu UU No. 12 tahun 1964. Berikut ini
2 (dua) pertimbangan yang dimuat dalam Penjelasan UU PPHI tentang UU
No. 12 tahun 1964 tentang PHK di Perusahaan Swasta:
Page 15 of 31
bersangkutan harus tetap dipekerjakan. Dengan demikian, sebagai
pemberi kerja, majikan tidak berkuasa secara absolut mencabut pekerjaan
yang telah diberikannya kepada seorang buruh. Pemerintah, dalam hal ini
P4, dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang pemutusan
hubungan kerja.
Page 16 of 31
metodologis. Penilaian itu hanya memakai satu aspek saja dari tiga (3)
aspek yang seharusnya dilihat untuk menguji efektivitas suatu produk
perundangan, yaitu isi/substansi ( legal substance ), struktur hukum ( legal
structure ), dan budaya hukum (legal culture). Penilaian di atas hanya
melihat segi substansi dengan mengatakan bahwa UU No.12/1964 tidak
efektif karena isinya tidak mencerminkan hakikat hubungan antara buruh
dan pengusaha.
Page 17 of 31
No.21/2000 ini mendorong berjalannya demokratisasi di tempat kerja
melalui serikat pekerja/serikat buruh. Buruh diberikan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerjanya.
Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan hukum perburuhan yang
mengatur keserikatburuhan mempunyai nilai positif.
Page 18 of 31
2. Outsourcing. Sejak diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing
pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan karena pengusaha,
dalam rangka efisiensi, merasa aman jika buruh yang di-outsource
adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang
bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan
jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa di-back up oleh
pasal 6 ayat 2 a yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa
pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan
pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang di-
outsource juga merasa di-back up oleh pasal 1 butir 15 yang
menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan
jasa pekerja melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini
disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada
dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan
perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing
pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan
hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut
kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini
berarti bahwa melalui Pasal 6 ayat (2a) UU No.13/2003 Pemerintah
melagalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga
termasuk human-trafficking. Hal ini pada hakikatnya adalah suatu
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Page 19 of 31
1. UU ini berparadigma konflik karena hanya memberikan kesempatan
kepada pihak-pihak yang ingin memenangkan perkara, sedangkan
pihak-pihak yang ingin menyelesaikan persoalan tidak diberi
keleluasaan dalam menggunakan mekanisme yang ditawarkan oleh
UU ini. Hal ini tercermin dari perbedaan kewenangan pengadilan
hubungan industrial dibandingkan dengan kewenangan arbitrase.
Menurut UU ini, pengadilan hubungan industrial diberi kewenangan
untukmenyelesaikan semua jenis perselisihan hubungan industrial
sebagaimana dimaksudkan oleh UU ini, yaitu: perselisihan hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja. Sedangkan
kewenangan arbitrase terbatas pada perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja. Pihak-pihak yang ingin
memenangkan perkara jalurnya adalah pengadilan, sedangkan pihak-
pihak yang ingin menyelesaikan persoalan bukan ke pengadilan
melainkan ke arbitrase sebagai alternative dispute resolution. Menurut
UU ini, para pihak yang menyelesaikan perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan hak tidak dapat menyelesaikannya
melalui arbitrase. Mereka harus menempuh jalur pengadilan
hubungan industrial. Padahal 99, 9 % perselisihan perburuhan adalah
perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan hak. Dengan
demikian 99,9 % dari ribuan kasus perburuhan akan diselesaikan
melalui jalur pengadailan hubungan industrial dan akan bermuara di
Mahkamah Agung. Timbul pertanyaan di sini apakah pengadilan
hubungan industrial dapat menyelesaikan kasus perburuhan yang
jumlahnya ribuan itu dalam waktu 50 hari untuk setiap kasusnya?
Pertanyaa serupa juga dapat dikemukakan disini kepada Mahkamah
Agung yang diberi waktu selama 30 hari untuk menyelesaikan setiap
kasusnya. Dengan demikian harapan terselesaikannya kasus
perburuhan dalam waktu 140 hari melalui mekanisme yang
Page 20 of 31
ditawarkan UU ini akan jauh dari kenyataan.
Page 21 of 31
secara ilegal serta tidak adanya ketentuan yang melarang pejabat
Depnaker, Deplu dan Depkumham termasuk saudara-saudaranya
yang menurut garis keturunan menyamping atau kebawah akan
menimbulkan persoalan TKI sebagaimana tersebut di atas.
Singapura merupakan sebuah negara pulau dan negara kota yang terletak
di kawasan Asia Tenggara. Luas negara ini hanya 622 kilometer persegi,
setara dengan 223 mil persegi, atau sekitar tiga setengah kali ukuran luas
kota Washington DC. Republik Singapura terdiri dari satu pulau utama
dan beberapa pulau kecil yang terbentang di sisi selatan Semenanjung
Malaysia. Negara ini memiliki jalur lalulintas darat dan kereta api yang
dapat menghubungkan lalulintas dari dan ke Malaysia.
17
Uraian ini diambil dari Elizabeth C. Surin, “Government Influence On Labor
Unions In A Newly Industrialized Economy: A Look At The Singapore Labor
System”.
Page 22 of 31
Singapura merupakan negara multi-rasial, multi-agama dan multi bahasa.
Pada tahun 1994, penduduknya berjumlah 2.859.142 jiwa dengan tingkat
pertumbuhan penduduk sebesar 1,12 persen per tahun. Bahasa Inggris
merupakan bahasa resmi utama negara ini sekaligus bahasa administrasi
pemerintahan. Bahasa resmi lainnya meliputi bahasa Cina, Tamil dan
Melayu. Sebagian besar sekolah di Singapura mewajibkan penggunaan
setidaknya dua bahasa sejak dari kelas 1 SD. Bahasa Inggris selalu
menjadi salah satu dari bahasa wajib tersebut.
Singapura menjadi koloni Inggris pada tahun 1819. Bahkan, hingga saat
ini, negara kota ini mengakui Sir Stamford Rafles sebagai Bapak Pendiri
Negara Singapura modern.
Page 23 of 31
Menteri merupakan kepala pemerintahan negara sekaligus ketua partai
politik yang berkuasa. Presiden hanya merupakan kepala negara
seremonial, seperti halnya Ratu yang ada dalam sistem monarkhi Inggris.
Pemilihan Umum untuk memilih partai yang berkuasa dilaksanakan setiap
4 tahun sejak tahun 1959. Hak suara dimiliki oleh setiap warga Negara
Singapura yang telah berusia 21 tahun atau lebih. Calon-calon yang akan
menduduki jabatan-jabatan publik terlebih dahulu dipilih oleh pimpinan
partai-partai. Pemilu dilaksanakan untuk memilih partai yang akan
berkuasa, bukan memilih nama-nama calon yang akan menduduki
jabatan-jabatan publik. Pola seperti ini memunculkan kecenderungan
bahwa calon-calon pejabat tersebut diuntungkan oleh kedekatannya
dengan partai penguasa, bukan karena prestasi atau capaian politik dari
individu calon.
Hingga bulan Januari 1991, jabatan presiden sebagai kepala negara tetap
merupakan jabatan seremonial belaka. Sebelum itu, presiden dipilih oleh
partai berkuasa dan Perdana Menteri merupakan penentu akhir dari
proses pemilihan itu. Pada tahun 1991 dilakukan amandemen terhadap
konstitusi Singapura, yang memuka jalan bagi proses pemilihan presiden
secara langsung oleh rakyat. Pemilihan presiden secara langsung
pertama kali dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 1993. Berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Dasar hasil amandemen, Presiden memegang
jabatan selama enam tahun. Presiden memiliki kekuasaan untuk mem-
veto kebijakan anggaran negara dan untuk menunjuk pejabat-pejabat
Page 24 of 31
publik. Presiden juga mmeiliki kewenangan untuk mereview kebijakan
investasi pemerintah, memerintahkan penahanan orang-orang yang
membahayakan keamanan dan mengeluarkan undang-undang tentang
keagamaan.
Page 25 of 31
sebagaimana yang dikenal dalam sistem demokrasi politik Amerika justru
tidak dikenal dalam struktur pemerintahan Singapura. Karena perdana
menteri Singapura memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif
sekaligus, maka kecil atau bahkan tidak ada sama sekali peluang bagi
partai oposisi untuk menjatuhkan undang-undang produk legislatif atau
kebijakan-kebijakan pemerintah.
The Employment Act 1968 ini merupakan salah satu undang-undang yang
dirancang untuk menciptakan iklim yang menarik bagi para investor untuk
menanamkan modalnya di perusahaan-perusahaan Singapura. Undang-
undang ini merupakan penyempurnaan sekaligus konsolidasi atas
berbagai ordonansi yang dibuat oleh penguasa kolonial, diantaranya
Page 26 of 31
adalah The Labor Ordonance 1957, The Shop Assistants Employment
Ordinance 1957 dan The Clerck’s Employment Ordinance 1957.
Page 27 of 31
amandemen kedua ini juga memberikan larangan bagi perusahaan-
perusahaan untuk mempekerjakan anak-anak di bawah usia dua belas
tahun. Sekalipun demikian, perusahaan-perusahaan boleh mengajukan
ijin untuk mempekerjakan anak-anak di bawah usia dua belas tahun untuk
bidang-bidang pekerjaan non industri dan sesudah mendapatkan
sertifikasi dari petugas kesehatan.
Page 28 of 31
Commissioner of Labor yang berada di bawah naungan departemen
tenaga kerja. Jika upaya konsiliasi masih mengalami kegagalan, maka
langkah berikutnya adalah penyelesaian sengketa melalui mahkamah
arbitrase, yaitu The Industrial Arbitration Court (IAC). Ketua dan Wakil
Ketua lembaga arbitrase ini ditunjuk langsung oleh presiden atas saran
dari Perdana Menteri. Dengan posisi seperti ini, nampak bahwa IAC
memiliki kekuasaan yang sangat besar serta posisi yang sangat kuat
untuk menyelesaikan sengketa antara perusahaan dan pekerja/buruh.
Page 29 of 31
pemogokan secara nyata-nyata telah ada dan diatur dalam undang-
undang ini.
IV. KESIMPULAN
Page 30 of 31
ketentuan yang mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan
outsourcing, di lain pihak buruh akan berusaha agar ketentuan Perjanjian
Kerja Waktu tertentu dan outsourcing dihapuskan. Pengusaha akan
berusaha menekan besarnya upah minimum, di lain pihak pekerja akan
berusaha meningkatkan upah minimum. Pihak pemerintah cenderung
untuk memihak para pelaku bisnis karena Pemerintah menghadapi
persoalan bagaimana menarik investor domestik/asing dan untuk
mengatasi masalah pengangguran. Dengan demikian tren hukum
perburuhan 2006 akan diarahkan keberpihakannya kepada pelaku bisnis
bukan kepada pekerja/buruh semata-mata.
Page 31 of 31