Você está na página 1de 13

CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING POLYNEUROPATHY

Pendahuluan

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) adalah suatu


gangguan neurologis yang dikarakteristik oleh kelemahan progresif dan gangguan
fungsi sensorik pada tungkai dan lengan. Gangguan ini kadang-kadang disebut
chronic relapsing polyneuropathy, disebabkan oleh kerusakan selubung mielin
(selubung lemak yang membungkus dan melindungi sekeliling serat saraf) nervus
perifer. Meskipun gangguan ini dapat terjadi pada setiap umur dan jenis kelamin,
CIDP lebih sering terjadi pada dewasa muda, dan pria lebih sering dibandingkan
wanita. Gejala-gejala yang sering terlihat termasuk rasa geli atau mati rasa (dimulai
pada jari-jari kaki dan tangan), kelemahan kedua lengan dan tungkai, hilangnya
refleks tendon dalam (areflexia), fatigue, dan sensasi abnormal.1 Gejala-gejala,
penanganan dan prognosis sangat mirip dengan tipe penyakit lain yang dikenal
sebagai guillain-barr-syndrome. CIDP awalnya dikenal sebagai "chronic Guillain-
Barré syndrome." Guillain-Barré syndrome adalah suatu gangguan akut yang gejala-
gejalanya cepat terlihat dan lebih jelas. Walaupun keduanya mirip, CIDP dan
Guillain-Barré merupakan dua kondisi yang berbeda. CIDP biasa juga dikenal
sebagai chronic relapsing polyneuropathy.2
Demyelinisasi nervus perifer menyebabkan kelemahan kedua tungkai dan
lengan yang berkembang secara progresif dan lebih berat sepanjang tahun.
Kemampuan tungkai dan lengan merasakan impuls sensorik seperti sentuhan, nyeri
dan temperatur juga terganggu. Khasnya pertama kali dirasakan sebagai tingling
(rasa geli) atau tumpul pada jari-jari kaki dan tangan. Gejala-gejala keduanya
menyebar dan lebih berat sepanjang tahun.2,3

Epidemologi

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy adalah gangguan yang


sering terjadi dan meskipun kadang terdiagnosa, dan merupakan penyakit yang
potensial dapat ditangani, dengan prevalensi kira-kira 0.5 per 100,000 kasus.
Persamaan klinik dengan varian inflammatory demyelinating polyneuropathy acute

1
(Guillain–Barré syndrome) memungkinkan terapi immunosuppresif bermanfaat
dalam penanganan pasien, sehingga diduga patogenesis gangguan ini berupa
immune-mediated. Saat Austin, dkk serta Dyck dkk., pertama kali mendeskripsikan
pasien dengan corticosteroid-responsive chronic polyneuropathy, spektrum
presentasi klinik dan penyokong diagnostik terus berkembang, termasuk pilihan
terapi. Penting membedakan gangguan ini dari chronic sensorimotor
polyneuropathies yang timbul bersamaan dengan diabetes, alkoholisme, atau
malnutrisi.3,5

Etiologi

CIDP adalah suatu gangguan sistem imun. Khususnya, sistem imun tidak
dapat mengenal sel-sel myelin nervus perifer dan menganggapnya sebagai agent
asing. Kerusakan selubung terjadi saat sistem imun mencoba untuk membersihkan
tubuh dari agent asing. Tidak ada fakta penelitian genetik yang menyokong
terjadinya penyakit ini, ataupun riwayat keluarga. Beberapa kesimpulan
menunjukkan bahwa CIDP merupakan penyakit yang tidak diturunkan.3
Seperti Guillain-Barré syndrome, sangat kuat dugaan bahwa CIDP dipicu
oleh infeksi virus. Sebagai contoh, sel-sel imun dapat rusak oleh infeksi virus, seperti
yang terjadi pada acquired-immunodeficiency-syndrome (AIDS) sehingga
menyebabkan malfungsi sistem imun. Apakah infeksi virus atau mikroba yang secara
langsung menyebabkan CIDP masih belum jelas.4,6
CIDP berbeda dari Guillain-Barré syndrome pada infeksi virus, dimana tidak
terjadi antara beberapa bulan saat gejala pertama terlihat. Pada Guillain-Barré
syndrome, infeksi virus atau bakteri, khas mendahului timbulnya gejala-gejala.6

Patogenesis

Proteksi melawan respon-respon imun terhadap autoantigen adalah kunci


untuk pemeliharaan self-tolerance. Pada chronic inflammatory demyelinating
polyneuropathy, self-tolerance mengalami kerusakan. Autoreactive T cells dan B
cells, yang menjadi bagian normal imunitas, teraktivasi menyebabkan kerusakan
organ spesifik.3,6

2
Prinsip dasar respon imun seluler dan humoral yang memperlihatkan bahwa
autoreactive T cells mengenal suatu autoantigen spesifik dalam konteks kompleks
immunokompatibilitas klas II pada permukaan antigen-presenting cells (makrofag)
pada kompartemen imun sistemik. Infeksi dapat memicu kejadian ini melalui peniru
molekuler, potongan melintang pada epitop terbagi antara agent mikrobial dan
antigen nervus. Limfosit T yang teraktivasi ini dapat melewati barier pembuluh darah
nervus dalam proses yang melibatkan molekul-molekul adhesi seluler, matriks
metaloproteinase dan kemokin. Diantara sistem saraf perifer, sel-sel T mengaktivasi
makrofag yang meningkatkan aktifitas fagositik, produksi sitokin dan pelepasan
mediator toksik, termasuk nitric oxida, reactive oxygen intermediates, matrix
metalloproteinase, dan sitokin proinflamasi, termasuk tumor necrosis factor-  dan
interferon . Autoantibodi melewati barier pembuluh darah saraf atau secara lokal
dihasilkan dari keterlibatan sel-sel plasma menyebabkan kerusakan demielinasi dan
aksonal. Autoantibodi dapat menyebabkan demyelinisasi melalui sitotoksisitas
seluler dependent-antibody, secara potensial memblokade epitop yang secara
fungsional sesuai dengan hantaran saraf, dan mengaktivasi sistem komplemen
melalui pathway klasik, menghasilkan mediator-mediator proinflamasi dan membran
lisis- menyerang kompleks C5b-9. Terminasi respon inflamasi terjadi melalui induksi
apoptosis sel T dan pelepasan sitokin antiinflamasi, termasuk interleukin -10 dan
mentransformasi faktor pertumbuhan-. Selubung mielin (sisipan) tersusun dari
berbagai protein, seperti myelin protein zero, yang tersusun lebih dari 50 % dari total
protein membran pada mielin sistem saraf perifer manusia; myelin protein 2; myelin
basic protein; myelin-associated glycoprotein; connexin 32; dan gangliosida dan
dihubungkan dengan glikolipid. Molekul-molekul ini telah teridentifikasi sebagai
antigen target untuk respon-respon antibodi dengan berbagai frekuensi pada pasien
dengan penyakit CIDP.3

3
Gambar. Immunopathogenesis dari Chronic Inflammatory Demyelinating Neuropathy

Klasifikasi

a. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy Klasik

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik, dikarakteristik


oleh kelemahan simetris pada otot-otot proksimal dan distal yang mengalami
peningkatan progresifitas lebih dari dua bulan (keadaan kondisi ini terpisah dari
Guillain–Barré syndrome, penyakit ini self-limited). Kondisi-kondisi yang ada
berhubungan dengan gangguan sensasi, tidak adanya atau berkurangnya refleks-
refleks tendon, dan elevasi kadar protein cairan serebrospinal, pada hantaran-saraf
terdapat demielinasi, dan tanda-tanda demielinasi pada spesimen biopsi. Dalam
perjalanan penyakit, dapat terjadi relaps atau kronik dan progresif. Paling sering pada
dewasa muda.5

4
b. Neuropathy Demielinasi
Analisis klinik yang sangat teliti mendefinisikan bentuk lain dari acquired
demyelinating polyneuropathy. Penyebab diduga autoimun atau dysimmune yang
berbeda dari chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik, baik dalam
presentasi klinik maupun respon terhadap penanganan. Namun tidak jelas apakah
kondisi ini adalah varian chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy atau
penyakit yang berbeda. Penyakit-penyakit tersebut antara lain:3,5

Distal Acquired Demyelinating Symmetric Neuropathy. Diduga bahwa distal


acquired demyelinating symmetric neuropathy berbeda dengan acquired
demyelinating polyneuropathy. Prevalensi meningkat pada pria dan mereka yang
berumur lebih dari 50 tahun. Gejala yang menonjol berupa sensory loss distal,
kelemahan distal ringan (berbeda dengan defisit motor yang lebih general pada
chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy klasik), dan kehilangan
keseimbangan. IgM paraproteinemia ditemukan pada hampir 23 pasien dengan
kondisi ini. IgM-associated distal demyelinating symmetric neuropathy berespon
kurang baik terhadap terapi immunosuppressive.3,5,7

Multifocal Motor Neuropathy. Penting untuk membedakan multifocal motor


neuropathy dari penyakit motor neuron. Multifocal motor neuropathy dikarakteristik
oleh kelemahan asimetrik tanpa sensory loss, seringkali dimulai pada otot lengan
distal. Blokade hantaran motorik partial pada kedua sisi adalah ciri khas gambaran
elektrofisiologik, walaupun tidak semua pasien mengalaminya. Sampai saat ini
dilakukan deteksi antiganglioside antibody sirkulasi. Kadar protein cairan
cerebrospinal dan jumlah sel biasanya normal. Meskipun penanganan kortikosteroid
dan plasmapheresis tidak efektif, multifocal motor neuropathy dapat diperbaiki
dengan immune globulin atau terapi cyclophosphamide. 3,5

Multifocal Acquired Demyelinating Sensory dan Motor Neuropathy (Lewis–


Sumner Syndrome). Multifocal acquired demyelinating sensory and motor
neuropathy (the Lewis–Sumner syndrome) memiliki kemiripan dengan chronic
inflammatory demyelinating polyneuropathy (misalnya, defisit motorik dan sensorik,

5
peningkatan kadar protein, dan pada studi hantaran nervus motorik dan sensorik
memberikan hasil abnormal) dan multifocal motor neuropathy (misalnya, gejala-
gejala yang asimetrik, sering dimulai dari lengan dan tangan, dan blokade hantaran).
Beberapa psaien dengan kondisi ini memiliki antibodi terhadap gangliosida, dan
pasien-pasien ini berespon baik terhadap penanganan intravenous immune globulin
atau cyclophosphamide.3,7

c. Neuropathy-neuropathy lain yang mirip dengan Chronic Inflammatory


Demyelinating Polyneuropathy.
Beberapa bentuk lain dari acquired dan chronic polyneuropathy memiliki
gambaran yang sama dengan chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy
dan telah diklasifikasikan menjadi sub kelompok. Bentuk-bentuk ini termasuk
axonal chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy, pure sensory chronic
inflammatory demyelinating polyneuropathy, dan pure motor dan axonal chronic
inflammatory demyelinating polyneuropathy (yang juga disebut multifocal acquired
motor axonopathy). Pasien-pasien dengan peripheral-nerve demyelination dan respon
complete atau partial terhadap immunoterapi, diduga sebagai bagian dari family
chronic acquired demyelinating polyneuropathies yang besar. Chronic idiopathic
axonal polyneuropathy adalah suatu kelompok gangguan heterogeneous akibat
progresifitas neuropathy sensorimotor lambat tanpa nyeri, dapat menyebabkan
kecacatan ringan sampai sedang.8,9

Kriteria klinik

a. Kriteria klinik menurut American Academy of Neurology (AAN )3


-
Klinik : disfungsi motorik, dan disfungsi sensorik, yang melibatkan > dari 1
tungkai, atau keduanya.\
-
Waktu berlangsungnya;  dari 2 bulan
-
Refleks: berkurang atau tidak ada
-
Tes elektrodiagnostik: 3 dari 4 kriteria berikut: blokade kecepatan hantaran
parsial  2 nervus motorik, pemanjangan latensi distal  2 nervus motorik
atau tidak adanya gelombang F.

6
-
Cairan cerebrospinal: hitung leukosit < 10/mm 3, peningkatan kadar protein
(pendukung)
-
Temuan biopsi: adanya demyelinisasi dan remyelinisasi

b. Kriteria Klinik Saperstein dkk.3


-
Klinik ; Mayor: kelemahan proksimal dan distal simetrik; Minor: khusus
kelemahan distal atau sensory loss.
-
Waktu berlangsungnya;  dari 2 bulan
-
Refleks: berkurang atau tidak ada
-
Tes elektrodiagnostik: 2 dari 4 kriteria elektrodiagnostik AAN.
-
Cairan cerebrospinal: Protein > 45 mg/dl; hitung leukosit < 10/mm 3
(pendukung)
-
Temuan biopsi: gambaran menonjol demyelinisasi

c. Kriteria Inflammatory Neuropathy Cause and Treatment (INCAT)3


-
Klinik : progresif atau relapsing motorik dan disfungsi sensorik lebih dari 1
tungkai
-
Waktu berlangsungnya; > dari 2 bulan
-
Refleks: berkurang atau tidak ada
-
Tes elektrodiagnostik: blokade hantaran parsial ≥2 nervus motorik dan
kecepatan hantaran abnormal atau latensi distal atau latensi gelombang F
pada 1 nervus lain; atau tidak adanya blokade hantaran parsial, abnormalitas
kecepatan hantaran, latensi distal, atau latensi gelombang F pada 3 nervus
motorik; atau abormalitas elektrodiagnostik menunjukkan demyelinisasi 2
nervus dan pemeriksaan histologi menunjukkan adanya demyelinisasi.
-
Cairan cerebrospinal: analisis cairan cerebrospinal direkomendasikan tapi
tidak diharuskan.
-
Temuan biopsi: tidak diharuskan (kecuali pada kasus-kasus dengan
abnormalitas elektrodiagnostik hanya pada 2 nervus motorik).3

7
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis terhadap gejala-gejala yang
timbul serta pemeriksaan klinis. CIDP biasanya mengalami kelemahan dan gangguan
sensorik. Kadang-kadang hanya terjadi gejala kelemahan tanpa gangguan sensorik,
namun jarang terjadi hanya gangguan sesorik sendiri.9
Gejala-gejala CIDP sering diawali dengan gejala-gejala seperti rasa geli atau
mati rasa yang dimulai dari jari-jari tangan dan kaki, kelemahan pada tangan dan
kaki atau kaki terasa berat dan kaku, tangan tidak bisa menggenggam, hilangnya
refleks tendon dalam (arefleksia), kelelahan dan adanya sensasi abnormal. Penyakit
ini bisa menjadi progresif dan memburuk dalam beberapa minggu, bulan atau
kadang-kadang tahun. Bila semakin berat bisa terjadi tremor terutama pada tungkai
dan lengan bagian atas. Sangat jarang terjadi kelumpuhan pada daerah wajah.3
Diagnosis CIDP dapat ditelusuri dengan tes darah, lumbal punksi dan uji
hantaran saraf menggunakan elektromiogram (EMG), EKG atau dengan MRI.

1. Lumbal punksi
Lumbal pungsi dilakukan untuk penilaian cairan cerebrospinal. Jumlah
protein cairan cerebrospinal pada CIDP, lebih banyak dibandingkan pada keadaan
normal. Kadang-kadang terdapat papil edema dan sindroma pseudotumor yang
berhubungan dengan tingginya protein cairan cerebrospinal. Analisis cairan
cerebrospinal pada pasien CIDP menunjukkan adanya disosiasi albuminositologik.6

2. EMG
Electromyography (EMG) digunakan untuk mengukur respon otot terhadap
stimulasi elektrik. Pada EMG, suatu elektroda diantara suatu jarum didorong melalui
kulit kedalam otot; beberapa elektroda dibutuhkan untuk dimasukkan melalui otot
untuk akurasi pengukuran perilaku otot. Stimulasi otot menyebabkan pola visual atau
audio. Pola panjang gelombang membawa informasi mengenai respon otot. Pola
khas panjang gelombang dihasilkan oleh otot yang sehat, yang disebut aksi potensial,
yang dapat dibandingkan dengan otot dari seseorang yang diduga mengalami CIDP.
Untuk otot yang mengalami kerusakan nervus, aksi potensial panjang gelombang
lebih kecil dibandingkan dengan otot normal.4,6,9

8
3. EKG
Elektrokardiogram dapat digunakan untuk mencatat aktifitas elektrik pada
jantung saat diduga terjadi paralisis otot jantung. Kerusakan nervus akan merubah
pola normal detak jantung.9

4. MRI
MRI digunakan untuk mengeliminasi kemungkinan adanya kerusakan yang
terjadi pada sistem saraf perifer.

Differensial diagnosis
Perlu dilakukan berbagai tes laboratorium yang lebih luas diperlukan pada
beberapa pasien untuk meneliti berbagai penyebab lain dari demyelinisasi
polineuropathy, demikian juga penyakit yang bersamaan dengan penyakit ini.
Beberapa differensial diagnosa:
- Guillan-barre syndrome, yang ditandai dengan kelemahan muskular progresif
dalam periode  1 bulan
- Neuropathy yang diturunkan, misalnya neuropathy motor dan sensorik yang
diturunkan. Diperlukan anamnesis riwayat keluarga dan analisis DNA untuk
membuktikannya.
- Neuropathy metabolik: misalnya neuropathy diabetik dan neuropathy yang
berhubungan dengan gangguan toleransi glukosa: uremik, hepatik dan
neuropathy acromegalic; neuropathy yang berhubungan dengan hypotiroidisme.
Diperlukan tes laboratorium yang tepat untuk membuktikan kelainan-kelaian ini.
- Neuropathy paraneoplastik: neuropathy yang berhubungan dengan limphoma
atau karsinoma.
- Neuropathy yang berhubungan dengan monoklonal gammopathy: neuropathy
yang berhubungan dengan mieloma osteosclerosis, dengan monoklonal
gammopathy yang tidak dapat ditentukan, dan dengan Waldenstrom’s
macroglobulinemia.
- Neuropathy yang berhubungan dengan penyakit infeksi: infeksi dengan
immunodeficiensy virus, Leprosy, Borreliosis (termasuk lyme disease),
diptheria.

9
- Neuropathy toksik: alkohol, agent-agent industri (misalnya acrylamide), logam
(misalnya timah), obat-obatan (platinum-based agent, amiodarone, perhexiline,
tacrolimus, chloroquin, dan suramin).
- Neuropathy akibat defisiensi nutrisi: defisiensi vitamin B1, B6, B12, atau E
- Neuropathy yang berhubungan dengan porphyria
- Neuropathy yang berhubungan dengan penyakit-penyakit berat: polyneuropathy
yang berhubungan dengan sepsis, multiple organ failure, atau ventilasi jangka
panjang.3

Penanganan
Dalam penanganan harus melibatkan ahli neurologi, ahli immunologi dan ahli
terapi fisik. Kelompok pendukung berguna dalam membantu penanganan.
Penanganan CIDP dan Guillain-Barré syndrome sama. Penggunaan kortikosteroid
seperti prednisone, yang akan mengurangi respon sistem imun, dapat mengurangi
jumlah demielinasi yang terjadi.3,8

Medikamentosa
Steroid
First line penanganan untuk CIDP termasuk kortikosteroid (mis. Prednisone),
Dengan dosis awal 100 mg/hari dan biasanya dinaikkan dalam 1-4 minggu kemudian
dapat diganti dengan terapi lain secara selang-seling. Apabila kekuatan otot menjadi
normal kembali dan mencapai keadaan plateu maka dosis prednison dapat diturunkan
secara perlahan-lahan 5 mg setiap 2-3 minggu.5,7

Obat-obat imunosuppresif
Obat-obat Immunosuppressive seringkali digunakan adalah klas Cytotoxic
(kemoterapi), termasuk Rituximab (Rituxan) dengan target sel-B, serta
Cyclophosphamide, obat yang mengurangi fungsi sistem imun. Ciclosporin juga
telah digunakan pada CIDP tapi dengan frekuensi yang kurang karena merupakan
pendekatan yang baru. Ciclosporin diperkirakan terikat pada immunocompetent
Lymphocytes, khususnya limfosit-T.5,7,9
Penanganan immunosuppresif non-cytotoxic yang biasa digunakan termasuk
Azathioprine (Imuran) dan Mycophenolate mofetil (Cellcept). Anti-thymocyte

10
globulin (ATG), suatu agent immunosuppresif yang secara selektif menghancurkan
limfosit T, telah dipelajari untuk digunakan untuk CIDP. Anti-thymocyte globulin
adalah fraksi gamma globulin antiserum dari hewan yang telah diimunisasi melawan
human thymocytes. Ini merupakan suatu polyclonal antibody.4

Plasmapheresis (plasma exchange) dan immunoglobulin (IVIg)


Plasmapheresis (plasma exchange) dan intravenous Immunoglobulin (IVIg)
yang dapat diberikan tunggal atau kombinasi dengan obat immunosuppresif lain.5,7,8
Prosedur medis yang dikenal sebagai plasmapheresis, atau plasma exchange, dapat
menjadi pilihan penanganan yang lain. Pada plasmapheresis, plasma darah
dikeluarkan dari tubuh, Eritrosit diambil dari plasma dan dikembalikan kedalam
tubuh dengan plasma yang bebas antibodi atau dengan cairan intravena. Oleh karena
plasma darah dikeluarkan dari tubuh pasien CIDP dapat mengandung antibodi
terhadap selubung myelin, mengeluarkan antibodi-antibodi ini dapat mengurangi
efek dari sistem imun tubuh menyerang sel-sel nervus.7,9
Prosedur lain yang menghasilkan hasil yang sama yaitu pemberian
intravenous immunoglobulin (IVIg). IVIg secara umum ditujukan untuk penanganan
sistem imun yang berhubungan dengan neuropathy. Seperti plasmapheresis,
immunoglobulin dapat membantu mengurangi jumlah anti-myelin antibody, dan
untuk menekan respon imun.9

Fisioterapi
Fisioterapi memegang peranan penting dalam penanganan CIDP. Fisioterapi
dapat memperbaiki kekuatan, fungsi dan mobilitas otot dan meminimalisasikan
penyusutan otot dan tendon serta distorsi sendi-sendi.4

Pemulihan dan Rehabilitasi


Pemulihan dari CIDP bervariasi dari satu orang ke orang lain. Beberapa
orang pulih sempurna tanpa intervensi pengobatan, sedangkan yang lain dapat relaps
lagi dan lagi. Oleh karena beberapa orang dapat mengalami kelemahan atau
numbness yang permanen, terapi fisik dapat digunakan sebagai bagian dari regimen
rehabilitasi.7

11
Prognosis
Prognosis seorang pasien berkisar antara pemulihan sempurna sampai pola
ulangan periodik gejala-gejala dan residual kelemahan atau numbness otot. Seperti
pada Multiple Sclerosis, suatu kondisi yang mirip demyelinasi, tidak mungkin
diprediksi dengan pasti bagaimana CIDP mempengaruhi seseorang nantinya. Pola
relaps dan remisi sangat bervariasi pada tiap-tiap pasien. Periode relaps bisa sangat
mengganggu, tapi beberapa pasien dapat mengalami pemulihan signifikan.
Jika terdiagnosa secara dini, inisiasi penanganan dini untuk mencegah nerve-
loss direkomendasikan. Akan tetapi, beberapa orang masih menyisakan gejala-gejala
sisa seperti; rasa tumpul, kelemahan, tremor, fatigue dan gejala-gejala lain yang
dapat memicu morbiditas jangka panjang dan membatasi kualitas hidup.1
Penting untuk membangun hubungan yang baik dengan dokter, penyedia
layanan primer dan spesialis. Oleh karena penyakit yang jarang, beberapa dokter
tidak memiliki kesiapan untuk menanganinya. Tiap-tiap kasus CIDP berbeda, dan
relaps jika terjadi dapat membawa gejala-gejala dan masalah baru. Oleh karena
variabilitas dalam berat dan progresifitas penyakit, dokter-dokter tidak mampu
menentukan prognosis pasti. Periode eksperimentasi dengan regimen penanganan
berbeda penting untuk menemukan regimen penanganan yang tepat untuk diberikan
pada pasien. 1,3

Perhatian Khusus
Masalah penting, penggunaan IVIg akan meningkatkan resiko kerusakan
ginjal pada penderita usia tua atau diabetes. Perlu diberikan Lovenox (Enoxaparin)
yang dapat menurunkan resiko pembekuan darah pada pasien hipertensi. Resiko
meningkat bila Lovenox diberikan bersama dengan aspirin atau obat antiinflamasi.
Penggunaan kortikosteroid dapat menekan efisiensi sistem imun, sehingga
meningkatkan resiko infeksi sekunder atau oportunistik. Staf medis perlu memonitor
pasien yang menerima penanganan ini untuk timbulnya tanda-tanda komplikasi.1,3

12
DAFTAR PUSTAKA

1. NINDS Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (CIDP). National


Institute of Neurological Disorders and Stroke National Institutes of Health
Bethesda, MD 20892. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Chronic_
inflammatory_demyelinating_polyneuropathy Last updated August 18, 2009.
2. Hoyle BD. Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy.
http://www.answers.com/topic/chronic-inflammatory-demyelinating-
polyneuropathy
3. Köller H, Kieseier BC, Jander S, Hans-Peter Hartung. Chronic Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy. Volume 352:1343-1356. March 31, 2005.
Available at http://content.nejm.org/cgi/reprint/352/13/1343.pdf.
4. Rajabally YA, Guillaume N, Francoise P, Bouche P, Peter Y K. Validity of
diagnostic criteria for chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy: a
multicentre European study. 19 August 2009. Available at.
http://jnnp.bmj.com/cgi/content/short/jnnp.2009.179358v1?rss=1
5. Hoyle B. D. Chronic Acquired Demyelinating Symmetric Polyneuropathy
Classified by Pattern of Weakness Arch Neurol. 2003;60:260-264.
6. Mygland A, Monstad P. Chronic Acquired Demyelinating
SymmetrPolyneuropathy Classified by Pattern of Weakness. Vest-Agder
Central Hospital, N-4604 Kristiansand, Norway. Vol. 60 No. 2, February 2003.
7. John Hopkins medicine. Guillian-Barre and CIDP.
http://www.hopkinsmedicine.org/
8. Oh S.J., Joy J.L., Kuruoglu R. Chronic sensory demyelinating neuropathy:
chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy presenting as a pure
sensory neuropathy. 1992;55;677-680 J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry
10.1136/jnnp.55.8.677
9. Markowitz J.A., Jeste S.S., Kang P.B. Child Neurology: Chronic inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy in children. 2008;71:e74-e78. Available
at http://www.neurology.org/cgi/content/abstract/71/23/e74?ck=nc.

13

Você também pode gostar