Você está na página 1de 3

Wednesday, 18 November 2015

APA SIH AGAMA ITU?

Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia. Tidak ada suatu
masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama ada pada dasarnya
merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib dan supranatural yang
biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang
ajaran-ajarannya teratur dan tersusun rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk
melembagakan sistem kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala
bentuk aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa aman
dan tentram.1[1]
Karena inti pokok dari semua agama adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan,
sedangkan persepsi manusia tentang Tuhan dengan segala konsekuensinya beranekaragam, maka
agama-agama yang dianut manusia di dunia ini pun bermacam-macam pula. Karena kondisi
seperti inilah Mukti Ali mengatakan:
Barangkali tidak ada kata yang paling sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata
agama. Paling sedikit ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama, karena pengalaman agama itu
adalah soal batini dan subyektif, juga sangat individualistik. Alasan kedua, bahwa
barangkali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional lebih daripada
membicarakan agama maka dalam membahas tentang arti agama selalu ada emosi yang kuat
sekali hingga sulit memberikan arti kalimat agama itu. Alasan ketiga, bahwa konsepsi
tentang agama akan dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama itu.2[2]
Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di antaranya ada
yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku
kata yaitu: a berarti tidak dan gama berarti kacau, jadi berarti tidak kacau.3[3]

1[1] Abdul Madjid, et.al, al-Islam, Jilid I, Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universitas
Muhammadiyah, Malang, 1989, hlm. 26.
2[2] Mukti Ali, Agama dan Pembangunan di Indonesia, bagian 1, Badan Penerbit
IKIP, Bandung, 1971, hlm. 4. Lihat juga Endang Syaefudin Anshari, Ilmu, Filsafat dan
Agama, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2002, hlm. 117-118.

Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan diin (dari bahasa Arab) dalam
bahasa Eropa disebut religi, religion (bahasa Inggris), la religion (bahasa Perancis), the religie
(bahasa Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata diin dalam bahasa Semit berarti undangundang (hukum), sedang kata diin dalam bahasa Arab berarti menguasai, menundukkan, patuh,
hutang, balasan, kebiasaan.4[4]
Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan agama, namun
umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian yang sama dengan
agama.5[5] Kata agama selain disebut dengan kata diin dapat juga disebut syara,
syariat/millah. Terkadang syara itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu wajib
dipatuhi, maka disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan, dinamakan millah.
Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan syara.6[6]
Dari pengertian agama dalam berbagai bentuknya itu maka terdapat bermacam-macam definisi
agama. Harun Nasution telah mengumpulkan delapan macam definisi agama yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu
sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan
manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari suatu kekuatan gaib.
3[3] Taib Thahir Abdul Muin, Ilmu Kalam, Wijaya, Jakarta, 1992, hlm. 112. Cf
Nasrudin Razak, Dienul Islam, PT al-Maarif, Bandung, 1973, hlm. 76.
4[4] Mudjahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan agama, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1994, hlm. 1.
5[5] Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1997, hlm. 63.
6[6] Taib Thahir Abdul Muin, Ilmu Kalam, hlm. 121.

6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu


kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.7[7]

7[7] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta,
1985, hlm.10.

Você também pode gostar