Você está na página 1de 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi
Ensefalitis merupakan terdapatnya proses inflamasi pada parenkim otak

dengan adanya disfungsi otak.1,3 Proses inflamasi ini dapat disebabkan oleh
penyakit non infeksi seperti pada penyakit ensefalomyelitis diseminata akut atau
penyakit infeksi yang biasanya disebabkan oleh virus.3 Ensefalitis virus adalah
inflamasi pada parenkim otak yang penyebabnya berasal dari virus. 1,2,3 Ensefalitis
virus terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk sekunder.
Ensefalitis primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum
tulang belakang sedangkan pada ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi
di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak.2
Istilah ensefalitis harus dibedakan dengan ensefalopati yang didefinisikan
sebagai suatu proses disrupsi dari fungsi otak yang terjadi bukan karena proses
inflamasi primer ataupun sekunder.2,3 Ensefalopati timbul melalui proses
metabolic dan dapat disebabkan oleh intoksikasi, obat-obatan, disfungsi organ
sistemik atau infeksi sistemik yang menyebar ke otak.2,4
2.2.

Epidemiologi
Insiden ensefalitis di seluruh dunia sulit untuk ditentukan. 5 Angka

kejadiannya bervariasi sesuai dengan lokasi, populasi yang diteliti, dan perbedaan
dari metode penelitian yang dilaksanakan.6 Insidensnya bervariasi pada berbagai
studi namun berkisar antara 3,5 7,4 per 100.000 pasien per tahun dan lebih
tinggi pada anak-anak.5 Insidens yang dilaporkan di negara barat berkisar antara
dari 0,7 13,8 per 100.000 orang untuk semua usia. Pada dewasa, angka
kejadiannya yaitu 0,7 12,6 per 100.000 orang dewasa sedangkan pada anakanak, angka kejadiannya yaitu 10,5 13,8 per 100.000 anak-anak.6
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan penyebab ensefalitis virus yang
paling banyak terdiagnosis di negara maju dengan insidens 1/250.000
1/500.000.

HSV-1

merupakan

penyebab
3

terbanyak,

sedangkan

HSV-2

menyebabkan 10% dari ensefalitis yang disebabkan oleh HSV. Pada pasien
immunocompromised dan neonatus, varicella zoster virus (VZV) menjadi
penyebab terbanyak.6 Di Amerika Serikat, insidens herpes simpleks ensefalitis
(HSE) yaitu sebesar 1/300.000 sama dengan angka kejadian HSE di Inggris dan
Swedia. HSE terjadi sepanjang tahun, pada semua usia dan jenis kelamin.5
Insidens mengenai penyebab dari ensefalitis virus bervariasi. Studi lainnya
yang dilakukan di Finlandia pada 3231 pasien yang dilakukan dengan melakukan
amplifikasi gen pada sampel cairan cerebrospinal pasien ensefalitis, meningitis,
dan myelitis memberikan hasil yang berbeda yaitu VZV sebagai penyebab
terbanyak (29%), HSV dan enterovirus sebesar 11%, dan influenza A sebesar 7%.
dan virus influenza A (4%).5
2.3.

Etiologi
Penyebab dari ensefalitis virus adalah sebagai berikut.7

a.
b.

Herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2)


Selain virus herpes: varicella zoster virus (VZV), cytomegalovirus (CMV),

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Epstein-Barr (EBV), virus herpes manusia 6 (HHV6)


Adenovirus
Influenza A
Enterovirus c, virus polio
Campak, gondongan dan virus rubella
Rabies
Arbovirus misalnya, Ensefalitis Jepang B, St Louis Ensefalitis virus, West

i.
j.
k.
l.

Nile ensefalitis virus, Timur, Barat, dan Virus ensefalitis equine Venezuela,
Bunyaviruses misalnya, La Crosse strain virus California
Reoviruses misalnya, Colorado tick fever virus
Arenaviruses misalnya, virus choriomeningitis limfositik
Retrovirus misalnya Human Immunodeficiency Virus-1/2 (HIV-1/2)

2.4.

Patogenesis
Infeksi virus pada sistem saraf pusat dapat melalui beberapa cara yaitu

sebagai berikut.
a.

Invasi langsung melalui barier anatomi.

Scalp, tengkorak dan dura membentuk barrier yang efektif


terhadap infeksi yang langsung dari lingkungan sekitar. Infeksi dengan
b.

jalan langsung biasanya karena trauma atau akibat luka operasi.


Transport axonal oleh neuron dari perifer.
Neuron dapat menjadi jalan lalu lintas dari dan ke Cell Body dan
sistem transpor antegrade dan retrograde, misalnya transpor retrograde
yang cepat rata-rata 200-300 mm/hari, misalnya pada virus herpes
simpleks dan varisela zoster ditransportasinya dari replikasi di kulit dan

c.

mukosa oleh serabut sensorik ke akar saraf dorsalis.


Jalan masuk dari traktus respiratorius melewati epitel olfaktorius.
Cara masuk organisme pada mukosa olfaktorius melalui proses
apikal dari sel reseptor saraf yang menonjol keluar di tepi epitel sebagai
olfactory rads, sehingga partikel diletakkan pada mukosa olfaktorius
dapat diambil oleh vesikel pinositik dan ditransportasikan ke bulbus

d.

olfaktorius.
Infeksi melalui pembuluh darah melewati endothelium kapiler atau epitel
pleksus choroideus.
Bila kuman pathogen masuk ke sistem saraf akan terjadi perlawanan unik.

Otak tidak memiliki sistem intrinsik untuk menghasilkan antibodi, tidak


mempunyai sistem limfatik yang baik, dan hanya mempunyai sedikit sel fagosit.
Sawar darah otak (BBB) yang mencegah masuknya kuman, juga menghambat
masuknya

leukosit

dan

bahan-bahan

terapeutik.

Kurangnya

antigen

Histocompatibility complex membatasi keefektifan dari respon imun seluler.


Hal-hal tersebut membuat system saraf pusat menjadi tempat untuk infeksi yang
bersifat laten. Organisme yang masuk ke otak tidak semua dapat mempengaruhi
SSP. Virus dapat mengenai hampir semua sel neuron, tetapi tergantung pula pada
macam virusnya. Beberapa virus hanya menyerang sel-sel neurogen yang
menyebabkan nyeri kepala, panas, dan kaku kuduk. Sedangkan virus yang lain
menyerang neuron dan sel glia yang menyebabkan fokal infeksi di otak, seperti
halnya Herpes Simpleks ensefalitis pada orang dewasa.8
Infeksi yang disebabkan oleh virus menyebabkan respon sel mononuklear.
Komponen dasar dari reaksi imunologis terdiri dari sel T, sel B dan antigen

presenting cells (sel seperti makrofag dan sel dendritik) yang berada di jaringan
limfoid perifer. Fase awal aktifasi sel T terjadi di perifer, mungkin di limfo nodi di
dekat tempat masuknya virus dan replikasi virus. Di dalam SSP, sel T dapat
menstimulasi untuk menghasilkan sitokin. Sitokin akan merangsang proliferasi sel
dan diferensiasi dan melepaskannya ke SSP selama terjadinya keradangan.
Kemampuan sel T di dalam SSP yang berinteraksi dengan antigen presenting cell
menyebabkan munculnya antigen MMC kelas II (CD4-T) atau di dalam sel yang
terinfeksi timbul pula antigen MMC kelas I (CD8+ T). baik antigen kelas I dan II
secara normal ada di SSP. Keduanya dapat timbul pada microglia dana kadangkadang di sel endothelial, oligodendrosit, dan artrosit pada waktu terjadinya
infeksi virus. Pada minggu ke-2 dari keradangan sel B menjadi komponen yang
penting dari peradangan lokal karena sel B menghasilkan immunoglobulin.
Antiibodi yang terdapat pada SSP normal berasal dari serum dan kadar dari IgA
dan IgG yang berada di cairan serebrospinal berkisar 0,2-0,4% dari kadar dalam
plasma. IgM juga dijumpai meskipun kadarnya lebih rendah karena masuknya
protein ke dalam cairan serebrospinal tergantung dari ukuran dan muatannya.
Produksi intratekal antibodi terhadap organisme yang menyebabkan radang adalah
keadaan umum yang dijumpai pada infeksi virus pada SSP.8
Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi
intracelluler inclusion bodies, peradangan otak dan medulla spinalis serta edema
otak.9,10 Juga terdapat peradangan pada pembuluh-pembuluh darah kecil,
thrombosis dan proliferasi astrosit dan microglia. Neuron-neuron yang rusak
dimakan oleh makrofag atau mikroglia, disebut sebagai neuronofagia yaitu
sesuatu yang khas bagi ensefalitis primer. Di dalam medulla spinalis, virus
menyebar melalui endoneurium dalam ruang intersisial pada saraf-saraf seperti
yang terjadi pada rabies dan herpes simpleks. Pada ensefalitis sel-sel neuron dan
glia mengalami kerusakan. Kerusakan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh
invasi langsung dan destruksi jaringan saraf oleh virus yang berproliferasi aktif
dan/atau reaksi jaringan saraf terhadap antigen-antigen virus.8,9
2.4.1. Klasifikasi Ensefalitis Virus

Ensefalitis virus dibagi dalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut.9


a.

Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok

b.
c.

herpes simpleks, virus influensa, ECHO, Coxsackie dan arbovirus.


Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya
Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai
komplikasi penyakit virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela,
herpes zoster, parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan

vaksinasi.
2.4.1.1.
Ensefalitis Primer Herpes Simpleks Virus (HSV)
Terdapat dua jalur utama (port dentree) untuk memasuki pejamu (host),
yaitu dari mukosa oral dan mukosa vagina. Setelah memasuki tubuh pejamu, virus
bermultiplikasi secara lokal dan di tempat sekunder lainnya, menyebabkan
viremia. Secara eksperimen telah dibuktikan bahwa penyebaran HSV ke susunan
saraf pusat (SSP) melibatkan neuron olfaktorius di mukosa nasal, dan proses
sentral sel-sel neuron tersebut akibat celah pada lempeng kribriformis dan sinapsis
dengan bulbus olfaktorius. Jalur potensial lain yaitu melalui nervus trigeminalis
dan ganglion Gasseri. Penyebaran hematogen juga dapat terjadi, virus melewati
sawar darah otak dan plexus choroideus, bersamaan dengan migrasi limfosit
menuju daerah glial dan vaskular, yang harusnya steril. Dalam mekanisme infeksi
virus secara selular, terdapat nekrosis substansia alba dan grisea, khususnya di
inferomedial dari lobus temporal. Di tingkat jaringan, terjadi kongesti meningeal
dan infiltrasi mononuklear, nekrosis perivaskular dengan kerusakan mielin dan
gangguan transmisi sel neuron. Beberapa literatur juga mengatakan dapat terjadi
kerusakan ganglia basalis, talamus, dan nukleus subtalamus, menyebabkan
gangguan gerak permanen.1,11
Pada anak-anak dan orang dewasa, ensefalitis virus herpes simpleks
merupakan manifestasi re-aktivasi dari infeksi yang laten. Dalam hal ini, virus
herpes herpes simpleks berdiam di dalam jaringan otak secara endosimbiotik,
mungkin di ganglion Gasseri dan hanya ensefalitis saja yang bangkit. Reaktivitas
virus herpes simpleks dapat disebabkan oleh faktor faktor yang pernah disebut
diatas, yaitu penyinaran ultraviolet, dan gangguan hormonal. Penyinaran

ultraviolet dapat terjadi secara iatrogenic atau sewaktu berpergian ke tempattempat yang tinggi letaknya.1,11

Gambar 1. Transmisi dari Ensefalitis Herpes Simpleks.8

Kerusakan pada jaringan otak berupa nekrosis di substansia alba dan


grisea serta infark iskemik dengan infiltrasi limpositer sekitar pembuluh darah
intraserebral. Di dalam nucleus sel saraf terdapat inclusion body yang khas bagi
virus herpes simpleks. Gambaran penyakit ensefalitis virus herpes simpleks tidak
banyak berbeda dengan ensefalitis primer lainnya lainnya. Tetapi yang menjadi
ciri khas bagi ensefalitis virus herpes simpleks ialah progresivitas perjalanan
penyakitnya. Mulai dengan sakit kepala, demam dan muntah-muntah. Kemudian
timbul Acute Organic Brain Syndrome yang cepat memburuk sampai koma.
Sebelum koma dapat ditemukan hemiparesis atau afasia. Dan kejang epileptik
dapat timbul sejak permulaan penyakit. Pada pungsi lumbal ditemukan
pleiositosis limpositer dengan eritrosit.1,9

2.4.1.2.

Ensefalitis Arbovirus
Arbo-virus atau lengkapnya arthropod-borne virus merupakan penyebab

penyakit demam dan adakalanya ensefalitis primer. Virus tersebur tersebar di


seluruh dunia. Kutu dan nyamuk menjadi vektor penyebaran virus. Tergolong
pada arbo-virus adalah virus yang menyebabkan dengue, ensefalitis St.Louis,
demam kuning, demam kutu Kolorado, dan demam hemoragik.1,9
8

Yang menjadi ciri khas ensefalitis primer arbo-virus adalah perjalanan


penyakit yang bifasik. Pada gelombang pertama gambaran penyakitnya
menyerupai influenza yang dapat berlangsung 4-5 hari. Sesudahnya penderita
merasa sudah sembuh. Pada minggu ketiga demam dapat timbul kembali. Dan
demam ini merupakan gejala pendahulu bangkitnya manifestasi neurologic,
seperti sakit kepala, nistagmus, diplopia, konvulsi dan acute organic brain
syndrome.1,9
2.4.1.3.

Ensefalitis Parainfeksiosa
Ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus parotids

epidemika, mononucleosis, varisela dan herpes zoster dinamakan ensefalitis parainfeksiosa. Tetapi ensefalitis ini sebenarnya tidak murni. Gejala-gejala meningitis,
mielitis, neuritis kranialis, radikulitis dan neuritis perifer dapat bergandengan
dengan gambaran penyakit ensefalitis. Bahkan tidak jarang komplikasi utamanya
berupa radikulitis jenis Guillain Barre atau mielitis transversa sedangkan
manifestasi ensefalitisnya sangat ringan atau tidak berarti. Maka untuk beberapa
jenis ensefalitis parainfeksiosa, diagnosis mieloensefalitis lebih tepat daripada
ensefalitis. Salah satu jenis mielo-ensefalitis viral adalah rabies.1,9
2.4.1.4.

Ensefalitis HIV
HIV merupakan suatu virus ribonucleid acid (RNA) yang termasuk

retrovirus (family lentivirus). HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang


terdapat di dalam inti HIV dan akan mengubah informasi genetika dari RNA virus
menjadi deoxy-ribonucleid acid (DNA). HIV mempunyai target sel utama yaitu
sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga
mempunyai reseptor CD4 adalah: sel monosit, sel makrofag, sel folikular
dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh
HIV dimediasi oleh perlekatan virus ke permukaan sel reseptor CD4, yang
menyebabkan kematian sel. HIV memasuki SSP pada saat kejadian infeksi primer
dan dapat muncul secara tidak jelas, acute self-limited syndrome atau kelainan
kronik. Hal ini disebabkan oleh HIV itu sendiri, infeksi opportunistik sekunder
atau neoplasma, kelainan metabolik, riwayat medis atau gangguan nutrisi.5,9

Mekanisme HIV itu sendiri memasuki SSP masihlah tidak diketahui.


Mekanisme yang memungkinkan mencakup transport intraseluler melewati bloodbrain barrier dalam makrofag yang terinfeksi, penempatan virus bebas pada
leptomeningens, atau virus bebas setelah replikasi dalam pleksus khoroideus atau
epithelium vaskular. Infeksi HIV primer dapat bersifat asimptomatik, atau pada
50-70% penderita muncul dalam bentuk akut, self-limiting mononucleosis-like
illness dengan demam, nyeri kepala, mialgia, malaise, lethargi, sakit tenggorokan,
limfadenopati, dan bintik makulopapular. Infeksi akut ditandai dengan viremia,
dijumpai angka replikasi virus yang tinggi, mudahnya isolasi virus dari limfosit
darah perifer dan level serum antigen virus p24 yang tinggi. Diikuti limfositosis,
khususnya limfosit CD8, dengan inversi perbandingan CD4/CD8. 5,9
Gejala dan tanda neurologi terjadi pada 30- 70% kasus infeksi HIV.5,9
Defisit neurologi yang timbul pada penderita AIDS secara umum dapat
dikelompokkan menjadi

deficit neurologis primer/komplikasi yang langsung

terlibat pada sistem saraf yang terinfeksi HIV yaitu apabila perubahan patologi
diakibatkan

langsung

oleh

HIV

itu

sendiri

dan

deficit

neurologis

sekunder/komplikasi tidak langsung yang timbul sebagai akibat dari proses


immunosupresi konkomitan berupa infeksi opportunistik dan neoplasma. Kelainan
neurologi dapat muncul pada setiap stadium dari infeksi pertama dan terjadinya
serokonversi pada AIDS. Sebagian besar kelainan neurologi terbatas pada stadium
simptomatik dari infeksi HIV (AIDS dementia complex). Kelainan neurologi dapat
muncul dalam waktu 10 minggu dari infeksi HIV. Pendapat lain menyatakan
dalam waktu 6 minggu dari infeksi. Di samping pengaruh langsung kelainan
neurologi pada infeksi HIV, bermacam kelainan opportunistik, baik fokal maupun
non fokal, dapat muncul pada beberapa penderita. Kelainan neurologi yang timbul
dari infeksi opportunistik akibat HIV bergantung pada lokalisasi neuroanatomi
yang terlibat.12
2.5.

Manifestasi Klinis
Ensefalitis dapat merupakan bagian dari penyakit sistemik seperti varisela

atau measles dengan sendirinya manifestasi awalnya adalah gejala dari penyakit

10

awalnya.3,10 Bila ensefalitis tidak merupakan bagian dari penyakit virus yang
sistemik, tanda dan gejala umum yang dapat dijumpai adalah demam, sakit
kepala,

gangguan

kesadaran,

perubahan

kepribadian

dan

abnormalitas

neurofisiologis, kejang, dan defisit neurologis fokal. 10 Dapat dijumpai adanya


mual, muntah dan kaku kuduk. Pengaruh langsung pada otak ditandai dengan
letargi, kebingungan, atau stupor yang dapat menjurus ke koma. Bila penderita
tidak mengalami gangguan tingkat kesadaran dapat dijumpai kebingungan,
halusinasi dan disorientasi dan dapat pula terjadi kejang, baik fokal maupun
kejang umum, dan gejala-gejala/tanda-tanda gangguan neurologi lain seperti
hemiplegic, nistagmus, ataksia, anisokoria, disfasia, diplopia, disartria dan
hemianopsia. Gejala-gejala tersebut dapat disebabkan oleh karena kenaikan
intrakranial yang meningkat dan atau akibat herniasi serebri dari pada akibat
pengaruh langsung dari virus. Gangguan reflek pupil dan oculovestibular
merupakan gejala yang timbul karena terutama menyerang batang otak. Gangguan
pada pernafasan dan saraf kranial dapat pula terjadi. Terjadinya ataksia, tremor,
dan gangguan koordinasi dapat disebabkan oleh karena disfungsi pada jaras
penghubung serebelum. Bila infeksi terjadi pada mielum, terjadi pula paraplegia,
gangguan rasa raba dan juga gangguan sfingter. Sedangkan gangguan pada sel
cornu anterior dapat menyebabkan kelumpuhan flaksid, hipotonia, dan hilangnya
reflek tendon tanpa adanya gangguan sensorik.8
Gejala trias ensefalitis adalah demam, kejang dan kesadaran menurun.
Gejala-gejala ensefalitis viral beraneka ragam, bergantung pada masing-masing
kasus, epidemi, jenis virus dan lain-lain. Pada umumnya terdapat 4 jenis bentuk
manifestasi kliniknya yaitu sebagai berikut.8
1. Bentuk asimtomatik: gejala ringan sekali, kadang ada nyeri kepala ringan
atau demam tanpa diketahui sebabnya. Diplopia, vertigo dan parestesi juga
berlangsung sepintas saja. Diagnosis hanya ditegakkan atas pemeriksaan
CSS.
2. Bentuk abortif: Gejala-gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak
tinggi dan kaku kuduk ringan. Umumnya terdapat gejala-gejala seperti
infeksi saluran pernafasan bagian atas atau gastrointestinal.

11

3. Bentuk fulminan: bentuk ini beberapa jam sampai beberapa hari yang
berakhir dengan kematian. Pada stadium akut: demam tinggi, nyeri kepala
difus yang hebat, apatis, kaku kuduk, disorientasi, sangat gelisah dan
dalam waktu singkat masuk ke dalam koma yang dalam. Kematian
biasanya terjadi dalam 2-4 hari akibat kelainan bulbar atau jantung
4. Bentuk khas ensefalitis: bentuk ini mulai secara bertahap, gejala awal
nyeri kepala ringan, demam, gejala ISPA atau gastrointestinal selama
beberapa hari. muncul tanda radang SSP (kaku kuduk, tanda Kernig
positif, gelisah, lemah dan sukar tidur). Defisit neurologik yang timbul
bergantung pada tempat kerusakan. Penurunan kesadaran menyebabkan
koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan
koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan bicara, dan
gangguan mental.
2.6.
Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis:
- Demam
- Kejang
- Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala
infeksi umum dengan tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial
yaitu: nyeri kepala yang kronik dan progresif, muntah, penglihatan
kabur, kejang, kesadaran menurun.13
Riwayat anamnesis lengkap diperlukan, karena umumnya pasien
sering datang dengan penurunan kesadaran, disorientasi, delirium atau
bahkan koma. Selain demam akut seperti pada meningitis, pasien
dengan

ensefalitis

umumnya

mengalami

konfusi/kebingungan,

kelainan perilaku, tingkat kesadaran yang berubah, terdapat tanda dan


gejala kelainan neurologis lainnya. Perubahan tingkat kesadaran dapat
terjadi, mulai dari kelesuan yang ringan sampai koma dalam. Pasien
dengan ensefalitis mungkin memiliki halusinasi, agitasi, perubahan
kepribadian, gangguan perilaku, dan kadang-kadang terjadi keadaan
psikotik. 13

12

Kejang fokal atau umum terjadi pada sebagian besar pasien dengan
ensefalitis berat. Hampir setiap jenis kemungkinan gangguan
neurologik fokal telah dilaporkan pada ensefalitis virus, dengan tanda
dan gejala mencerminkan adanya infeksi dan peradangan. Gejala yang
paling sering ditemukan adalah afasia, ataksia, hemiparesis (dengan
hiperaktif reflex tendon dan respon ekstensor plantar, dan defisit saraf
kranial (kelemahan otot wajah). Keterlibatan hipotalamus sumbu
pituitary

dapat

menyebabkan

disregulasi

temperatur,

diabetes

insipidus, dan berkembang menjadi SIADH. Meskipun daerah SSP


yang diserang pada setiap virus berbeda, namun cukup sulit untuk
membedakan tipe ensefalitis virus tersebut jika ditinjau dari gambaran
klinis. 13
b. Pemeriksaan Fisik
Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun dan
kejang. Kejang dapat berlangsung berjam-jam. Pada pemeriksaan
mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis/gejala
serebral lain dapat beraneka ragam, dapat timbul terpisah atau
bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada ensefalitis virus
adalah sebagai berikut.2,5
1) Pemeriksaan cairan serebrospinal.
Hendaknya dilakukan secara hati-hati, karena infeksi yang
terjadi di SSP dapat menyebabkan edema otak yang menyebabkan
kenaikan

tekanan

intrkranial

sehingga

pengambilan

dapat

menyebabkan herniasi otak. Hasil pemeriksaan berupa: Warna


jernih, terdapat pleocytosis berkisar antara 50-200 sel dengan
dominasi sel mononuklear. Protein agak meningkat sedangkan
glukosa dalam batas normal.

13

Gambar 2. Perbedaan tipe cairan serebrospinal pada infeksi system saraf


pusat.2

2) Pemeriksaan EEG
Biasanya dijumpai kelainan non spesifik. Memperlihatkan
proses inflamasi yang difuse bilateral dengan aktivitas rendah.
3) CT Scan
Sifat atau komposisi jaringan dapat ditentukan dengan melihat
kepadatan atau nilai Hounsfield. Ada empat kategori kepadatan
secara umum, yaitu pengapuran tulang atau yang sangat padat dan
putih terang, kepadatan jaringan lunak yang menunjukkan berbagai
nuansa warna abu-abu, kepadatan lemak yang berwarna abu-abu
gelap dan udara yang berwarna hitam. Dengan menerapkan
prinsip-prinsip ini, dimungkinkan untuk menentukan bagian yang
terlihat pada CT scan apapun, dan CT scan kepala pada
khususnya.14
CT scan kepala dapat menunjukkan:15
a CT bisa menunjukkan hipodens pada pre kontras-hyperdensity
pada post kontras salah satu atau kedua lobus temporal,
b

edema/massa dan kadang-kadang peningkatan kontras.


Lesi isodens atau hipodens berbentuk bulat cincin, noduler atau
pola homogen dan menyangat dengan kontras, tempat
predileksi pada hemisfer (grey-white junction).

14

c Bisa ditemukan edema cerebri.


d Kadang disertai tanda-tanda perdarahan.
4) MRI
Gambaran ensefalitis pada MRI didapatkan:16
a Perubahan patologis yang biasanya bilateral pada bagian
medial lobus temporalis dan bagian inferior lobus frontalis
b

(adanya lesi).
Lesi isointens atau hipointens berbentuk bulat cincin, noduler
atau pola homogen dan menyangat dengan kontras, tempat

predileksi pada hemisfer (grey-white junction), pada T1WI.


c Hiperintens lesi pada T2WI dan pada flair tampak hiperintens.
5) Pemeriksaan virus
Ditemukan virus pada CNS didapatkan kenaikan titer antibodi
yang spesifik terhadap virus penyebab.3

Gambar 3. Brain imaging berupa MRI dari ensefalitis herpes simpleks. A. tampak
keterlibatan bilateral dari lobus temporal medial dan region orbitofrontal kanan (panah).
B. gambaran normal sebagai pembanding.5

2.7.
a

Diagnosis Banding
Diagnosis banding viral ensefalitis antara lain.
Abses Otak
Abses otak disebabkan terutama oleh penyebaran infeksi telinga
tengah atau mastoiditis. Bisa soliter atau multipel.
- Pada CT scan tampak area hipodens di daerah korteks atau
persambungan kortikomeduler yang bisa soliter atau multipel. Pada

15

pemberian media kontras tampak enhancemenet berbentuk cincin


sekeliling daerah hipodens. Di luar daerah yang enhancement
-

tampak edema perifokal.


Pada MRI: T1WI memperlihatkan gambaran lesi dengan daerah
sentral lesi yg hipointens yang dikelilingi oleh lingkaran tipis
iso/hiperintens. Sedangkan T2WI memperlihatkan daerah sentral
lesi yang hiperimtens yang dibatasi oleh kapsul yang hipointens
serta dikelilingi oleh edema yang hiperintens.

Gambar 4. Abses Cerebri, sebelum kontras, terlihat area hipodens di daerah


parietal kanan, para-sagital dengan perifokal edema.

16

Gambar 5. Abses Cerebri di lobus temporal kiri. (a) CT Scan post kontras
menunjukkan lesi ring-enhancement di lobus temporal kiri. Pada lesi yang hipotens
(b). T1W1 dan (c) Hiperintens pada T2W1 dengan edema peripheral dan mass effect.
(d) Post kontras T1W1 menunjukkan lesi kistik ring-enhancement

b Infark Serebri
Infark serebri disebabkan oleh oklusi pembuluh darah serebral,
hingga terbentuk nekrosis iskemik jaringan otak. Penyebabnya bisa
oleh karena trombosis ataupun emboli. Pada stadium awal sampai 6
jam sesudah onset, tak tampak kelainan pada CT scan, kadang-kadang
sampai 3 hari belum tampak gambaran yang jelas pada CT. Sesudah 4
hari, tampak pada CT, area hipodens.
-

Pada CT Scan, infark sering berbentuk segitiga walaupun dapat


terlihat bulat dalam potongan axial. Daerah ini berkurang
densitasnya, dibarengi dengan efek massa yang ringan.

17

Pada MRI: T1WIA tampak area infark dengan penurunan


nintensitas sinyal dengan hilangnya sinyal normal perbedaan antara
daerah abu-abu dan putih. T2WI tampak area infark terlihat
sebagai area intensitas sinyal tinggi.

Gambar 6. Infark Serebri, terlihat area hipodens di daerah lobus parietal kanan.
Terlihat juga dilatasi ventrikel lateralis dan pelebaran sulsi di daerah frontalis yang
menunjukkan atrofi serebri

2.8.

Tatalaksana
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di
rumah sakit. Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari
penanganan tersebut adalah mempertahankan fungsi organ, yang caranya
hampir sama dengan perawatan pasien koma yaitu mengusahakan jalan
nafas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau parenteral,
menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa darah.17
a Terapi suportif
Tujuannya untuk mempertahankan

fungsi

organ,

dengan

mengusahakan jalan nafas tetap terbuka (pembersihan jalan nafas,


pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti nafas, intubasi,
trakeostomi), pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa
darah. Untuk pasien dengan gangguan menelan, akumulasi lendir pada

18

tenggorok, dilakukan drainase postural dan aspirasi mekanis yang


periodik.17,18
b Terapi kausal
Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan
virus, yaitu dengan memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8
jam selama 10-14 hari. Preparat asiklovir tersedia dalam 250 mg dan
500 mg yang harus diencerkan dengan aquadest atau larutan garam
fisiologis. Pemeberian secara perlahan-lahanm diencerkan menjadi 100
ml larutan, diberikan selama 1 jam. Efek sampingnya adalah
peningkatan kadar ureum dan keratinin tergantung kadar obat dalam
plasma. Pemberian asiklobir perlahan-lahan akan mengurangi efek
samping. Bila selama pengobatan terbukti bukan infeksi Virus Herpes
Simpleks, maka pengobatan dihentikan.
Pada pasien yang terbukti secara biopsi menderita Ensefalitis
Herpes

Simpleks

dapat

diberikan

Adenosine

Arabinose

15mg/kgBB/hari IV, diberikan selama 10 hari. Pada beberapa


penelitian dikatakan pemberian Adenosisne Arabinose untuk herpes
simpleks ensefalitis dapat menurunkan angka kematian dari 70%
menjadi 28%.
Terapi Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi
citomegali virus. Dosis Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.
kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali, lalu dengan terapi
maintenance.
Pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab
bakteri dikesampingkan, dan juga untuk kemungkinan infeksi

sekunder. Pada ensefalitis supurativa diberikan


- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.17,18
Terapi Simptomatik
- Obat antikonvulsif diberikan segera untuk mengatasi kejang.
Tergantung dari kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang
diberikan ialah diazepam 0,3-0,5 mg/Kg BB/ hari dilanjutkan
dengan fenobarbital. Perlunya diperiksa kadar glukosa darah,

19

kalsium, magnesium harus dipertahankan normal agar ancaman


-

konvulsi menjadi minimum.


Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan
menempatkan es pada permukaan tubuh yang mempunyai
pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher, ketiak,
selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas kepala. Dapat juga
diberikan antipiretikum seperti parasetamol dengan dosis 1015mg/kgBB, bila keadaan telah memungkinkan pemberian obat

peroral.
Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2
mg/kgBB/hari IM dibagi 3 dosis dengan cairan rendah natrium,
dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5mg/kgBB/hari. Bila terdapat
tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol

0,5-2 g/kgBB IV dalam periode 8-12 jam.


Nyeri kepala dan hiperestesia diobati dengan istirahat, analgesik
yang tidak mengandung aspirin dan pengurangan cahaya ruangan,

kebisingan, dan tamu.17,18


d Terapi Rehabilitatif
Upaya pendukung dan rehabilitatif sangat penting sesudah
penderita

sembuh.

Inkoordinasi

motorik,

gangguan

konvulsif,

strabismus, ketulian total atau parsial, dan gangguan konvulsif dapat


muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu. Fasilitas khusus dan
kadang-kadang

penempatan

kelembagaan

mungkin

diperlukan.

Beberapa sekuele infeksi dapat amat tidak kentara. Karenanya evaluasi


perkembangan saraf dan audiologi harus merupakan bagian dari
pemantauan rutin anak yang telah sembuh dari mengoensefalitis virus,
walaupun mereka tampak secara kasar normal.18
2.9.

Komplikasi
Pada ensefalitis viral akut yang cukup banyak terjadi adalah
peningkatan tekanan intrakranial, infark serebral, trombosis vena serebral,
syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone, pneumonia
aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi saluran kemih dan

20

koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut


bergantung pada usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis.17
2.10.

Prognosis
Prognosis ensefalitis virus sangat bervariasi tergantung pada usia,

keadaan medik yang

mendasarinya, virulensi virus, kompetensi imun

penderita dan tersedianya terapi antivirus spesifik.19


Kebanyakan anak sembuh secara sempurna dari infeksi virus pada
sistem saraf sentral, walaupun prognosis tergantung pada keparahan
penyakit klinis, etiologi spesifik, dan umur anak. Jika penyakit klinis berat
dengan bukti adanya keterlibatan parenkim, prognosis jelek, dengan
kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatrik,
epileptik, penglihatan, ataupun pendengaran. Sekuele berat juga harus
dipikirkan walaupun beberapa kepustakaan menyarankan bahwa penderita
bayi yang menderita ensefalitis virus mempunyai hasil akhir jangka
panjang lebih jelek daripada nak yang lebih tua, data baru membuktikan
bahwa observasi ini tidak benar. walaupun sekitar 10% anak sebelum usia
2 tahun dengan infeksi virus menampakkan komplikasi akut seperti
kejang, tekanan intrakranial naik, atau koma, hampir semua hasil akhir
neurologis jangka lama baik.17,19
Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak
diobati sangat buruk dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan
menignkat menjadi 90% dalam 6 bulan. Pengobatan dini dengan asiklovir
akan menurunkan mortalitaas menjadi 28%. Gejala sisa lebih sering
ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan
pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian
juga koma; pasien yang mengalami koma seringkali menggal atau sembuh
dengan gejala sisa yang berat.19

21

Você também pode gostar