Você está na página 1de 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Biji Bunga Matahari
Bunga matahari merupakan salah satu jenis tanaman hias yang banyak tumbuh
di Indonesia namun pemanfaatannya masih sebatas sebagai tanaman hias. Tanaman
bunga matahari dapat menghasilkan minyak nabati yaitu dari bijinya. Di Indonesia
pengolahan biji bunga matahari belum dikembangkan sehingga banyak perusahaan
pengolahan makanan, kosmetika, obat-obatan dan pengalengan ikan harus
mengimpor minyak tersebut. Minyak biji bunga matahari baik digunakan sebagai
minyak goreng yang aman bagi penderita sakit jantung dan hipertensi karena kadar
asam lemak jenuhnya yang rendah sehingga rendah kolesterol. Minyak biji bunga
matahari mampu menyaingi minyak jagung, minyak kacang tanah, minyak kedelai
yang telah dikenal sebagai minyak rendah kolesterol yang baik untuk kesehatan
(Surbakti, 2011).
Salah satu produk utama bunga matahari adalah biji-bijinya yang diolah sebagai
bahan baku industri makanan berupa kwaci dan penghasil minyak nabati yang
dibutuhkan dalam industri minyak. Komposisi minyak biji bunga matahari berkisar
antara 23-45%. Minyak biji bunga matahari mengandung asam linoleat 44-72% dan
asam oleat 11,7%. Minyak biji bunga matahari digunakan untuk berbagai keperluan
seperti minyak goreng, pembuatan margarin bahan baku kosmetik, dan obat-obatan,
selain itu bungkil atau ampas hasil pemerasan minyak mengandung 13-20% protein,
yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Katja, 2012).

2.2 Katalis Basa KOH


Katalis penting dalam konversi energi modern, pabrik kimia, dan teknologi
lingkungan. Penggunaan katalis untuk reaksi transesterifikasi dan esterifikasi yang
dipaparkan, menunjukkan bahwa teknologi katalis juga banyak diperlukan dalam
sintesis biodiesel dan masih perlu dikembangkan. Untuk memisahkan minyak nabati
dari gliserol dalam reaksi transesterifikasi perlu ditambahkan katalis. Katalis adalah
zat yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut terkonsumsi oleh keseluruhan reaksi
atau merupakan suatu zat antara yang aktif, tanpa katalis proses pembuatan biodiesel

dengan reaksi transesterifikasi dapat berlangsung pada temperatur 250C (Santoso,


dkk., 2012).
Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi metil ester adalah transesterifikasi
juga menggunakan katalis dalam reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang
dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan lambat. (Hasahatan, dkk.,
2012). Penggunaan katalis basa/alkali harus seminimal mungkin, karena jumlah
sabun (reaksi saponifikasi) akan meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah
katalis yang ditambahkan (Ningtyas, dkk., 2013).
Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa lebih cepat 4000 kali dibandingkan
katalis asam. Selain itu katalis alkali tidak sekorosif katalis asam (Wahyuni, 2010).
Katalis yang biasa digunakan pada transesterifikasi trigliserida adalah katalis basa,
seperti KOH dan NaOH. Sebagai katalis, KOH dan NaOH memiliki beberapa
kelebihan yaitu, nilai konversi yang tinggi, tidak bersifat korosif seperti katalis asam,
lebih aman dan relatif lebih murah dibandingkan katalis basa lain, misalnya
alkoksida (Abdullah, dkk., 2010).
Untuk produksi komersial, katalis basa kuat seperti natrium atau kalium
hidroksida sering digunakan, akan tetapi katalis alkoxide telah pendapat perhatian
baru-baru ini karena lebih menguntungkan dari pada katalis basa kuat (Santoso, dkk.,
2012).
2.3 Transesterifikasi
Pengolahan biofuel menggunakan metode transesterifikasi, yaitu reaksi
trigliserida dalam minyak nabati atau hewani dengan media alkohol dan katalis basa,
kemudian menghasilkan ester asam lemak yang memiliki rantai pendek dan gliserol
sebagai produk samping. Ester asam lemak (biofuel) adalah produk potensial
pengganti bahan bakar minyak diesel. Reaksi transesterifikasi (alkoholisis) adalah
reaksi antara ester dengan alkohol yang menghasilkan ester baru dan alkohol baru.
Reaksi transesterifikasi disebut juga reaksi alkoholisis dari ester, karena reaksi
tersebut disertai dengan pertukaran bagian alkohol dari suatu ester. Reaksi
transesterifikasi dapat berlangsung 2 arah, salah satu reaktan dapat dibuat berlebih
agar diperoleh hasil yang optimal. Metanol yang berlebih dapat meningkatkan hasil
metil ester yang optimal (Sahubawa dan Ningtyas, 2011).

Kinetika reaksi transesterifikasi terdiri dari tiga langkah proses yang melibatkan
serangkaian intermediet reversibel, ditunjukkan sebagai berikut :
TG + 3A

Catalys

3ME + G

Tetapi reaksi ini melewati tiga tahap reaksi intermediet reversibel yang dinyatakan
sebagai berikut :
TG + ROH
DG + ROH
MG + ROH

K1
K2
K3
K4
K5
K6

DG + ME
MG + ME
GL + ME

Gambar 2.1 Tahapan Reaksi Transesterifikasi


(Gumus, et al., 2013)
Pada kenyataannya, proses transesterifikasi minyak nabati menjadi metil ester
asam-asam lemak, memang bertujuan memodifikasi minyak nabati menjadi produk
(yaitu biodiesel) yang memiliki kekentalan mirip solar, memiliki angka setana lebih
tinggi, dan relatif lebih stabil terhadap perengkahan (Dewajani, 2011).
Ada dua kelompok utama proses kimia katalitik homogen konversi minyak
nabati menjadi biodiesel, yaitu (1) proses kimia transesterifikasi alkaline katalitik
homogen menjadi biodisel merupakan proses kimia utama konversi minyak nabati
dengan kadar asam lemak bebas (free fatty acid - FFA) dibawah 2%, dan (2) proses
kimia transesterifikasi acidic katalitik homogen yang merupakan proses yang lebih
sesuai untuk konversi kimia minyak nabati dengan kadar FFA lebih tinggi dari 2 %
(Supranto, dkk., 2015).
Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor penting antara lain :
1. Lama Reaksi
Semakin lama waktu reaksi semakin banyak produk yang dihasilkan karena
keadaan ini akan memberikan kesempatan terhadap molekul-molekul reaktan untuk
bertumbukan satu sama lain. Namun setelah kesetimbangan tercapai tambahan waktu
reaksi tidak mempengaruhi reaksi, melainkan dapat menyebabkan produk berkurang
karena adanya reaksi balik, yaitu metil ester terbentuk menjadi trigliserida.

2. Rasio perbandingan alkohol dengan minyak


Rasio molar antara alkohol dengan minyak sangat mempengaruhi dengan
metil ester yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah alkohol yang digunakan maka
konversi ester yang dihasilkan akan bertambah banyak. Perbandingan molar antara
alkohol dan minyak nabati yang biasa digunakan dalam proses industri untuk
mendapatkan produksi metil ester yang lebih besar dari 98% berat adalah 6 : 1.
3. Jenis katalis
Katalis berfungsi untuk mempercepat reaksi dan menurunkan energi aktivasi
sehingga reaksi dapat berlangsung pada suhu kamar sedangkan tanpa katalis reaksi
dapat berlangsung pada suhu 250C, katalis yang biasa digunakan dalam reaksi
transesterifikasi adalah katalis basa seperti kalium hidroksida (KOH) dan natrium
hidroksida (NaOH). Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa akan menghasilkan
konversi minyak nabati menjadi metil ester yang optimum (94% - 99%) dengan
jumlah katalis 0,5% 1,5% bb minyak nabati.
(Faizal, dkk., 2013)
2.4 Biodiesel
Biodiesel merupakan bioenergi atau bahan bakar nabati yang dibuat dari minyak
nabati, baik minyak baru atau bekas penggorengan melalui proses transesterifikasi,
esterifikasi, atau proses esterifikasi-transesterifikasi.

Biodiesel dapat dibuat dari

minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kelapa, minyak jarak, dan lain-lain.
Keuntungan biodiesel yaitu salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan
karena biodiesel dapat mengurangi emisi gas karbon monoksida (CO) dan gas karbon
dioksida (CO2) dan bebas kandungan sulfur dibandingkan dengan bahan petroleum
diesel lainnnya (Putra, dkk., 2012).
Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati maupun lemak hewani, namun yang
paling umum digunakan sebagai bahan baku adalah minyak nabati. Minyak nabati
dan biodiesel tergolong ke dalam kelas besar senyawa-senyawa organik yang sama,
yaitu kelas ester asam-asam lemak. Akan tetapi, minyak nabati adalah triester asamasam lemak dengan gliserol, atau trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester
asam-asam lemak dengan metanol. Perbedaan wujud molekuler ini memiliki

beberapa konsekuensi penting dalam penilaian keduanya sebagai kandidat bahan


bakar mesin diesel :
1. Minyak nabati (yaitu trigliserida) berberat molekul besar, jauh lebih besar dari
biodiesel (yaitu metil ester). Akibatnya, trigliserida relatif mudah mengalami
perengkahan (cracking) menjadi aneka molekul kecil, jika terpanaskan tanpa
kontak dengan udara (oksigen).
2. Minyak nabati memiliki kekentalan (viskositas) yang jauh lebih besar dari minyak
diesel/solar maupun biodiesel, sehingga pompa injeksi bahan bakar di dalam
mesin diesel tidak mampu menghasilkan pengkabutan (atomization) yang baik
ketika minyak nabati disemprotkan ke dalam ruang pembakaran.
3. Molekul minyak nabati relatif lebih bercabang dibanding metil ester asam-asam
lemak. Akibatnya, angka setana minyak nabati lebih rendah daripada angka setana
metil ester. Angka setana adalah tolok ukur kemudahan menyala/terbakar dari
suatu bahan bakar di dalam mesin diesel.
(Dewajani, 2011)
Parameter mutu biodiesel yang dianalisis adalah kadar metil ester, bilangan asam,
kadar gliserol, viskositas, densitas, dan kadar air. Uji-uji ini dilakukan dengan
metode kerja yang telah ditetapkan dalam SNI 04-7182-2006, yaitu mengacu pada
ASTM dan American Oil Chemists Society (AOCS) Official Method.
1. Bilangan Asam
Asam lemak bebas dan asam mineral bereaksi dengan KOH membentuk
sabun dan garam. Jadi, banyaknya mg KOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan asam-asam bebas dalam 1 g contoh. Bilangan asam yang tinggi
dapat meningkatkan korosi mesin. Biodiesel yang memiliki asam lemak
bebas bersifat korosif dan dapat menimbulkan jelaga atau kerak di injektor
mesin diesel.
2. Kadar Gliserol
Senyawa gliserida dalam fatty acid metil ester disebabkan oleh konversi
minyak nabati yang kurang sempurna selama proses transesterifikasi atau
reaksi balik antara gliserol dan metil ester. Gliserol bebas merupakan gliserol
yang terdapat di dalam sampel, sedangkan gliserol terikat adalah selisih dari
keduanya. Keberadaan gliserol sebagai produk samping pembuatan biodiesel
dan sisa senyawa gliserida (mono-, di-, dan tri-) dapat membahayakan mesin

diesel. Jika gliserol terlalu tinggi dalam biodiesel dapat menyebabkan


penyumbatan tangki penyimpanan bahan bakar dan mesin.
3. Kadar Metil Ester
Persentase jumlah metil ester yang terbentuk dalam proses pembuatan
biodiesel dapat ditentukan dengan perhitungan setelah diketahui bilangan
penyabunan, bilangan asam, dan kadar gliserol total biodiesel. Bilangan
penyabunan adalah mg KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 g
contoh. Nilai ini menunjukkan proporsi asam lemak yang terikat dengan
gliserol, metil ester, atau asam lemak bebas. Nilai bilangan penyabunan
bergantung pada panjang atau pendeknya rantai karbon asam lemak atau
dapat dikatakan bergantung pada bobot molekul .
4. Kadar Air
Penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada
suhu 105110C sampai didapat bobot yang konstan. Selisih bobot contoh
sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan.
Pengeringan biasanya dilakukan di dalam oven. Keberadaan air dalam
minyak dapat menyebabkan hidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas.
Demikan juga pada biodiesel, keberadaan air mengakibatkan metil ester yang
terbentuk akan terhidrolisis menghasilkan asam lemak dan gliserol.
5. Densitas
Perbandingan antara bobot dan volume, yaitu sifat yang tidak bergantung
pada banyaknya bahan. Nilai ini juga berkaitan dengan nilai kalor dan daya
yang dihasilkan oleh mesin diesel per satuan volume bahan bakar serta
berkaitan dengan viskositas. Penurunan nilai densitas akan menyebabkan
nilai viskositas semakin kecil.
6. Viskositas
Tahanan yang dimiliki fluida yang dialirkan dalam pipa kapiler pada gaya
gravitasi atau daya alir dinyatakan dengan viskositas. Kecepatan mengalir
juga tergantung pada bobot jenis maka pengukuran demikian dinyatakan
sebagai viskositas kinematik. Parameter ini berkaitan dengan kandungan
senyawa gliserida yang menentukan apakah bahan bakar biodiesel dapat
diaplikasikan dalam bilik pembakaran mesin diesel atau tidak.
7. Kadar Asam Lemak Bebas
Parameter ini ditentukan pada uji pendahuluan minyak kelapa sawit (bahan
awal) untuk menentukan tahapan proses pembuatan biodiesel. Asam lemak
bebas merupakan banyaknya asam lemak yang terdapat dalam 100 g minyak.

Penentuan kadar asam lemak bebas ini penting karena pada proses
transesterifikasi dapat terjadi reaksi pengikatan asam lemak bebas dengan
basa sebagai katalis membentuk sabun. Hal tersebut menyebabkan
berkurangnya rendemen metil ester yang dihasilkan. Asam lemak bebas
dihitung sebagai asam palmitat karena merupakan golongan asam lemak
terbanyak dalam kelapa minyak sawit.
(Wahyuni, 2010)

Você também pode gostar