Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Astria Ocnivia
NIM : 10-2008-033
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Arjuna Utara No.6,Jakarta 11510
Email : astri_ocnivi@yahoo.com
PENDAHULUAN
Kehidupan modern di kota-kota besar negara kita menuntut tersedianya prasarana yang
memadai.Salah satu di antaranya adalah gedung-gedung kantor yang megah yang dilengkapi
dengan sistem AC sentral. Gedung-gedung seperti ini biasanya dibuat tertutup dan mempunyai
sirkulasi udara sendiri. Gedung yang baik dengan sarana yang memadai tentu menjadi
tempat yang amat nyaman untuk bekerja dan karena itu dapat pula meningkatkan
produktifitas karyawan.Tetapi di pihak lain,kita perlu mengenal kemungkinan
adanya gangguan kesehatan pada gedung-gedung seperti itu yang akhirnya justru
akan menurunkan produktifitas kerja karyawan yang bekerja didalam gedunggedung itu.
Para ahli di beberapa Negara mulai banyak menulis tentang adanya gedunggedug pencakar langit yang sakit dan menimbulakan sindrom gedung sakit (sick
buiding syndrome) yang pertama kali diperkenalkan oleh para ahli dari Negara
Skandinavia di awal tahun 1980.Istialah ini kemudian digunakan secara luas dan
kini telah tercatat berbagai laporan tentang sindrom ini dari berbagai Negara
Eropa,Amerika dan bahkan dari Negara tetangga kita Singapura.
berkonsentrasi.
Gangguan paru dan pernafasan: batuk, nafas berbunyi, sesak nafas, rasa berat di dada.
Gangguan kulit: kulit kering dan gatal.
Gangguan saluran cerna: diare.
Lain- lain: gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, sulit belajar (Aditama, 2002).
52% pencemaran akibat ventilasi yang tidak adekuat dapat berupa kurangnya udara segar
yang masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi udara yang tidak merata, dan buruknya
perawatan sarana ventilasi.
Pencemaran udara dari alat- alat di dalam gedung seperti mesin fotokopi, kertas tisu, lem
kertas dan lem wallpaper, zat pewarna dari bahan cetakan, pembersih lantai serta
pengharum ruangan (sebesar 17%).
Pencemaran dari luar gedung dapat juga masuk ke dalam ruangan, hal ini dikarenakan
tidak tepatnya penempatan lokasi masuknya udara segar dalam ruangan (sebesar 11%).
Pencemaran
bahan
bangunan
meliputi
pencemaran
formaldehid,
lem,
asbes, fibreglass dan bahan lain yang merupakan komponen pembentuk gedung tersebut
(sebesar 3%).
Pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa, dan produk mikroba
lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin serta seluruh sistemnya
(sebesar 5%).
Burge (2004) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi peningkatan prevalensi SBS antara
lain:
1. Faktor individu:
a. Debu kertas.
b. Asap rokok
d. Penggunaan komputer
2. Faktor gedung:
a. Suhu ruangan yang tinggi (lebih dari 23C dalam ruangan ber-AC).
b. Aliran udara dalam ruangan rendah (kurang dari 10 liter/ detik/ orang).
c. AC dalam ruangan.
PEMBAHASAN
Tujuh Langkah Diagnosis Okupasi
1. Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis dapat ditegakan melalui anamnesis yan g cermat, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut :2
Anamnesis
Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau
terhadap keluarganya atau pengantarnya (allo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak
memungkinkan untuk diwawancarai, misalnya anak-anak atau sebagainya. Anamnesis
terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu.
Beberapa pertanyaan yang dapat kita tanyakan adalah:
o Identitas pasien: nama, umur, alamat, suku pekerjaan
o Menanyakan keluhan.
o Saat menemukan gejala positif,perlu dirinci awitan,durasi,derajat keparahan,factor
yang memicu atau meringankan dan hubungannya dengan waktu bekerja atau
pajanan khusus atau aktifitas tertentu.
Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar kasus tidak menunjukan adanya tanda gangguan fisik.Hal tersebut
tidak berarti bahwa langkah pemeriksaan fisik dapat dihilangkan atau pemriksaan hanya
dilakukan sepintas lalu.Observasi menyeluruh terhadap pasien akan mengungkapkan
pasien yang napasnya memburu pada waktu istirahat atau setelah melakukan tes fungsi
paru.
Pemeriksaan Penunjang
beberapa
ruangan
kantor
(biasanya
ruang
pejabat
debu, karbon monoksida atau formaldehyde yang terkandung dalam pewangi ruangan
dapat menginduksi respons reseptor iritasi terutama pada mata dan hidung. Iritan saluran
napas menyebabkan asma dan rhinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi
pengeluaran histamine, degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi
menyebabkan bronkokonstriksi. Pergerakan silia menjadi lambat sehingga tidak dapat
memberisihkan saluran napas, peningkatan prduksi lendir akibat iritasi oleh bahan
pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran napas, membengkaknya saluran
napas dan merangsang pertumbuhan sel. Akibatnya terjadi kesulitan bernapas, sehingga
bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dan memudahkan terjadinya
infeksi saluran napas.
Hipotesis kedua adalah hipotesis bioaerosol. Penilitian cross sectional
menunjukkan bahwa individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi
terhadap VOCs konsentrasi rendah dibanding indovidu tanpa atopi.
Hipoteis ketiga adalah factor pejamu, yaitu kerentanan individu akan
mempengaruhi timbuln"ya gejala. Stress karena pekerjaan dan factor fisikososial juga
mempengaruhi timbulnya gejala SBS.
Parameter
Keterangan
Sistem ventilasi
6. Spora, polen.
7. Bakteri.
8. Kelembaban (terlalu tinggi, terlalu rendah).
9. Ion
10. Bau, asap
Polutan dari luar, dan senyawa organik (volatil).
Penghuni
Lain- lain
1. Bentuk gedung.
2. Radiasi elektromagnetik
3. Tidak ada kontrol lingkungan.
4. Pencahayaan
5. Kebisingan
6. Faktor psikologi
7. Stres
8. Terminal display.
Bukti epidemiologis
Sampai saat ini masih sulit untuk menentukan suatu penyebab tunggal dari
sindrom gedung sakit, namun sebagian besar keluhan yang timbul dari tejadinya SBS
diakibatkan oleh pencemaran udara yang terjadi dalam ruangan. Menurut hasil penelitian
dari Badan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat atau National Institute for
Occupational Safety and Health (NIOSH) 466 gedung di Amerika Serikat menemukan
bahwa ada enam sumber utama pencemaran udara di dalam gedung, yaitu:
o 52% pencemaran akibat ventilasi yang tidak adekuat dapat berupa kurangnya
udara segar yang masuk ke dalam ruangan gedung, distribusi udara yang tidak
merata, dan buruknya perawatan sarana ventilasi.
o Pencemaran udara dari alat- alat di dalam gedung seperti mesin fotokopi, kertas
tisu, lem kertas dan lem wallpaper, zat pewarna dari bahan cetakan, pembersih
lantai serta pengharum ruangan (sebesar 17%).
o Pencemaran dari luar gedung dapat juga masuk ke dalam ruangan, hal ini
dikarenakan tidak tepatnya penempatan lokasi masuknya udara segar dalam
ruangan (sebesar 11%).
o Pencemaran bahan bangunan
meliputi
pencemaran
formaldehid,
lem,
asbes, fibreglass dan bahan lain yang merupakan komponen pembentuk gedung
tersebut (sebesar 3%).
o Pencemaran akibat mikroba dapat berupa bakteri, jamur, protozoa, dan produk
mikroba lainnya yang dapat ditemukan di saluran udara dan alat pendingin serta
seluruh sistemnya (sebesar 5%).
o Sebesar 12 % dari sumber tidak diketahui (Aditama, 2002).
Burge (2004) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi peningkatan prevalensi SBS antara
lain:
1. Faktor individu:
a. Debu kertas.
b. Asap rokok
d. Penggunaan komputer
2. Faktor gedung:
a. Suhu ruangan yang tinggi (lebih dari 23C dalam ruangan ber-AC).
b. Aliran udara dalam ruangan rendah (kurang dari 10 liter/ detik/ orang).
c. AC dalam ruangan.
Keluhan dari penyakit ini biasanya bersifat sementara namun perlu adanya usaha-usaha lain
berupa udara dilingkungan kerja menjadi lebih sehat dan nyaman dimana sirkulasi udara segar
dapat tersebar merata disetiap ruangan,tempat masuk udara segar dari luar jauh dari sumber
pencemaran asap kendaraan bermotor,pabrik,dapur serta perawatan berkala sistem pengatur
udara.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara acak di 11 perusahaan di Jakarta dimana para
respondennya diberikan suplemen antioksidan untuk dikonsumsi setiap hari selama 3 bulan dan 7
perusahaan lainnya tidak diberikan suplemen anti oksidan, terbukti 50% responden mengalami
Sick Building Syndrom.
Perbedaan frekwensi kejadian gejala atau keluhan yang terjadi antara responden yang
mengkonsumsi dan tidak adalah sebesar 49% untuk sakit kepala, 45% untuk mata perih, 52%
untuk hidung tersumbat, 27% untuk radang tenggorokan, dan 41% untuk capai/pegal pada tubuh.
Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/2109116sindroma-gedung-sakit-sick-building/#ixzz299ox0WyO
5. Faktor Individu
Karakteristik pekerja yang berhubungan dengan SBS antara lain status kesehatan
pekerja seperti alergi atu asma yang diderita pekerja yang besangkutan.Faktor risiko
terjadinya sick building syndrome terutama akan lebih berbahaya pada pekerja dengan
usia lanjut dan kondisi kesehatan yang buruk.Reaksi legionella memang sering tidak
disertai dengan gejala yang mencolok bahkan seperti flu biasa.Paling-paling hanya
demam,menggigil,pusing,batuk berdahak.badan lemas,tulang ngilu dan selera makan
lenyap.
7. Diagnosis Okupasi
Berdasarkan langkah-langkah pemeriksaan sebelumnya batuk dan pilek
berulang,demam hilang timbul,mata sering panas,mual,nyeri di seluruh badan kadang
gatal merupakan sick building syndrome.
PENATALAKSANAAN
Non Medika Mentosa
Penatalaksanaan terbaik adalah pencegahan dan atau menghilangkan sumber kontaminasi
penyebab SBS. Pasien dianjurkan menghindari gedung yang dapat menimbulkan keluhan
meskipun tidak selalu dapat terlaksana karena dapat menyebabkan kehilangan pekerjaan.
Menghilangkan sumber polutan, memperbaiki laju ventilasi dan distribusi udara, membuka
jendela sebelum menggunakan pendingin, menjaga kebersihan udara dalam gedung, pendidikan
dan komunikasi merupakan beberapa cara mengatasi SBS.
Laju ventilasi dalam gedung harus adekuat, direkomendasikan minimum 15
L/detik/orang. Jendela dan atau pintu yang dapat terbuka serta pemeliharaan rutin sistim HVAC
dengan membersihkan dan mengganti penyaring secara periodik (setiap 3 bulan) dapat
memberikan ventilasi yang baik, kenyamanan bekerja serta lingkungan kerja yang sehat.
Larangan merokok di ruangan harus dilaksanakan. Pencegahan SBS dengan menentukan lokasi
dan arsitektur gedung yang sehat, jauh dari sumber polutan dengan bahan bangunan ramah
lingkungan, merancang pemeliharan yang baik dan dikhususkan pada sistim HVAC sebagai
penyebab tersering SBS.Diperlukan komunikasi yang baik antara pekerja, manager dan
pemelihara gedung untuk mengetahui, mencegah serta mengatasi masalah SBS.
Medika Mentosa
Pencegahan
Keluhan yang timbul pada penderita biasanya dapat ditangani secara simtomatis asal
diikuti dengan upaya agar suasana lingkungan udara digedung tempat kerja menjadi
lebih sehat.Yang perlu mendapat perhatian utama yaitu bagaimana pencegahan yang
dapat dilakukan untuk menghindari suatu gedung menjadi penyebab sindrom
penyakit ini.Ternyata upaya pencegahannya cukup luas,menyangkut bagaimana
gedung itu dibangun,bagaimana desain ruangan,bahan-bahan yang digunakan
didalam gedung,perawatan alat-alat dan lain-lain.Upaya pencegahan yang dapat
dilakukan meliputi :
1. Umumnya penderita syndrome ini akan sembuh apabila keluar dari gedung
tersebut,gejal-gejala
penyakitnya
dapat
disembuhkan
dengan
obat-obat
pembersih
ruangan
yang
tidak
bangunan dan
akan
mencemari
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Utami ET. Hubungan antara kualitas udara pada ruangan ber-AC sentral dan sick building
sindrome di kantor Telkom Divre IV Jateng-DIY. Tesis DIY:UNNES:2005.
2. Heimlich JE. Environmental Health Center. Sick building syndrome. [Online]. 2009 [cited
2001 Jan 26]; Available from URL: http://www.nsc.org/ehc/indoor/sbs.htm.
3. Jaakkola K, Jaakkola MS. Sick building syndrome. In: Hendrik DJ, Burge PS, Beckett WS,
Churg A, editors. Occupational disorder of the lung: recognation management
and prevention. 5th ed. London: WB Saunders;2002.p.241-55.
4. U.S Environmental Protection Agency. Indoor air facts no.4 (revised): sick Building syndrome
(SBS). [Online]. 2009. [cited 2004 Jan 14]; Available from: URL: http://
www.epa.gov/cgibin/epaprintonly.cgi.
5. Aditama TY, Andarini SL. Sick building syndrome. Med J Indones 2002;11: 124-31.
6. Menzies D, Bourbeau J. Building related illnesses. N Engl J Med 1997;337:1524-31.
7. Winarti M, Basuki B, Hamid A. Air movement, gender and risk of sick building syndrome
headache among employees in Jakarta office. Med J Indones 2003;12: 171-2.
8. Ooi PL, Goh KT. Sick building syndrome: an emerging stress-related disorder Int J Epidemiol
1997;26:1243-9.
9. Trout D, Bernstein J, Martinez K, Biagini R, Wallingford K. Bioaerosol lung damage in a
worker with repeated exposure to fungi in a water-damaged building. Environ
Health Perspect 200;109:641-4.
10. Harrison J, Pickering CA, Faragher FB. An investigation of the relationships between
microbial and particulate indoor air pollution and the sick building syndrome.
Respir Med 1992;86:225-35.
11. Husman T. Health effects of indoor air microorganisms. Scan J Work Environt Health
1996;22:5-13.
12. Sabir M, Shashikiran U, Kochar SK. Building related illness and indoor pollution.
J Assoc Physicians India 1999;47:426-30.
13. Muzi G, Dell Omo M, Abbritti G. Objective assessment of ocular and respiratory alterations
in employee a sick building. Am J Ind Med 1998;34:79-88.
14. Baker DB. Social and organizational factors in office building associated illness. Occup Med
1989;4:607-24.
15. Jaakkola JJK, Heinnonen OP, Seppanen O. Mechanical ventilation in office building and the
sick building syndrome: an experimental and epidemiological study. Indoor
Air 1991;1:111-21.
16. Sujayanto G. Gedung tertutup bisa menyebabkan sakit. [cited 2001 Sept 12]; Available from:
URL:http//www.indomedia.com/intisari/ewi/sept/airud/htm.
17. Baker DB. Social and organizational factors in office building associated illness. Occup Med
1989;15:286-92.
18. Hodgson M. Indoor environmental exposure and symptoms. Environ Health Perspect
2002;110:663-7.
19. Saijo y, Kishi R, Seta F, Katakura Y, Urashima Y, Hatakayama A, et al. Symptoms in relation
to chemicals and dampness in newly built dwellings. Int Arch Occup Environ
Health 2004;77:461-70.