Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
MODUL PELATIHAN
Instruktur
Dr.Ir.Mohammad Bisri,MS.
Sebagai
negara
yang
masih
dan
terus
akan
berkembang,
menyebabkan pada musim penghujan, air hujan tidak dapat lagi meresap ke
dalam tanah, sehingga menimbulkan limpasan di permukaan (surface runoff)
yang kemudian menjadi genangan atau banjir.
pada saat ini tentunya sangat mempengaruhi besarnya laju infiltrasi yang terjadi.
Menurut UU No. 24 Tahun 1992, penataan ruang meliputi proses perencanaan
ruang, pemanfaatan ruang yang berkualitas (yang efisien dan efektif) serta
pengendaliannya, karena penataan ruang merupakan upaya yang bertujuan
untuk mensejahterakan dan memberikan rasa aman dan nyaman pada
masyarakat serta mempertahankan dan meningkatkan konservasi alam atau
kelestarian lingkungan. Hasil perencanaan ruang yang baik akan menghasilkan
pemanfaatan ruang yang berkualitas dan akan mempermudah dalam usaha
pengendaliannya.
Perencanaan ruang pada hakekatnya adalah menata ruang secara terpadu
dan menyeluruh, menyangkut semua aspek geografi, biologi, fisik, ekonomi dan
sosial yang harus ditelaah, dianalisis dan dirumuskan menjadi satu kesatuan dari
berbagai kegiatan pemanfaatan ruang.
memunculkan segi estetika semata, lebih dari itu adalah untuk menciptakan
keserasian dengan lingkungan alamiahnya. Oleh karena itu, dalam perencanaan
ruang landasan yang digunakan haruslah mengacu pada hakekat dan tujuan
akhir dari perencanaan ruang itu sendiri. Konservasi air sebagai landasan, dan
genangan air atau limpasan permukaan yang tidak mengganggu lingkungan,
merupakan salah satu tujuan dan menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah
perencanaan ruang.
Hujan
bahwa urbanisasi akan membawa pengaruh terhadap perubahan tata ruang dari
Pada kondisi
daerah dalam masa transisi atau sedang mengalami pertumbuhan, Chow et al.,
(1988) menyebutkan, bahwa akan terjadi penurunan masuknya air ke dalam
tanah (infiltrasi) atau secara luas dapat dikatakan sebagai penurunan konservasi
air dan meningkatnya limpasan permukaan. Selanjutnya, pada tahap daerah
yang sudah mulai berkembang, maka akan menyebabkan penurunan yang lebih
besar terhadap infiltrasi atau konservasi air dan peningkatan limpasan
permukaan serta banjir, juga terjadinya penurunan muka airtanah.
Dengan demikian diperlukan suatu perencanaan ruang yang memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi atau pengawetan air agar terjadi keseimbangan
lingkungan, sehingga pertumbuhannya tidak menyebabkan genangan atau banjir
yang dapat merugikan lingkungan itu sendiri.
1.2. Daur Hidrologi
Air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk kelangsungan hidupnya.
Mengingat
pentingnya
air, maka
perlu
dijaga
kelestariannya,
sehingga
ketersediaan air yang cukup bisa terjamin. Konservasi merupakan usaha dalam
menjaga kelestarian air tersebut.
Ketersediaan
air,
khususnya
airtanah,
tidak
terlepas
dari
proses
berlangsungnya daur hidrologi yang merupakan suatu siklus air yang terjadi di
bumi.
proses evaporasi di laut atau badan air lainnya. Uap air tersebut akan terbawa
oleh angin melintasi daratan yang bergunung-gunung maupun datar dan apabila
keadaan atmosfer memungkinkan, maka sebagian dari uap air tersebut akan
turun menjadi hujan.
Sebelum mencapai permukaan tanah, air hujan akan tertahan oleh tajuk
vegetasi. Sebagian dari air hujan akan tersimpan di permukaan tajuk atau daun,
sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun
atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon. Sebagian kecil air
hujan tidak akan pernah sampai ke permukaan tanah, melainkan terevaporasi
kembali ke atmosfir (dari tajuk) selama dan setelah berlangsungnya hujan
(interception).
Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk
(terserap) ke dalam tanah (infiltration). Air hujan yang tidak terserap ke dalam
tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah
(surface detention), untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat
yang lebih rendah (surface runoff) yang selanjutnya masuk ke sungai. Air yang
terinfiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan
membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban tanah telah cukup
jenuh, maka air hujan yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak secara
lateral (horisontal), untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke
permukaan tanah (sub surface runoff) dan akhirnya mengalir ke sungai.
Alternatif
lainnya, air hujan yang masuk ke dalam tanah akan bergerak vertikal
menuju lapisan tanah yang lebih dalam dan menjadi bagian dari airtanah
(groundwater). Airtanah tersebut, terutama pada musim kemarau, akan mengalir
pelan-pelan ke sungai, danau atau tempat penampungan air alamiah lainnya
(Asdak, 1995).
II.
10
2.1.
berlangsung secara alamiah pada lahan terbuka yang lolos air atau bisa
dilakukan secara buatan dengan menggunakan bangunan peresap yang bisa
berupa sarana untuk menampung dan meresapkan air hujan atau air permukaan
ke dalam tanah.
Dari uraian di atas, maka dapat diartikan bahwa konservasi air adalah upaya
untuk memasukkan air ke dalam tanah dalam rangka pengisian airtanah, baik
secara alami (natural recharge) atau secara buatan (artificial recharge).
Pengertian masuknya air ke dalam tanah identik dengan pengertian infiltrasi.
Oleh karena itu, tujuan konservasi air dalam studi ini adalah mencari besarnya
laju infiltrasi pada suatu daerah dalam rangka pengisian airtanah.
Apabila
kegiatan konservasi air berjalan dengan baik, maka limpasan permukaan atau
genangan air sedikit sekali terjadi.
berjalan dengan baik, maka akan timbul limpasan permukaan atau genangan air
bahkan banjir.
2.2.
Infiltrasi
Infiltrasi adalah suatu proses masuknya air, baik air hujan, air irigasi atau yang
lain dari permukaan tanah ke dalam tanah.
Mein & Larson, (1971) dalam Nur Hidayah (2000) menyatakan bahwa proses
infiltrasi dapat dibedakan menjadi dua kondisi, yaitu infiltrasi pada kondisi ideal
dan infiltrasi pada kondisi alami.
Menurut Asdak (1995) dalam Abdulah (2002), bahwa infiltrasi melibatkan tiga
proses yang saling tidak tergantung, yaitu (1) meresapnya air hujan melalui pori-
11
pori permukaan tanah, (2) tertampungnya air hujan yang meresap tersebut
dalam tanah, dan (3) mengalirnya air tersebut ke tempat lain.
Laju infiltrasi
ditentukan oleh (1) jumlah air yang tersedia di permukaan tanah, (2) sifat
permukaan tanah, dan (3) kemampuan tanah dalam mengosongkan air di atas
permukaan tanah.
Ada beberapa faktor yang diduga paling mempengaruhi infiltrasi pada suatu
tanah, yaitu (a) sifat tanah yang terdiri dari tekstur tanah, struktur tanah,
kandungan air tanah (soil water), profil lengas pada zona perakaran, alkalinitas
tanah, suhu tanah dan adanya udara yang terperangkap dalam tanah, (b) sifat air
yang meliputi kekeruhan dan suhu air, dan (c) sifat hujan yang meliputi lama dan
intensitas hujan (Mather, 1984 dalam Nur Hidayah, 2000).
Tekstur tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses
infiltrasi air ke dalam tanah.
mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah (Foth, 1998), atau komposisi
pasir (sand), debu (clay) dan liat (silt) yang terkandung dalam tanah. Pengaruh
tekstur tanah terhadap infiltrasi terjadi akibat adanya perbedaan gaya matrik
yang ditimbulkan oleh tanah yang memiliki ukuran partikel yang berbeda
(Soepardi 1983, dalam Nur Hidayah, 2000).
kemampuan yang rendah dalam menahan air, disusul dengan tanah yang
bertekstur lempung dan yang paling tinggi kemampuannya dalam menahan
meresapnya air adalah tanah yang bertekstur liat yang kandungannya didominasi
oleh mineral liat (Setijono 1996, dalam Nur Hidayah 2000).
Tanah dengan
tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Berat isi
tanah menunjukkan kepadatan tanah, semakin padat suatu tanah makin tinggi
berat isi tanah tersebut yang berarti sulit untuk dilewati air dan ditembus oleh
akar tanaman.
sebagai berikut:
b
Mp
Vt
dengan:
b = berat isi tanah (gram cm-3)
Mp = massa padatan (gram)
12
menghubungkan berat isi tanah (b) dengan berat jenis tanah (p) melalui
persamaan berikut:
1
b
100%
p
dengan:
= porositas (%)
b = berat isi tanah (gram cm-3)
p = berat jenis tanah (gram cm-3)
Berat isi tanah (b) diperoleh dari persamaan di atas, sedangkan berat jenis
tanah (p) diperoleh berdasarkan analisis yang dilakukan pada contoh tanah
utuh. Contoh tanah tersebut terlebih dahulu dikeringkan dalam oven dengan
suhu 1050 C selama 24 jam. Setelah itu contoh tanah dihaluskan, kemudian
dimasukkan ke dalam piknometer (piknometer ditimbang terlebih dahulu = P)
sebanyak 20 gram dan ditimbang (P+To). Kemudian ditambah air sampai
volume piknometer, lalu dikocok-kocok sampai tanah dan air bercampur.
Campuran tersebut kemudian dipanaskan di atas tempayan baja sampai
mendidih, setelah itu piknometer diangkat dan ditambah air dingin yang sudah
direbus sampai batas 100 ml. Setelah dingin, piknometer ditimbang (P+To+Air).
Nilai berat jenis dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
(P To ) P
Mp
Vp 100 (P To Air ) (P To )
dengan:
p = berat jenis tanah (gram cm-3)
Mp = massa tanah (gram)
Vp = volume tanah (cm3)
Faktor yang juga mempengaruhi infiltrasi adalah faktor biotik seperti
keberadaan dan aktivitas hidup, akar-akar yang mati dan karakteristik kanopi
13
Vegetasi di
permukaan tanah dapat mengurangi air hujan yang sampai ke permukaan tanah
dan menghambat aliran air di permukaan tanah, sehingga meningkatkan
kesempatan air tersebut terinfiltrasi ke dalam tanah (Utomo, 1984 dalam Nur
Hidayah, 2000).
Soemarto (1987) menyatakan, bahwa infiltrasi sangat mempengaruhi dua hal,
yaitu sebagai berikut:
1.
2.
airtanah.
Ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk menghitung laju
infiltrasi secara empirik, yaitu model Kostiakov, Horton, Holtan dan model
yang diturunkan dari teori aliran di media porous seperti Green-Ampt.
Selain itu, menurut Soemarto (1987), Linsley (1986), Wilson (1993) dan
Sharma (1987) dalam Abdulah (2002), ada beberapa metode pengukuran secara
langsung di lapangan dalam menentukan besar laju infiltrasi yang terjadi, yaitu
sebagai berikut:
14
1. Infiltrometer
Infiltrometer merupakan alat ukur infiltrasi di lapangan yang sering dipakai
karena selain mudah dalam pengoperasiannya juga sangat ekonomis dengan
hasil yang cukup baik. Infiltrometer adalah silinder pendek dengan garis tengah
lebar atau sejenis dengan silinder lain yang dindingnya kedap air dan
ditancapkan di atas permukaan tanah.
setebal 5 10 cm dari permukaan tanah dan terus menerus diisi dengan air
untuk mempertahankan genangan yang ada di dalam silinder. Penurunan air
dalam silinder dicatat sesuai perbedaan waktu yang telah ditentukan. Saat ini
yang seringkali dipakai dalam pengukuran infiltrasi di lapangan, adalah
infiltrometer silinder ganda (double ring infiltrometer) dengan metode infiltrasi
genangan (ponded infiltration). Alat ini terdiri dari dua silinder, silinder dalam
berdiameter 40 cm dan silinder luar berdiameter 60 cm.
Maksud dari
pemasangan silinder bagian luar adalah untuk mengurangi beberapa efek tepi
dari tanah kering di sekeliling silinder, dan mencegah terjadinya aliran lateral di
bawah silinder selama pengukuran dilakukan.
2. Testplot
Pengukuran daya infiltrasi dengan menggunakan infiltrometer hanya bisa
dilakukan bila wilayah pengukurannya relatif tidak luas, sehingga kadang-kadang
untuk wilayah pengukuran yang luas, maka infiltrometer kurang fleksibel untuk
dipergunakan.
testplot, yaitu lahan luas yang agak datar yang dikelilingi oleh tanggul dan
digenangi oleh air. Laju infiltrasi diperoleh dengan cara mengukur banyaknya air
yang ditambahkan ke dalam petak agar permukaan air selalu konstan.
3. Lysimeter
Lysimeter merupakan alat berupa sebuah tangki beton yang ditanam dalam
tanah, kemudian diisi dengan tanah dan tanaman yang sama dengan keadaan di
sekelilingnya, serta dilengkapi dengan fasilitas drainasi dan penyuplai air.
Dengan Lysimeter tersebut, besarnya infiltrasi dengan kondisi curah hujan yang
sebenarnya dapat diamati. Curah hujan harus diukur dengan menggunakan alat
pencatat hujan yang harus ditempatkan di dekat Lysimeter.
4. Simulator Hujan (Test Penyiraman-Sprinkler)
Di atas sebidang tanah dengan luas beberapa puluh meter persegi (m 2)
diberikan hujan buatan dengan intensitas yang diketahui dan konstan (i > fp).
Permukaan tanahnya dibuat agak miring, sehingga limpasan permukaan sebesar
i fp dapat mengalir di atas permukaan tanah dan diukur. Parameter i, q dan fp
dinyatakan dalam mm jam-1. Setelah berjalan beberapa lama, selisih i dan q
15
menjadi hampir konstan, ini berarti bahwa fc sudah hampir tercapai. Setelah
penyiraman dihentikan, limpasan masih terjadi beberapa saat meskipun dengan
intensitas yang semakin kecil.
ketebalan air di atas permukaan tanah, yang berarti pelepasan tampungan air di
atas permukaan tanah.
dianggap bahwa infiltrasi menurun dengan cara yang sama dengan debit. Ini
berarti bahwa, pada permulaan test terjadi tampungan sebesar volume total
limpasan permukaan dan infiltrasi setelah hujan buatan dihentikan.
Dengan
QT
A t H
dengan:
Q
= waktu (jam)
2.3.
Kedalaman
permukaan
merupakan
faktor
penting
dalam
16
dan
sempit
cenderung
menurunkan
Makin
limpasan
permukaan
besar bentang lahan datar akan menghasilkan limpasan permukaan yang lebih
kecil dibandingkan dengan daerah yang memiliki kemiringan lereng yang besar.
Vegetasi dan cara bercocok tanam dapat menghalangi jalannya limpasan air dan
memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah (surface
detention), dengan demikian akan menurunkan limpasan permukaan (Asdak,
1995).
III.
lahan. Tanpa rancangan tata guna lahan yang memadai, penggunaan ruang
dapat menjurus ke arah persaingan antara berbagai kepentingan, yang akhirnya
hanya akan saling merugikan dan pada gilirannya akan menimbulkan degradasi
sumberdaya air yang tak terkendali (Tejoyuwono Notohadiprawiro, 1980).
Konsepsi ini menunjukkan bahwa penataan ruang tidak semata-mata menjadi
17
berlangsung
secara
alamiah.
Dengan
kata
lain
bahwa
apabila
nilai
ekonomis
tinggi,
misalnya
di hutan
yang
tidak
ada
18
sungai pada kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, tidak terjadi banjir di musim
hujan dan tidak terjadi kekeringan di musim kemarau.
Sebagai contoh tentang penilaian paramater ini adalah studi yang telah
dilakukan di Sub DAS Kali Konto. Pada sub DAS Kali Konto, pencatatan debit
yang ada terletak di stasiun Kedungrejo (1978 s/d 1982) dan stasiun Kambal
(1979 s/d 1982). Perhitungan Qmaks/Qmin didasarkan pada perbandingan dari
debit paling besar pada kurun waktu tertentu (bulan atau tahun) dengan debit
paling kecil pada kurun waktu yang sama. Dari kedua stasiun diperoleh suatu
kesimpulan bahwa Qmaks/Qmin bulanan untuk 1979, 1980 dan 1981 pada
bulan-bulan basah (Nopember s/d Maret) mempunyai kecenderungan meningkat
jika dibandingkan dengan bulan-bulan kering (Juni s/d September). Hanya saja
terjadi lonjakan nilai Qmaks/Qmin pada bulan Mei tahun 1979, tetapi dengan
melihat Qmaks/Qmin rata-rata bulan kering yang tidak terlalu bervariasi, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh kekurang-cermatan dalam pengamatan data atau
mungkin pada waktu itu terjadi kondisi ekstrim. Meskipun demikian, secara
keseluruhan Qmaks/Qmin bulanan pada kedua stasiun tersebut adalah baik
sekali, yaitu memiliki nilai berkisar antara 1 hingga 7. Untuk Qmaks/Qmin
tahunan kedua stasiun dengan tiga tahun pengamatan terjadi
variasi
Nama Sungai
Qmaks / Qmin
Tahun 1973
Tahun 1974
Tahun 1975
Tahun 1976
Citandui - Pataruman
1050/175 = 60
1110/16,9 = 66
1251/8,68 = 144
693/0,54 = 1283
Cimanuk - Wado
214/11,1 = 19
388/11,6 = 33
411/9,16 = 45
189/6,04 = 31
Progo - Kranggan
161/3,32 = 48
171/5,51 = 31
141/3,13 = 45
122/2,45 = 49
Serayu - Rawalo
1728/106 = 16
1789/85,8 = 20
1741/54 = 32
1850/26 = 71
Solo - Napel
1768/17,1 = 103
2395/17,1 = 140
2563/12,1 = 205
1946/3,4 = 572
Citarum
1266/24,6 = 51
683/38,2 = 17
1911/22,8 = 39
937/10,4 = 90
Brantas
578/53,6 = 10
520/47,7 = 10
623/63,6 = 9,8
623/51,1 = 12
19
3.3. Erosi
Pada dasarnya erosi merupakan proses perataan kulit bumi. Secara
sederhana seharusnya Erosi yang diperbolehkan (Edp)
mengemukakan
bahwa
dalam
penentuan
nilai
Edp
harus
mempertimbangkan:
(1) Ketebalan lapisan tanah atas.
(2) Sifat fisik tanah.
(3) Pencegahan terjadinya selokan (gully).
(4) Penurunan bahan organik.
(5) Kehilangan zat hara tanaman.
Dengan batasan tersebut, maka tanah yang mempunyai solum tebal, nilai
Edp-nya lebih tinggi daripada tanah yang solumnya tipis.
Di Indonesia, Hammer (1981) seorang ahli konservasi tanah dari Australia
yang bekerja di Pusat Penelitian Tanah Bogor, mengusulkan agar menghitung
nilai erosi yang diperbolehkan berdasarkan kedalaman ekuivalen tanah dan
kelestarian sumber daya tanah (umur) yang diharapkan, dengan persamaan:
Edp =
Sebagai contoh:
Tanah jenis inceptisol dengan penggunaan lahan tegal yang memiliki kedalaman
3,39 meter, kelestarian tanahnya 400 tahun, maka nilai:
Edp
3390 mm
400 th
20
Edp 8,475 mm / th
Edp 8,475
mm
x BI (g.cm 3 )
th
Edp 0,8475
cm
x 1.1 (g.cm 3 )
th
10 6 ton x 10 4
10 4 m 2 x 10 4
Edp 0,93225 x
Edp 93,225 x
10 2 ton
/ th
ha
ton
/ th
ha
Hal ini berarti erosi yang diperbolehkan pada tanah inceptisol dengan
penggunaan lahan tegal adalah sebesar 93,225 ton/ha/th, namun jika mengacu
pada referensi di Amerika, maka erosi yang terjadi melebihi toleransi yang
diperbolehkan yaitu sebesar 12,50 ton/ha/th.
3.4. Kekeringan
Kekeringan adalah suatu kawasan yang tidak dijumpai air yang berlebih
atau bahkan tidak ada air sama sekali. Kondisi ini disebabkan kawasan tersebut
secara alamiah memang tidak tersedia air, baik air permukaan maupun airtanah.
Penataan ruang yang baik dan berhasil, kondisi kawasan yang mengalami
kekeringan bisa dikurangi dengan berbagai teknologi pengadaan air dan
pemerataan air, bahkan dengan teknologi hujan buatan. Semakin luas wilayah
kekeringan, menunjukkan ketidak berhasilan dalam mengelola suatu DAS.
3.5. Rasio Kawasan Resapan
Rasio kawasan resapan adalah perbandingan antara daerah resapan
dengan total luasan daerah. Dalam penyusunan peta konservasi air dihasilkan
kawasan-kawasan yang mempunyai daya resap (infiltrasi) tinggi sampai rendah.
Berdasarkan hasil itulah dalam rencana tata ruang wilayah seharusnya
ditentukan daerah-daerah yang direncanakan sebagai kawasan resapan air.
Semakin besar rasio kawasan resapan, menunjukkan pengelolaan kawasan DAS
semakin berhasil. Kawasan resapan bisa berupa, hutan, lahan terbuka hijau,
sumur resapan, waduk dan teknologi lainnya yang menyebabkan air mudah
meresap ke dalam tanah, sehingga sangat banyak mengurangi limpasan
permukaan atau banjir.
21
Rancaekek-Cicalengka,
Ujungberung,
Cicaheum,
dan
permukaan tanah. Kondisi tahun 2004-2005 airtanah tidak bisa artesis, bahkan
mengalami penurunan hampir 2 meteran.
22
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Budihardjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. PT. ALUMNI. Bandung.
C. Colosimo, G. Mendicino. GIS for Distributed Rainfall - Runoff Modeling dalam
Singh, P. Vijay, M. Florentino (ed.), Geographical Information Systems In
Hydrology. Kluwer Academic Publishers. London.
Ciriacy-Wantrup, S. V. Resource Conservation. University of California Press.
Berkely, California.
Damayanti, N. 2003. Perbedaan Infiltrasi pada Berbagai Penggunaan Lahan di
DAS Brantas Hulu. Skripsi Tidak Diterbitkan. Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Departemen KIMPRASWIL. 2002. Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan. Jakarta.
Foth, H. D. 1998. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Gallion, B. Arthur dan Eisner, Simon. 1992. Pengantar Perancangan Kota,
Desain dan Perencanaan Kota. Penerbit ERLANGGA. Jakarta.
Glasson, John. 1977. Pengantar Perencanaan Regional (Bagian Satu dan Dua).
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Gupta. 1979. Water Resources Engineers and Hydrology. Standart Publishers
Distributors. New Delhi, India.
Harto, Sri. 1993. Analisis Hidrologi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hillel, Daniel. 1980. Introduction to Soil Physics. Academic Press, Inc. London.
Ilyas, M. Arief, Dt. Majo Kayo, Sofyan dan Surapati, Erwan. 1996. Metode
Pemodelan Infiltrasi Merupakan Proses Penting dalam Pengelolaan Air,
Aliran Limpasan dan Erosi. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI.
Medan.
23
Islami, T dan Utomo, W. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP
Semarang Press. Semarang.
Kartasaputra, A. G. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. PT Bina Aksara.
Jakarta.
Kohnke, H. 1979. Soil Physics. Mc. Graw Hill Publishing Company. New Delhi.
Kozlowski, Jerzy. 1997. Pendekatan Ambang Batas dalam Perencanaan Kota,
Wilayah dan Lingkungan (Teori & Praktek). Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press). Jakarta.
Krueckebers, A. Donald dan Silvers, L. Arthur. 1974. Urban Planning Analysis:
Method and Model. John Willex and Sons, Inc. New York.
Linsay, Ray K. 1986. Hidrologi Untuk Insinyur. Erlangga. Jakarta.
Maidment, R David. 1996. Environmental Modeling Within GIS dalam Goodchild,
M. F., Steyaert, L. T., Parks B. O., C. Johnston, D. Maidment, M. Crane
dan S. Glendinning (ed.), GIS and Enviromental Modeling Progress and
Research Issues. GIS World Books Forth Collins, USA.
Mc Clendon, W. Bruce dan Catanesc, J. Anthony. 1996. Planners on Planning.
Jossey-Bass Publishers. San Fransisco.
Mc Cuen, Richard. H. 1982. Guide to Hydrologic Analysis Using Methods.
Prentice Hall Inc. New Jersey, USA.
Prahasta, Eddy. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.
Informatika. Bandung.
Purwodarminto. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Rahmawati, Indah Y. 2005. Studi Simpanan Lengas Tanah pada Berbagai
Penggunaan Lahan di DPS Kali Sumpil, Skripsi Tidak Diterbitkan.
Universitas Brawijaya. Malang.
Rapoport, Amos. 1990. The Meaning of The Built Environment. University of
Arizona Press. Arizona.
Santoso, Budi. 1994. Pelestarian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
IKIP Malang. Malang.
Soemarto, C. D. 1987. Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya.
Soepardi. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor.
Soewarno. 1995. Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data. NOVA.
Bandung.
Sole, A., Valanzano, A. 1996. Digital Terrain Modelling dalam Singh, P. Vijay, M.
Florentino (ed.), Geographical Information Systems In Hydrology. Kluwer
Academic Publishers. London.
24