Você está na página 1de 21

1

MODUL PELATIHAN

ASAS KONSERVASI AIR


DALAM PENATAAN RUANG

Instruktur
Dr.Ir.Mohammad Bisri,MS.

Pelatihan Tenaga Ahli Perencanaan Konstruksi Sumber Daya Air


Berbasis Tata Ruang (Tipe III)
Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi
Malang 10 Agustus 15 Agustus 2009
I. DASAR-DASAR KONSERVASI AIR

1.1. Indonesia Negara Air


Indonesia merupakan negara air, yang secara kontinyu terjadi musim hujan
selama lebih kurang enam bulan yang memberikan curah hujan cukup besar.
Kondisi alam yang demikian ini, haruslah mendapat perhatian secara cermat,
karena merupakan salah satu faktor yang mendasar dalam menata suatu
daerah.

Sebagai

negara

yang

masih

dan

terus

akan

berkembang,

pembangunan sarana fisik mutlak dilakukan untuk menjamin kesejahteraan


sosial penduduknya.

Pembangunan yang dilakukan berarti juga akan

mengalihfungsikan penggunaan lahan. Lahan yang dulunya merupakan daerah


terbuka maupun daerah resapan air, berubah menjadi daerah yang tertutup
perkerasan dan bersifat kedap air.

Perubahan penggunaan lahan seperti ini

menyebabkan pada musim penghujan, air hujan tidak dapat lagi meresap ke
dalam tanah, sehingga menimbulkan limpasan di permukaan (surface runoff)
yang kemudian menjadi genangan atau banjir.

Kondisi seperti ini akan

mempengaruhi juga kelestarian dari airtanah (groundwater), karena air hujan


yang meresap ke dalam tanah merupakan imbuhan airtanah secara alami
(natural recharge).
Pemahaman mengenai proses infiltrasi dan besarnya laju infiltrasi yang terjadi
serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat diperlukan sebagai acuan
untuk pelaksanaan manajemen air dan penggunaan lahan yang lebih efektif.
Oleh karena itu, dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya air, infiltrasi
merupakan masalah yang seharusnya diatasi terlebih dahulu sebelum upaya
berikutnya dilakukan, terlebih lagi perubahan penggunaan lahan yang terjadi

pada saat ini tentunya sangat mempengaruhi besarnya laju infiltrasi yang terjadi.
Menurut UU No. 24 Tahun 1992, penataan ruang meliputi proses perencanaan
ruang, pemanfaatan ruang yang berkualitas (yang efisien dan efektif) serta
pengendaliannya, karena penataan ruang merupakan upaya yang bertujuan
untuk mensejahterakan dan memberikan rasa aman dan nyaman pada
masyarakat serta mempertahankan dan meningkatkan konservasi alam atau
kelestarian lingkungan. Hasil perencanaan ruang yang baik akan menghasilkan
pemanfaatan ruang yang berkualitas dan akan mempermudah dalam usaha
pengendaliannya.
Perencanaan ruang pada hakekatnya adalah menata ruang secara terpadu
dan menyeluruh, menyangkut semua aspek geografi, biologi, fisik, ekonomi dan
sosial yang harus ditelaah, dianalisis dan dirumuskan menjadi satu kesatuan dari
berbagai kegiatan pemanfaatan ruang.

Perencanaan ruang tidak sekedar

memunculkan segi estetika semata, lebih dari itu adalah untuk menciptakan
keserasian dengan lingkungan alamiahnya. Oleh karena itu, dalam perencanaan
ruang landasan yang digunakan haruslah mengacu pada hakekat dan tujuan
akhir dari perencanaan ruang itu sendiri. Konservasi air sebagai landasan, dan
genangan air atau limpasan permukaan yang tidak mengganggu lingkungan,
merupakan salah satu tujuan dan menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah
perencanaan ruang.

Dengan kata lain, bahwa sebuah perencanaan ruang

memerlukan suatu parameter kontrol atau evaluasi sebagai dasar penentuan


keberhasilannya, dan yang berfungsi sebagai parameter evaluasi tersebut
adalah kedalaman limpasan permukaan.

Konservasi air yang berarti usaha-

usaha dalam perlindungan sumberdaya air, merupakan bagian yang tak


terpisahkan dalam perencanaan ruang (UU No. 24 Tahun 1992). Terabaikannya
analisis kuantitatif mengenai konservasi air dalam perencanaan ruang,
menyebabkan ketidakserasian antara pembangunan yang dilakukan dengan
lingkungan alamiah di sekitarnya. Konstruksi yang indah secara fisik dengan
bangunan-bangunan yang menjulang dan tertata rapi, terasa kurang bermakna
jika terjadi genangan yang sangat mengganggu aktifitas penduduk.

Hujan

dengan waktu yang tidak terlalu lama telah menyebabkan genangan-genangan


air, bahkan dengan intensitas hujan yang tinggi menyebabkan banjir yang sangat
merugikan kehidupan ekonomi.

Seperti dijelaskan oleh Chow et al., (1988),

bahwa urbanisasi akan membawa pengaruh terhadap perubahan tata ruang dari

suatu daerah dan berdampak nyata terhadap sumberdaya air.

Pada kondisi

daerah dalam masa transisi atau sedang mengalami pertumbuhan, Chow et al.,
(1988) menyebutkan, bahwa akan terjadi penurunan masuknya air ke dalam
tanah (infiltrasi) atau secara luas dapat dikatakan sebagai penurunan konservasi
air dan meningkatnya limpasan permukaan. Selanjutnya, pada tahap daerah
yang sudah mulai berkembang, maka akan menyebabkan penurunan yang lebih
besar terhadap infiltrasi atau konservasi air dan peningkatan limpasan
permukaan serta banjir, juga terjadinya penurunan muka airtanah.
Dengan demikian diperlukan suatu perencanaan ruang yang memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi atau pengawetan air agar terjadi keseimbangan
lingkungan, sehingga pertumbuhannya tidak menyebabkan genangan atau banjir
yang dapat merugikan lingkungan itu sendiri.
1.2. Daur Hidrologi
Air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk kelangsungan hidupnya.
Mengingat

pentingnya

air, maka

perlu

dijaga

kelestariannya,

sehingga

ketersediaan air yang cukup bisa terjamin. Konservasi merupakan usaha dalam
menjaga kelestarian air tersebut.
Ketersediaan

air,

khususnya

airtanah,

tidak

terlepas

dari

proses

berlangsungnya daur hidrologi yang merupakan suatu siklus air yang terjadi di
bumi.

Dalam daur hidrologi, energi panas matahari menyebabkan terjadinya

proses evaporasi di laut atau badan air lainnya. Uap air tersebut akan terbawa
oleh angin melintasi daratan yang bergunung-gunung maupun datar dan apabila
keadaan atmosfer memungkinkan, maka sebagian dari uap air tersebut akan
turun menjadi hujan.
Sebelum mencapai permukaan tanah, air hujan akan tertahan oleh tajuk
vegetasi. Sebagian dari air hujan akan tersimpan di permukaan tajuk atau daun,
sebagian lainnya akan jatuh ke atas permukaan tanah melalui sela-sela daun
atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon. Sebagian kecil air
hujan tidak akan pernah sampai ke permukaan tanah, melainkan terevaporasi
kembali ke atmosfir (dari tajuk) selama dan setelah berlangsungnya hujan
(interception).

Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk
(terserap) ke dalam tanah (infiltration). Air hujan yang tidak terserap ke dalam
tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah
(surface detention), untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat
yang lebih rendah (surface runoff) yang selanjutnya masuk ke sungai. Air yang
terinfiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan
membentuk kelembaban tanah. Apabila tingkat kelembaban tanah telah cukup
jenuh, maka air hujan yang baru masuk ke dalam tanah akan bergerak secara
lateral (horisontal), untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan keluar lagi ke
permukaan tanah (sub surface runoff) dan akhirnya mengalir ke sungai.
Alternatif

lainnya, air hujan yang masuk ke dalam tanah akan bergerak vertikal

menuju lapisan tanah yang lebih dalam dan menjadi bagian dari airtanah
(groundwater). Airtanah tersebut, terutama pada musim kemarau, akan mengalir
pelan-pelan ke sungai, danau atau tempat penampungan air alamiah lainnya
(Asdak, 1995).

Gambar 1.1. Daur Hidrologi

Gambar 1.2. Daur Airtanah

II.

INFILTRASI SEBAGAI KONSERVASI AIR

10

2.1.

Konservasi Air; Hubungannya dengan Infiltrasi dan


Kedalaman Limpasan Permukaan

Konservasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Purwodarminto, 1994),


diartikan sebagai usaha-usaha untuk memanfaatkan dan menjaga serta
melindungi sumberdaya alam.

Menurut Pinchot dalam Suparmoko (1997)

konservasi merupakan suatu tindakan pengembangan dan proteksi terhadap


sumberdaya alam. Dengan demikian, konservasi air merupakan usaha-usaha
dalam pemanfaatan serta perlindungan terhadap sumberdaya air.
Memberdayakan prinsip konservasi air dalam perencanaan ruang adalah
merupakan cara yang efektif untuk menjaga keadaan alam dan keseimbangan
lingkungan. Mempertimbangkan lahan terbuka yang lolos air merupakan suatu
upaya konservasi, lahan terbuka dengan sendirinya adalah suatu lahan yang
berfungsi sebagai lahan peresap air.

Upaya-upaya peresapan ini bisa

berlangsung secara alamiah pada lahan terbuka yang lolos air atau bisa
dilakukan secara buatan dengan menggunakan bangunan peresap yang bisa
berupa sarana untuk menampung dan meresapkan air hujan atau air permukaan
ke dalam tanah.
Dari uraian di atas, maka dapat diartikan bahwa konservasi air adalah upaya
untuk memasukkan air ke dalam tanah dalam rangka pengisian airtanah, baik
secara alami (natural recharge) atau secara buatan (artificial recharge).
Pengertian masuknya air ke dalam tanah identik dengan pengertian infiltrasi.
Oleh karena itu, tujuan konservasi air dalam studi ini adalah mencari besarnya
laju infiltrasi pada suatu daerah dalam rangka pengisian airtanah.

Apabila

kegiatan konservasi air berjalan dengan baik, maka limpasan permukaan atau
genangan air sedikit sekali terjadi.

Sebaliknya, apabila konservasi air tidak

berjalan dengan baik, maka akan timbul limpasan permukaan atau genangan air
bahkan banjir.
2.2.

Infiltrasi

Infiltrasi adalah suatu proses masuknya air, baik air hujan, air irigasi atau yang
lain dari permukaan tanah ke dalam tanah.
Mein & Larson, (1971) dalam Nur Hidayah (2000) menyatakan bahwa proses
infiltrasi dapat dibedakan menjadi dua kondisi, yaitu infiltrasi pada kondisi ideal
dan infiltrasi pada kondisi alami.
Menurut Asdak (1995) dalam Abdulah (2002), bahwa infiltrasi melibatkan tiga
proses yang saling tidak tergantung, yaitu (1) meresapnya air hujan melalui pori-

11

pori permukaan tanah, (2) tertampungnya air hujan yang meresap tersebut
dalam tanah, dan (3) mengalirnya air tersebut ke tempat lain.

Laju infiltrasi

ditentukan oleh (1) jumlah air yang tersedia di permukaan tanah, (2) sifat
permukaan tanah, dan (3) kemampuan tanah dalam mengosongkan air di atas
permukaan tanah.
Ada beberapa faktor yang diduga paling mempengaruhi infiltrasi pada suatu
tanah, yaitu (a) sifat tanah yang terdiri dari tekstur tanah, struktur tanah,
kandungan air tanah (soil water), profil lengas pada zona perakaran, alkalinitas
tanah, suhu tanah dan adanya udara yang terperangkap dalam tanah, (b) sifat air
yang meliputi kekeruhan dan suhu air, dan (c) sifat hujan yang meliputi lama dan
intensitas hujan (Mather, 1984 dalam Nur Hidayah, 2000).
Tekstur tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses
infiltrasi air ke dalam tanah.

Tekstur tanah adalah ukuran relatif tanah yang

mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah (Foth, 1998), atau komposisi
pasir (sand), debu (clay) dan liat (silt) yang terkandung dalam tanah. Pengaruh
tekstur tanah terhadap infiltrasi terjadi akibat adanya perbedaan gaya matrik
yang ditimbulkan oleh tanah yang memiliki ukuran partikel yang berbeda
(Soepardi 1983, dalam Nur Hidayah, 2000).

Tanah pasir mempunyai

kemampuan yang rendah dalam menahan air, disusul dengan tanah yang
bertekstur lempung dan yang paling tinggi kemampuannya dalam menahan
meresapnya air adalah tanah yang bertekstur liat yang kandungannya didominasi
oleh mineral liat (Setijono 1996, dalam Nur Hidayah 2000).

Tanah dengan

kemampuan yang tinggi dalam menahan meresapnya air, menyebabkan


kemampuan infiltrasinya rendah karena daya hantar airnya rendah (Soepardi,
1983 dalam Cipto, 2003).
Selain itu, sifat fisik tanah yang mempengaruhi infiltrasi adalah berat isi tanah
dan porositas tanah.

Berat isi tanah merupakan perbandingan antara berat

tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah. Berat isi
tanah menunjukkan kepadatan tanah, semakin padat suatu tanah makin tinggi
berat isi tanah tersebut yang berarti sulit untuk dilewati air dan ditembus oleh
akar tanaman.

Berat isi tanah dihitung dengan menggunakan persamaan

sebagai berikut:
b

Mp
Vt

dengan:
b = berat isi tanah (gram cm-3)
Mp = massa padatan (gram)

12

Vt = volume tanah (cm3)


Porositas merupakan perbandingan antara volume ruang pori dengan volume
total tanah. Ruang pori tanah adalah bagian tanah yang diisi oleh udara dan air
yang dibedakan menjadi pori kasar atau pori makro (berisi udara dan air
gravitasi) dan pori halus atau pori mikro (berisi udara dan air kapiler). Porositas
dihitung dari hasil analisis berat isi tanah dan berat jenis tanah. Berat jenis tanah
merupakan parameter fisik tanah yang menunjukkan kerapatan dari partikel
padat yang terkandung dalam tanah secara keseluruhan yang terdiri dari
berbagai jenis mineral dan bahan organik.

Porositas total dihitung dengan

menghubungkan berat isi tanah (b) dengan berat jenis tanah (p) melalui
persamaan berikut:
1

b
100%
p

dengan:
= porositas (%)
b = berat isi tanah (gram cm-3)
p = berat jenis tanah (gram cm-3)
Berat isi tanah (b) diperoleh dari persamaan di atas, sedangkan berat jenis
tanah (p) diperoleh berdasarkan analisis yang dilakukan pada contoh tanah
utuh. Contoh tanah tersebut terlebih dahulu dikeringkan dalam oven dengan
suhu 1050 C selama 24 jam. Setelah itu contoh tanah dihaluskan, kemudian
dimasukkan ke dalam piknometer (piknometer ditimbang terlebih dahulu = P)
sebanyak 20 gram dan ditimbang (P+To). Kemudian ditambah air sampai
volume piknometer, lalu dikocok-kocok sampai tanah dan air bercampur.
Campuran tersebut kemudian dipanaskan di atas tempayan baja sampai
mendidih, setelah itu piknometer diangkat dan ditambah air dingin yang sudah
direbus sampai batas 100 ml. Setelah dingin, piknometer ditimbang (P+To+Air).
Nilai berat jenis dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

(P To ) P
Mp

Vp 100 (P To Air ) (P To )

dengan:
p = berat jenis tanah (gram cm-3)
Mp = massa tanah (gram)
Vp = volume tanah (cm3)
Faktor yang juga mempengaruhi infiltrasi adalah faktor biotik seperti
keberadaan dan aktivitas hidup, akar-akar yang mati dan karakteristik kanopi

13

tanaman, sehingga menyebabkan laju infiltrasi bervariasi dalam dimensi ruang


dan waktu. Kondisi permukaan tanah, penutupan vegetasi, sifat tanah seperti
porositas, konduktivitas hidraulik jenuh dan kadar air tanah juga mempengaruhi
laju infiltrasi (Chow et al., 1988).

Menurut Wilson (1993), faktor yang dapat

mempercepat proses infiltrasi antara lain adalah rapatnya perakaran yang


memungkinkan tanah bawah dapat dicapai, lapisan bahan rombakan tumbuhan
berupa lapisan bak-sepon, binatang dan serangga penggali lubang yang
membuat jalan ke dalam tanah, penutupan tanah yang mencegah pemadatan
dan penyerapan air oleh tumbuhan yang menghilangkan kelengasan tanah.
Perlakuan praktek pengolahan lahan juga berpengaruh terhadap proses
infiltrasi. Menurut Cook (1962) dalam Nur Hidayah (2000) laju infiltrasi di bawah
tanaman semusim lebih rendah daripada di bawah rumput.

Vegetasi di

permukaan tanah dapat mengurangi air hujan yang sampai ke permukaan tanah
dan menghambat aliran air di permukaan tanah, sehingga meningkatkan
kesempatan air tersebut terinfiltrasi ke dalam tanah (Utomo, 1984 dalam Nur
Hidayah, 2000).
Soemarto (1987) menyatakan, bahwa infiltrasi sangat mempengaruhi dua hal,
yaitu sebagai berikut:
1.

Proses limpasan (runoff)


Laju infiltrasi menentukan banyaknya air hujan yang diserap ke dalam tanah,
makin besar laju infiltrasi, maka makin besar air yang masuk ke dalam tanah
dan akan semakin kecil limpasan permukaan atau genangannya, sehingga
debit puncaknya juga lebih kecil.

2.

Pengisian lengas tanah (soil moisture) dan airtanah (groundwater)


Pengisian lengas tanah dan airtanah penting sekali untuk ketersediaan
airtanah.

Pengisian lengas tanah sama dengan selisih antara besarnya

infiltrasi dan perkolasi.


infiltrasi.

Besarnya perkolasi dibatasi oleh besarnya laju

Oleh karena itu, laju infiltrasi sangat menentukan besarnya isian

airtanah.
Ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk menghitung laju
infiltrasi secara empirik, yaitu model Kostiakov, Horton, Holtan dan model
yang diturunkan dari teori aliran di media porous seperti Green-Ampt.
Selain itu, menurut Soemarto (1987), Linsley (1986), Wilson (1993) dan
Sharma (1987) dalam Abdulah (2002), ada beberapa metode pengukuran secara
langsung di lapangan dalam menentukan besar laju infiltrasi yang terjadi, yaitu
sebagai berikut:

14

1. Infiltrometer
Infiltrometer merupakan alat ukur infiltrasi di lapangan yang sering dipakai
karena selain mudah dalam pengoperasiannya juga sangat ekonomis dengan
hasil yang cukup baik. Infiltrometer adalah silinder pendek dengan garis tengah
lebar atau sejenis dengan silinder lain yang dindingnya kedap air dan
ditancapkan di atas permukaan tanah.

Kemudian silinder tersebut diisolasi

setebal 5 10 cm dari permukaan tanah dan terus menerus diisi dengan air
untuk mempertahankan genangan yang ada di dalam silinder. Penurunan air
dalam silinder dicatat sesuai perbedaan waktu yang telah ditentukan. Saat ini
yang seringkali dipakai dalam pengukuran infiltrasi di lapangan, adalah
infiltrometer silinder ganda (double ring infiltrometer) dengan metode infiltrasi
genangan (ponded infiltration). Alat ini terdiri dari dua silinder, silinder dalam
berdiameter 40 cm dan silinder luar berdiameter 60 cm.

Maksud dari

pemasangan silinder bagian luar adalah untuk mengurangi beberapa efek tepi
dari tanah kering di sekeliling silinder, dan mencegah terjadinya aliran lateral di
bawah silinder selama pengukuran dilakukan.
2. Testplot
Pengukuran daya infiltrasi dengan menggunakan infiltrometer hanya bisa
dilakukan bila wilayah pengukurannya relatif tidak luas, sehingga kadang-kadang
untuk wilayah pengukuran yang luas, maka infiltrometer kurang fleksibel untuk
dipergunakan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka digunakan cara

testplot, yaitu lahan luas yang agak datar yang dikelilingi oleh tanggul dan
digenangi oleh air. Laju infiltrasi diperoleh dengan cara mengukur banyaknya air
yang ditambahkan ke dalam petak agar permukaan air selalu konstan.
3. Lysimeter
Lysimeter merupakan alat berupa sebuah tangki beton yang ditanam dalam
tanah, kemudian diisi dengan tanah dan tanaman yang sama dengan keadaan di
sekelilingnya, serta dilengkapi dengan fasilitas drainasi dan penyuplai air.
Dengan Lysimeter tersebut, besarnya infiltrasi dengan kondisi curah hujan yang
sebenarnya dapat diamati. Curah hujan harus diukur dengan menggunakan alat
pencatat hujan yang harus ditempatkan di dekat Lysimeter.
4. Simulator Hujan (Test Penyiraman-Sprinkler)
Di atas sebidang tanah dengan luas beberapa puluh meter persegi (m 2)
diberikan hujan buatan dengan intensitas yang diketahui dan konstan (i > fp).
Permukaan tanahnya dibuat agak miring, sehingga limpasan permukaan sebesar
i fp dapat mengalir di atas permukaan tanah dan diukur. Parameter i, q dan fp
dinyatakan dalam mm jam-1. Setelah berjalan beberapa lama, selisih i dan q

15

menjadi hampir konstan, ini berarti bahwa fc sudah hampir tercapai. Setelah
penyiraman dihentikan, limpasan masih terjadi beberapa saat meskipun dengan
intensitas yang semakin kecil.

Hal ini disebabkan oleh semakin kecilnya

ketebalan air di atas permukaan tanah, yang berarti pelepasan tampungan air di
atas permukaan tanah.

Selama pelepasan tampungan tersebut masih ada,

dianggap bahwa infiltrasi menurun dengan cara yang sama dengan debit. Ini
berarti bahwa, pada permulaan test terjadi tampungan sebesar volume total
limpasan permukaan dan infiltrasi setelah hujan buatan dihentikan.

Dengan

perkiraan yang tepat terhadap besarnya tampungan tersebut, maka dapat


ditentukan besar fp (laju infiltrasi).
Metode lain yang digunakan untuk mengukur laju infiltrasi adalah dengan
metode pendekatan uji laboratorium, yaitu dengan pendekatan nilai Konduktivitas
Hidraulik Jenuh (KHJ), karena sebagaimana menurut Child (1969) dalam Cipto
(2003) bahwa dalam beberapa penelitian, nilai laju infiltrasi konstan (fc) dapat
didekati dengan nilai Konduktivitas Hidraulik Jenuh tanah (KHJ). Konsep dasar
dari metode KHJ adalah hukum Darcy, bahwa aliran dalam bentuk cair dalam
media berpori sebanding dengan gaya penggerak (gradien hidrolik), dan
berbanding lurus dengan sifat bahan dalam mengalirkan cairan (konduktivitas
hidrolik). Laju infiltrasi diperoleh dengan mengukur kecepatan pergerakan air
yang melintasi tanah, dengan cara membagi jumlah air yang melewati tanah
tersebut dengan waktu yang ditentukan. Secara matematis persamaan Darcy
adalah :
K

QT
A t H

dengan:
Q

= volume air yang tertampung (cm3)

= tinggi contoh tanah (cm)

= waktu (jam)

= tinggi genangan (cm)

= luas penampang contoh tanah (cm2)

= konduktivitas hidraulik jenuh (cm jam-1)

2.3.
Kedalaman

Kedalaman Limpasan Permukaan


limpasan

permukaan

merupakan

faktor

perencanaan ruang yang berlandaskan konservasi air.

penting

dalam

Implikasi yang akan

ditimbulkan dari kedalaman limpasan permukaan yang berlebih menjadi


ancaman bahaya banjir, sehingga dalam perencanaan ruang, identifikasi dari

16

parameter-parameter yang mempengaruhi limpasan permukaan mutlak untuk


dilakukan.
Kedalaman limpasan permukaan merupakan fungsi dari nilai limpasan
permukaan. Oleh karena itu, dalam mencari kedalaman limpasan permukaan,
cara yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mencari debit limpasan
permukaan.
Limpasan permukaan terjadi ketika jumlah curah hujan melampaui laju
infiltrasi. Setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengisi cekungan atau depresi
pada permukaan tanah.

Setelah pengisian selesai, maka air akan mengalir

dengan bebas dipermukaan tanah (terjadi limpasan permukaan).


Faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan permukaan bisa dikelompokkan
ke dalam faktor-faktor yang berhubungan dengan curah hujan dan yang
berhubungan karateristik daerah aliran sungai. Lama waktu hujan, intensitas dan
penyebaran hujan mempengaruhi limpasan permukaan. Pengaruh Daerah Aliran
Sungai (DAS) terhadap limpasan permukaan adalah melalui bentuk dan ukuran
DAS, topografi, jenis tanah, geologi dan keadaan penggunaan lahan.
besar ukuran DAS, makin besar limpasan permukaan.
memanjang

dan

sempit

cenderung

menurunkan

Makin

Bentuk DAS yang

limpasan

permukaan

dibandingkan dengan DAS berbentuk melebar, walaupun luas keseluruhan dari


dua DAS itu sama.

Bentuk topografi seperti kemiringan lereng serta bentuk

cekungan akan mempengaruhi limpasan permukaan.

DAS dengan sebagian

besar bentang lahan datar akan menghasilkan limpasan permukaan yang lebih
kecil dibandingkan dengan daerah yang memiliki kemiringan lereng yang besar.
Vegetasi dan cara bercocok tanam dapat menghalangi jalannya limpasan air dan
memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah (surface
detention), dengan demikian akan menurunkan limpasan permukaan (Asdak,
1995).
III.

INDIKATOR UTAMA KEBERHASILAN KONSERVASI AIR SEBAGAI


ASAS PENATAAN RUANG
Penataan ruang, hakekatnya tidak lain adalah kegiatan penatagunaan

lahan. Tanpa rancangan tata guna lahan yang memadai, penggunaan ruang
dapat menjurus ke arah persaingan antara berbagai kepentingan, yang akhirnya
hanya akan saling merugikan dan pada gilirannya akan menimbulkan degradasi
sumberdaya air yang tak terkendali (Tejoyuwono Notohadiprawiro, 1980).
Konsepsi ini menunjukkan bahwa penataan ruang tidak semata-mata menjadi

17

tanggungjawab sepenuhnya para planolog, akan tetapi semua pihak dari


berbagai disiplin ilmu yang terkait dalam usaha-usaha pelestarian alam.
Secara teoritis, bahwa indikator utama keberhasilan penataan ruang
berbasis konservasi air adalah keseimbangan siklus hidrologi pada DAS tersebut
harus

berlangsung

secara

alamiah.

Dengan

kata

lain

bahwa

apabila

pemanfaatan ruang oleh manusia tidak sesuai dengan pendekatan penataan


alam, maka berhasil dan tidaknya penataan ruang dapat dilihat. Oleh karena itu
indikator utama keberhasilan penataan ruang berbasis konservasi air adalah
besarnya limpasan permukaan atau rasio debit Qmaksimum dan Qminimum,
besaran erosi yang terjadi, kekeringan, rasio kawasan resapan, dan kedalaman
airtanah.
3.1. Limpasan Permukaan
Limpasan permukaan (surface run off) adalah jumlah air yang melimpas di
atas permukaan tanah akibat curah hujan. Apabila jumlah hujan yang turun ke
lahan lebih banyak dibandingkan yang masuk ke dalam tanah, maka indikasi ini
menjelaskan bahwa prosentasi tutupan lahan oleh tanaman yang menyerap air
sangat rendah, atau tutupan lahan dengan bahan kedap air lebih luas dibanding
tutupan lahan yang dapat menyerap atau tembus air ke dalam tanah. Keadaan
ini menimbulkan limpasan yang besar atau genangan yang tinggi.
Kerugian yang diakibatkan limpasan permukaan atau biasa juga disebut
banjir untuk setiap kawasan sangat berbeda. Kawasan yang mempunyai nilai
ekonomis tinggi, seperti Kota Jakarta, banjir 0,5 meter saja telah mengakibatkan
kerugian materi yang sangat besar. Sedangkan di kawasan yang kurang
mempunyai

nilai

ekonomis

tinggi,

misalnya

di hutan

yang

tidak

ada

penduduknya, maka banjir setinggi 1 meter belum menimbulkan kerugian yang


berarti. Oleh karena itu kerugian akibat limpasan permukaan sangat ditentukan
oleh nilai ekonomis suatu lahan atau wilayah atau kawasan.
3.2. Rasio Debit Maksimum dan Minimum
Secara visualisasi kerusakan suatu DAS dapat dilihat dari berkurangnya
debit air sungai pada musim kemarau dan banjir besar pada musim penghujan.
Kemudian dari penilaian ini berkembang dan diperoleh suatu metode penilaian
keberhasilan penataan ruang dengan mengukur rasio debit maksimum dan debit
minimum (Q maks dan Q min). Semakin kecil Qmaks/Qmin, maka pengeloalaan
DAS dapat dinilai berhasil. Artinya jika Qmaks/Qmin kecil, misal diambil nilai ideal
Qmaks/Qmin = 1, maka Qmaks = Qmin. Ini berarti konstannya suatu aliran

18

sungai pada kurun waktu tertentu. Dengan kata lain, tidak terjadi banjir di musim
hujan dan tidak terjadi kekeringan di musim kemarau.
Sebagai contoh tentang penilaian paramater ini adalah studi yang telah
dilakukan di Sub DAS Kali Konto. Pada sub DAS Kali Konto, pencatatan debit
yang ada terletak di stasiun Kedungrejo (1978 s/d 1982) dan stasiun Kambal
(1979 s/d 1982). Perhitungan Qmaks/Qmin didasarkan pada perbandingan dari
debit paling besar pada kurun waktu tertentu (bulan atau tahun) dengan debit
paling kecil pada kurun waktu yang sama. Dari kedua stasiun diperoleh suatu
kesimpulan bahwa Qmaks/Qmin bulanan untuk 1979, 1980 dan 1981 pada
bulan-bulan basah (Nopember s/d Maret) mempunyai kecenderungan meningkat
jika dibandingkan dengan bulan-bulan kering (Juni s/d September). Hanya saja
terjadi lonjakan nilai Qmaks/Qmin pada bulan Mei tahun 1979, tetapi dengan
melihat Qmaks/Qmin rata-rata bulan kering yang tidak terlalu bervariasi, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh kekurang-cermatan dalam pengamatan data atau
mungkin pada waktu itu terjadi kondisi ekstrim. Meskipun demikian, secara
keseluruhan Qmaks/Qmin bulanan pada kedua stasiun tersebut adalah baik
sekali, yaitu memiliki nilai berkisar antara 1 hingga 7. Untuk Qmaks/Qmin
tahunan kedua stasiun dengan tiga tahun pengamatan terjadi

variasi

Qmaks/Qmin pada stasiun Kedungrejo dan kenaikan setiap tahun pengamatan


pada stasiun Kambal dengan nilai Qmaks/Qmin berkisar antara 1 hingga 7.
Sebagai bahan perbandingan Qmaks/Qmin tahunan untuk beberapa sungai di
Pulau Jawa dapat dilihat pada tabel di bawah.
Ternyata jika dibandingkan dengan beberapa daerah aliran sungai di Pulau
Jawa, Qmaks/Qmin pada Sub DAS Kali Konto cukup kecil. Sehingga dapat dinilai
bahwa pengelolaan Sub DAS Kali Konto berhasil. Hal ini dikuatkan dengan
keadaan dilapangan dan informasi yang diperoleh dari penduduk setempat,
bahwa sekitar daerah Kali Konto relatip tidak pernah terjadi banjir yang berarti
dan pada musim kemarau hampir tidak pernah mengalami kekeringan.

Tabel. Nisbah Qmaks dan Qmin Beberapa Sungai di Pulau Jawa


No

Nama Sungai

Qmaks / Qmin
Tahun 1973

Tahun 1974

Tahun 1975

Tahun 1976

Citandui - Pataruman

1050/175 = 60

1110/16,9 = 66

1251/8,68 = 144

693/0,54 = 1283

Cimanuk - Wado

214/11,1 = 19

388/11,6 = 33

411/9,16 = 45

189/6,04 = 31

Progo - Kranggan

161/3,32 = 48

171/5,51 = 31

141/3,13 = 45

122/2,45 = 49

Serayu - Rawalo

1728/106 = 16

1789/85,8 = 20

1741/54 = 32

1850/26 = 71

Solo - Napel

1768/17,1 = 103

2395/17,1 = 140

2563/12,1 = 205

1946/3,4 = 572

Citarum

1266/24,6 = 51

683/38,2 = 17

1911/22,8 = 39

937/10,4 = 90

Brantas

578/53,6 = 10

520/47,7 = 10

623/63,6 = 9,8

623/51,1 = 12

19

3.3. Erosi
Pada dasarnya erosi merupakan proses perataan kulit bumi. Secara
sederhana seharusnya Erosi yang diperbolehkan (Edp)

tidak boleh melebihi

proses pembentukan tanah. Dengan adanya aktivitas manusia, Bennet (1939)


memperkirakan bahwa untuk membentuk lapisan tanah sedalam 25 mm
diperlukan waktu lebih kurang 300 tahun. Dengan dasar perhitungan ini maka
batas laju erosi dapat diterima adalah 12,5 ton/ha/tahun. Di Amerika Edp 10
ton/ha/tahun untuk tanah sawah dan 12,5 ton/ha/tahun untuk tanah tegalan.
Dengan kecepatan kehilangan tanah lebih kecil dari laju pembentukan tanah,
maka diharapkan produktivitas tanah tidak menurun. Sehubungan dengan ini Mc
Comack,dkk (1979) memberi batasan erosi yang diperbolehkan (Mc Cormack
menggunakan istilah Soil Loss Tolerance) adalah kecepatan maksimum
kehilangan tanah pertahun yang diperbolehkan agar produktivitas tanah dapat
mencapai tingkat optimum dalam waktu yang lama. Weishmeier dan Smith
(1978)

mengemukakan

bahwa

dalam

penentuan

nilai

Edp

harus

mempertimbangkan:
(1) Ketebalan lapisan tanah atas.
(2) Sifat fisik tanah.
(3) Pencegahan terjadinya selokan (gully).
(4) Penurunan bahan organik.
(5) Kehilangan zat hara tanaman.
Dengan batasan tersebut, maka tanah yang mempunyai solum tebal, nilai
Edp-nya lebih tinggi daripada tanah yang solumnya tipis.
Di Indonesia, Hammer (1981) seorang ahli konservasi tanah dari Australia
yang bekerja di Pusat Penelitian Tanah Bogor, mengusulkan agar menghitung
nilai erosi yang diperbolehkan berdasarkan kedalaman ekuivalen tanah dan
kelestarian sumber daya tanah (umur) yang diharapkan, dengan persamaan:
Edp =

Kedalaman Tanah Ekuivalen


Kelestarian Tanah

Sebagai contoh:
Tanah jenis inceptisol dengan penggunaan lahan tegal yang memiliki kedalaman
3,39 meter, kelestarian tanahnya 400 tahun, maka nilai:
Edp

3390 mm
400 th

20

Edp 8,475 mm / th

Edp 8,475

mm
x BI (g.cm 3 )
th

Edp 0,8475

Berat Isi tanah inceptisol = 1,1 g/cm3

cm
x 1.1 (g.cm 3 )
th

Edp = 0,93225 g cm2


Edp 0,93225

10 6 ton x 10 4
10 4 m 2 x 10 4

Edp 0,93225 x

Edp 93,225 x

10 2 ton
/ th
ha

ton
/ th
ha

Hal ini berarti erosi yang diperbolehkan pada tanah inceptisol dengan
penggunaan lahan tegal adalah sebesar 93,225 ton/ha/th, namun jika mengacu
pada referensi di Amerika, maka erosi yang terjadi melebihi toleransi yang
diperbolehkan yaitu sebesar 12,50 ton/ha/th.
3.4. Kekeringan
Kekeringan adalah suatu kawasan yang tidak dijumpai air yang berlebih
atau bahkan tidak ada air sama sekali. Kondisi ini disebabkan kawasan tersebut
secara alamiah memang tidak tersedia air, baik air permukaan maupun airtanah.
Penataan ruang yang baik dan berhasil, kondisi kawasan yang mengalami
kekeringan bisa dikurangi dengan berbagai teknologi pengadaan air dan
pemerataan air, bahkan dengan teknologi hujan buatan. Semakin luas wilayah
kekeringan, menunjukkan ketidak berhasilan dalam mengelola suatu DAS.
3.5. Rasio Kawasan Resapan
Rasio kawasan resapan adalah perbandingan antara daerah resapan
dengan total luasan daerah. Dalam penyusunan peta konservasi air dihasilkan
kawasan-kawasan yang mempunyai daya resap (infiltrasi) tinggi sampai rendah.
Berdasarkan hasil itulah dalam rencana tata ruang wilayah seharusnya
ditentukan daerah-daerah yang direncanakan sebagai kawasan resapan air.
Semakin besar rasio kawasan resapan, menunjukkan pengelolaan kawasan DAS
semakin berhasil. Kawasan resapan bisa berupa, hutan, lahan terbuka hijau,
sumur resapan, waduk dan teknologi lainnya yang menyebabkan air mudah
meresap ke dalam tanah, sehingga sangat banyak mengurangi limpasan
permukaan atau banjir.

21

3.6. Kedalaman Airtanah


Pada saat ini dengan banyaknya kerusakan hutan dan berkurangnya
daerah resapan air mengakibatkan muka airtanah semakin berkurang (dalam).
Perbandingan air yang masuk ke dalam tanah dan yang diambil (dipompa) dari
tanah sangat tidak seimbang, mengakibatkan penduduk sering kali mendapati
sumur sumur mereka semakin dalam dan jumlah air semakin berkurang. Di
daerah perkotaan, lebih banyak kawasan yang tertutup lapisan kedap
dibandingkan dengan kawasan yang tidak tertutup lapisan kedap air. Di hampir
seluruh kawasan perkotaan jalan kampung di rabat beton, mengakibatkan
berkurangnya resapan air dan pasokan airtanah berkurang, sehingga sumur
airtanah semakin tahun semakin dalam.
Sebagai contoh, penurunan muka airtanah yang drastis terjadi terutama
sejak tahun 1980-an. Hal itu seiring dengan pesatnya perkembangan industri dan
permukiman penduduk. Penurunan muka airtanah paling parah terjadi di daerah
industri, seperti Cimahi (sekitar Leuwigajah), Batujajar, sekitar Jln. Moh. Toha,
Dayeuhkolot,

Rancaekek-Cicalengka,

Ujungberung,

Cicaheum,

dan

Kiaracondong. Di daerah permukiman dan perumahan, penurunan terjadi pada


muka airtanah dangkal, ini terlihat dari sulitnya penduduk mendapatkan airtanah
dari sumur mereka. Selama 25 tahun terjadi penurunan muka airtanah sampai
puluhan meter.
Kalau kita bandingkan kondisi tahun 1980 dan tahun 2004-2005, tahun
delapan puluhan, masyarakat di daerah Bandung tidak mengalami kesulitan
airtanah. Dengan cara membuat sumur bor pantek dengan kedalaman sekitar 40
m dari permukaan tanah, airtanahnya sudah bisa keluar sendiri tanpa dipompa
(air artetis). Airtanah bisa menyembur sampai

setinggi 5 meteran di atas

permukaan tanah. Kondisi tahun 2004-2005 airtanah tidak bisa artesis, bahkan
mengalami penurunan hampir 2 meteran.

22

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Budihardjo, Eko. 1997. Tata Ruang Perkotaan. PT. ALUMNI. Bandung.
C. Colosimo, G. Mendicino. GIS for Distributed Rainfall - Runoff Modeling dalam
Singh, P. Vijay, M. Florentino (ed.), Geographical Information Systems In
Hydrology. Kluwer Academic Publishers. London.
Ciriacy-Wantrup, S. V. Resource Conservation. University of California Press.
Berkely, California.
Damayanti, N. 2003. Perbedaan Infiltrasi pada Berbagai Penggunaan Lahan di
DAS Brantas Hulu. Skripsi Tidak Diterbitkan. Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.
Departemen KIMPRASWIL. 2002. Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan. Jakarta.
Foth, H. D. 1998. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Gallion, B. Arthur dan Eisner, Simon. 1992. Pengantar Perancangan Kota,
Desain dan Perencanaan Kota. Penerbit ERLANGGA. Jakarta.
Glasson, John. 1977. Pengantar Perencanaan Regional (Bagian Satu dan Dua).
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Gupta. 1979. Water Resources Engineers and Hydrology. Standart Publishers
Distributors. New Delhi, India.
Harto, Sri. 1993. Analisis Hidrologi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Hillel, Daniel. 1980. Introduction to Soil Physics. Academic Press, Inc. London.
Ilyas, M. Arief, Dt. Majo Kayo, Sofyan dan Surapati, Erwan. 1996. Metode
Pemodelan Infiltrasi Merupakan Proses Penting dalam Pengelolaan Air,
Aliran Limpasan dan Erosi. Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) HATHI.
Medan.

23

Islami, T dan Utomo, W. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP
Semarang Press. Semarang.
Kartasaputra, A. G. 1985. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. PT Bina Aksara.
Jakarta.
Kohnke, H. 1979. Soil Physics. Mc. Graw Hill Publishing Company. New Delhi.
Kozlowski, Jerzy. 1997. Pendekatan Ambang Batas dalam Perencanaan Kota,
Wilayah dan Lingkungan (Teori & Praktek). Penerbit Universitas Indonesia
(UI Press). Jakarta.
Krueckebers, A. Donald dan Silvers, L. Arthur. 1974. Urban Planning Analysis:
Method and Model. John Willex and Sons, Inc. New York.
Linsay, Ray K. 1986. Hidrologi Untuk Insinyur. Erlangga. Jakarta.
Maidment, R David. 1996. Environmental Modeling Within GIS dalam Goodchild,
M. F., Steyaert, L. T., Parks B. O., C. Johnston, D. Maidment, M. Crane
dan S. Glendinning (ed.), GIS and Enviromental Modeling Progress and
Research Issues. GIS World Books Forth Collins, USA.
Mc Clendon, W. Bruce dan Catanesc, J. Anthony. 1996. Planners on Planning.
Jossey-Bass Publishers. San Fransisco.
Mc Cuen, Richard. H. 1982. Guide to Hydrologic Analysis Using Methods.
Prentice Hall Inc. New Jersey, USA.
Prahasta, Eddy. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.
Informatika. Bandung.
Purwodarminto. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Rahmawati, Indah Y. 2005. Studi Simpanan Lengas Tanah pada Berbagai
Penggunaan Lahan di DPS Kali Sumpil, Skripsi Tidak Diterbitkan.
Universitas Brawijaya. Malang.
Rapoport, Amos. 1990. The Meaning of The Built Environment. University of
Arizona Press. Arizona.
Santoso, Budi. 1994. Pelestarian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
IKIP Malang. Malang.
Soemarto, C. D. 1987. Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya.
Soepardi. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. IPB. Bogor.
Soewarno. 1995. Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data. NOVA.
Bandung.
Sole, A., Valanzano, A. 1996. Digital Terrain Modelling dalam Singh, P. Vijay, M.
Florentino (ed.), Geographical Information Systems In Hydrology. Kluwer
Academic Publishers. London.

24

Sosrodarsono, Suyono dan Takeda, Kensaku. 1993. Hidrologi untuk Pengairan.


Pradnya Paramita. Jakarta.
Suparmoko, M. 1997. Konsep Tata Ruang dan Metode Aplikasinya. BPFE
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
Suryanto. 2003. Membaca UU 24/92 dan UU 22/99 dalam Kerangka Penataan
Ruang Daerah, J. ASPI. 2 (2): 88-95.
Haji, S. Tunggul dan Bagiawan, Agung. 2001. Operator Morpho-Hydrology pada
Model Ketinggian dan Peta Digital untuk Pengelolaan dan Perencanaan
Daerah Pengaliran Sungai. Proseding PIT HATHI XVIII. Malang.
Haji, S. Tunggul dan Legowo, Sri. 2001. Pemanfaatan Sistem Informasi
Geografis (SIG) untuk Model Hidrologi Sebar Keruangan. Proseding PIT
HATHI XVIII. Malang.
Tarboton, David. 2000. Distributed Modeling in Hydrology using Digital Data and
Geographic Information Systems. Utah State University.
http://www.engineering.usu.edu/dtarb/.
Woolhiser, D. A., Smith, R. E. dan Goodrich, D. C. 1990. KINEROS, A Kinematic
Runoff and Erosion Model. Documentation and User Manual. Department
of Agriculture, Agricultural Research Service, ARS-77.
Woolhiser, D. A., Smith, R. E. dan Giraldez, J. V. 1997. Effects of spatial
variability of saturated hydraulic conductivity on Hortonian overland flow.
Water Resources Research 32 (3): 671-678.
Zahnd, Markus. 1997. Perancangan Kota Secara Terpadu. KANISIUS dan
Soegijapranata University Press. Yogyakarta.

Você também pode gostar