Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
B. ANTIHISTAMIN
I. DEFINISI
Anti histamin adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat
kerja histamin pada reseptornya. Histamin sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu
histos yang berarti jaringan, Histamin adalah autakoid yang berperan penting pada
aktivitas organ tubuh baik pada proses yang fisiologis maupun patologis. Di tubuh
dikenal 3 jenis reseptor histamin di berbagai jaringan, yaitu histamin 1 (H1), histamin 2
(H2), dan histamin 3 (H3). Peran reseptor tersebut berbeda beda. Reseptor H1
terdapat di kulit dan otak. Rangsangan pada reseptor H1 menyebabkan kontraksi otot
polos,
vasodilatasi,
peningkatan
permeabilitas
kapiler,
sekresi
mucus
serta
reseptor H3 pada
manusia diyakini terdapat dalam otak dan paru, tetapi tidak terdapat di kulit. Reseptor
histamin intraseluler dan reseptor H4 dilaporkan terdapat pada sel-sel dan jaringan
tubuh tetapi tidak terdapat di kulit.4
Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan sebagai
terapi. Sangatlah penting untuk mengetahui farmakologi antihistamin yang akan
diberikan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai klasifikasi, farmakologi, efek
samping maupun beberapa penggunaan klinis dari antihistamin terutama antihistamin
(AH1) baik klasik maupun non sedasi yang digunakan dalam bidang dermatologi. 2,3,5,6,7
II. Histamin
Histamin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat
pada permukaan memberan. Dewasa ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin H1, H2,
H3; reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan protein G.
Pada otak, reseptor H1 dan H2 terletak pada membran pascasinaptik, sedangkan
reseptor H2 terutama prasinaptik.
Aktivasi reseptor H1, yang terdapat pada endotel dan sel oto polos,
menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permabilitas pembuluh darah, dan
sekresi mukus. Sebagian dari efek tersebut mungkin diperantarai oleh peningkatan
cyclic guanosine monophosphate di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai
neurotransmiter dalam susunan saraf pusat.
Reseptor H2 didapatkan pada mukosa lambung, sel otot jantung, dan beberapa
sel imun. Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu
juga berperan dalam menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu juga berperan
dalam menyebabkan vasodilatasi dan flushing. Histamin menstimulasi sekresi asam
lambung, meningkatkan kadar cAMP, dan menurunkan kadar cGMP, sedangkan
anithistamin H2 menghambat efek tersebut. Pada otot polos bronkus, aktivasi reseptor
H1 oleh histamin menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivasi reseptor H2 oleh
agonis reseptor H2 akan menyebabkan relaksasi.
Reseptor H3 berfungsi sebagai penghambat umpan balik pada berbagai sistem
organ. Aktivasi reseptor H3 yang didapatkan di beberapa daerah di otak mengurangi
pelepasan transmiter baik histamin maupun norepinefrin, serotononin, dan asetilkolin.
Meskipun agonis reseptor H3 berpotensi untuk digunakan antara lain sebagai
gastroprotektif, dan antagonis reseptor H3 antara lain berpotensi untuk digunakan
sebagai antiobesitas, sampai saat ini belum ada agonis maupun anatagonis reseptor H3
yang diizinkan digunakan di klinik.
Sistem Kardiovaskular.
Dilatasi kapiler. Efek histamin yang terpenting pada manusia ialah dilatasi kapiler,
dengan akibat kemerahan dan rasa panas di wajah, menurunnya resistensi perifer dan
tekanan darah. Afinitas histamin terhadap reseptor H1 amat kuat, efek vasodilatasi cepat
timbul dan berlangsung singkat. Sebaliknya pengaruh histamin terhadap reseptor H2,
menyebabkan vasodilatasi yang timbul lebih lambat dan berlangsung lebih lama.
Akibatnya, pemberian AH1 dosis kecil hanya dapat menghilangkan efek dilatasi oleh
histamin dalam jumlah kecil. Sedangkan efek histamin dalam jumlah besar hanya dapat
dihambat oleh kombinasi AH1 dan AH2.
Permeabilitas Kapiler. Histamin meningkatkan permeabilitas kapiler dan ini
merupakan efek sekunder terhadap pembuluh darah kecil. Akibatnya protein dan cairan
plasma keluar ke ruangan ekstrasel dan menimbulkan edema. Efek ini jelas disebabkan
oleh peranan histamin terhadap reseptor H1.
Triple Response. Bila histamin disuntikkan intradermal pada manusia akan timbul tiga
tanda khas yang disebut Triple Response dari Lewis, yaitu: 1) Bercak merah setempat
beberapa mm sekeliling tempat suntikkan yang timbul beberapa detik setelah suntikan.
Hal ini disebabkan oleh dilatasi lokal kapiler, venul, dan arteriol terminal akibat efek
langsung histamin. Daerah tersebut dalam satu menit menjadi kebiruan atau tidak jelas
lagi karena adanya edema. 2) flare, berupa kemerahan yang lebih terang dengan bentuk
tidak teratur dan menyebar 1-3cm sekitar bercak awal. Ini disebabkan oleh dilatasi
arterior yang berdekatan akibat refleks akson. 3) edema setempat (wheal) yang dapat
dilihat setelah 1-2 menit pada daerah bercak awal. Edema ini menunjukkan
meningkatnya permeabilitas oleh histamin.
Pembuluh darah besar. Histamin cenderung menyebabkan konstriksi pembuluh darah
besar yang intensitasnya berbeda antar spesies. Pada binatang pengerat, konstriksi juga
terjadi pada pembuluh darah yang lebih kecil, bahkan pada dosis yang besar
vasokontriksi mentupi efek vasodilatasi kapiler sehingga justru terjadi peningkatan
resistensi perifer.
Jantung. Histamin mempengaruhi langsung kontraktilitas dan elektrisitas jantung. Obat
ini mempercepat depolarisasi diastol di nodus nSA sehingga frekuensi denyut jantung
meningkat. Histamin juga memperlambat konduksi AV, meningkatkan automatisitas
jantung sehingga pada dosis tinggi dapat menyebabkan aritmia. Semua efek ini terjadi
disebabkan oleh reaksi yang berlebihan dari tubuh terhadap alergen ( penyebab alergi ),
seperti serbuk sari tanaman. Reaksi ini menunjukkan pelepasan histamine dalam jumlah
signifikan didalam tubuh.1,2,7 Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada
berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast,
neutrofil, limfosit, makrofag, sl epitel dan endotel.Dan sewaktu diketahui bahwa
histamin mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik, maka dicarikan obat yang
dapat mengantagonis efek histamin. Sejak pertemuan antihistamin pada awal tahun
1940, antihistamin sangat terkenal diantara pasien dan dokter. Antara tahun 1940-1972,
beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi
efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin digolongkan menjadi anti histamin
penghambat
H3 (AH3).
reseptor
H1(AH1),penghambat
reseptor
H2 (AH2),
penghambat
penggolongan
ini. Antihistamin
kemudian
lebih dikenal
denagn
penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama,
kedua, dan ketiga.. Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang segnifikan.
Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergenik
yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu
berpenetrasi pada sistem syaraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua.
Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih banyak terikat dengan protein
plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Sedangkan generasi
ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan
fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini
dimaksudkan untuk memproleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi
tinggi serta efek samping lebih minimal.
a. AH-1 generasi I (klasik/sedatif)
Yang termasuk golongan ini adalah:
hidroklorida,
doksilamin
suksinat,
embramin
hidroklorida,
Piperidin
Rumus bangun
Difenhidramin
Tripelenamin
Ciproheptadin
Hidroksizin
Klorfeniramin
Prometazin
Akrivastin
Astemizole
Cetirizin
Loratadin
Mizolastin
Terfenadin
Ebastin
Rumus bangun
Cetirizine
Levocetirizin
Desloratadin
Fexofenadin
Rumus bangun
Fexofenadine
Levocetirizine
Desloratadine
Antihistamin tipe H1
dimetabolisme oleh sistem enzim sitokrom hepar P450 (CYP) CYP3S4, dikonjugasi
membentuk glukuronida dan hampir seluruhnya diekskresikan ke urin setelah 24 jam
pemberian. (Fitzpatrick)
Kegunaan klinis
Antihistamin tipe H1 generasi I digunakan untuk menghilangkan pruritus,
pengobatan urtikaria akut, urtikaria kronis, angioedema dan reaksi alergi kulit lainnya
temasuk reaksi obat. (Fitzpatrick, Wilkin) Apabila salah satu dari kelompok antihistamin tipe H1
tidak efektif, maka dapat diganti dengan obat dari kelompok yang lain. (Fitzpatrick)
Antihistamin tipe H1 digunakan untuk terapi pruritus pada penderita dermatitis
atopik. Efeknya berhubungan dengan menekan ansietas dan sedasinya. Pruritus yang
disebabkan hal lain, seperti dermatitis kontak alergi dan bentuk lain dermatitis, liken
planus, gigitan nyamuk dan pruritus yang terjadi sekunder karena penyakit lain atau
yang bersifat idiopatik, juga dapat dihilangkan dengan penggunaan antihistamin tipe
H1. (Fitzpatrick)
Kontraindikasi pemberian obat ini adalah pada bayi baru lahir atau bayi
prematur, kehamilan, ibu menyusui, glaukoma sudut sempit, retensi urin, dan asma.
(Wilkin)
(Wilkin)
karena
(Fitzpatrck,
Gastrointestinal
Dapat terjadi mual, muntah, anoreksia, konstipasi dan diare.
(Fitzpatrick,
Jantung
Takikardia, disritmia, hipotensi yang bersifat sementara (Wolverton, Fitzpatrick)
Genitourinaria
Disuria, disfungsi ereksi, retensi urin (Wolverton, Simon and Simon, Arndt)
Darah
Klorfeniramin
dapat
menebabkan
pansitopenia,
Kulit
agranulositosis,
Reaksi kulit yang dapat terjadi berupa dermatitis, petekie, fixed drug
eruption dan fotosensitif. (Fitzpatrick)
lainnya
seperti
ciproheptadin
dapat
menyebabkan
Antihistamin H1
ini, kurang bersifat lipofilik, sangat sedikit menembus sawar darah otak, dan lebih
mengikat reseptor H1 di perifer secara lebih spesifik.
Beberapa
obat ini mempunyai membrane stabilizing atau efek seperti kuinidine pada otot jantung,
dan menyebabkan perpanjangan masa refraksi jantung serta aritmia ventrikuler
torsades de pointes. (Fitzpatrick) Walaupun golongan ini sering dikatakan nonsedasi, obatobat ini tetap dapat menyebabkan efek sedasi, namun dalam banyak penelitian
dikatakan insidensi sedasi jauh lebih sedikit dibandingkan antihistamin H1 klasik,
demikian pula efek antikolinergiknya lebih jarang terjadi dibanding antihistamin H1
klasik.
(Wilkin)
lainnya, pelepasan atau pembuatan dan pelepasan mediator inflamasi serta ekspresi
molekul adhesi. (Fitzpatrick)
Farmakologi:
Antihistamin tipe H1 low sedating diabsorbsi dari saluran cerna dan mencapai
puncak konsetrasi plasma dalam 2 jam. Obat tersebut menghilangkan urtikaria dan
reaksi eritema sekitar 1-24 jam. Terfenadin, astemizol, loratadin, aktivastin, mizolastin,
ebastin dan oksatomid dimetabolisme di hepar melalui sisitem enzim CYP dalam hepar
CYP3A4. Cetirizin, metabolit asam karboksilik dari terfenadin, dan desloratadin tidak
dimetablisme dalam hepar. (Fitzpatrick)
Astemizol mempunyai efek jangka panjang, namun onset mulai kerjanya dan
konsentrasi dalam keadaan stabil dicapai dalam 3-4 minggu. Efek astemizol
berlangsung lama dan obat harus dihentikan 4-6 minggu sebelum dilakukan uji tusuk.
Waktu paruh eliminasi cetirizin dan feksofenadin pada anak-anak sama dengan dewasa
(Fitzpatrick)
Kegunaan klinis
Antihistamin tipe ini terutama digunakan untuk pengobatan rinitis alergi dan
urtikaria kronis. (Katzung, Wilkin)
Kontra indikasi dari antihistamin low sedating ini adalah pada kehamilan dan
ibu menyusui. (Wilkin)
Efek samping
Antihistamin tipe low sedating memiliki efek sedasi dan antikolinergik yang
sedikit, juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
antihistamin tipe H1 klasik. (Fitzpatrick)
Kardiovaskular
Efek samping kardiovaskular berupa fibrilasi ventrikel, pemanjangan
interval QT dan takiaritmia ventrikular atipikal berhubungan dengan
pemakaian astemizole dan terfenadin.
(Murphy)
Kulit
Fotosensitivitas,
urtikaria,
erupsi
makulopapular,
eritema
serta
pengelupasan kulit tangan dan kaki. Selain itu juga dilaporkan adanya
reaksi fotoalergi dan alopesia yang diduga berhubungan dengan
penggunaan terfenadin. Dilaporkan juga suatu kasus psoriasis yang
mengalami eksaserbasi selama menggunakan terfenadin. (Wilkin)
Hepar
Hepatotoksisitas jarang terjadi, namun dilaporkan adanya kasus hepatitis
yang berhubungan dengan penggunaan terfenadin selama 5 bulan.
Peningkatan serum transaminase dengan kadar ringan sampai sedang
kadang-kadang dapat terjadi. (wilkin)
Peringatan
Karena terbatasnya penelitian pada manusia, penggunaan antihistamin non sedasi pada
wanita hamil dan ibu menyusi sebaiknya dihindari.Wilkin
Interaksi obat
Perpanjangan QT interval dapat terjadi pada penderita yang megkonsumsi
terfenadin bersamaan dengan ketokonazol dan intrakonazol, antibiotik makrolid, seperti
eritromisin dan klaritromisin, troleandomisin, lovastatin, inhibitor protease dan
flavonoid, seperti naringin dalam sari buah anggur.
Obat-obatan lain yang dapat berpengaruh pada peningkatan kadar antihistamin
serum dan yang memiliki risiko kardiovaskular adalah Human Immunodeficiency Virus-
(Murphy)
and Gilman)
Dosis yang
diberikan 4-6 mg peroral dapat diberikan 3-4x/hari, dengan dosis maksimal 24 mg per
hari baik pada anak-anak dan dewasa. (Arndt)
Sediaan:
-
Difenhidramin
Difenhidramin adalah derivat etanolamin yang sering digunakan dalam praktek
sehari-hari, diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral. Obat ini mengalami
metabolisme pertama di hati, dan hanya 40%-60% dari dosis pemberian yang mencapai
sirkulasi sistemik, didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, termasuk sistem saraf
pusat. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu kurang lebih 1-5 jam dan bertahan
selama 2 jam. Waktu paruh bervariasi dari 2,4 sampai 10 jam. (Goodman and Gillman, Murphy)
Difenhidramin tidak dapat diberikan secara subkutan, intradermal atau
perivaskular karena sifatnya yang iritatif dan dapat menyebabkan nekrosis setempat
pada pemberian secara subkutan dan intradermal. Difenhidramin
tidak dapat
menembus jaringan kulit yang intak pada pemberian secara topikal, bahkan dapat
menyebabkan reaksi hipersensitivitas. (Murphy)
Dosis pemberian adalah 25 mg-50 mg per oral, dosis maksimal 300 mg/hari,
dengan lama kerja 4-6 jam.
Hidroksizin
Hidroksizin merupakan derivat dari piperazin, sering digunakan sebagai
transquilizer, sedatif, antipruritus
dalam 2-3 jam setelah pemberian per oral, dengan waktu paruh 6 jam kemudian
diekskresikan ke dalam urin.
(Murphy)
Loratadin
Loratadin adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas yang
selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis yang
direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa kerja yang lama.
Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah biologikal aktifnya.
Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali sehari dan
mencapai konsentrasi plasma maksimum dalam 1-1,5 jam. Eliminasi waktu paruhnya
sekitar 8-11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses 42% dan air susu 0,029%.
Loratadin diindikasikan untuk rinitis alergi dan urtikaria kronik idiopatik pada pasien
diatas 6 tahun. Loratadin mempunyai efek terhadap fungsi dari miokardial potasium
channel tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung.
Loratadin merupakan long acting antihistamin dengan lama kerja 24 jam. (Goodman
and Gilman)
Cetirizin
Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksin. Obat ini pada manusia
hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi bentuk metabolit aktif
dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena cetirizin cepat diabsorbsi dan sedikit
yang dimetabolisme, dan juga diekskresi lewat urin, maka dosis obat ini harus dikurangi
pada pasien dengan gangguan ginjal.
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma sekitar 7
jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%. Cetirizin dapat
menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan menghambat IgE serta menurunkan
prostaglandin D2. Cetirizin diindikasikan untuk terapi urtikaria kronik di Amerika
Serikat. Beberapa studi kemudian mendukung khasiat cetirizin untuk kondisi ini dan
juga ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urtikaria.
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20 mg) dosis
tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada pasien dengan gangguan
ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan adalah 5 mg/hari. Lama kerja dari cetirizin
adalah 12-24 jam. (Goodman and Gilman)
Sediaan:
-
Feksofenadin
Feksofenadin, metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor
kompetitif antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping
antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik(Wolverton, Arndt, Wilkin)
Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua kapsul
60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma maksimum 1-3 jam setelah
pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada protein plasma sekitar 60-70%, terutama
pada albumin dan 1-acid gylcoprotein. Waktu paruh feksofenadin adalah 11-15 jam,
(Wolverton)
diekskresikan sebanyak 80% pada urine dan 12% pada feses.(Fitzpatrick, Wolverton)
Feksofenadin diindikasikan pada penderita rinitis alergi dan urtikaria idiopatik