Você está na página 1de 120

ANALISA PERCEPATAN GETARAN TANAH MAKSIMUM

SERTA HUBUNGAN PERCEPATAN GETARAN TANAH DENGAN


INTENSITAS DI PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE
GUTENBERG RICHTER DAN METODE MUPHY OBREIN

SKRIPSI

Disusun Oleh :

Rahmat Nurhidayat
115.040.011

JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2011

HALAMAN PENGESAHAN

ANALISA PERCEPATAN GETARAN TANAH MAKSIMUM SERTA


HUBUNGAN PERCEPATAN GETARAN TANAH DENGAN INTENSITAS
DI PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER
DAN METODE MURPHY OBREIN

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Teknik Program S-1
Progam Studi Teknik Geofisika Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta
Oleh
Rahmat Nurhidayat
115.040.011

Yogyakarta, 13 April 2011


Telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing I

Pembimbing II

Ir. Agus Santoso, M.Si


19530816.198803.1.001

Nia Maharani, S.Si, M.Si


280101002891
Mengetahui

Ketua
Jurusan Teknik Geofisika
Fakultas Teknologi Mineral
UPN Veteran Yogyakarta

Dr. Ir. H. suharsono, MT


19620923.199003.1001

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis diberi kesehatan serta kemampuan dalam menyelesaikan
skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan. Atas tersusunnya Skirpsi ini penulis
mengucapkan terimakasih terimakasih kepada :
1. Bapak Dr.Ir.H. Suharsono, MT selaku Ketua Prodi Teknik Geofisika UPN
Veteran Yogyakarta.
2. Bapak Ir. Agus Santoso, Msi selaku dosen pembimbing I dalam
penyusunan skripsi ini yang banyak memberikan masukan dan saran
kepada penulis
3. Ibu Nia Maharani, Msi selaku dosen pembimbing II dalam penyusunan
skripsi ini yang sudah meluangkan waktu serta memberikan masukan,
saran dan motivasi kepada penulis.
4. Seluruh Dosen Prodi Teknik Geofisika UPN Veteran Yogyakarta yang
telah banyak membagi ilmunya kepada penulis selama dibangku kuliah.
5. Staff Tata Usaha Prodi Teknik Geofisika UPN Veteran Yogyakarta yang
telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.
6. Teman-teman Geofisika 2004 Apin,Visi, Satria, Dedi, Banria, Memet,
Rico, Babe, dan temen-temen GF04 lainnya yang telah banyak
memberikan motivasi,dan dukungannya
7. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Skripsi ini baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata penulis menyadari masih ada kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan Skripsi ini. Oleh karena itu penulis mohon maaf apabila ada kekurangan
atau pihak yang merasa dirugikan dalam penulisan Skripsi ini. Semoga Skripsi ini
bisa bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, April, 2011
Penulis
Rahmat Nurhidayat
115.040.011

iii

ANALISA PERCEPATAN GETARAN TANAH MAKSIMUM


SERTA HUBUNGAN PERCEPATAN GETARAN TANAH DENGAN
INTENSITAS DI PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE
GUTENBERG RICHTER DAN METODE MURPHY OBREIN

Oleh :
Rahmat Nurhidayat
115.04.0011
Abstrak
Pulau Jawa merupakan bagian dari satuan seismotektonik busur sangat
aktif dan busur aktif. Guna mewaspadai bencana gempa bumi di kawasan ini perlu
dilakukan suatu kajian mendasar tentang analisa percepatan tanah maksimum,
serta menentukan wilayah-wilayah potensi gempa bumi serta bahaya yang
ditimbulkan. Terbatasnya peralatan jaringan accelerograf yang tidak lengkap dari
segi periode waktu maupun tempatnya menyebabkan penentuan nilai percepatan
getaran tanah maksimum lebih banyak menggunakan pendekatan formula empiris,
di antaranya yaitu dengan menggunakan Metode Guterberg Richter dan Metode
Murphy OBrein.
Model berdasarkan titik pengukuran di setiap station pengukuran, grid
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0.25 x 0.25 atau sekitar 27.75 Km x
27.75 Km yang terdapat 615 titik pengukuran menggunakan data katalog gempa
dari USGS data gempabumi selama 37 tahun, yaitu dari tahun 1973 sampai
dengan tahun 2010 yang meliputi wilayah pulau jawa dan sekitarnya dengan
magnitudo lebih besar dan sama dengan 5.0 SR dengan kedalaman kurang dari 70
km serta dibatasi lintang 6.00 LS - 9.00 LS dan 105.00 BT - 115 BT.
Hasil yang diperoleh berupa peta percepatan getaran tanah maksimum dan
peta intensitas gempa di pulau jawa. Nilai percepatan getaran tanah maksimum
pada metode Guterberg Richter antara 0 -500 cm/sec2 dan pada metode Murphy
Obrein adalah 0 1200 Cm/Sec2. Sedangkan nilai intensitas maksimumnya
adalah antara I sampai dengan IX MMI pada metode Guterberg Richter dan IV
sampai dengan XI MMI pada metode Murphy Obrein. Selain lebih besar nilai
percepatan getaran tanah dan intensitas maksimumnya pada metode Murphy
Obrein ini sifat maupun karakteristik atenuasinya cenderung lebih kecil dan lebih
stabil dibandingjan dengan peta yang diolah dengan menggunakan metode
Gutenberg Richter, sehingga pada metode Murphy Obrein penyebaran tingkat
resikonya lebih luas dibandingkan dengan metode Gutenberg Richter.
Kata Kunci : PGA (peak ground acceleration), intensitas MMI, epicenter,
atenuasi, hubungan PGA dan MMI

iv

THE ANALYSIS PEAK GROUND ACCELERATION AND


RELATIONSHIP OF THE INTENSITY WITH PEAK GROUND
ACCELERATION IN JAVA USING METHODS GUTENBERG RICHTER
AND MURPHY O'BRIEN

By:
Rahmat Nurhidayat
115.040.011
Abstract
Java Island is part of the arc seismotectonic unit is very active and active
arc. In order to be aware of the devastating earthquake in this region need to be a
fundamental review of the analysis of maximum peak ground acceleration, and
determine areas of potential earthquakes and the danger posed. The limited
equipments of network accelerograf incomplete in terms of time period or place
cause determination of the peak ground acceleration values more empirical
formula approach, among them is by using the method of Richter and Methods
Guterberg Murphy O'Brien.
Models based on the measurement point at each station of measurement,
the grid is used in this study were 0.25 x 0.25 or approximately 27.75 km x
27.75 km that there are 615 measurement points using the earthquake catalog data
from the USGS earthquake data for 37 years, is that from 1973 to 2010 which
includes the island of Java and the surrounding area with magnitude greater and
equal to 5.0 SR with a depth of less than 70 km and is limited latitude S 6.00
9.00 S and 105.00 E 115.00 E.
Results obtained in the form of PGA maps and map seismic intensity on
the island of Java. The maximum of peak ground acceleration values on the
Guterberg Richter method between 0 -500 cm/sec2 and on the method of Murphy
O'Brien is 0-1200 cm/sec2. While the value of maximum intensity is between I to
IX MMI on the Guterberg Richter method and IV to XI MMI on the method of
Murphy O'Brien. In addition to higher peak ground acceleration values and
maximum intensity on the method of Murphy O'Brien is the nature of its
attenuation characteristics tend to be smaller and more stable compared to maps
prepared by using the method of Gutenberg Richter, so that by the method of
Murphy O'Brien deployment risk level more broadly comparable with the method
of Gutenberg Richter.
Keywords: PGA (peak ground acceleration), MMI intensity, epicenter,
attenuation, the relationship PGA and MMI

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................iii
ABSTRAK ........................................................................................................iv
ABSTRACT ......................................................................................................v
DAFTAR ISI .....................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................xiii

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ................................................................1
1.2. Perumusan masalah ..........................................................................2
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................2
1.4. Batasan Masalah...............................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kegempaan Pulau Jawa ....................................................................4
2.1. 1. Kondisi Tektonik Indonesia ................................................4
2.1.2. Tektonik Regional Pulau Jawa ............................................6
2.1.2.1. Tatanan Tektonik Jawa ............................................7
2.1.2.2. Kegempaan Regional Pulau Jawa ...........................10
2.1.2.3. Seismotektonik Regional Pulau Jawa......................12
2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................13
BAB III. DASAR TEORI
3.1. Teori Gempa Bumi ...........................................................................18
3.1.1. Mekanisme Terjadinya Gempa ............................................19
3.1.2. Teori Tektonik Lempeng .....................................................20
3.1.3. Jenis-Jenis Gempabumi .......................................................22
3.1.4. Parameter Sumber Gempabumi ...........................................24
vi

3.1.4.1. Episenter................................................................24
3.1.4.2. Kedalaman Hiposenter ..........................................25
3.1.4.3. Magnitudo .............................................................25
3.1.4.4. Waktu kejadian gempa bumi (Origin time) ..........28
3.2. Gelombang Seismik .........................................................................28
3.1.1. Gelombang Badan................................................................28
3.1.2. Gelombang Permukaan ........................................................31
3.1.2.1. Gelombang Love .....................................................31
3.1.2.2. Gelombang Rayleigh ...............................................33
3.3. Intensitas Gempa Bumi ...................................................................35
3.4. Seismisitas Gempa Bumi .................................................................37
3.5. Percepatan Getaran Tanah Maksimum.............................................37
3.5.1. Metode Mc. Guirre R.K. ........................................................38
3.5.2. Metode Kawashumi (1950) ....................................................39
3.5.3. Metode Gutenberg and Richter (1942 ,1956).........................39
3.5.4. Metode Murphy dan OBrein .................................................40
3.5.5. Metode Kanai .........................................................................40
3.6. Hubungan Percepatan Getaran Tanah dengan Intensitas
Gempa .............................................................................................42
3.6.1. Gutenberg and Richter (1942 ,1956) ......................................42
3.6.2. Kawasumi (1951) ...................................................................42
3.6.3. Neuman (1954) .......................................................................43
3.6.4. Hershberger (1956) ................................................................43
3.6.5. Medvedev dan Sponhouer (1968) ..........................................43
3.6.6. Ambrasseys (1974) .................................................................43
3.6.7. Trifumac dan Brady (1975) ....................................................44
3.6.8. Metode Murphy dan OBrein .................................................44
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Daerah Penelitian .............................................................................45
4.2. Peralatan Penelitian ..........................................................................46
4.3. Deskripsi Data ..................................................................................46
4.4. Pengolahan Data ...............................................................................47

vii

4.4.1. Penyeragaman magnitudo gempa...........................................47


4.4.2. Perhitungan Intensitas Gempa Bumi ......................................48
4.4.3. Percepatan Getaran Tanah Maksimum ..................................49
4.4.4. Hubungan intensitas dengan percepatan getaran tanah
maksimum...............................................................................50
4.5. Interpretasi ........................................................................................50
5.6. Diagram Alir Penelitian ...................................................................51

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Percepatan Getaran Tanah Maksimum.............................................54
5.2. Intensitas Maksimum .......................................................................60
5.3. Perbedaan Pada Metode Gutenberg Richter dan Murphy Obrein ..64
5.3.1. Hubungan Nilai Percepatan Getaran Tanah
Dengan Intensitas ....................................................................64
5.3.2. Hungungan Intensitas Dengan Jarak Epicenter ......................66
5.3.3. Hubungan Percepatan Getaran Tanah Maksimum
Dengan Jarak Epicenter ..........................................................72

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan.......................................................................................74
6.2. Saran .................................................................................................75

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................76


LAMPIRAN .......................................................................................................80

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Peta tektonik Indonesia (BMG)........................................................ 4


Gambar 2.2.Tumbukan antar lempeng samudera dan lempeng benua ................ 5
Gambar 2.3 Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian
lempeng aktif ......................................................................................................... 6
Gambar 2.4.Tatanan tektonik regional Pulau Jawa .............................................. 8
Gambar 2.5.Blok diagram morfologi kedalaman gempa bumi lajur
penunjaman selatan Jawa Bali ........................................................................... 10
Gambar 2.6. Peta rawan bencana gempa bumi Indonesia .................................... 11
Gambar 2.7. Peta Seismotektonik Jawa dan Bali .................................................. 13
Gambar 2.8. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther
wilayah Jawa Bagian Tengah ................................................................................ 14
Gambar 2.9. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther
wilayah Jawa Bagian Timur .................................................................................. 15
Gambar 2.10. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther
wilayah Jawa Bagian Barat ................................................................................... 15
Gambar 2.11. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy Obrien
wilayah Jawa Bagian Tengah ................................................................................ 16
Gambar 2.12. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy Obrien
wilayah Bagian Timur ........................................................................................... 16
Gambar 2.13. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy Obrien
wilayah Jawa Bagian Barat ................................................................................... 17
Gambar 3.1 Proses deformasi batuan yang mengakibatkan terjadinya
gempa bumi ........................................................................................................... 18
Gambar 3.2 Penjalaran Gelombang P ................................................................... 29
Gambar 3.3 Penjalaran Gelombang S ................................................................... 30
Gambar 3.4 Penjalaran Gelombang Love ............................................................. 32
Gambar 3.5 Terbentuknya Gelombang Love ........................................................ 33
Gambar 3.6 Penjalaran Gelombang Reyleigh ....................................................... 33
ix

Gambar 4.1 Peta daerah penelitian........................................................................ 45


Gambar 4.2 Peta sebaran episenter dan magnitudo gempa bumi......................... 47
Gambar 4.3 Peta kedalaman sumber gempa bumi ............................................... 47
Gambar 4.4 Posisi grid titik pengukuran .............................................................. 49
Gambar 4.5 Diagram Alir Penelitian .................................................................... 52
Gambar 4.6 Diagram Alir Pengolahan Data ......................................................... 53
Gambar 5.1 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
menggunakan metode Gutenberg Richter ............................................................. 54
Gambar 5.2 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
menggunakan metode Muphy Obrein.................................................................. 55
Gambar 5.3: Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Tengah menggunakan metode Gutenberg Richter.................................... 55
Gambar 5.4 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Tengah menggunakan metode Murphy Obrein ....................................... 56
Gambar 5.5 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Barat menggunakan metode Gutenberg Richter ....................................... 57
Gambar 5.6 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Barat menggunakan metode Murphy Obrein .......................................... 57
Gambar 5.7 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Timur menggunakan metode Guthrnburg Richter .................................... 59
Gambar 5.8 Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa
Bagian Timur menggunakan metode Murphy Obrein ......................................... 59
Gambar 5.9 Peta intensitas maksimum dengan metode Gutenberg Richter
pada skala MMI Pulau Jawa ................................................................................. 61
Gambar 5.10 Peta intensitas maksimum dengan metode Murphy Obrein
pada skala MMI Pulau Jawa ................................................................................. 61
Gambar 5.11 Grafik hubungan perceptan getaran tanah maksimum dengan
intensitas (MMI) ................................................................................................... 65
Gambar 5.12a. Grafik hubungan intensitas maksimum dengan
jarak epicenter pada intensitas 8 MMI .................................................................. 67
Gambar 5.12b. Grafik hubungan intensitas maksimum dengan
jarak epicenter pada intensitas 8 MMI .................................................................. 67

Gambar 5.13. Komparasi hubungan intensitas maksimum dengan jarak


epicenter .............................................................................................................. 71
Gambar 5.14. Grafik hubungan PGA dengan jarak epicenter .............................. 73

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Magnitudo, Efek Karakteristik, Frekuensi Dan Skala MMI


Gempa Bumi .................................................................................................... 35
Tabel 4.1 Tingkat resiko gempa bumi.............................................................. 51
Tabel 5.1. Tingkat resiko gempa bumi berdasarkan nilai
intensitas dan PGA ........................................................................................... 63
Tabel 5.2. Hubungan Intensitas Dengan PGA ................................................. 66
Tabel 5.3. Koreksi Intensitas Terhadap Jarak .................................................. 70

xii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A DATA KATALOG GEMPA BUMI DARI USGS TAHUN


1973-2009
LAMPIRAN B PENYERAGAMAN

MAGNITUDE

GEMPA

MENGGUNAKAN MICROSOFT EXCEL 2007


LAMPIRAN C PERHITUNGAN

PGA MENGGUNAKAN MICROSOFT

EXCEL 2007
LAMPIRAN D HASIL PENGOLAHAN DATA MENGGUNAKAN METODE
GUTENBERG RICHTER KE GRID 0.25 X 0.25
LAMPIRAN E

HASIL PENGOLAHAN DATA MENGGUNAKAN METODE


MURPHY OBTRIN KE GRID 0.25 X 0.25

LAMPIRAN F

KOREKSI

INTENSITAS

MMI

DENGAN

JARAK

EPICENTER METODE MURPHY OBREIN


LAMPIRAN G HASIL KOREKSI INTENSITAS MMI DENGAN JARAK
EPICENTER METODE MURPHY OBREIN
LAMPIRAN H PETA SEISMISITAS PULAU JAWA TAHUN DATA USGS
1973-2010
LAMPIRAN I

PETA KEDALAMAN GEMPA JAWA TAHUN DATA USGS


1973-2010

LAMPIRAN J

TITIK STASIUN PENGUKURAN DI PULAU JAWA 0.25 X


0.25

LAMPIRAN K PETA KONTUR PGA PULAU JAWA MENGGUNAKAN


METODE GUTENBERG RICHTER
LAMPIRAN L

PETA KONTUR PGA PULAU JAWA MENGGUNAKAN


METODE MUPHY OBREIN

LAMPIRAN M PETA

INTENSITAS

MAKSIMUM

PULAU

JAWA

MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER


LAMPIRAN N PETA

INTENSITAS

MAKSIMUM

PULAU

JAWA

MENGGUNAKAN METODE MUPHY OBREIN

xiii

LAMPIRAN O TABEL TINGKAT RESIKO GEMPA BUMI BERDASARKAN


NILAI INTENSITAS DAN PGA METODE GUTENBERG
RICTER
LAMPIRAN P TABEL TINGKAT RESIKO GEMPA BUMI BERDASARKAN
NILAI INTENSITAS DAN PGA METODE MURPHY
OBREIN

xiv

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pulau Jawa merupakan wilayah Indonesia yang paling padat penduduk dan
infrastrukturnya. Berdasarkan tatanan seismotektoniknya, Pulau Jawa ini
merupakan bagian dari satuan seismotektonik busur sangat aktif dan busur aktif.
Guna mewaspadai bencana gempa bumi di kawasan ini perlu dilakukan suatu
kajian mendasar tentang analisa percepetan getaran tanah maksimum, serta
menentukan wilayah-wilayah potensi gempa bumi serta bahaya yang ditimbulkan.
Risiko bahaya gempa bumi sangat ditentukan oleh kepadatan penduduk dan
infrastruktur di suatu wilayah yang telah dinyatakan rawan bencana dan risiko
gempa bumi.
Dalam kegiatan analisa percepatan tanah ini terdapat dua kegiatan yaitu
pengambilan data dan pengolahan data. Kemajuan teknologi telah menghasilkan
data-data bawah permukaan yang dapat menampilkan gambaran bawah
permukaan dengan keakurasian yang tinggi berupa data-data seismisitas salah
satunya, sehingga dengan adanya data ini maka dapat digunakan untuk
mengetahui nilai percepetan tanah di wilayah Pulau Jawa.
Percepatan getaran tanah maksimum adalah nilai terbesar percepatan
tanah pada suatu tempat akibat getaran gempa bumi dalam periode waktu tertentu.
Percepatan getaran tanah maksimum merupakan salah satu parameter yang sering
digunakan dalam mengestimasi tingkat kerusakan tanah akibat goncangan gempa.
Percepatan tanah di suatu daerah dapat diukur langsung dengan accelerograf atau
strongmotion seismograf yang dipasang pada tempat tersebut atau dengan
pendekatan formula empiris. Terbatasnya peralatan jaringan accelerograf yang
tidak lengkap dari segi periode waktu maupun tempatnya menyebabkan penentuan
nilai percepatan getaran tanah maksimum lebih banyak menggunakan pendekatan
formula empiris, diantaranya yaitu dengan menggunakan Metode Gutenberg
Richter dan Metode Murphy OBrein.
1

1.2. Perumusan Masalah


Pulau Jawa merupakan bagian dari satuan seismotektonik aktif dan terletak
di jalur subduksi sehingga sangat berpotensi untuk terjadinya gempa bumi. Oleh
karena itu, dalam skripsi ini rumusan masalah yang dibahas adalah menentukan
besarnya nilai intensitas gempa bumi dan percepatan tanah maksimum di wilayah
Pulau Jawa dilihat dari besarnya nilai percepatan getaran tanah maksimum atau
PGA (Peak Ground Acceleration) di daerah tersebut berdasarkan parameter
gempa bumi berupa episenter, hiposenter dan magnitudo, serta bagaimana
hubungan nilai percepatan getaran tanah maksimum terhadap intensitas gempa
bumi menggunakan Metode Gutenberg Richter dan Metode Murphy OBrein.
1.3. Tujuan Penelitian
1.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai percepatan getaran


tanah maksimum di tiap-tiap daerah rawan gempa serta tingkat resiko
akibat gempa bumi di pulau Jawa dengan menggunakan metode Gutenberg
Richter dan metode Murphy Obrein,

2.

Mencari hubungan nilai percepatan tanah maksimum dengan intensitas


dalam skala MMI (Modified Mercalli Intensity), dan

3.

Untuk menggali perbedaan pada kedua metode tersebut.

1.4. Batasan Masalah


Dalam penelitian ini dilakukan beberapa batasan masalah, yaitu:
1. Perhitungan PGA bersifat matematis dengan asumsi bahwa sumber gempa
bumi berupa point source, serta asumsi bahwa kondisi tanah adalah
bersifat homogen.
2. Model berdasarkan katalog gempa bumi dari USGS data gempa bumi 37
tahun terakhir, yaitu dari tahun 1973 sampai dengan tahun 2010 yang
meliputi wilayah Pulau Jawa dan sekitarnya, dengan magnitudo lebih besar
dan sama dengan 5.0 SR, dengan kedalaman kurang dari 70 km serta
dibatasi lintang 6.00 LS - 9.00 LS dan 105.00 BT - 115 BT dengan
menggunakan metode Gutenberg Richter dan metode Murphy OBrein.
2

3. Meneliti dan menganalisa hubungan percepatan getaran tanah maksimum


dengan intensitas pada skala MMI (Modified Mercalli Intensity) dengan
pendekatan menggunakan rumus empiris pada kedua metode tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kegempaan Pulau Jawa


2.1.1. Kondisi Tektonik Indonesia
Indonesia merupakan jalur pertemuan tiga lempeng besar (triple junction
plate convergence) yaitu Lempeng Indo-Australia, yang relative bergerak ke
utara, Lempeng Eurasia, yang relatif bergerak ke selatan, dan Lempeng Pasifik
yang relatif bergerak ke Barat Laut (gambar 2.1). Pertemuan antar lempeng
menyebabkan sering terjadi gempa bumi karena tumbukan atau pergeseran
lempeng (gambar 2.2). Oleh karena itu, Indonesia merupakan daerah yang secara
tektonik bersifat labil (terutama di wilayah Indonesia tengah) dan merupakan
kawasan pingir benua yang paling aktif di dunia.

Gambar 2.1. Peta tektonik Indonesia (BMG)

Gambar 2.2. Tumbukan antar lempeng samudera dan lempeng benua


(www.indogeoart.com).
Di bagian tengah kerak samudera India ini terbentuk suatu jalur lurus yang
disebut Mid Oceanic Ridge (Pematang Tengah Samudra), sedangkan di bagian
timurnya atau sebelah barat terbentuk jalur punggungan lurus utara selatan yang
disebut Ninety East Ridge (letaknya hampir berimpit dengan bujur 90 timur)
merupakan daerah mineralisasi (Usman, 2006). Bagian yang dalam membentuk
cekungan kerak samudera yang terisi oleh sedimen yang berasal dari dataran India
membentuk Bengal Fan hingga ke perairan Nias dengan ketebalan sedimen antara
2.000 3.000 meter (Ginco, 1999). Daerah Pematang Tengah Samudra pada
Lempeng Indo-Australia merupakan implikasi dari proses Sea Floor Spereading
(Pemekaran Lantai Samudera) yang mencapai puncaknya pada Miosen Akhir
dengan kecepatan 6-7 cm/tahun, sebelumnya pada Oligosen awal hanya 5
cm/tahun (Katili, 2008).
Pada gambar 2.3 memperlihatkan bentuk ideal geomorfologi pada tepian
lempeng aktif adalah mengikuti proses-proses penunjaman yaitu palung samudera
(trench), prisma akresi (accretionary prism), punggungan busur muka (forearc
ridge), cekungan busur muka (forearc basin), busur gunungapi (volcanic arc), dan

cekungan busur belakang (backarc basin). Busur gunung api dan cekungan busur
belakang lazimnya berada di bagian daratan atau kontinen (Lubis et al, 2007).

Gambar 2.3. Komponen tektonik ideal pada penunjaman tepian lempeng aktif
(Hamilton, 1979)

2.1.2

Tektonik Regional Pulau Jawa


Tektonik regional wilayah Pulau Jawa dikontrol oleh tektonik tunjaman

selatan Pulau Jawa. Akibat tunjaman tersebut terbentuk struktur-struktur geologi


regional di wilayah daratan Pulau Jawa. Struktur tersebut dapat diamati di daratan
Pulau Jawa bagian barat hingga bagian timur, diantaranya Sesar Banten, Sesar
Cimandiri, Sesar Citarik, Sesar Baribis, Sesar Citanduy, Sesar Bumiayu, Sesar
Kebumen Semarang - Jepara, Sesar Lasem, Sesar Rawapening, Sesar Opak,
Sesar Pacitan, Sesar Wonogiri, Sesar Pasuruan, dan Sesar Jember.

2.1.2.1. Tatanan Tektonik Jawa


Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola
struktur geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di Pulau
Jawa memiliki pola-pola yang teratur. Secara geologi Pulau Jawa
merupakan suatu komplek sejarah penurunan basin, pensesaran, perlipatan
dan vulkanisme di bawah pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari
waktu ke waktu. Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yaitu
arah Timur Laut Barat Daya (NE-SW) yang disebut pola Meratus, arah
Utara Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur Barat (E-W).
Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut
Barat Daya (NE-SW) menjadi relatif Timur Barat (E-W) sejak era
Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di
Pulau Jawa yang sangat rumit, disamping mengundang pertanyaan
bagaimanakah mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut dapat
terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah sekitarnya.
Pola meratus di bagian barat terekspresikan pada sesar cimandiri,
di bagian tengah terekspresikan dari pola penyebaran singkapan batuan
pra-tersier di daerah

karang sambung. Sedangkan di bagian timur

ditunjukkan oleh sesar pembatas cekungan

pati, florence timur,

central deep. Cekungan tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi
tinggian karimun jawa, tinggian bawean dan tinggian masalembo. Pola
meratus tampak lebih dominan terekspresikan di bagian timur.
Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat tampak lebih
dominan sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan.
Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas
Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada
Umumnya berupa struktur regangan. Pola Jawa di bagian barat ini diwakili
oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan sesar-sesar dalam Cekungan
Bogor. Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada
zona Serayu Utara dan Serayu Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh
arah Sesar Pegunungan Kendeng yang berupa sesar naik. Dari data

stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola meratus merupakan pola


yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur kapur
sampai paleosen dan tersebar dalam jalur tinggian Karimun Jawa menerus
melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar
ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda. Pola
Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola
Sunda telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola meratus pada
eosen akhir hingga oligosen akhir.

Gambar 2.4. Tatanan tektonik regional Pulau Jawa


(www.lasonearth.files.wordpress.com)
Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh
pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik menunjukkan
bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga sekarang.
Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat dari pola struktur dan
persebaran tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan pola yang tertentu
pula. Penampang stratigrafi yang diberikan oleh Kusumadinata, 1975 dalam
8

Pulunggono, 1994

menunjukkan bahwa ada dua kelompok cekungan yaitu

cekungan Jawa Utara bagian barat dan cekungan Jawa Utara bagian timur yang
terpisahkan oleh tinggian Karimun Jawa.
Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai bentuk geometri
memanjang relative Utara-Selatan dengan batas cekungan berupa sesar-sesar
dengan arah utara selatan dan Timur-Barat. Sedangkan cekungan yang terdapat di
kelompok cekungan Jawa Utara Bagian Timur umumnya mempunyai geometri
memanjang timur-barat dengan peran struktur yang berarah timur-barat lebih
dominan.
Pada akhir cretasius terbentuk zona penunjaman yang terbentuk di daerah
Karang sambung menerus hingga pegunungan meratus di Kalimantan. Zona ini
membentuk struktur kerangka struktur geologi yang berarah timur laut-barat daya.
Kemudian selama tersier pola ini bergeser sehingga zona penunjaman ini berada
di sebelah selatan Pulau Jawa. Pada pola ini struktur yang terbentuk berarah
timur-barat.
Tumbukkan antara lempeng Asia dengan lempeng Australia menghasilkan
gaya utama kompresi Utara-Selatan. Gaya ini membentuk pola sesar geser
(oblique wrench fault) dengan arah barat laut-tenggara, yang kurang lebih searah
dengan pola pegunungan akhir cretasisus.
Pada periode Pliosen-Pleistosen arah tegasan utama masih sama, UtaraSelatan. Aktifitas tektonik periode ini menghasilkan pola struktur naik dan lipatan
dengan arah timur-barat yang dapat dikenali di Zona Kendeng. Meskipun secara
regional seluruh Pulau Jawa mempunyai perkembangan tektonik yang sama,
tetapi karena pengaruh dari jejak-jejak tektonik yang lebih tua yang mengontrol
struktur batuan dasar, khususnya pada perkembangan tektonik yang lebih muda,
terdapat perbedaan antara Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

2.1.2.2. Kegempaan Regional Pulau Jawa


Kegempaan regional wilayah Jawa dapat dibagi atas dua kelompok
kegempaan, yakni kegempaan lajur tunjaman selatan Jawa dan kegempaan lajur
sesar aktif Jawa. Gempa bumi lajur tunjaman Jawa dijumpai berkedalaman
dangkal hingga dalam (0 400 km) (Gambar 2.5).

Gambar 2.5. Blok diagram morfologi kedalaman gempa bumi Lajur penunjaman
selatan Jawa Bali (Soehaimi, 2008).

Gempa bumi di lajur tunjaman ini umumnya tercatat berkekuatan >4 SR. Gempa
bumi berkekuatan besar di wilayah Jawa ini dapat mencapai 8,5 SR, terutama di
Jawa bagian barat, sedangkan yang berkekuatan 5 6 SR sering terjadi di wilayah
Jawa bagian selatan (NEIC, USGS, 2006). Wilayah Jawa ini merupakan daerah
rawan bencana gempa bumi Indonesia No. VI, VII, VIII, dan IX (Puslitbang
Geologi, 2004) (gambar 2.6). Gempa bumi lajur tunjaman ini umumnya
memperlihatkan mekanisme gempa bumi sesar naik, gempa bumi bermekanisme

10

sesar normal dapat juga terjadi pada lajur ini, terutama pada kedalaman >300 km
di sebelah utara Jawa. Gempa bumi dengan mekanisme normal tersebut
disebabkan oleh proses peregangan (extension) pada lajur di bawah rumpang
gempa bumi (seismic gap).

Gambar 2.6. Peta rawan bencana gempa bumi Indonesia (Soehaimi, 2008).

Gempa bumi berkedalaman dangkal (<30 km) yang berpusat pada lajur
sesar aktif memperlihatkan mekanisme sesar naik, geser, dan normal. Gempa
bumi bermekanisme sesar naik telah terjadi pada lajur Sesar Cimandiri pada
peristiwa gempa bumi Gandasoli Sukabumi (1982) dan gempa bumi Cibadak
Sukabumi (2000). Gempa bumi Majalengka 1990 bermekanisme sesar naik telah
terjadi pada lajur sesar naik Baribis. Gempa bumi bermekanisme sesar mendatar
menganan telah terjadi di lajur sesar geser Bumiayu pada peristiwa gempa bumi
Bumiayu (1995). Demikian pula halnya pada peristiwa gempa bumi Yogyakarta
(2006) yang memperlihatkan mekanisme sesar mendatar relatif ke kiri.

11

2.1.2.3. Seismotektonik Regional Pulau Jawa


Seismotektonik merupakan ilmu pegetahuan yang mempelajari tentang
hubungan antara tektonik, khususnya struktur geologi dengan kejadian gempa
bumi (seismogenetik) serta bahaya yang diikutinya (Pavoni, 1987). Berdasarkan
kondisi hubungan antara tektonik dan kegempaannya, Pulau Jawa dapat dibagi
menjadi dua lajur seismotektonik, yakni lajur seismotektonik tunjaman selatan
Jawa dan lajur seismotektonik sesar sesar aktif daratan Jawa (Gambar 2.7).
Karakteristik lajur seismotektonik tunjaman selatan Jawa ini merupakan bagian
dari lempeng tektonik Samudra Hindia Australia yang menunjam di bawah
bagian lempeng tektonik Benua Asia Eropa. Berdasarkan penampakan
morfologi kedalaman kegempaannya, lajur tunjaman selatan Jawa ini dapat dibagi
atas enam lajur, yakni Lajur Selat Sunda, Lajur Jawa Barat Bagian Barat, Lajur
Jawa Barat Bagian Timur - Jawa Tengah Bagian Barat, Lajur Jawa Tengah Bagian
Timur-Jawa Timur Bagian Barat, Lajur Jawa Timur Bagian Timur - Madura, dan
Lajur Bali. Batas antara lajur satu dengan lajur lainnya diperlihatkan oleh
perbedaan sudut kemiringan tunjamannya dari satu tempat ke tempat lainnya dan
disebut sebagai rumpang gempa bumi mendatar. Dari wilayah Jawa bagian barat
hingga Jawa bagian timur sudut tunjaman tersebut makin tegak. Rumpang gempa
bumi tegak pada lajur tunjaman ini juga dapat ditemui pada kedalaman bervariasi
antara 250 - 350 km. Lajur seismotektonik sesar aktif daratan Jawa berkaitan erat
dengan keberadaan struktur sesar aktif, diantaranya lajur seismotektonik sesar
aktif Banten, lajur seismotektonik sesar aktif Cimandiri, lajur seismotektonik
sesar aktif Citarik, lajur seismotektonik sesar aktif Baribis, lajur seismotektonik
sesar aktif Citanduy, lajur seismotektonik sesar aktif Bumiayu, Lajur
seismotektonik Kebumen Semarang - Jepara, lajur seismotektoniksesar aktif
Lasem, lajur seismotektonik sesar aktif Rawapening, lajur seismotektonik sesar
aktif Opak, lajur seismotektonik sesar aktif Pacitan, lajur seismotektonik sesar
aktif

Wonogiri,

lajur

seismotektonik

sesar

aktif

Pasuruan,

dan

lajur

seismotektonik sesar aktif Jember.

12

Gambar 2.7. Peta Seismotektonik Jawa dan Bali (Soehaimi, 2005)


Skala 1 : 2.750.000
2.2.

Penelitian Terdahulu
Perhitungan tingkat bahaya gempa bumi ditujukan untuk mengetahui

seberapa besar tingkat bahaya yang ditimbulkan jika terjadi gempa bumi
khususnya terhadap bangunan. Perhitungan ini melibatkan parameter-parameter
yang terkait dengan percepatan getaran tanah

maksimum atau PGA (Peak

Ground Acceleration), ataupun intensitas gempa bumi. Perhitungan yang


dilakukan bisa dengan metode deterministik maupun probabilistik.
Perhitungan tingkat bahaya gempa bumi dengan metode probabilistik
pertama kali diperkenalkan oleh Cornell (1968). Metode ini lalu berkembang
cukup pesat dan banyak digunakan untuk menghitung tingkat bahaya gempa bumi
pada daerah yang memiliki bangunan vital seperti pembangkit tenaga listrik,
bendungan dan lain-lain. Mc Guirre (1976) membuat program komputer EQRISK
13

untuk menghitung bahaya gempa berdasarkan paper Cornell (1968). Beberapa


peneliti menggunakan metode probabilistik untuk memetakan tingkat bahaya
gempa bumi pada suatu area tertentu, misalnya Adnan et al. (2005) yang
menghitung PGA di semenanjung Malaysia. Suckale et al.(2005) juga
menggunakan metode probabilistik untuk menghitung nilai PGA di kepulauan
Republik Vanuatu.
Penelitian mengenai tingkat bahaya gempa bumi untuk Indonesia dan
khususnya Jawa sebelumnya telah dilakukan oleh PT. Reasuransi Internasional
Indonesia dan peneliti dari Badan Meteorologi dan Geofisika (2001) yang telah
melakukan

perhitungan percepatan getaran tanah secara empiris dengan

menggunakan beberapa metode yaitu metode Obrien, metode Ricther. Hasil dari
penelitian tersebut diantaranya untuk

metode Richter mendapatkan nilai

percepatan getaran tanah maksimum wilayah Jawa Tengah dan DIY sekitar 100
400 cm/sec2 (gambar 2.8), dan untuk wilayah Jawa Timur 200 300 cm/sec2
(gambar 2.9), serta 100 600 cm/sec2 pada wilayah Jawa Barat (gambar 2.10).
Dan hasil untuk nilai percepatan getaran tanah dengan menggunakan metode
OBrein didapatkan nilai percepatan tanah maksimum 100 400 cm/sec2 pada
wilayah Jawa bagian tengah (gambar 2.11), dan 100 900 cm/sec2 pada wilayah
Jawa bagian timur (gambar 2.12) dan 100 1000 cm/sec2 pada wilayah Jawa
bagian barat (gambar 2.13).

14

Gambar 2.8. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther wilayah
Jawa Bagian Tengah
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jateng.html)

Gambar 2.9. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther wilayah
Jawa Bagian Timur
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jatim.html)

15

Gambar 2.10. Peta percepatan getaran tanah metode Gutenberg Ricther wilayah
Jawa Bagian Barat (http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jabar.html)

Gambar 2.11. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy Obrien wilayah
Jawa Bagian Tengah
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jateng_obrien.html)

16

Gambar 2.12. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy Obrien wilayah
Bagian Timur
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jatim_obrien.html)

Gambar 2.13. Peta percepatan getaran tanah metode Murphy Obrien wilayah
Jawa Bagian Barat
(http://www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jabar_obrien.html)

17

BAB III
LANDASAN TEORI

3.1.

Teori Gempa Bumi


Menurut Teori Elastic Rebound yang dinyatakan oleh Seismolog Amerika,

Reid, (Bullen, 1965; Bolt 1985) menyatakan bahwa gempa bumi merupakan
gejala alam yang disebabkan oleh pelepasan energi regangan elastis batuan, yang
disebabkan adanya deformasi batuan yang terjadi pada lapisan lithosfer.
Deformasi batuan terjadi akibat adanya tekanan (stress) dan regangan (strain)
pada lapisan

bumi. Tekanan atau regangan yang terus-menerus menyebabkan

daya dukung pada batuan akan mencapai batas maksimum dan mulai terjadi
pergeseran dan akhirnya terjadi patahan secara tiba-tiba. Mekanisme gempa bumi
dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
Jika terdapat 2 buah gaya yang bekerja dengan arah berlawanan pada
batuan kulit bumi, batuan tersebut akan terdeformasi, karena batuan mempunyai
sifat elastis. Bila gaya yang bekerja pada batuan dalam waktu yang lama dan terus
menerus, maka lama kelamaan daya dukung pada batuan akan mencapai batas
maksimum dan akan mulai terjadi pergeseran. Akibatnya batuan akan mengalami
patahan secara tiba-tiba sepanjang bidang fault (gambar 3.1). Setelah itu batuan
akan kembali stabil, namun sudah mengalami perubahan bentuk atau posisi. Pada
saat batuan mengalami gerakan yang tiba-tiba akibat pergeseran batuan, energi
stress yang tersimpan akan dilepaskan dalam bentuk getaran yang kita kenal
sebagai gempa bumi.

18

Gambar 3.1. Proses deformasi batuan yang mengakibatkan terjadinya


gempa bumi (Bolt 1985).
Garis putus-putus merupakan garis imajiner yang menunjukkan posisi
batuan sebelum dan sesudah daya dukung batuan terlampaui. Garis merah
horizontal pada akhir proses deformasi merupakan bidang sesar yang terjadi (Bolt
1988).

3.1.1. Mekanisme Terjadinya Gempa


Gempa bumi tektonik terjadi dimulai dengan adanya proses akumulasi
energi yang diakibatkan oleh pergerakanm lempeng. Pada daearah pertemuan
lempeng timbul suatu tegangaan yang diakibatkan oleh tumbukan dan pergeseran
antar lempeng yang mempunyai sifatsifat elastis batuan. Tegangan pada batuan
akan berkumpul terusmenerus sehingga pada suatu saat sesuai dengan
karekteristik batuannya akan sampai pada titik patah, pada saat tersebut energi yang
terkumpul selama terjadi proses tegangan akan dilepaskan berupa deformasi
batuan atau patahan. Energi yang dilepaskan ke segala arah berupa gelombang
gempa bumi.
Pada umumnya gempa bumi terjadi pada batas lempeng dan pada daerah
patahan aktif. Suatu titik di sepanjang sesar tempat mulainya gempa disebut fokus
atau hyposenter dan tititk di permukaan bumi yang tepat di atasnya disebut
episenter.
Gempa bumi adalah rangkaian gelombang getaran atau kejutan (shock
wave) yang berasal dari suatu tempat dalam mantel atau kerak bumi. Seorang
Seismolog Amerika, Reid (Bullen, 1965; Bolt 1985) mengemukakan suatu teori
yang menjelaskan mengenai bagaimana umumnya gempa bumi terjadi. Teori ini
dikenal dengan nama Elastic Rebound Theory. Menurut teori ini gempa bumi
terjadi pada daerah atau area yang mengalami deformasi. Energi yang tersimpan
dalam deformasi ini berbentuk elastis strain dan akan terakumulasi sampai daya
dukung batuan mencapai batas maksimum, hingga akhirnya menimbulkan rekahan

19

atau patahan. Mekanisme gempa bumi dapat dijelaskan secara singkat sebagai
berikut:
Jika terdapat dua buah gaya yang bekerja dengan arah berlawanan pada
batuan kulit bumi, batuan tersebut akan terdeformasi, karena batuan mempunyai
sifat elastis. Bila gaya yang bekerja pada batuan dalam waktu yang lama dan
terus menerus, maka lama kelamaan daya dukung pada batuan akan mencapai
batas maksimum dan akan mulai terjadi pergeseran. Akibatnya batuan akan
mengalami patahan secara tiba-tiba sepanjang bidang fault (gambar 3.1). Setelah
itu batuan akan kembali stabil, namun sudah mengalami perubahan bentuk atau
posisi. Pada saat batuan mengalami gerakan yang tiba-tiba akibat pergeseran
batuan, energi stress yang tersimpan akan dilepaskan dalam bentuk getaran yang
kita kenal sebagai gempa bumi.
Dari penjelasan di atas (gambar 3.1) syarat terjadinya gempa bumi antara lain:
1. Distribusi stress
2. Pembangunan stress
3. Adanya pergerakan relatif bumi

3.1.2. Teori Tektonik Lempeng


Teori Tektonik Lempeng berasal dari hipotesis continental drift yang
dikemukakan Alfred Wegener tahun 1912. Dan dikembangkan lagi dalam
bukunya The Origin of Continents and Oceans terbitan tahun 1915. Ia
mengemukakan bahwa benua-benua yang sekarang ada dulu adalah satu bentang
muka yang bergerak menjauh sehingga melepaskan benua-benua tersebut dari inti
bumi seperti 'bongkahan es' dari granit yang bermassa jenis rendah yang
mengambang di atas lautan basal yang lebih padat. Namun, tanpa adanya bukti
terperinci dan perhitungan gaya-gaya yang dilibatkan, teori ini dipinggirkan.
Mungkin saja bumi memiliki kerak yang padat dan inti yang cair, tetapi
tampaknya tetap saja tidak mungkin bahwa bagian-bagian kerak tersebut dapat

20

bergerak-gerak. Di kemudian hari, dibuktikanlah teori yang dikemukakan geolog


Inggris Arthur Holmes tahun 1920 bahwa tautan bagian-bagian kerak ini
kemungkinan ada di bawah laut. Terbukti juga teorinya bahwa arus konveksi di
dalam mantel bumi adalah kekuatan penggeraknya.
Bukti pertama bahwa lempeng-lempeng itu memang mengalami
pergerakan didapatkan dari penemuan perbedaan arah medan magnet dalam
batuan-batuan yang berbeda usianya. Penemuan ini dinyatakan pertama kali pada
sebuah simposium di Tasmania tahun 1956. Mula-mula, penemuan ini
dimasukkan ke dalam teori ekspansi bumi, namun selanjutnya justeru lebih
mengarah ke pengembangan teori tektonik lempeng yang menjelaskan pemekaran
(spreading) sebagai konsekuensi pergerakan vertikal (upwelling) batuan, tetapi
menghindarkan keharusan adanya bumi yang ukurannya terus membesar atau
berekspansi (expanding earth) dengan memasukkan zona subduksi/hunjaman
(subduction zone), dan sesar translasi (translation fault). Pada waktu itulah teori
tektonik lempeng berubah dari sebuah teori yang radikal menjadi teori yang
umum dipakai dan kemudian diterima secara luas di kalangan ilmuwan. Penelitian
lebih lanjut tentang hubungan antara seafloor spreading dan balikan medan
magnet bumi (geomagnetic reversal) oleh geolog Harry Hammond Hess dan
oseanograf Ron G. Mason menunjukkan dengan tepat mekanisme yang
menjelaskan pergerakan vertikal batuan yang baru.
Seiring dengan diterimanya anomali magnetik bumi yang ditunjukkan
dengan lajur-lajur sejajar yang simetris dengan magnetisasi yang sama di dasar
laut pada kedua sisi mid-oceanic ridge, tektonik lempeng menjadi diterima secara
luas. Kemajuan pesat dalam teknik pencitraan seismik mula-mula di dalam dan
sekitar zona Wadati-Benioff dan beragam observasi geologis lainnya tak lama
kemudian mengukuhkan tektonik lempeng sebagai teori yang memiliki
kemampuan yang luar biasa dalam segi penjelasan dan prediksi.
Penelitian tentang dasar laut dalam, sebuah cabang geologi kelautan yang
berkembang pesat pada tahun 1960-an memegang peranan penting dalam
pengembangan teori ini. Sejalan dengan itu, teori tektonik lempeng juga

21

dikembangkan pada akhir 1960-an dan telah diterima secara cukup universal di
semua disiplin ilmu, sekaligus juga membaharui dunia ilmu bumi dengan
memberi penjelasan bagi berbagai macam fenomena geologis dan juga
implikasinya di dalam bidang lain seperti paleogeografi dan paleobiologi.

3.1.3. Jenis-Jenis Gempabumi


Menurut sumber terjadinya gempa, Hoernes (Subardjo, 2001)
mengelompokan menjadi :
1. Gempa bumi vulkanik (Volcanic Earthquake), ialah gempa bumi yang
terjadi karena adanya aktifitas vulkanik.
2. Gempa bumi terban/runtuhan (Collapse Earthquake), yaitu gempa bumi
yang terjadi karena adanya runtuhan atau longsoran dari massa batuan.
3. Gempa bumi buatan, yaitu gempa bumi yang terjadi karena adanya
ledakan dinamit atau ledakan nuklir.
4. Gempa bumi tektonik (Tectonic Earthquake), yaitu gempa bumi yang
terjadi karena adanya gejala tektonik alam misalnya adanya pergeseran
lempeng benua atau sesar.

Berdasarkan

dalamnya

sumber

gempa,

Howell

(1969)

mengelompokan gempa bumi menjadi :


1.

Gempa bumi dangkal, dengan kedalaman hiposenternya kurang dari


70 km di bawah permukaan bumi.

2.

Gempa bumi menengah, dengan kedalaman hiposenter antara 70


300 km di bawah permukaan bumi.

3.

Gempa bumi dalam, dengan kedalaman hiposenternya lebih dari 300


700 km di bawah permukaan bumi.

22

Berdasarkan

kekuatan,

Hagiwara

(Subardjo,

2001)

mengklasifikasikan gempa bumi menjadi:


1.

Gempa sangat besar, M > 8,0

2.

Gempa besar, 7,0 < M < 8,0

3.

Gempa sedang, 4,5 < M < 7,0

4.

Gempa mikro, 1,0 < M < 4,5

5.

Gempa ultra mikro, M < 1,0

Berdasarkan urutaan waktu terjadinya, Mogi (1967) membagi tipe


gempabumi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:
1. Tipe I
Yaitu gempa bumi utama dalam (mainshock) tanpa didahului gempa
permulaan (foreshock). Tetapi diikuti dengan banyak gempa bumi susulan
(aftershock). Gempa bumi tipe ini biasanya terjadi di daerah yang
mempunyai medium homogen dengan (stress) yang bekerja hamper
merata (uniform) sebagian besar gempa bumi tektonik yang terjadi di bumi
tergolong jenis ini.
2. Tipe II
Yaitu

gempa

bumi

utama

(mainshock)

didahului

gempa-gempa

pendahuluan (foreshock) kemudian diikuti gempa susulan (aftershock)


yang cukup banyak jumlahnya. Gempa bumi tipe ini terjadi pada daerah
dengan struktur batuan yang tidak seragamdengan distribusi (stress) yang
bekerja tidak seragam.
3. Tipe III
Yaitu gempa bumi yang tidak terdapat gempa utama (mainshock), biasa
disebut gempa bumi swarm. Gempa bumi tipe ini terjadi dalam daerah
yang terbatas, biasanya terjadi di daerah gunung api. Gempa bumi ini

23

terjadi pada daerah yang struktur mediumnya tidak seragam dengan stress
yang bekerja terkonsentrasi pada area yang terbatas.

3.1.4. Parameter Sumber Gempabumi


Hasil rekaman getaran permukaan tanah yang diakibatkan oleh
gempabumi baik analog maupun digital disebut seismograph. Hasil rekaman
tersebut dapat memberikan informasi parameter pokok mengenai gempabumi
yang terjadi di suatu tempat. Parameter pokok gempabumi tersebut meliputi:
1. Waktu kejadian gempabumi (origin time)
2. Posisi lintang dan bujur (latitude/longitude) episenter (titik pada
permukaan bumi yang terletak vertical diatas pusat gempa / hiposenter)
3. Kedalaman pusat gempabumi (kedalaman hiposenter). Sering disebut juga
dengan istilah focal depth.
4. Kekuatan gempabumi (magnitudo)
Parameter origin time, episenter, dan hiposenter disebut sebagai parameter
kinematik, karena untuk menentukannya hanya diperlikan waktu penjalaran
gelombang. Sedangkan parameter kekuatan gempa bumi (magnitudo) berkaitan
dengan energi yang dipancarkan oleh sumber gempa disebut sebagai parameter
dinamik, karena untuk menentukannya diperlukan pengukuran amplitudo dan
periode.
3.1.4.1. Episenter
Ada berbagai macam cara dalam penentuan posisi episenter yaitu:
1. Metode hiperbola. Metode ini menggunakan data waktu tiba gelombang P
ditiga stasiun. Parameter yang harus diketahui adalah kecepatan
gelombang harus konstan dan kedalamannya dianggap = 0 atau berada
dipermukaan.
2. Metode lingkaran. Metode ini menggunakan prinsip lingkaran untuk
menentukan posisi episenter, yaitu menggambar lingkaran dengan stasiun
sebagai pusatnya dan jarak episenter sebagai jari-jarinya. Dengan

24

menggunakan data waktu tiba dari tiga stasiun, maka akan didapatkan tiga
lingkaran yang berpotongan. Episenter didapatkan dari perpotongan antara
ketiga lingkaran tersebut disuatu titik.
3. Metode Galitzin. Metode ini memungkinkan penentuan posisi episenter
hanya dengan menggunakan data dari satu stasiun. Data yang digunakan
adalah data komponen horisontal (Utara-Selatan dan Timur-Barat) dan
komponen vertikal serta selisih waktu tiba gelombang P dan gelombang S.
4. Metode Richter. Metode ini sangat kuantitatif karena menggunakan data
waktu tiba gelombang P dari banyak stasiun.
3.1.4.2. Kedalaman Hiposenter
Kedalaman gempa atau hiposenter dapat ditentukan dengan
berbagai cara, antara lain :
1. Perbandingan antara amplitudo gelombang S dan gelombang P,
atau perbandingan antara amplitudo gelombang permukaan yang
ditimbulkannya dengan amplitudo gelombang P (kedua parameter
ini makin kecil bila gempanya makin dalam). Perhitungan ini hanya
untuk memperkirakan atau membedakan gempa dangkal dan
gempa dalam.
2. Dengan mengukur beda waktu tiba antara fase gelombang P
dengan fase gelombang pP, yang sering disebut sebagai pP-P.
Metode ini kurang akurat untuk gempa kurang dari 100 km karena
ralatnya yang terlalu besar.
Dengan menggunakan fungsi parameter penerima gelombang yang
diterima dari berbagai stasiun. Fungsi ini bersifat empiris yaitu
hasil riset atau eksperimen.
3.1.4.3. Magnitudo
Magnitudo adalah ukuran untuk menyatakan kekuatan gempabumi
berdasarkan energi yang dipancarkan pada saat terjadinya gempabumi dan
dinyatakan dalam Skala Richter. Magnitudo pertama kali dihitung oleh
Richter pada tahun 1935 untuk gempa lokal di California dengan alat

25

Standart Wood Anderson yang memperhitungkan nilai pergerakan tanah


yang terletak pada jarak tertentu pada pusat gempa. Magnitudo gempa
dapat dibedakan atas:
1.

Magnitudo Lokal (MI), Magnitudo lokal pertama kali diperkenalkan


oleh Richter (1935) berdasarkan pengamatan gempa bumi di
California Selatan yang direkam menggunakan seismograf WoodAnderson. Secara umum Magnitudo lokal dirumuskan:
MI= log A + 3 log - 2,92

(3.1)

Dengan :
MI

= magnitudo lokal,

= amplitudo maksimum getaran tanah (m) dan

= jarak episenter dengan stasiun pengamat (km), <600 km.

2. Magnitudo Bodi (Mb), Magnitudo bodi berdasarkan amplitudo gelombang


P yang menjalar melalui bagian dalam bumi. Magnitudo ini digunakan
untuk menghitung kekuatan gempa-gempa dalam yaitu:

Mb = log (A/T) + f(,h) + c

(3.2)

Dengan:
Mb

= magnitudo bodi,

= amplitudo gelombang P (m),

= periode (sekon), f(,h) adalah fungsi jarak dan kedalaman dan c

adalah koreksi stasiun.

26

3. Magnitudo

Permukaan

(Ms),

Magnitudo

permukaan

berdasarkan

amplitudo gelombang permukaan. Magnitudo ini digunakan untuk


menghitung kekuatan gempa dengan jarak lebih dari 600 km, periode 20
sekon, dan gempa dangkal (h<60 km) dirumuskan:

Ms = log A + log +

(3.3)

Dengan:
Ms

= magnitudo permukaan,

= amplitudo maksimum (m),

= jarak episenter (km) dan , adalah konstanta.

4. Magnitudo Momen (Mw), Magnitudo momen merupakan magnitudo


berdasarkan harga momen seismik. Momen seismik adalah dimensi
pergeseran bidang sesar atau dari analisa gelombang pada broadband
seismograf. Magnitudo ini dirumuskan:
Mw = (log M0)/1,5 10,73

(3.4)

Dengan:
Mw

= magnitudo momen dan

M0

= adalah momen seismik.

5. Magnitudo Durasi (Md), Magnitudo durasi merupakan jenis magnitudo


berdasarkan lamanya getaran gempa. Magnitudo ini berguna dalam kasus
amplitudo getaran sangat besar (off scale) yang dirumuskan:

Md = a log + b + c

(3.5)

27

Dengan:
Md

= magnitudo durasi,

= lamanya getaran (sekon),

= jarak hiposenter (km), a,b,c adalah konstanta.

3.1.4.4. Waktu kejadian gempa bumi (Origin time)


Waktu kejadian gempa bumi adalah waktu saat terlepasnya akumulasi
regangan (strain) yang berbentuk penjalaran gelombang gempa bumi dan
dinyatakan dalam hari, tanggal, bulan, tahun, jam , menit, detik dalam satuan
UTC (Universal Time Coordinated).

3.2.

Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah gelombang elastic yang menjalar di dalam

medium bumi. Gelombang elastik yang menjalar di dalam medium seperti


gelombang suara, berdasarkan sifat-sifatnya, gelombang ini dapat dikategorikan
juga menjadi gelombang seismik. Gelombang seismik sering timbul akibat adanya
gempabumi atau ledakan. Gelombang seismik di ukur dengan mengunakan alat
seismometer. Gelombang seismik di bagi menjadi dua kelompok yaitu:
1.

Gelombang badan .

2.

Gelombang permukaan.

3.2.1. Gelombang Badan


Gelombang badan adalah gelombang yang merambat disela-sela
bebatuan di bawah permukaan bumi. Efek kerusakan yang ditimbulkan dari
gelombang ini cukup kecil. Gelombang badan di bagi menjadi dua bagian,
yaitu:

28

1.

Gelombang P (Pressure Wave) atau Gelombang Longitudinal.


Gelombang ini dapat menjalar melalui segala medium (padat, cair dan
gas). Gerakan partikel medium yang dilewati gelombangini adalah
searah dengan arah penjalaran gelombang (Gambar 3.2). Karena
waktu penjalaran gelombang P lebih cepat diantara gelombang S,
maka gelombang P merupakan gelombang yang pertama tiba pada
detector gempa.

Gambar 3.2. Penjalaran Gelombang P (Bolt,1978)

Kecepatan penjalaran gelombang P dapat di kemukakan


dengan persamaan:
Vp

(3.6)

Dengan :

2.

Vp

= Kecepatan gelombang P

= Modulus geser

= Densitas material yang dilalui gelombang

= Modulus Bulk

Gelombang S (Shear Wave) disebut juga sebagai Gelombang


Sekunder atau Gelombang Transversal.

29

Gelombang ini memiliki arah gerakan yang tegak lurus dengan


arah perambatan gelombang (Gambar 3.3). Gelombang S merambat
disela-sela bebatuan dan bergantung pada medium yang dilaluinya.
Gelombang ini hanya dapat mkenjalar melalui medium padat karena
cairan dan gas tidak punya daya elstisitas untuk kembali ke bentuk
asal. Waktu penjalaran gelombang S lebih lambat dari pada
gelombang P.

Gambar 3.3. Penjalaran Gelombang S (Bolt,1978)

Kecepatan gelombang S dapat diperlihatkan dengan persamaan:

Vs

(3.7)

Dengan:
Vs

= Kecepatan gelombang S

= Modulus geser

= Densitas material yang dilalui gelombang

30

Gelombang S dibagi menjadi dua bagian yaitu gelombang SV dan


gelombang SH. Gelombang SV adalah gelombang S yang gerakan partikelnya
terpolarisasi pada bidang vertical. sedangkan gelombang SH adalah gelombang S
yang gerakan partikelnya horizontal.
Kegunaan gelombang P dan S dalam ilmu kegempaan adalah untuk
menentukan posisi episenter gempa. Amplitudo gelombang P juga digunakan
dalam perhitungan magnitudo gempa.

3.2.2. Gelombang Permukaan


Gelombang permukaan adalah gelombang yang merambat dipermukaan
bumi, tidak menetrasi kedalam medium bumi. Mempunyai frekuensi lebih rendah
dari gelombang badan, sehingga sifat gelombang tersebut merusak. Amplitudo
gelombang permukaan akan mengecil dengan cepat terhadap kedalaman. Hal ini
diakibatkan oleh adanya dispersi pada gelombang permukaan, yaitu penguraian
gelombang berdasarkan panjang gelombangnya sepanjang permbatan gelombang.
Gelombang permukaan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Gelombang Love
2. Gelombang Reyleigh

3.2.2.1. Gelombang Love


Gelombang love

adalah

gelombang

geser

(S-wave)

yang

terpolarisasi secara horizontal dan tidak menghasilkan perpindahan


vertical (Gambar 3.4) . Gelombang love diambil dari nama seorang
Geofisika Inggris Augustus Edward Hough Love (1863-1940). Gelombang
love merambat pada permukaan bebas medium berlapisdengan gerak
partikel seperti glombang SH. Kecepatan merambat gelombang love selalu
lebih kecil dari pada gelombang P, dan umumnya lebih lambat dari
gelombang S.

31

Gambar 3.4. Penjalaran Gelombang Love (Bolt,1978)


Kecepatan penjalaran gelombang Love dapat dikemukakan dengan persamaan :
2

1
1

2 2
c
1
1
1
VL tan H
2
1 2
1

1
'

2 2
2
c
1
2

(3.8)

dengan :
VL

= kecepatan gelombang Love (m/s)

= ketebalan lapisan (m)

= frekuensi angular (rad/s)

= kecepatan sesaat (m/s)

= kecepatan gelombang S pada medium 1 (m/s)

= kecepatan gelombang S pada medium 2 (m/s)

= rigiditas medium 1 (N/m2)

= rigiditas medium 2 (N/m2)

Gelombang Love terbentuk karena adanya interferensi konstruktif dari


gelombang SH pada permukaan bebas. Awal gelombang terbentuk ketika
gelombang SH yang datang membentur permukaan bebas pada sudut poskritis
sehingga energi terperangkap pada lapisan tersebut. Sebagian besar energi
kemudian direfleksikan kembali menuju permukaan (SHR), sedangkan sebagian
kecil energi lainnya akan ditransmisikan melalui lapisan (SHT) seperti terlihat
pada Gambar 3.5.

32

SH

SH
R

SH
T

Gambar 3.5. Terbentuknya Gelombang Love (Widigdo, 2006)


3.2.2.2. Gelombang Reyleigh
Diambil dari nama fisikawan Inggris Lord Reyleigh (1842-1919).
Gelombang reyleigh adalah gelombang yang menjalar di permukaan bebas
medium berlapis maupun homogeny dengan pergerakan menyerupai ellip
(Gambar 3.7). Karena menjalar di permukaan bumi, maka amplitude gelombang
reyleigh akan berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Pada saat gempabumi
besar, gelombang reyleigh terlihat pada permukaan tanah yang bergerak keatas
dan kebawah. Kecepatan merambat gelombang reyleigh lebih lambat dari pada
gelombang love.

Gambar 3.6. Penjalaran Gelombang Reyleigh (Bolt,1978)

Kecepatan penjalaran gelombang Rayleigh pada medium dapat diperlihatkan


dengan persamaan (3.9) :

33

c2
c2 2
c2
VR 2 2 41 2 1 2
V
Vs
Vs
p

(3.9)

Dengan :
VR

= kecepatan gelombang Rayleigh (m/s)

Vp

= kecepatan gelombang P (m/s)

Vs

= kecepatan gelombang S (m/s)

= kecepatan sesaat (m/s)

Terbentuknya gelombang Rayleigh adalah karena adanya interaksi antara


bidang gelombang SV dan P pada permukaan bebas yang kemudian merambat
secara parallel terhadap permukaan.
Gerakan

pertikel

gelombang

Rayleigh

adalah

vertikal,

sehingga

gelombang Rayleigh hanya ditemukan pada komponen vertikal seismogram.


Karena gelombang rayleigh adalah gelombang permukaan, maka sumber yang
lebih dekat dengan permukaan akan menimbulkan gelombang Rayleigh yang
lebih kuat di bandingkan sumber yang terletak di dalam bumi (Lay dan
Wallace,1995). Gelombang Rayleigh adalah gelombang yang dispersif dengan
periode yang lebih panjang akan mencapai material yang lebih dalam dan sampai
sebelum periode pendek. Hal ini menjadikan gelombang Rayleigh sebagai alat
yang sesuai untuk menentukan struktur keras atas suatu area.
Gelombang Rayleigh yang menjalar pada permukaan medium homogen
(tidak berlapis) tidak mengalami dispersi, yaitu pemisahan gelombang di
sepanjang penjalarannya karena kecepatan sebagai fungsi frekuensi atau panjang
gelombangnya. Dalam hal ini gelombang dengan frekuensi rendah menjalar lebih
lambat dari pada kecepatan gelombang dengan frekuensi yang lebih tinggi,
sehingga gelombang akan mengalami dispersi akan berubah bentuk sepanjang
penjalarannya.

34

3.3.

Intensitas Gempa Bumi


Intensitas gempa bumi adalah skala kekuatan gempa bumi berdasarkan

hasil pengamatan efek gempa bumi terhadap manusia, struktur bangunan, dan
lingkungan pada tempat tertentu. Parameter ini dinyatakan dengan skala intensitas
yang umumnya dalam MMI.
Intensitas merupakan hasil pengamatan visual pada suatu tempat,
sedangkan magnitudo adalah hasil pengamatan instrumental menggunakan
seismograf. Terdapat beberapa skala pengukuran intensitas. Skala tersebut adalah
skala intensitas Modified Mercalli Intensity (MMI) yang diakui sebagai standar
internasional, skala intensitas Medvedev-Sponheur-Karnik (MSK) yang sejak
1992 diubah menjadi European Macroseismic Scale (EMS) dan digunakan di
Eropa Timur, skala intensitas Japan Meteorological Agency (JMA) yang
digunakan di Jepang, dan skala intensitas Rossi-Forrel (RF) yang digunakan di
Cina. Besarnya intensitas gempa bumi di suatu tempat tidak hanya bergantung pada
kekuatan gempa bumi (magnitudo), namun juga kerusakan yang dirasakan.
Besarnya intensitas sangat tergantung dari besarnya magnitudo, jarak dari sumber
gempa, kondisi geologi, dan struktur bangunannya. Intensitas tinggi biasanya
terjadi pada daerah yang dekat sumber gempa dibandingkan tempat yang jauh dari
sumber gempa. Tingkat intensitas gempa bumi dapat dilihat pada Tabel 3.1
berikut ini.

Tabel 3.1. Magnitudo, efek karakteristik, frekuensi dan skala MMI gempa bumi
(Skinner dan Porter 1992)
Skala Intensitas

Efek karakteristik

Jumlah

Richter)

serta kerusakan yang ditimbulkan

per tahun

<3,4

Hanya terekam oleh seismograf

800

3,5 - 4,2

Dirasakan oleh beberapa orang

30

II dan III

Magnitudo(Skala

Modified Mercalli
(MMI)

35

4,3 - 4,8

Dirasakan oleh banyak orang

4.8

IV

4,9 - 5,4

Dirasakan oleh setiap orang

1.4

5,5 - 6,1

Kerusakan bangunan kecil

500

VI dan VII

6,2 - 6,9

Kerusakan banyak bangunan

100

VIII dan IX

15

XI

7,0 - 7,3

7,4 - 7,9

>8,0

Kerusakan serius, jembatanjembatan


terpuntir, temboktembok retak
Kerusakan besar, bangunanbangunan
ambruk
Kerusakan total, gelombanggelombang

Satu kali

terasa di permukaan tanah, benda-benda

dalam 5-

terlempar

10 Tahun

XII

Intensitas terkuat terjadi di daerah episenter. Intensitas gempa bumi yang


paling banyak digunakan adalah skala Mercally yang biasa disebut MMI
(Modified Mercally Intensity). Skala ini mempunyai 12 tingkatan akibat gempa
bumi, dimulai dari yang lemah sampai yang kuat (Tabel 3.1). Untuk mengetahui
besarnya intensitas dapat menggunakan persamaan Gutenberg Richter yang
menyatakan hubungan antara intensitas gempabumi dan magnitude yaitu:
I = 1,5 (M-0,5)

(3.10)

Dengan :
I : adalah intensitas (MMI),
M : magnitudo gempa bumi (SR)

36

3.4.

Seimisitas Gempa Bumi


Seismisitas adalah frekuensi dan distribusi gempa pada suatu daerah.

Seismisitas biasanya digambarkan pada peta dengan symbol-simbol tertentu pada


peta yang menggambarkan frekuensi dan intensitas gempa pada lokasi yang di
gambarkan pada peta. Peta yang dimaksud disebut peta seismic.

3.5.

Percepatan Getaran Tanah Maksimum


Percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai

dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Untuk harga percepatan
terbagi menjadi 2 bagian yaitu percepatan tanah maksimum dan percepatan tanah
sesaat.
Percepatan tanah merupakan parameter yang perlu dikaji pada setiap
terjadinya gempabumi untuk dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang
efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya nilai percepatan tanah pada suatu tempat, antara
lain adalah magnitudo gempa, kedalaman hiposenter, jarak episenter, kondisi
tanah.
Percepatan tanah maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA)
adalah nilai terbesar percepatan tanah pada suatu tempat akibat getaran
gempabumi dalam periode waktu tertentu. Sedangkan untuk harga percepatan
tanah minimum adalah pada saat terjadi gempa pada suatu titik tertentu. Nilai
percepatan tanah yang akan diperhitungkan sebagai salah satu bagian dalam
perencanaan bangunan tahan gempa adalah nilai percepatan tanah maksimum.
Nilai percepatan tanah dapat dihitung langsung dengan seismograph
khusus yang disebut strong motion seismograph atau accelerograph. Namun
karena begitu pentingnya nilai percepatan tanah dalam menghitung koefisien
seismik untuk bangunan tahan gempa, sedangkan jaringan accelerograf tidak
lengkap baik dari segi periode waktu maupun tempatnya, maka perhitungan
empiris sangat perlu dibuat. Oleh sebab itu untuk keperluan bangunan tahan

37

gempa harga percepatan tanah dapat dihitung dengan cara pendekatan dari data
historis gempabumi.
Pengukuran percepatan tanah dengan cara empiris dapat dilakukan
dengan pendekatan dari beberapa rumus yang diturunkan dari magnitudo gempa
atau data intensitas. Perumusan ini tidak selalu benar, bahkan dari satu metode ke
metode lainnya tidak selalu sama, namun cukup memberikan gambaran umum
tentang percepatan tanah maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA).
Beberapa metode dalam perhitungan percepatan getaran tanah maksimum
secara empiris dengan menggunakan data historis gempa bumi diantaranya adalah
antara lain :
3.5.1.

Metode Mc. Guirre R.K.


Log = 472,3 10 0,278 M (R+25)-1,301

(3.11)

Dengan :

= percepatan tanah pada permukaan (gal atau cm/sec2)

= magnitudo permukaan atau Ms (SR)

= jarak hiposenter (km)

R 2 h 2

= jarak episenter (km)

= kedalaman sumber gempa (km)

Pada model percepatan getaran tanah di atas menggunakan parameterparameter dasar gempa yaitu :
-

Magnitudo (M)

Kedalaman sumber gempa (h)

Jarak Episenter ()

38

3.5.2. Metode Kawashumi (1951).

Log M 5.45 0.00084 ( R 100 ) log

100
1
.
R 0.43429

(3.12)

Dengan :
M

= Magnitudo gempa.

= Jarak Hyposenter.

= percepatan dalam gals.

Penggunaan rumus Kawashumi praktis, karena hubungan antara


percepatan permukaan setempat dan magnitudo.
Hal terpenting adalah, akibat yang ditimbulkan oleh gempa tidak sama
untuk setiap tempat, karena adanya faktor geometri dan struktur tanah. Untuk
daerah dengan struktur tanah yang lembek (perioda predominan besar dan faktor
pembesaran besar), akibat yang ditimbulkan semakin besar pula dibanding dengan
struktur tanah yang keras.

3.5.3. Metode Gutenberg and Richter (1942 ,1956)


log = I /3 0.5

(3.13)

Dengan:
M

= magnitudo gempa bumi (SR)

= Intensitas dalam MMI.

= percepatan tanah pada tempat yang dicari dalam satuan


cm/dt2 atau gal.

39

3.5.4. Metode Murphy dan OBrein

log = 0.14 IMM + 0.24 M - 0.68 log R + k

(3.14)

Dengan:
Western Ubited Satates

= 0.60

Japan

= 0.69

Southern Europe

= 0.88

= percepatan tanah pada tempat yang akan dicari

IMM

= intensitas gempa pada tempat yang akan dicari. ( dalam


standar MMI)

= magnitudo

= jarak episenter dalam km

= tetapan untuk sumber data dari stasiun pengukuran yang


terekam oleh seismograf (source data record)

2.5.5. Metode Kanai


Percepatan tanah di permukaan akibat gempa tergantung pada
karakteristik tanah di tempat tersebut. Besarnya percepatan tanah pada lapisan dan
permukaan tanah tergantung pada periode Predominan dan periode getaran
seismik. Model empiris percepatan tanah dari kanai adalah:

G(T ).ao

(3.15)

40

Dengan:

1
.10 0.61Ms(1.66 3.60 / R ) log R ( 0.1671.83 / R )
T

G (T )

{1 (T / To ) 2 {

G (T ) 1

(3.16)

1
1 C
1 C

0,2
To

(T / To ) 2

{1 {T / To ) 2 }] 2 [{

(3.17)

0.3
To

(T / To )}] 2

(3.18)

dengan :

= Percepatan tanah di lapisan permukaan (gal)

G(T)

= Faktor perbesaran

= Periode getaran seismik (detik)

To

= Periode predominan (detik)

= I mpedensi antara lapisan permukaan dan lapisan dasar

e1,e2

= Konstanta elastik lapisan permukaan dan lapisan dasar

1,2

= Rapat massa lapiasan permukaan dan lapisan dasar

ao

= Percepatan tanah di lapisan dasar (gal)

Ms

= Magnitudo gelombang di permukaan

= Jarak hiposenter (km)

Faktor perbesaran G(T) tergantung dari rapat massa antara lapisan


itu. Apabila kontras antara kedua lapisan itu besar, maka besar pula faktor
41

perbesarannya. Percepatan tanah pada lapisan permukaan menjadi


maksimum apabila perioda getaran seismik yang merambat pada
permukaan sama dengan perioda predominan, harga periode predominan
tanah dapat dicari dengan melakukan pengukuran micro tremor
sehingga :

3.6.

0.61Ms(1.663.60 / R ) logR ( 0.1671.83/ R )


5
10
To

(3.19)

Hubungan Percepatan Getaran Tanah Dengan Intensitas Gempa


Hubungan percepatan getaran tanah dengan intensitas gempa bumi dapat

di ketahui dengan pendekatan secara empiris mengunakan berapa metode di


bawah ini yang menyatan hubungan pecepatan getaran tanah dengan intensitas
dalam MMI.
3.6.1. Gutenberg and Richter (1942 ,1956)
log = 0.333 IMM 0.5

(3.20)

Dengan : adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

3.6.2. Kawasumi (1951)


log = 0.500 IJMA 0.347

(3.21)

Dengan : adalah percepatan tanah maksimum dan IJMA adalah


intensitas yang diukur dalam Agensi Meteorological Japanese

42

3.6.3. Neuman (1954)


Untuk jarak rata-rata 25 kilometer yaitu dengan persamaan :
log max = 0.308 IMM 0.041

(3.22)

Sedangakan untuk jarak rata-rata 160 kilometer menggunakan


persamaan :
log max = 0.308 IMM 0.429

(3.23)

Dengan : max adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

3.6.4. Hershberger (1956)

log = 0.429 IMM - 0.900

(3.24)

Dengan : adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

3.6.5. Medvedev dan Sponhouer (1969)

log amax = 0.301 IMM - 0.408

(3.25)

Dengan : max adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

3.6.6. Ambrasseys (1974)

log h max = 0.36 IMM - 0.16

(3.26)

Dengan : h max adalah percepatan tanah maksimum dan IMM adalah


Intensitas dalam MMI

43

3.6.7. Trifumac dan Brady (1975)


log = 0,014 + 0,3 IMM

(3.27)

Yang kemudian Wald (1999) merevisi persamaan menjadi :


IMM = 3,66 log 1,66

(3.28)

Dengan : adalah Percepatan getaran tanah maksimum (gal), dan


IMM

adalah Intensitas gempa dalam skala MMI

3.6.8. Metode Murphy dan OBrein


log a = 0.25 IMM + 0.25

(3.29)

Dengan : adalah Percepatan getaran tanah maksimum (gal), dan


IMM

adalah Intensitas gempa dalam skala MMI

44

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1.

Daerah Penelitian
Dalam penelitian ini daerah yang dijadikan area penelitan adalah wilayah

pulau Jawa yang meliputi Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Area penelitian terletak pada
koordinat 9 00 LS 6 00 LS dan 105 00 BT 115 00 BT seperti terlihat
pada Gambar 4.1

Gambar 4.1. Peta daerah penelitian (www. geospasial.bnpb.go.id)

45

4.2.

Peralatan Penelitian
Dalam penelitian ini peralatan yang digunakan sebagai penunjang dalam

pengolahan data adalah :


1. Komputer PC
2. Perangkat lunak yang terdiri dari :
a. Microsoft Windows XP Service Pack 3
b. Map Info Professional 9.0
c. Surfer 8
d. Microsoft Office 2007 (Word, Excel)
4.3.

Deskripsi Data
Data gempa yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari database

situs resmi USGS (www.usgs.gov) dengan spesifikasi data sebagai berikut :


1. Data gempa yang terjadi antara tahun 1973 sampai dengan 2010 dari data
gempa USGS (United States Geological Survey) data gempa yakni
sebanyak 346 kejadian gempa bumi (Lampiran A).
2. Data gempa dari USGS (United States Geological Survey) kemudian
diklasifikasikan berdasarkan kriteria pencarian yaitu :
a. Koordinat lintang : 6LS 9LS
b. Koordinat bujur : 105 BT 115 BT
c. Magnitudo gempa : 5,0 9,0
d. Kedalam fokus gempa : 0 70 km ( gempa dangkal )

Sebaran episenter dan magnitudo gempa serta kedalamnya untuk wilayah


pulau Jawa yang dikumpulkan dari tahun 1973-2010 berdasarkan data gempa dari
USGS (United States Geological Survey) dapat dilihat pada Gambar 4.2. Jumlah
kejadian gempa yang dikumpulkan sebanyak 532 titik gempa kemudian
diklasifikasikan berdasarkan kriteria pencarian sehingga menjadi 302 titik gempa.

46

PETA SEISMISITAS PULAU JAWA TAHUN DATA USGS 1973-2010


PETA SEISMISITAS
TAHUN 1973 - 2010

-6

Latitude

KETERANGAN

Magnitude (SR)

-7

5.1 to 5.575
5.575 to 6.05
6.05 to 6.525
6.525 to 7.001

Propinsi Jawa Timur

-8

Propinsi Jawa Barat


Propinsi Banten
Propinsi Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
DKI. Jakarta

-9
105

Sumber Data :
United States Geological Survey 1973-2010

106

107

108

109

111

222

333

Kilometer

110

111

112

113

114

Longitde

Gambar 4.2. Peta sebaran episenter dan magnitudo gempa bumi.

PETA KEDALAMAN GEMPA JAWA DATA USGS TAHUN 1973-2010


PETA KEDALAMAN SUMBER GEMPA
TAHUN 1973 - 2010

-6

KETERANGAN
Kedalaman (KM)

-7
Latitude

3 to 19.75
19.75 to 36.5
36.5 to 53.25
53.25 to 70

Propinsi Jawa Timur


Propinsi Jawa Barat

-8

Propinsi Banten
Propinsi Jawa Tengah
DI. Yogyakarta
DKI. Jakarta

-9
105

Sumber Data :
United States Geological Survey 1973-2010

106

107

108

109

110

111

112

113

114

115

Longitde

111

222

333

Kilometer

Gambar 4.3. Peta kedalaman sumber gempa bumi.

4.4.

Pengolahan Data
4.4.1. Penyeragaman magnitudo gempa
Data gempa yang didapat dari katalog USGS/ NEIC Dari katalog
kegempaan ini memuat berbagai tipe magnitudo, sehingga perlu dilakukan
penyeragaman data, penyeragaman ini dilakukan berdasarkan formulasi
(Scordilis 2006).

Mw = 0.67(0.005) Ms + 2.07(0.03)

(4.1)

47

Dengan syarat : Nilai 3.0 Ms 6.1 hanya berlaku untuk data


katalog NEIC dan ISC.

Mw = 0.99(0.02) Ms + 0.08(0.13)

(4.2)

Dengan syarat : Nilai 6.2 Ms 8.2 hanya berlaku untuk data


katalog NEIC dan ISC.

Mw = 0.85(0.04) mb + 1.03(0.23)

(4.3)

Dengan syarat : Nilai 3.5 Mb 6.2 berlaku untuk data NEIC,


ISC, JMA dan IDC.
Dengan Mb, Ms, dan Mw adalah magnitudo gelombang
badan, magnitudo gelombang permukaan, dan magnitudo moment.

4.4.2. Perhitungan Intensitas Gempa Bumi


Perhitungan intensitas gempa bumi menggunakan persamaan
Gutterberg Richter (persamaan 3.10) yang menyatakan hubungan antara
intensitas gempabumi dan magnitudo. Sedangkan untuk mencari intensitas
pada suatu daerah titik pengukuran pada metode Gutenberg Richter
menggunakan fungsi atenuasi hubungan Intensitas terhadap jarak dari
persamaan Subardjo dan Prih Harjadi yang ditentukan berdasarkan gempa
Flores, 12 Desember 1992 yaitu :

I0 = I exp 0.0021 R

(4.4)

Sedangkan fungsi atenuasi pada metode Murphy Obrein didapatkan dari


persaaman (3.14) dengan mengalikan fungsi atenuasi Murphy Obrein yaitu;
log a = 0.14 IMM + 0.24 M 0.68 log R+k
48

Dengan :
I

= Intensitas gempa bumi (skala MMI)

I0

= Intensitas pada jarak episenter dengan titik pengukuran

= Jarak pada episenter (km)

exp

= Suatu bilangan atau logaritma natural =2.71828

= Tetapan untuk sumber data

4.4.3. Percepatan Getaran Tanah Maksimum


Dalam pembuatan kontur percepatan getaran tanah maksimum
langkah pertama yang terlebih dahulu dilakukan adalah dengan membuat
grid atau titik pengukuran. Ukuran untuk tiap-tiap grid yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 0.25 x 0.25 atau sekitar 27.75 Km x 27.75
Km seperti terlihat pada Gambar 4.4 yang terdapat 615 titik pengukuran.
Pemilihan ukuran grid 0.25 x 0.25 berdasarkan pertimbangan lokasi
daerah penelitian yang cukup luas dan ukuran grid tersebut sudah cukup
mewakili daerah-daerah di sekitar lokasi penelitian.
TITIK STASIUN PENGUKURAN DI PULAU JAWA 0.25 X 0.25
TITIK STASIUN PENGUKURAN
DI PULAU JAWA 0.25 X 0.25

LATITUDE

-6

KETERANGAN

-7

Titik Stasiun Pengukuran


Propinsi Jawa Timur
Propinsi Jawa Barat
Propinsi Banten
Propinsi Jawa Tengah

-8

DI. Yogyakarta
DKI. Jakarta

-9
105

106

107

108

109

110

111

112

113

114

115

LONGITUDE

111

222

333

Kilometer

Gambar 4.4. Posisi grid titik pengukuran


Dari 615 titik pengukuran kemudian dihitung nilai percepatan getaran
tanah maksimumnya tiap titiknya yang diakibatkan oleh 302 kejadian gempa bumi
yang terjadi di sekitar daerah penelitian. Perhitungan nilai percepatan getaran
tanah ini menggunakan metode Gutenberg Richter seperti yang terdapat pada
49

persamaan (3.13) dan metode Murphy Obrein pada persamaan (3.14). Pada
perhitungan ini menggunakan Microsoft Excel 2004 dengan membuat formula
matematisnya (Lampiran B). Parameter lainnya yang digunakan sebagai data
masukan formula perhitungan percepatan getaran tanah maksimum yakni data
gempa bumi dengan parameter lintang, bujur, kedalaman sumber gempa, dan
magnitudo gempa berupa gelombang badan (mb) yang kemudian dikonversi ke
gelombang permukaan(ms). Setelah di dapatkan nilai percepatan getaran tanah
maksimum tiap site atau titik pengukuran kemudian dibuat peta kontur percepatan
getaran tanah maksimum dengan menggunakan program Mapinfo dan Surfer.
4.4.4. Hubungan intensitas dengan percepatan getaran tanah
maksimum
Pencarian hubungan percepatan getaran tanah dengan intensitas gempa
bumi dapat diketahui dengan pendekatan secara empiris mengunakan persamaan
(3.20) pada metode Gutenberg Richter dan persamaan (3.29) pada metode
Murphy Obrein.

5.5.

Interpretasi
Interpretasi dilakukan setelah mendapatkan hasil pengolahan data, yaitu

berupa nilai perhitungan percepatan getaran tanah maksimum dan nilai intensitas
gempa bumi. Nilai dari hasil perhitungan tersebut kemudian dipetakan sehingga
dapat dianalisis. Analisis dilakukan pada peta kontur percepatan getaran tanah
untuk mengetahui pola penyebaran nilai percepatan getaran tanah maksimum di
daerah penelitian. Sehingga dapat diperkirakan daerah-daerah mana saja yang
memiliki nilai percepatan getaran tanah maksimum yang tinggi sampai ke yang
rendah. Hal yang sama juga dilakukan pada peta intensitas gempa bumi, dengan
melakukan analisa pada pola penyebaran nilai percepatan getaran tanah
maksimum dan intensitas gempa. Kemudian dari Peta percepatan tanah
maksimum dan peta intensitas maksimum tersebut akan ditentukan daerah-daerah
mana saja yang mempunyai tingkat resiko paling besar sesuai dengan

50

pengklasifikasian menjadi 10 macam tingkat resiko berdasarkan percepatan tanah


maksimum dan intensitas seperti pada tabel 4.1
Tabel 4.1. Tingkat resiko gempa bumi (Fauzi ed.al, 2005).

No

Tingkat Resiko

Nilai Percepatan
(gal)

Resiko sangat kecil

<25

(MMI)
<VI

Resiko kecil

25 50

VI VII

Resiko sedang satu

50 75

VII VIII

Resiko sedang dua

75 100

VII VIII

Resiko sedang tiga

100 125

VII VIII

Resiko besar satu

125 150

VIII IX

Resiko besar dua

150 200

VIII IX

Resiko besar tiga

200 300

VIII IX

Resiko sangat besar satu

300 600

IX X

10

Resiko sangat besar dua

>600

Intensitas

>X

kemudian dilihat korelasi antara kedua peta tersebut bagaimana hubungan


antara intensitas dengan nilai percepatan getaran tanah maksimumnya, serta
bagaimana korelasi antara intensitas maksimum dengan jarak, dan bagaimana
korelasi percepatan getaran tanah maksimumnya dengan jarak epicenter pada
kedua metode tersebut.

5.6.

Diagram Alir Penelitian


Diagram alir penelitian yang di tampilkan terbagi menjadi dua macam

yaitu diagram alir penelitian (Gamabar 4.5) yang menggambarkan secara garis
besar tahapan penelitian, sedangkan diagram alir kedua adalah diagram alir
pengolahan data (Gambar 4.6) yang menggambarkan tahapan pengolahan data.

51

Mulai
Mulai

Studi
Studi Pendahuluan
Pendahuluan
-- Studi
Studi Literatur
Literatur
-- Informasi
Informasi Geotektonik
Geotektonik
Dan
Seismotektonik
Dan Seismotektonik

Penentuan
Penentuan Daerah
Daerah
Penelitian
Penelitian

Pengumpulan
Pengumpulan Data
Data

Pengolahan
Pengolahan Data
Data

Analisa
Analisa Hasil
Hasil Pengolahan
Pengolahan Data
Data

Kesimpulan
Kesimpulan

Selesai
Selesai

Gambar 4.5. Diagram Alir Penelitian

52

Data Base Gempa


Bumi

Dimasukkan Ke
Microsoft Excel

Mengkonversi
Magnitude Ke
Ms

Pemilahan
Event Gempa

Pembuatan Grid
Area Penelitian

Peta Percepatan Getaran


Tanah Maksimum

Perhitungan
Nilai Intensitas
Gempa Bumi

Peta Intensitas Gempa


Bumi

Perhitungan
Percepatan
Getaran Tanah

Hubungan Intensitas Dengan


Percepatan Getaran Tanah
Maksimum

Grafik Hubungan Perceptan


Getaran Tanah Maksimum
Dengan Intensitas

Grafik Hubungan Intensitas


Dengan Jarak Epicenter

Grafik Hubungan PGA


Dengan Jarak Epicenter

Gambar 4.6. Diagram Alir Pengolahan Data

53

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1.

Percepatan Getaran Tanah Maksimum


Berdasarkan hasil pengolahan data dan perhitungan nilai percepatan

getaran tanah maksimum di wilayah Pulau Jawa dengan menggunakan metode


Gutenberg Richter dan Murphy Obrein yang diolah menggunakan program
Microsoft Excel dan Surfer8 sesuai dengan persamaan (3.13) pada metode
Gutherburg Richter diperoleh nilai percepatan getaran tanah maksimum antara 0
cm/sec2 sampai dengan 450 cm/sec2 (gambar 5.1). Dan peta percepatan getaran
tanah maksimum yang diolah dengan menggunakan metode Murphy Obrein
dengan persamaan (3.14) diperoleh nilai percepatan getaran tanah maksimum
antara 0 cm/sec2 sampai dengan 1050 cm/sec2 pada Gambar (5.2). Besarnya nilai
percepatan getaran tanah pada kedua peta tersebut, metode Murphy Obrein
mempunyai nilai percepatan getaran tanah maksimum yang lebih besar nilainya
dibandingkan dengan peta yang diolah dengan menggunakan metode Gutenberg
Richter, tetapi pola kontur pada kedua peta tersebut keduanya sangat mirip baik
yang diolah dengan metode Gutenberg Richter maupun dengan metode Murphy
Obrein.
PETA KONTUR PGA PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER
Cm/Sec2

450
425

-6

400
375
350

LATITUDE

325
300

-7

275
250
225
200
175
150

-8

125
100

Kilometer

-9
105

75

111

222

333

106

107

108

109

50
25

110

111

112

113

114

115

LONGITUDE

Gambar 5.1. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa menggunakan
metode Gutenberg Richter (interval kontur 25 cm/sec2)

54

PETA KONTUR PERCEPATAN GETARAN TANAH PULAU JAWA DENGAN METODE MURPHY O'BREIN
Cm/Sec2

1050
975

-6

900
825

Latitude

750
675

-7

600
525
450
375

-8

300
225
150

Kilometer

-9
105

111

222

333

106

107

108

109

75
0

110

111

112

113

114

115

Longitude

Gambar 5.2.Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa menggunakan


metode Muphy Obrein (interval kontur 75 cm/sec2)
Dari kedua gambar di atas dapat dianalisa satu persatu dalam tiga bagian
berdasarkan wilayahnya, yaitu wilayah Jawa Bagian Tengah, Jawa Bagian timur
dan Wilayah Jawa Bagian Barat.
PETA PGA PADA DAERAH JAWA BAGIAN TENGAH MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER

Cm/Sec2

-6

220
-6.25

205
190

-6.5
Jepara
Pati

-6.75

Kudus
Brebes
Tegal

LATITUDE

175
Rembang

Pemalang

Pekalongan
Batang

Demak

Kendal

145
Blora

Semarang

-7

130

Purwodadi

Ungaran

115

-7.25
Purbolinggo
Purwokerto

Wonosobo
Banjarnegara

Temanggung

Salatiga

Kebumen

Cilacap

-7.75

100
Sragen

Magelang

-7.5

Boyolali

Sleman

Purworejo

Klaten

Yogyakarta
Wates

85

Surakarta
Karanganyar

70

Sukoharjo

55

Wonogiri

Bantul

40

Wonosari

-8

25

Kilometer

108.5

160

108.75

27.75

55.5

83.25

109

109.25

109.5

109.75

10
110

110.25

110.5

110.75

111

111.25

111.5

LONGITUDE

Gambar 5.3. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian
Tengah menggunakan metode Gutenberg Richter (interval kontur 25 cm/sec2)
55

PETA KONTUR PGA JAWA BAGIAN TENGAH MENGGUNAKAN METODE O'BREIN

Cm/Sec2

-6

-6.25

-6.5
Jepara
Pati

-6.75
Brebes
Tegal

Latiitude

Rembang

Kudus
Pekalongan
Batang

Pemalang

Demak

Kendal

Blora

Semarang

-7

Purwodadi

Ungaran

-7.25
Wonosobo
Banjarnegara

Purbolinggo
Purwokerto

Temanggung

Salatiga
Sragen

Magelang

-7.5
Kebumen

Cilacap

-7.75

Boyolali

Sleman

Purworejo

Klaten

Yogyakarta
Wates

Surakarta
Karanganyar
Sukoharjo
Wonogiri

Bantul
Wonosari

-8
Kilometer

108.5

108.75

109

27.7

55.4

83.1

109.25

109.5

109.75

110

110.25

110.5

110.75

111

111.25

520
495
470
445
420
395
370
345
320
295
270
245
220
195
170
145
120
95
70
45
20

111.5

Longitude

Gambar 5.4. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian
Tengah menggunakan metode Murphy Obrein (interval kontur 25 cm/sec2)
Dari peta kontur percepatan getaran tanah maksimum terlihat bahwa nilai
maksimum percepatan getaran tanah tersebar di Daerah Istmewa Yogyakarta
yakni Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul
(gambar 5.3). Nilai maksimum percepatan getaran tanah ini berkisar antara 145
cm/sec2 sampai dengan 220 cm/sec2pada metode Gutenberg Richter dan 220
cm/sec2 sampai dengan 520 cm/sec2 pada peta yang diolah dengan menggunakan
metode OBrein (gambar 5.4). Tingginya nilai percepatan getaran tanah di sekitar
Daerah Istimewa Yogyakarta ini disebabkan oleh besarnya pengaruh gempa yang
terjadi di Yogyakarta pada tanggal 27 Mei 2006 dengan magnitudo 6,3 SR
(USGS), hal ini dikarenakan posisi sumber gempa yang dekat dengan daerah
tersebut dan terletak pada kedalaman yang dangkal. Posisi episenter gempa
Yogyakarta terletak di darat tepatnya pada sekitar Sesar Opak. Beberapa gempa
besar juga sering terjadi di sekitar laut pantai selatan Yogyakarta tetapi tidak
sampai menyebabkan kerusakan yang parah dan terjadinya Tsunami. Hal ini
menggambarkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah yang
sangat rawan terjadinya gempa bumi.

56

PETA PGA PADA DAERAH JAWA BAGIAN TENGAH MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER

Cm/Sec2

-5.5

500
475
450
425
400
375
350
325
300
275
250
225
200
175
150
125
100
75
50
25
0

-5.75

-6

Cilegon
Serang

LATITUDE

Tangerang Jakarta
Bekasi

-6.25

Karawang

Pandeglang
Rangkas belitung

-6.5

Purwakarta

Bogor

Indramayu

Subang
Cirebon

-6.75

Cianjur

Kilometer

Sumedang Majalengka

Sukabumi

Kuningan

-7
Garut

-7.25

Tasikmalaya
Ciamis

-7.5

-7.75

Kilometer

-8
105

27.75

55.5

83.25

105.25 105.5 105.75

106

106.25 106.5 106.75

107

107.25 107.5 107.75

108

108.25 108.5

LONGITUDE

Gambar 5.5. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian Barat
menggunakan metode Gutenberg Richter (interval kontur 25 cm/sec2)

-5.5

PETA KOMTUR PGA JAWA BAGIAN BARAT DENGAN MENGGUNAKAN METODE O'BREIN
Cm/Sec2
1200

-5.75

1125

-6

Cilegon
Serang

1050
975

Tangerang Jakarta
Bekasi

-6.25

-6.5

Latitude

900

Karawang

Pandeglang
Rangkas belitung

Purwakarta

Bogor

Indramayu

825
750

Subang
Cirebon

-6.75

Cianjur
Sukabumi

Kuningan

-7

675
600

Sumedang Majalengka

525
450

Garut

-7.25

Tasikmalaya
Ciamis

375
300

-7.5

225
150

-7.75

Kilometer

-8
105

0
105.25 105.5 105.75

27.7
106

55.4

75
83.1

106.25 106.5 106.75

107

107.25 107.5 107.75

108

108.25 108.5

Longitude

Gambar 5.6. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian Barat
menggunakan metode Murphy Obrein (interval kontur 75 cm/sec2)

57

Berdasarkan peta kontur percepatan getaran tanah pada wilayah Jawa


Bagian Barat yang meliputi Propinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat di
dapatkan nilai antara 0 cm/sec2 sampai dengan 500 cm/sec2 pada peta yang diolah
dengan menggunakan metode Gutenberg Richter (gambar 5.5) dan nilai 0 cm/sec2
sampai dengan 1200 cm/sec2 pada metode Murphy Obrein (gambar 5.6). Dengan
percepatan getaran tanah maksimum terbesar terdapat di daerah Kabupaten
Pandeglang, Propinsi Banten yaitu antara 225 cm/sec2 sampai dengan 325 cm/sec2
pada metode Gutenberg Richter dan 300 cm/sec2 sampai dengan 600 cm/sec2 pada
peta yang diolah dengan menggunakan metode Muphy Obrein.
Percepatan getaran tanah maksimum pada wilayah Jawa Bagian Barat di
pengaruhi oleh dua event gempa berkekuatan besar yaitu gempa yang terjadi pada
25 oktober 2000 dengan magnitudo 6.8 SR (USGS) yang bepusat pada kedalaman
38 km dan koordinat 6.55 LS - 105.63 BT sebelah Barat Daya atau 59 km dari
Kabupaten Pandeglang Banten. Berikutnya gempa bumi Jawa Barat 2 September
2009 yang lebih dikenal dengan Gempa Bumi Tasikmalaya dengan magnitudo 7.0
SR (USGS) pusat gempa berada di Samudera Hindia pada kedalaman 49 km dan
7.778 LS 107.328 BT sebelah Selatan Indramayu atau Barat Daya Tasikmalaya.
Pada event gempa 25 oktober 2000 mempengaruhi percepatan getaran tanah
maksimum di wilayah sekitar Propinsi Banten, sedangakan Gempa Bumi
Tasikmalaya 2009 mempengaruhi percepatan getaran tanah maksimum di wilayah
Propinsi Jawa Barat.
Berikutnya peta kontur percepatan getaran tanah maksimum pada wilayah
Jawa Bagian Timur tampak pada gambar di bawah ini (gambar 5.7 dan 5.8) yang
meliputi wilayah Propinsi Jawa Timur didapatkan nilai antara 20 cm/sec2 sampai
dengan 270 cm/sec2 pada peta yang diolah dengan menggunakan metode
Gutenberg Richter (gambar 5.7) dan nilai 20 cm/sec2 sampai dengan 420 cm/sec2
pada metode Murphy Obrein (gambar 5.8). Dengan percepatan getaran tanah
maksimum terbesar terdapat di daerah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa
Timur yaitu antara 20 cm/sec2 sampai dengan 145 cm/sec2 (dengan metode
Gutenberg Richter), dan 70 cm/sec2 sampai dengan 270 cm/sec2 (dengan metode
Murphy Obrein). Gempa yang mempengaruhi percepatan getaran tanah

58

maksimum pada daerah tersebut adalah gempa pada tahun 1976 dengan skala
gempa 6.5 SR (USGS) yang berpusat pada koordinat 8.17 LS dan 114.89 BT
pada kedalaman 40 km.
PETA PGA PADA DAERAH JAWA BAGIAN TIMUR MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER

Cm/Sec2

-6.5

270

-6.75
Tuban

245

-7
Lamongan

Bojonegoro

Gresik

-7.25

195

Ngawi

LATITUDE

220

Pamekasan
Sampang

Surabaya

-7.5
MagetanMadiun

Nganjuk

-7.75

Mojokerto Sidoarjo
Jombang

170

Pasuruan
Probolingo

Kediri

Ponorogo

Situbondo

Besuki

145

Bondowoso

Malang

-8
-8.25

Sumenep

Bangkalan

Trenggalek
Tulungagung Blitar

Lumajang

Pacitan

120
Jember

Banyu wangi

95

-8.5

70

-8.75

45

Kilometer

-9

27.75 55.5 83.25

20

111 111.25 111.5 111.75 112 112.25 112.5 112.75 113 113.25 113.5 113.75 114 114.25 114.5 114.75 115

LONGITUDE

Gambar 5.7. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian Timur
menggunakan metode Gutenberg Richter (interval kontur 25 cm/sec2)
PETA KONTUR PGA JAWA BAGIAN TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN METODE O'BREIN

Cm/Sec2

-6.5

420
395

-6.75

370

Tuban

-7
Lamongan

Bojonegoro

-7.25

345

Pamekasan
Sampang

320
295

Ngawi

Latitude

Gresik
Surabaya

-7.5
MagetanMadiun

-7.75
Ponorogo

Nganjuk

Mojokerto Sidoarjo
Jombang

270

Pasuruan
Probolingo

Kediri

Trenggalek
Tulungagung Blitar

Lumajang

Pacitan

Besuki

245

Situbondo

220
Bondowoso

Malang

-8
-8.25

Sumenep

Bangkalan

Jember

195
Banyu wangi

170
145
120

-8.5

95
-8.75
-9

70

Kilometer
0

27.7

55.4

83.1

111 111.25 111.5 111.75 112 112.25 112.5 112.75 113 113.25 113.5 113.75 114 114.25 114.5 114.75 115

45
20

Longitude

Gambar 5.8. Peta percepatan getaran tanah maksimum Pulau Jawa Bagian Timur
menggunakan metode Murphy Obrein (interval kontur 72 cm/sec2)

59

Dari beberapa peta kontur PGA di atas baik yang diolah dengan
menggunakan metode Gutenberg Richter maupun metode Murphy Obrein
masing-masing peta menggambarkan daerah yang paling besar tingkat resiko yang
diakibatkan oleh gempa bumi adalah Propinsi Banten dan Jawa Barat, kemudian
berikutnya adalah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baik nilai percepatan getaran tanah maksimum yang diolah dengan
menggunakan metode Gutenberg Richter dan juga metode Murphy Obrein nilai
percepatan getaran tanah maksimumnya maupun pola konturnya sangat berbeda
dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh PT. Reasuransi Internasional
Indonesia dan peneliti dari Badan Meteorologi dan Geofisika menggunakan data
seismisitas tahun 1900 sampai dengan tahun 2000 yaitu untuk wilayah Jawa
Bagian Tengah antara 0 300 cm/sec2 pada metode Gutenberg Richter (gambar
2.8.) dan 0 400 cm/sec2 pada metode Murphy Obrein (gambar 2.11.), dan pada
wilayah Jawa Bagian Barat yaitu antara 0 400 cm/sec2 (gambar 2.10.) pada
metode Gutenberg Richter dan 0 700 cm/sec2 pada metode Murphy
Obrein(gambar 2.13.), sedangkan untuk wilayah Jawa Bagian Timur adalah 0
300 cm/sec2 (gambar 2.9.) pada metode Gutenberg Richter dan 0 400 cm/sec2
pada metode Murphy Obrein (gambar 2.12.). Suatu hal yang menyebabkan
perbedaan pada penelian ini dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh PT.
Reasuransi Internasional Indonesia adalah karena terdapatnya dua event gempa
bumi besar pada penelitian ini yaitu gempa bumi Yogyakarta tahun 2006 dan
gempa bumi tasikmalaya tahun 2009.

5.2.

Intensitas Maksimum
Nilai intensitas maksimum gempa didapatkan setelah melakukan

perhitungan nilai intensitas pada epicenter dengan memasukan parameter


percepatan getaran tanah maksimum sesuai dengan persamaan (4.4) Subarjo dan
Prih Harjadi (1993), maka dapat dibuat peta kontur intensitas gempa seperti
terlihat pada Gambar (5.9 dan 5.10), pada peta intensitas yang diolah dengan
metode Gutenberg Richter dan metode Murphy Obrein dengan persamaan (3.14)

60

PETA INTENSITAS MAKSIMUM PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBUERG RICHTER


MMI

-6

Jakarta

Latitude

7
Bandung
Semarang

-7

6
Surabaya

5
Yogyakarta

-8

Kilometer
-9
105

111

222

333

106

107

108

109

110

111

112

113

114

115

Longitude

Gambar 5.9.Peta intensitas maksimum dengan metode Gutenberg Richterpada


skala MMI Pulau Jawa
Peta Intensitas Maksimum Pulau Jawa Menggunakan Metode Murphy O'brein

MMI
11
10.5

-6

10
9.5

Latitude

9
8.5

-7

8
7.5
7
6.5

-8

6
5.5

Kilometer

-9
105

111

222

333

106

107

108

109

4.5

110

111

112

113

114

115

Longitude

Gambar 5.10.Peta intensitas maksimum dengan metode Murphy Obreinpada


skala MMI Pulau Jawa
Berdasarkan peta kontur intensitas gempa bumi terlihat bahwa pola
konturnya hampir sama dengan peta kontur percepatan getaran tanah maksimum.
Nilai intensitas untuk daerah di Pulau Jawa pada peta yang diolah dengan metode
Gutenberg Richter (gambar 5.9) antara 1 sampai dengan 9 skala MMI (Modified
Mercalli Intensity), sedangka pada peta yang diolah dengan menggunakan metode
Murphy Obrein (gambar 5.10)) antara 4 sampai dengan 11 skala MMI (Modified
Mercalli Intensity). Dari peta kontur intensitas gempa bumi, daerah yang memiliki
nilai intensitas tinggi (gambar 5.9) adalah 6 sampai dengan 8 skala MMI

61

(Modified Mercalli Intensity) dan 4 sampai dengan 11 (gambar 5.10) yaitu Daerah
Istimewa Yogyakarta yang meliputi kota Yogyakarta, Bantul, serta sebagian dari
wilayah Gunung Kidul, Kulon Progo, dan Sleman serta Kabupaten Pandeglang
Propinsi Banten. Besarnya nilai intensitas gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta
ini disebabkan pengaruh dari gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta (27 Mei
2006) karena letak sumber gempa yang berada dekat dengan daerah tersebut. Hal
ini juga sesuai dengan kenyataan di lapangan yang banyak terdapat kerusakan
bangunan rumah serta fasilitas-fasilitas pemerintahan dan juga banyak menelan
korban jiwa, kerusakan terparah terdapat pada daerah Bantul, Sleman, kota
Yogyakarta, Kulon Progo, dan Gunung Kidul (Media Center Gempa DIY, 2006).
Sedangkan nilai intensitas di daerah Kabupaten Pandeglang, Banten disebabkan
oleh gempa yang terjadi pada 25 oktober 2000 dengan magnitudo 6.8 SR (USGS)
yang berpusat pada kedalaman 38 km dan koordinat 6.55 LS - 105.63 BT.
Daerah dengan nilai intensitas gempa bumi sedang 6 sampai dengan 7
skala MMI (gambar 5.9) dan 6.5 sampai dengan 8.5 skala MMI (gambar 5.10)
berada di Propinsi Jawa Barat yaitu, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur,
Sukabumi. Nilai intensitas pada daerah ini dipengaruhi oleh gempa yang terjadi
pada gempa bumi Tasikmalaya pada tahun 2009 dengan magnitudo 7.0
SR(USGS).Untuk daerah dengan nilai intensitas gempa bumi rendah 4 sampai
dengan 5 skala MMI (gambar 5.9) dan 5.5 sampai dengan 7 MMI (gambar 5.10),
yakni daerah yang sebagian besar terdapat di bagian tengah propinsi Jawa Tengah
seperti Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung,
Purwodadi, Sragen, Karanganyar, Surakarta, sebagian daerah Sukoharjo dan
Boyolali dan beberapa kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur.
Dan selanjutnya untuk tingkat resiko pada tiap-tiap daerah rawan gempa di
Pulau Jawa berdasarkan besarnya nilai intensitas dan percepatan getaran tanah
maksimum dengan menggunakan metode Gutenberg Richter dan Murphy Obrein,
dari tingkat sedang hingga tingkat sangat besar dapat dilihat pada tabel 5.1.

62

Tabel 5.1. Tingkat resiko gempa bumi berdasarkan nilai intensitas dan PGA
No

Metode Gutenberg Richter


MM
Zona
KOTA
PGA
I
Bahaya
Resiko
Bantul
8.4 206.814 besar tiga

Metode Murphy O'brein


Kota

MMI

PGA

Bantul

9.3

373.863

2
3

Wonosari
Pandeglang

8.4
8.3

195.913
190.478

Wonosari
Sukabumi

9.0
8.9

310.249
299.432

Yogyakarta

8.3

186.26

Yogyakarta

8.7

270.16

Sleman

8.1

162.042

Sampang

8.7

262.069

Wates

8.1

159.016

8.5

234.012

Klaten

8.1

8.4

221.29

8.1

8.2

203.657

8.1

155.184

Kediri

8.2

202.821

10

Cilegon
Rangkas
belitung
Banyu wangi

Magetan
resiko besar
159.016
Pandeglang
dua
155.995
Sleman

8.0

149.443

Garut

8.2

202.079

11

Serang

8.0

149.126

Wates

8.2

197.447

12

Tasikmalaya

7.9

137.009

Klaten

8.2

197.447

13

Ciamis

7.9

190.393

Boyolali

7.8

8.1

189.693

15

Sukoharjo

7.8

122.674

Cilegon
Rangkas
belitung
Bandung

8.1

14

134.428 resiko besar


satu
125.951

8.1

189.33

16

Wonogiri

7.7

119.971

Serang

8.1

184.528

17

Purworejo

7.7

117.403

Cianjur

8.0

180.772

18

Magelang

7.7

114.657

Tuban

8.0

177.854

19

Sukabumi

7.7

112.978

Bogor

8.0

176.979

20

Surakarta

7.7

112.34

Tasikmalaya

8.0

174.818

21

Bogor

7.6

109.562

Banyu wangi

8.0

173.624

22

Pacitan

7.5

102.912

Pacitan

7.9

168.661

23

Salatiga

7.5

98.82

Sumedang

7.9

164.728

24

Cianjur

7.4

94.68

Ciamis

7.8

162.303

25

Majalengka

7.3

82.717

Majalengka

7.8

154.502

26

Magetan

7.2

77.449

Purwakarta

7.7

152.84

27

Kebumen

7.2

76.47

Boyolali

7.7

145.793

28

Tuban

7.1

74.843

Sukoharjo

7.6

141.811

29

Sumedang

7.1

74.245

Tangerang

7.6

140.678

30

Garut

7.1

71.874

Kuningan

7.6

139.608

resiko
sedang tiga

Resiko
sedang dua

Zona
Bahaya
Resiko
sangat besar
satu

Resiko
besar tiga

Resiko
besar dua

Resiko
besar satu

Tabel 5.1. di atas dapat dilihat bahwa wilayah yang paling besar tingkat
resikonya adalah Kabupaten Bantul kemudian Wonosari Daerah Istimewa
Yogyakarta baik pada metode Gutenberg Richter maupun metode Murphy

63

Obrein. Kemudian tingkat resiko paling besar ketiga adalah Kabupaten


Pandeglang, Propinsi Banten pada metode Gutenberg Richter dan Kabupaten
Sukabumi, Peopinsi Jawa Barat pada metode Murphy Obrein.

5.3.

Perbedaan Pada Metode Gutenberg Richter dan Murphy Obrein


Hal mendasar yang membedakan pada kedua metode tersebut adalah

penulis mendapatkan beberapa parameter yang menyebabkan besarnya nilai


percepatan getaran tanah maksimum maupun nilai intensitas maksimum pada
metode Murphy Obrein lebih besar nilainya dibandingkan dengan metode
Gutenberg Richter. Untuk itu penulis menganalisa dari beberapa sudut pandang
diantaranya adalah:
1. Hubungan nilai percepatan getaran tanah dengan intensitas
2. Hubungan intensitas dengan jarak epicenter
3. Hubungan percepatan getaran tanah maksimum dengan jarak epicenter

5.3.1. Hubungan Nilai Percepatan Getaran Tanah Dengan Intensitas


Nilai percepatan getaran tanah maksimum pada suatu daerah dipengaruhi
oleh besarnya nilai intensitas gempa bumi. Semakin besar intensitasnya maka
semakin besar pula nilai percepatan getaran tanahnya, sehingga terdapat suatu
hubungan yang berbanding lurus antara nilai intensitas dengan nilai percepatan
getaran tanah maksimumnya. Hubungan percepatan getaran tanah maksimum
dengan intensitas MMI pada metode Murphy OBrein dan metode Gutenberg
Richter dapat dilihat pada Gambar (5.11) dan tabel (5.2) di bawah ini yang
menyatakan hubungan nilai intesitas (MMI) gempa bumi dengan PGA (Peak
Ground Acceleration), yang terdapat suatu hubunngan yang berbanding lurus
antara nilai intensitas dengan PGA, artinya semakin besar nilai intensitasnya maka
semakin besar pula nilai PGA-nya. Pada metode Murphy OBrein nilai percepatan
getaran tanah maksimumnya adalah sekitar 1778 gal (cm/sec2), sedangkan pada

64

metode Gutenberg Richter nilai percepatan getaran tanah maksimumnya adalah


sekitar 2884 gal (cm/sec2).
Dari gambar (5.11) grafik tersebut dapat dilihat bahwa secara umum dalam
skala 1 sampai dengan 12 MMI metode Gutenberg Richter memiliki nilai
percepatan getaran tanah maksimum lebih besar dibandingkan dengan metode
Murphy Obrein, namun kenyataannya jika dilihat dari beberapa peta kontur
percepatan getaran tanah maksimumnya di atas justru metode Murphy Obrein lah
yang memiliki nilai percepatan getaran tanahnya yang lebih besar. Hal ini karena
pada metode Murphy Obrein memiliki nilai PGA yang lebih besar dari
Guntenburg Richter pada sekala 1 sampai dengan 9 MMI, sedangkan pada skala
intensitas lebih dari 9 sampai dengan 12 MMI nilai PGA pada metode Guntenberg
Richter lebih besar dibandingkan metode Murphy Obrein.

Gambar 5.11. Komparasi hubungan percepatan getaran tanah maksimum dengan


intensitas (MMI) metode Gutenberg Richter dan Metode Murphy Obrein

65

Tabel 5.2. Hubungan intensitas dengan PGA


Nilai PGA
MMI

Metode GutenbergRichter

Metode Murphy Obrein

0.6761

3.1623

1.4454

5.6234

3.0903

10.0000

6.6069

17.7828

14.1254

31.6228

30.1995

56.2341

64.5654

100.0000

138.0384

177.8279

295.1209

316.2278

10

630.9573

562.3413

11

1348.9629

1000.0000

12

2884.0315

1778.2794

5.3.2. Hubungan Intensitas Dengan Jarak Epicenter


Nilai intensitas maksimum yang diakibatkan oleh gempa bumi akan
semakin kecil seiring dengan bertambahnya jarak atau semakin jauh dari episenter
gempa bumi. Sehingga menghasilkan suatu hubungan yang berbanding terbalik
antara nilai intensitas dengan jarak episenter.
Hubungan intensitas maksimum dengan jarak epicenter pada metode
Gutenberg Richter menggunakan persamaan (4.4) dan metode Murphy Obrein
menggunakan persamaan (3.14), menghasilkan suatu grafik di bawah ini (gambar
5.12a dan 5.12b).

66

Gambar 5.12a. Komparasi hubungan intensitas maksimum dengan jarak


epicenter pada metode Gutenberg Richter dan Metode Murphy Obrein pada
intensitas 8 MMI

Gambar 5.12b. Komparasi hubungan intensitas maksimum dengan jarak


epicenter pada metode Gutenberg Richter dan Metode Murphy Obrein pada
intensitas 8 MMI (kurva linier)

Pada metode Gunthenburg Richter hubungan intensitas maksimum


terhadap jarak episenter didapatkan dari fungsi atenuasi hubungan intensitas
terhadap jarak menurut Subardjo dan Prih Haryadi (1993) (Persamaan 4.4)

67

menghasilkan garis kurva linier dengan R2=1, artinya pada metode Guntenberg
Richter ini memiliki ketepatan nilai dengan data sebenarnya.
Sedangkan fungsi atenuasi pada metode Murphy Obrein didapat dari
persaaman (3.14) yaitu;
log a = 0.14 IMM + 0.24 M 0.68 log R+k

Dengan :
I

= Intensitas gempa bumi (skala MMI)

= Jarak pada episenter (km)

= Magnitudo gempa bumi (SR)

= Rekaman sumber data

menghasilkan suatu kurva yang unlininer (gambar 5.12a). Dan untuk


mendapatkan suatu kurva yang linier pada metode Murphy Obrein ini, nilai
intensitas di epicenter turun pada nilai 6.2 MMI dengan R2=0.91344.
Pada gambar 5.12b hubungan antara jarak dengan intensitas menhasilkan
suatu persamaan exponensial yaitu y = 8.008e-0.002x dengan standar deviasi R = 1,
sedangkan pada metode Murphy Obrein untuk mendapatkan suatu nilai intensitas
8 MMI dan menghasilkan kurva yang linier maka nilai standar deviasinya adalah
R2 =

0.55831

sehingga

didapatkan

persamaan

exponensialnya

adalah

y = 8.e-0.00106x, dengan R2 adalah nilai simpangan baku atau deviasi standar


dengan data sebenarnya, y = intensitas MMI, x = jarak pada epicenter. Jadi pada
metode Guntenberg Richter hubungan jarak dengan intensitas untuk setiap jarak
tertentu dapat dipastikan nilai intensitasnya. Berbeda untuk hubungan intensitas
dengan jarak pada metode Murphy Obrein yang pada setiap jaraknya, nilai
intensitasnya lebih susah untuk diprediksi dikarenakan grafiknya yang unlinier.
Pada hubungan intensitas dengan jarak epicenter antara metode Gutenberg
Richter dengan Murphy Obrein terjadi pertemuan nilai intensitas yang sama yaitu
pada jarak epicenter R= 200 km. Gambar 5.12a dan 5.12b menghasilkan suatu

68

hubungan yang berbanding terbalik antara nilai intensitas dengan jarak episenter,
dengan semakin besar jaraknya pada epicenter maka semakin kecil nilai
intensitasnya.
Satu hal lagi yang menyebabkan nilai intensitas maksimum maupun
percepatan getaran tanah maksimumnya pada peta yang diolah dengan
menggunakan metode Murphy Obrein terlihat lebih besar dibandingan dengan
peta yang diolah dengan menggunakan metode Gutenberg Richter, hal ini
dikarenakan fungsi atenuasi dari metode Murphy Obrein apabila titik pengukuran
sangat berdekatan dengan jarak episenter (pada jarak kurang dari 10 Km
misalnya), maka nilai intensitasnya terlihat lebih besar dari nilai intensitas di
episenter atau pusat gempa bumi. Pada hubungan intensitas MMI dengan jarak
epicenter pada metode Murphy Obrein, setelah dilakukan pengukuran untuk
menentukan nilai saat intensitas maksimum sama nilai intensitasnya yang berada
di episenter (Lampiran E) dengan menggunakan contoh sample dengan intensitas
yang dimaksukkan adalah 8 MMI pada jarak epicenter yang lebih dari 17 Km dan
kurang 21.5 km nilai intesitasnya bersuaian dengan nilai intensitas yang berada di
epicenter (R=0 Km), sedangkan pada saat jarak epicenter kurang dari 17 km
hingga medekati di epicenter (R hampir = 0 km) nilai intensitasnya lebih besar
dari nilai intensitas yang ada di sumber gempa (R=0 km). Berbeda sekali pada
perhitungan nilai intensitas maksimum dengan metode Guthenberg Richter, yaitu
pada saat jarak tertentu dan bahkan hampir sangat berdekatan dengan episenter
nilai intensitas maksimumnya selalu di bawah nilai intensitas yang ada di
episenter.
Hubungan intensitas maksimum dengan jarak pada metode Murphy
Obrein setelah dilakukan analisa menghasilkan data tabel berikut (tabel 5.3) yang
menyatakan intensitas maksimum suatu titik pengukurannilainyaadalah sama pada
epicenter dan saat R=0 adalah sebagai berikut.

69

Tabel 5.3. koreksi intensitas terhadap jarak pada saat intensitas bersuaian
dengan intensitas di episenter
Ms

Intensitas (MMI)

1.15

Pada Saat I(x) Sama Dengan Intensitas Di


Episenter (R =0Km)
5.5 km > R < 6.5 km

1.85

6.5 km > R < 7.5 km

2.5

7.5 km> R < 9 km

3.15

8.5 km > R < 10.5 km

3.85

10.5 km> R < 13 km

4.5

12 km > R < 15 km

5.15

14 km > R <17.5 km

5.85

17 km > R < 21.5 km

6.5

20 km> R < 25.5 km

7.15

10

23.5 km > R < 29.5 km

7.85

11

28.5 km> R < 36 km

>8.5

12

33 km > R < 42 km

Maka dari pengujian nilai intensitas maksimum pada metode Murphy


Obrein tidaklah tepat jika nilai intensitas maksimum pada jarak titik pengukuran
ke episenter nilai intensitasnya melebihi nilai intensitas yang ada di episenter atau
melebihi nilai intensitas yang dimasukkan dalam formula atenuasi Murphy
Obrein tersebut. Oleh karena itu perlu di lakukan suatu pengukuran intensitas
maksimum yang benar, sehingga menghasilkan suatu grafik hubungan nilai
intesitas maksimum dengan jarak pada epicenter yang linier dan berbanding
terbalik antara nilai intensitas dengan jarak episenter (gambar 5.13). Pada gambar
grafik tersebut (gambar 5.13) adalah kurva grafik suatu perbandingan nilai
intensitas terhadap jarak antara metode Gutenberg Richter dengan metode Murphy
Obrein yang telah dilinierkan kurva grafiknya dengan standar deviasi atau
simapangan bakunya adalah R = 0.55831.
Maka dari grafik hubungan intensitas dengan jarak episenter pada metode
Murphy Obrein (kurva linier) dapat diambil suatu persamaan exponensialnya
untuk mencari nilai intensitas maksimum pada titik pengukuran terhadap jarak
episenter dengan melinierkan garis grafik (5.13) yaitu:

70

Imax = IMM exp-0.000107 R

dengan deviasi standart R = 0.55831

Sehingga pencarian suatu nilai percepatan getaran tanah maksimum pada


metode Murphy Obrein dapat dicari dengan persamaan hubungan percepatan
getaran tanah dengan intensitas yaitu :
log = 0.25 IMaX + 0.25

Dengan :

: percepatan getaran tanah maksimum

Imax

: intensitas maksimum dari titik pengukuran

IMM

: Intensitas MMI pada epicenter

: jarak titik pengukuran dari epicenter

Gambar 5.13. Komparasi hubungan intensitas maksimum dengan jarak epicenter

Pada gambar 5.13. jelas sekali perbedaannya antara metode Gutenberg


Richter, Murphy Obrein serta pada metode Murphy Obrein yang telah
dilinierkan kurva grafiknya. Baik pada metode Murphy Obrein yang unlinier

71

maupun yang telah dilinierkan kurva grafiknya, hubungan nilai intensitas terhadap
jarak lebih besar dan cenderung stabil redamannya dibandingkan dengan metode
Gutenberg Richter. Sehingga, fungsi atenuasi pada metode murphy Obrein ini
mempunyai efek resiko lebih luas radiusnya yang diakibatkan oleh suatu gempa,
dan kurang sesuai jika diaplikasikan untuk pendekatan atau pendugaan tingkat
resiko atau penentuan hazard map di Pulau Jawa ini, tetapi berbeda dan justru
lebih sesuai jika menggunakan fungsi atenuasi dari Subardjo dan Prih Haryadi
1993 yang ditentukan berdasarkan gempa Flores, 12 Desember 1992 pada metode
Gutenberg Richter untuk penentuan tingkat resiko atau hazard map di Pulau Jawa
ini. Karena mempunyai karakteristik kurva atenuasi terhadap jarak yang mirip dan
sesuai dengan kondisi kerusakan di lapangan yang diakibatkan oleh gempa bumi.

5.3.3. Hubungan Percepatan Getaran Tanah Maksimum Dengan


Jarak Epicenter
Pada grafik Hubungan PGA dengan jarak epicenter menggunakan
persamaan (3.13) pada metode dan persamaan (3.14) pada metode Murphy
Obrein menghasilkan suatu nilai percepatan getaran tanah maksimum yang
pada metode Murphy Obrein nilai percepatannya getaran tanah maksimumnya
lebih besar dari metode Gutenberg Richter (gambar 5.14). Pada gambar 5.14
tersebut hubungan antara nilai percepatan getaran tanah maksimum adalah
sama halnya dengan hubungan antara nilai intensitas dengan jarak, yaitu suatu
hubungan yang berbanding terbalik antara nilai intensitas dengan jarak
episenter.

72

Gambar 5.14. Grafik komparasi hubungan PGA dengan jarak epicenter (MMI=8
dan M=5.9)

Pada grafik hubungan PGA dengan jarak epicenter metode Murphy


Obrein nilai percepatan maksimum yang didapatkan lebih stabil dibandingkan
dengan metode Gutenberg Richter pada intensitas 8 MMI dan Magnitudo 5.9 SR,
pada jarak <825 Km nilai percepatan getaran tanah maksimum pada metode
Gutenberg Richter adalah 0 cm/sec2, sedangkan pada metode Murphy Obrein
nilai percepatan getaran tanahnya pada 12.69 cm/sec2 pada jarak 925 Km. Jadi,
pada metode Murphy Obrein efek resiko yang diakibatkan oleh gempa bumi
lebih luas dibandingkan efek yang diakibatkan oleh gempa bumi dengan metode
Gutenberg Richter.

73

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari peta percepatan getaran tanah
maksimum, dan peta intensitas gempa bumi maka dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu :
1.

Percepaan getaran tanah maksimum Pulau Jawa pada peta yang diolah
dengan menggunakan metode Gutenberg Richter antara 0 500 Cm/Sec2
dan pada peta kontur yang diolah dengan menggunakan metode Murphy
Obrein adalah 0 1200 Cm/Sec2. Sedangkan nilai intensitas maksimumnya
adalah 1 sampai dengan 9 MMI pada peta yang diolah dengan menggunakan
metode Gutenberg Richter dan 4 sampai dengan 11 MMI pada peta yang
diolah dengan menggunakan metode Murphy Obrein.

2.

Berdasarkan besarnya tingkat resiko dan besarnya nilai percepatan getaran


tanah maksimum dan nilai intensitas maksimumnya, daerah yang menjadi
rawan bencana gempa bumi yaitu daerah, Kabupaten Bantul dan Wonosari
Propinsi Daearah Istimewa Yogyakarta, kemudian wilayah Kabupaten
Pandeglang Propinsi Banten dan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat,
kemudian berapa Kota/Kabupaten lain di Propinsi Daerah Isimewa
Yogyakarta, Propinsi Banten.

3.

Dari hubungan intensitas 1 sampai dengan 12 MMI dengan percepatan


getaran tanah maksimum pada metode Gutenberg Richter secara umum
lebih besar nilai percepatan getaran tanahnya yaitu sampai dengan 2884
cm/sec2, sedangkan pada metode Murphy Obrein nilai percepatan getaran
tanah maksimum terbesarnya adalah 1778 cm/sec2.

4.

Baik nilai percepatan getaran tanah maksimum maupun intensitas


maksimum pada peta yang diolah dengan menggunakan metode Murphy
Obrein lebih besar nilainya dibandingkan dengan metode Gutenberg
Richter, dikarenakan:

74

a.

Dari hubungan percepatan getaran tanah maksimum dengan intensitas


pada metode Murphy Obrein, nilai percepatan getaran tanah
maksiumnya pada skala 1 sampai dengan 9 MMI lebih besar
dibandingkan dengan metode Gutenberg Richter.

b.

Dari hubungan intensitas maksimum dengan jarak episenter pada


metode Murphy Obrein pada saat jarak yang dekat dengan pusat
gempa nilai intensitasnya melebihi nilai intensitas yang ada di pusat
gempa, Sedangkan pada metode Guntenberg Richter nilai intensitas
maksimumnya semakin mengecil sebanding dengan bertambahnya
jarak dari pusat gempa ke titik pengukuran.

c.

Baik nilai intensitas maupun percepatan getaran tanah maksimum


pada metode Murphy Obrein radiusnya lebih luas dibandingkan
dengan metode Gutenberg Richter, sehingga tingkat resiko yang
diakibatkan oleh suatu gempa lebih luas radiusnya.

6.2. Saran

1.

Pada daerah-daerah rawan gempa bumi yang mempunyai tingkat resiko


besar sebaiknya memperhatikan teknik serta konstruksi bangunan tahan
gempa sehingga dapat memberikan faktor pengamanan yang lebih tinggi
terhadap resiko gempa yang akan terjadi.

2.

Untuk penelitian selanjutnya perlu dikaji lagi fungsi atenuasi yang sesuai
untuk kondisi lithologi maupun struktur geologi di Pulau Jawa untuk kedua
metode tersebut, khususnya pada metode MuphyObrein, sehingga baik
nilai intensitas maupun nilai percepatan getaran tanah maksimumnya sesuai
dengan kondisi kerusakan yang diakibatkan oleh suatu gempa yang terjadi
di Pulau Jawa.

75

DAFTAR PUSTAKA
Ambraseys, N.N. 1974. The Correlation Of Intensity With Ground Motion, In
Advancements In Engineering Seismology In Europe, Trieste.
Azlan Adnan, Hendriyawan, Aminaton Marto, dan Masyhur Irsyam., 2005, Seismic
Hazard Assasment For Peninsular Malaysia Using Gumbel Distribution
Method, Jurnal Teknologi, 42(B),57-73.
Bath, M ., 1979, Introduction To Seismology, Second/Revised Edition, Birkhauser
Verlag, 428 pp
Bolt, B. A. 1978. Earthquakes, A Primer. San Francisco, W. H. Freeman.
Bullen, K. E. (1965), Allowance for Seismic Velocity Gradient in a Horizontally
Layered Flat Earth, Geophysical Journal of the Royal Astronomical
Society, 10: 4549
Bullen, K.E. and B. Bolt, 1985. An Introduction to the Theory of Seismology.
Cambridge University Press, 4th Edition, 509 pp
Cornel, C. A., 1968, Engineering Seismic Risk Analysis, Bulletin Of The
Seismological Society Of America. Vol.58, No.5, pp.1583-1606.
Delfebriyadi., 2009 , Peta Respons Spektrum Provinsi Sumatera Barat untuk
Perencanaan Bangunan Gedung Tahan Gempa, Jurnal Teknik Sipil
Universitas Andalas, No.2 Vol.16.
Douglas, J., 2001, Engineering Seismology and Earthquake Engineering,
Imperical College of Science, Technology and Medicine, Civil engineering
Department, London.
Edwiza Daz dan Novita Sri, 2008,Pemetaan Percepatan Tanah Maksimum Dan
Intensitas Seismik Kota Padang Panjang Menggunakan Metode Kanai, No.
29 Vol.2 Thn. XV April 2008, Laboratorium Geofisika Jurusan Teknik Sipil
Unand
Edwiza Daz,2008, Analisis Terhadap Intensitas Dan Percepatan Tanah Maksimum
Gempa Sumbar, No. 29 Vol.1 Thn. XV April 2008, Laboratorium
Geofisika Jurusan Teknik Sipil Unand
Fauzi, Masturyono, Sulaiman Rasyidi, Nugroho Sindhu, Subardjo, Wandono, Adi
Rameo, Pasaribu Roberto, Mardiyono Rinto, Paritusta Rizkita, Guswanto,
Yuliana P.RR, Muzli, Iqbal, Karyono, R. Ariska, Gafur Abdul. 2005,
"Aplikasi Sistem Informasi Geografi Untuk Peta Bencana Alam Di
Indonesia, PT. Reasuransi Internasional Indonesia

76

Ginco, 1999. Geoscientific Investigations on the Active Convergence Between the


East Eurasian and Indo-Australian Plates Along Indonesia, Cruise Report,
Sonne Cruise So-137 (Unpublished).
Gutenberg B. and Richter. CF., 1942, Earthquake Magnitude, Intensity, Energy,
And Acceleration(Second Paper), Bulletin Seismology. Soc. Amer. 32:
163-191.
Gutenberg B. and Richter. CF., 1956, Earthquake Magnitude, Intensity, Energy,
And Acceleration (Second Paper), Bull. Seismology. Soc. Amer. 46: 105.
Gutenberg, B. And C.F. Richter, 1965. Seismicity of the Earth and associated
phenomena. Hafner Publishing Co., 310 pp.
Howell Benjamin F., JR. 1959, Introduction to Geophysics.McGraw-Hill Book
Company , Inc: The United States of America.
Hamilton, W., 1979, Tectonic Of Indonesian Region, Geological Survey
Professional Paper 1078, Washington.
Hersberger, j. 1956. A comparison of earthquake accelerations with intensity
ratings, bulletin seismology. Soc. Am. 46, 317
Katili, J.A., 1975. Volcanism and plate tectonics in the Indonesian island arcs.
Tectonophysics, 26, 165-188.
Kawashumi, H. 1951. Measure Of Earthquake Danger And Expectancy Of
Maximum Intensity Throughout Japan As Inferred From The Seismic
Activity In Historical Times, Bulletin. Earthquake Res. Inst., Tokyo
University. 29,469.
Lay, T. and T.C. Wallace, 1995. Modern Global Seismology. Academic Press,
Incorporated, 521 pp.
Lubis S, Hutagaol P.J., and Salahuddin M, 2007. Tectonic Setting in the Vicinity of
Subduction Zone off West Sumatera and South Java. Proceeding
APRU/AEARU Research Symposium 2007, Jakarta.
Medvedev, a. v. and w.sponheuer 1969. Scale of seismic intensity, proc. World
conf. earthquake eng., 4th, Santiago, chilie.
Mogi, K., 1967, Earthquake and Fracture.Tectonophysics-Elsevier Publishing
Company, Amsterdam.

77

Murphy J. and OBrien L., (1977), The correlation of peak ground acceleration
amplitude with seismic intensity and other physical parameters, Bulletin of
the Seismological Society of America, Vol 67,pp. 877-915.
Neumann, F. 1954. Earthquake intensity and related ground motion, university
press, seattle, Washington.
Richter C. F. (1935), An instrumental earthquake magnitude scale, Bull. Seism.
Soc. Am, 25,1-32.
Scordilis E 2006: Empirical global relations converting Ms and mb to moment
magnitude, Journal of Seismology 10: pp. 225-236.
Simanjuntak, T.O., Barber, A.J., 1996. Contrasting tectonic styles in the
Neogeneorogenic belts of Indonesia. Geol. Soc. London Spec. Pub., 106,
185-201.
Skinner, B. J. dan Porter, S. C. 1992. The Dynamic Earth.An Introduction to
Physical Geology, 2nd ed. xvi + 570pp. New York, Chichester, Brisbane,
Toronto, Singapore
Soehaimi A, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, 2004, Peta Rawan
Bencana Gempa Bumi, Skala 1 : 10.000.000.
Soehaimi A, Seismotektonik Dan Potensi Kegempaan Wilayah Jawa, Jurnal
Geologi Indonesia, vol. 3 no. 4 Desember 2008: 227-240, Pusat Survei
Geologi, Badan Geologi, jl. Diponegoro no. 57, Bandung
Subardjo dan Prih Harjadi P.J., 1993, Fungsi Attenuasi Intensitas Gempa Flores 12
Desember 1992, Proceding PIT-HAGI
Subardjo., 2001, Intensitas Seismik Maksimum dan Percepatan Tanah Untuk
Beberapa Kota di Indonesia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Syahputra, H., 2007, Perhitungan Percepatan Getaran Tanah Maksimum di
Wilayah Aceh dan Kepulauan Andaman Nicobar (India) Menggunakan
Metode McGuirre, Skripsi Program Studi Geofisika UGM, Yogyakarta
Trifunac, M.D. and A.G. Brady, 1975, On the correlation of seismic intensity scales
with the peaks of recorded strong ground motion, Bulletin of the
Seismological Society of America,v.65, pp. 139-162.
Usman, E., 2006. Eksplorasi Mineral di Daerah Oceanic Crust, Peluang dan
Tantangan Lembaga Riset Kelautan Nasional, Jurnal Mineral & Energi vol.
4, no. 3, Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Wald,D.J., 1999, Relationships Between Peak Ground Acceleration, Peak Ground
Velocity, And Modified Mercalli Intensity In California. USA

78

Widigdo Ferry Markus, 2006, Perhitungan nilai percepatan getaran tanah


maksimum Daerah Istimewa Yogyakarta dengan metode Kanai, MIPA.
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Undegraduate, January 2006 - June
www.geospasial.bnpb.go.id diunduh pada hari Senin, 14 November, 2010, pukul
9:22:16 PM
www.indogeoart.com__Lempeng-DiBUmi.jpg diunduh pada hari Rabu, 09 Februari,
2011, pukul 4:44:06 PM
www.lasonearth.files.wordpress.com/2010/01/geologi-pulau-jawa.pdf diunduh pada
hari Senin, 14 November, 2010, pukul 8:27:02 PM
www.migasnet08fajarramadhan8071.blogspot.com/2010/01/potensi-hidrokarbonpada-sub-cekungan.html diunduh pada hari Senin, 14 November, 2010
www.neic.usgs.gov/neis/epic/ epic_rect.html, NEIC, 2010, Earthquake Data
Base,diunduh pada 17 November 2010.
www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jabar_obrien.html diunduh pada hari Senin,

14 November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jateng_obrien.html

diunduh

pada

hari

Senin, 14 November, 2010


www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/obrien/jatim_obrien.html diunduh pada hari Senin,

14 November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jabar.html diunduh pada hari Senin, 14

November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jateng.htm diunduh pada hari Senin, 14

November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Percepatan/richter/jatim.html diunduh pada hari Senin, 14

November, 2010
www.reindo.co.id/gempa/Reference/peta_gempa.htm diunduh pada hari Jumat, 11
Desember, 2010, pukul12:18:48 PM

79

LAMPIRAN

LAMPIRAN A
DATA KATALOG GEMPA BUMI DARI USGS
TAHUN 1973-2009

NO

YEAR

MO

DAY

LAT

LONG

DEPT

MAGNITUDE

1973

27

-8.97

106.93

61

5.5

mbGS

1973

10

14

-8.89

110.73

70

4.9

mbGS

1973

11

26

-6.76

106.59

62

4.9

mbGS

1974

23

-8.9

106.13

33

4.9

mbGS

1974

-6.01

105.46

59

mbGS

1974

19

-6.13

105.52

54

5.1

mbGS

1974

11

-6.5

105.34

51

6.1

mbGS

1974

11

28

-8.31

107.23

38

4.8

mbGS

1975

-6.69

106.68

27

5.6

MsGS

10

1976

14

-8.08

108.61

53

5.9

mbGS

11

1976

14

-8.17

114.89

40

6.5

MsGS

12

1976

14

-8.13

114.86

33

5.9

mbGS

13

1977

10

-8.17

107.64

52

5.7

mbGS

14

1977

14

-7.76

107.57

33

5.7

mbGS

15

1977

-7.75

111.36

68

4.8

mbGS

16

1978

30

-8.29

106.16

33

5.1

mbGS

17

1978

-7.79

107.01

65

4.9

mbGS

18

1978

12

-7.77

106.8

33

5.2

mbGS

19

1978

21

-6.67

105.58

63

5.5

mbGS

20

1978

11

11

-7.96

106.44

33

4.9

mbGS

21

1978

12

20

-6.59

105.34

51

5.4

mbGS

22

1979

19

-8.33

107.61

65

5.1

mbGS

23

1979

14

-7.67

111.2

37

5.1

mbGS

24

1979

27

-6.16

105.33

57

5.1

mbGS

25

1979

-8.71

108.86

69

5.6

mbGS

26

1979

10

10

-7.21

106.04

33

5.9

mbGS

27

1979

11

-7.66

108.25

62

6.1

mbGS

28

1979

12

22

-6.05

105.02

64

5.3

mbGS

29

1980

20

-7.04

106.17

33

5.3

mbGS

30

1980

31

-8.89

112.98

49

5.2

mbGS

31

1980

23

-7.57

106.39

33

5.3

mbGS

32

1980

13

-7.87

112.05

33

mbGS

33

1980

30

-6.27

105.33

33

4.9

mbGS

34

1980

11

-8.29

108.7

33

4.9

mbGS

35

1980

12

24

-8.95

112.04

63

5.6

mbGS

36

1981

28

-8.73

106.2

33

4.9

mbGS

37

1981

13

-8.76

110.43

51

5.6

mbGS

38

1981

10

23

-8.78

106.45

33

5.5

mbGS

39

1981

10

23

-8.81

106.46

33

5.7

MsGS

40

1982

10

-6.86

106.94

39

5.5

mbGS

41

1982

22

-8.54

105.95

33

4.8

mbGS

42

1982

22

-8.63

106.01

34

5.1

mbGS

43

1982

23

-6.94

106.86

57

mbGS

44

1982

13

-8.13

107.24

60

5.1

mbGS

45

1982

10

29

-8.09

107.18

33

5.2

mbGS

46

1982

10

31

-6.03

105.51

68

4.9

mbGS

47

1983

25

-7.29

107.17

68

5.1

mbGS

48

1983

-8.66

106.36

33

5.3

mbGS

49

1983

25

-7.24

106.02

64

4.9

mbGS

50

1983

29

-6.73

105.59

33

5.4

mbGS

51

1983

10

-8.14

105.54

33

5.1

mbGS

52

1983

11

13

-6.08

105.42

68

mbGS

53

1984

10

-7.64

106.96

52

5.7

mbGS

54

1984

15

-6.61

105.33

67

5.5

mbGS

55

1984

18

-7.02

106.14

49

mbGS

56

1984

13

-7.46

106.65

33

4.8

mbGS

57

1984

14

-6.42

105.33

33

4.8

mbGS

58

1984

20

-8.44

106.17

33

4.8

mbGS

59

1984

21

-8.21

106.22

33

5.2

mbGS

60

1984

-6.21

105.37

55

4.9

mbGS

61

1984

-7.85

114.76

38

5.1

mbGS

62

1984

19

-8.52

106.15

33

5.1

mbGS

63

1984

19

-8.5

106.16

33

4.9

mbGS

64

1984

19

-8.49

106.15

33

5.2

mbGS

65

1984

10

-6

105.66

33

mbGS

66

1984

11

-8.88

108.05

45

4.8

mbGS

67

1984

11

20

-7.55

106.52

33

5.2

mbGS

68

1984

12

15

-6.04

105.51

60

5.2

mbGS

69

1985

22

-6.58

105.42

69

5.7

mbGS

70

1985

-7.76

107.97

33

5.2

mbGS

71

1985

23

-8.75

111.33

33

5.4

mbGS

72

1985

-7.38

107.46

61

5.1

mbGS

73

1985

-8.5

110.31

58

5.5

mbGS

74

1985

11

-7.19

106.87

53

4.8

mbGS

75

1985

11

25

-8.65

108.5

67

5.1

mbGS

317

2010

11

-8.14

107.24

54

5.1

MwRMT

LAMPIRAN B
PENYERAGAMAN MAGNITUDE GEMPA MENGGUNAKAN
MICROSOFT EXCEL 2007

penyeragaman ini dilakukan berdasarkan formulasi (Kanamori 1997 dan Scordilis


2006).
Mw = 0.67(0.005) Ms + 2.07(0.03) Dengan syarat : Nilai 3.0 Ms
6.1 hanya berlaku untuk data katalog NEIC dan ISC.
Mw = 0.99(0.02) Ms + 0.08(0.13) Dengan syarat : Nilai 6.2 Ms 8.2
hanya berlaku untuk data katalog NEIC dan ISC.
Mw = 0.85(0.04) mb + 1.03(0.23) Dengan syarat : Nilai 3.5 Mb 6.2
berlaku untuk data NEIC, ISC, JMA dan IDC.
Rumus yang untuk penyeragaman magnitude menggunakan Microsoft
Excel 2007 adalah :
Mb ke mw

= (0.85*I2) + 1.03

Mw 4 ems

= (K2- 0.08)/0.99

Gambar B1. Penyeragaman magnitude gempa menggunakan Microsoft Excel


2007

LAMPIRAN C

PERHITUNGAN PGA MENGGUNAKAN MICROSOFT EXCEL 2007


Rumus Perhitungan Perhitungan metode Gutenberg Ricther menggunakan
Microsoft excel 2007 Pada Titik Pengukuran Pada Koordinat 5.5 LS dan 105.00
BT
Formula yang digunakan adalah :
Mencarian Jarak Epicenter
5.5)^2)^0.5)

=111*((((F2-105)^2)+(E2-

Mencari Besar Intensitas Gempa

=(1.5*(H2-0.5))

Mencari Inensitas Maksimum Suatu Daerah =J2*(2.7183^(-0.0021*I2))


Mencari Nilai PGA

=10^((K2/3)-0.5)

Gambar C.1. Formula perhitungan percepatan getaran tanah maksimum dengan


metode Gutenberg Ricther menggunakan Microsoft excel 2007.

Rumus Perhitungan Perhitungan metode Murphy Obrein menggunakan


Microsoft excel 2007 Pada Titik Pengukuran Pada Koordinat 5.5 LS dan 105.00
BT

Formula yang digunakan adalah :


Mencarian Jarak Epicenter
5.5)^2)^0.5)
Mencari Besar Intensitas Gempa
Mencari Nilai PGA
(0.68*LOG(I2))+0.6)

=111*((((F2-105)^2)+(E2-

=(1.5*(H2-0.5))
=10^((0.14*J2)+(0.24*H2)-

Mencari Inensitas Maksimum Suatu Daerah =(LOG(K2)-0.25)/0.25

Gambar C.2 Formula perhitungan percepatan getaran tanah maksimum


dengan metode Murphy Obrein menggunakan Microsoft excel 2007.

LAMPIRAN D

HASIL PENGOLAHAN DATA MENGGUNAKAN METODE


GUTHENBURG RICHTER
KE GRID 0.25 X 0.25
GRID
x

GRID
y

YEAR

MO

DAY

106

-5.5

1984

10

106

-5.75

1984

10

106

-6

1984

106

-6.25

106

LAT

LONG

MS

d (ic)

I0

Ix(ic)

a max

-6

105.66

5.3

67.116

7.1

6.2

36.6331

-6

105.66

5.3

46.844

7.1

6.5

45.0435

10

-6

105.66

5.3

37.740

7.1

6.6

49.5682

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

52.874

9.4

8.4

205.8415

-6.5

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

41.443

9.4

8.6

240.9275

106

-6.75

1990

20

-6.65

105.91

5.5

14.934

7.5

7.3

84.6661

106

-7

1979

10

10

-7.21

106.04

6.0

23.729

8.3

7.9

134.3799

106

-7.25

1979

10

10

-7.21

106.04

6.0

6.279

8.3

8.2

168.4367

106

-7.5

1979

10

10

-7.21

106.04

6.0

32.495

8.3

7.7

120.3357

106

-7.75

2003

11

24

-7.56

106.2

5.4

30.621

7.3

6.9

60.9678

106

-8

2002

-8.05

105.8

5.1

22.883

6.9

6.5

48.1883

106

-8.25

1978

30

-8.29

106.16

5.3

18.307

7.3

7.0

67.2904

106

-8.5

1995

16

-8.61

106.01

5.4

12.260

7.4

7.2

79.3484

106

-8.75

2006

19

-8.69

105.98

5.3

7.020

7.1

7.0

69.4204

106

-9

1989

19

-8.85

105.96

5.2

17.232

7.0

6.8

56.2868

106.25

-5.5

1984

10

-6

105.66

5.3

85.844

7.1

6.0

30.4985

106.25

-5.75

1984

10

-6

105.66

5.3

71.127

7.1

6.1

35.2017

106.25

-6

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

91.996

9.4

7.8

123.4868

106.25

-6.25

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

76.453

9.4

8.0

150.5248

106.25

-6.5

2001

-6.78

106.34

5.3

32.646

7.1

6.7

52.3373

106.25

-6.75

2001

-6.78

106.34

5.3

10.530

7.1

7.0

66.7253

106.25

-7

2003

12

-6.96

106.27

5.4

4.964

7.3

7.2

81.5825

106.25

-7.25

1992

11

18

-7.27

106.19

5.5

7.020

7.5

7.4

92.9802

106.25

-7.5

2003

11

24

-7.56

106.2

5.4

8.669

7.3

7.2

78.1457

106.25

-7.75

1992

26

-7.66

106.31

5.1

12.006

6.9

6.7

54.1223

106.25

-8

1984

21

-8.21

106.22

5.4

23.547

7.4

7.0

69.7163

106.25

-8.25

1984

21

-8.21

106.22

5.4

5.550

7.4

7.3

85.8206

106.25

-8.5

1984

19

-8.49

106.15

5.4

11.155

7.4

7.2

80.3735

106.25

-8.75

1990

-8.8

106.44

5.9

21.808

8.2

7.8

125.3001

106.25

-9

1990

-8.8

106.44

5.9

30.621

8.2

7.7

112.2830

106.5

-5.5

1984

10

-6

105.66

5.3

108.508

7.1

5.7

24.6632

106.5

-5.75

1975

-6.69

106.68

5.8

106.236

7.9

6.3

40.4734

106.5

-6

1975

-6.69

106.68

5.8

79.153

7.9

6.7

53.7633

106.5

-6.25

1975

-6.69

106.68

5.8

52.769

7.9

7.1

72.0377

106.5

-6.5

1975

-6.69

106.68

5.8

29.051

7.9

7.4

95.0507

106.5

-6.75

1975

-6.69

106.68

5.8

21.061

7.9

7.6

104.6858

106.5

-7

1990

31

-6.98

106.37

5.2

14.600

7.0

6.8

57.9268

106.5

-7.25

1986

20

-7.3

106.49

5.8

5.660

7.9

7.8

126.6830

106.5

-7.5

1984

11

20

-7.55

106.52

5.4

5.978

7.4

7.3

85.3901

106.5

-7.75

1991

12

19

-7.8

106.54

5.1

7.107

6.9

6.8

57.0784

106.5

-8

1978

11

11

-7.96

106.44

5.2

8.004

7.0

6.9

62.2931

106.5

-8.25

1988

12

12

-8.35

106.67

5.2

21.893

7.0

6.7

53.5165

106.5

-8.5

1990

-8.8

106.44

5.9

33.959

8.2

7.6

107.7694

106.5

-8.75

1990

-8.8

106.44

5.9

8.669

8.2

8.0

148.1258

106.5

-9

1994

12

-8.91

106.48

5.7

10.234

7.8

7.6

107.9818

106.75

-5.5

1975

-6.69

106.68

5.8

132.318

7.9

6.0

31.2504

106.75

-5.75

1975

-6.69

106.68

5.8

104.629

7.9

6.3

41.1426

106.75

-6

1975

-6.69

106.68

5.8

76.983

7.9

6.7

55.0394

106.75

-6.25

1975

-6.69

106.68

5.8

49.454

7.9

7.1

74.8216

106.75

-6.5

1975

-6.69

106.68

5.8

22.476

7.9

7.5

102.8989

106.75

-6.75

1975

-6.69

106.68

5.8

10.234

7.9

7.7

119.6296

106.75

-7

1982

23

-6.94

106.86

5.3

13.908

7.1

6.9

64.2483

106.75

-7.25

1991

30

-7.32

106.73

5.3

8.081

7.1

7.0

68.5926

106.75

-7.5

1984

10

-7.64

106.96

5.9

28.015

8.0

7.6

105.6405

106.75

-7.75

1978

12

-7.77

106.8

5.4

5.978

7.4

7.3

85.3901

106.75

-8

1978

12

-7.77

106.8

5.4

26.126

7.4

7.0

67.7134

106.75

-8.25

1988

12

12

-8.35

106.67

5.2

14.215

7.0

6.8

58.1713

106.75

-8.5

1991

21

-8.52

106.69

5.3

7.020

7.3

7.2

76.5223

106.75

-8.75

1990

-8.8

106.44

5.9

34.855

8.2

7.6

106.5954

106.75

-9

1973

27

-8.97

106.93

5.7

20.256

7.8

7.4

96.1636

107

-5.5

1975

-6.69

106.68

5.8

136.782

7.9

5.9

29.9393

107

-5.75

1975

-6.69

106.68

5.8

110.220

7.9

6.3

38.8697

107

-6

1975

-6.69

106.68

5.8

84.426

7.9

6.6

50.8072

107

-6.25

1975

-6.69

106.68

5.8

60.391

7.9

7.0

66.0884

107

-6.5

2000

12

-6.68

106.85

5.4

26.008

7.3

6.9

64.1716

107

-6.75

1982

10

-6.86

106.94

5.7

13.908

7.8

7.5

103.8316

107

-7

1982

10

-6.86

106.94

5.7

16.907

7.8

7.5

100.1228

107

-7.25

1996

27

-7.29

107.07

5.1

8.949

6.9

6.7

55.9451

107

-7.5

1984

10

-7.64

106.96

5.9

16.162

8.0

7.8

122.3045

107

-7.75

2009

-7.78

107.3

7.0

33.466

9.7

9.1

334.7542

.115

..-9

1996

20

-8.65

114.68

5.3

52.640

7.3

6.5

46.3461

LAMPIRAN E
HASIL PENGOLAHAN DATA MENGGUNAKAN METODE MURPHY
OBTRIN KE GRID 0.25 X 0.25
GRID
x
106

GRID
y
-5.5

106

YEAR

MO

DAY

LAT

LONG

MS

d (ic)

I0

a max

ix(ic)

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

123.574

9.4

133.9781

7.5

-5.75

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

97.838

9.4

157.0369

7.8

106

-6

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

73.579

9.4

190.6134

8.1

106

-6.25

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

52.874

9.4

238.6394

8.5

106

-6.5

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

41.443

9.4

281.6284

8.8

106

-6.75

1997

10

-6.8

105.94

5.2

8.669

7.0

152.1137

7.7

106

-7

1989

31

-7.02

105.94

5.1

7.020

6.9

160.6363

7.8

106

-7.25

1979

10

10

-7.21

106.04

6.0

6.279

8.3

461.0978

9.7

106

-7.5

2006

18

-7.47

106.09

5.1

10.530

6.9

121.9275

7.3

106

-7.75

2003

11

24

-7.56

106.2

5.4

30.621

7.3

79.9266

6.6

106

-8

2002

-8.05

105.8

5.1

22.883

6.9

71.9270

6.4

106

-8.25

1978

30

-8.29

106.16

5.3

18.307

7.3

109.3200

7.2

106

-8.5

1982

22

-8.54

105.95

5.1

7.107

6.9

159.2933

7.8

106

-8.75

1988

12

19

-8.7

106

5.1

5.550

6.9

188.4709

8.1

106

-9

1989

19

-8.85

105.96

5.2

17.232

7.0

95.3443

6.9

106.25

-5.5

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

135.352

9.4

125.9360

7.4

106.25

-5.75

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

112.346

9.4

142.9441

7.6

106.25

-6

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

91.996

9.4

163.7503

7.9

106.25

-6.25

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

76.453

9.4

185.7106

8.1

106.25

-6.5

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

69.043

9.4

199.0409

8.2

106.25

-6.75

2001

-6.78

106.34

5.3

10.530

7.1

145.6714

7.7

106.25

-7

2003

12

-6.96

106.27

5.4

4.964

7.3

275.4305

8.8

106.25

-7.25

1992

11

18

-7.27

106.19

5.5

7.020

7.5

250.6256

8.6

106.25

-7.5

2003

11

24

-7.56

106.2

5.4

8.669

7.3

188.5168

8.1

106.25

-7.75

1992

26

-7.66

106.31

5.1

12.006

6.9

111.5221

7.2

106.25

-8

1984

21

-8.21

106.22

5.4

23.547

7.4

100.6925

7.0

106.25

-8.25

1984

21

-8.21

106.22

5.4

5.550

7.4

269.0233

8.7

106.25

-8.5

1984

19

-8.49

106.15

5.4

11.155

7.4

167.3479

7.9

106.25

-8.75

1981

28

-8.73

106.2

5.2

5.978

7.0

195.8687

8.2

106.25

-9

1990

-8.8

106.44

5.9

30.621

8.2

143.6273

7.6

106.5

-5.5

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

151.359

9.4

116.7183

7.3

106.5

-5.75

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

131.191

9.4

128.6381

7.4

106.5

-6

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

114.249

9.4

141.3206

7.6

106.5

-6.25

1975

-6.69

106.68

5.8

52.769

7.9

83.0306

6.7

106.5

-6.5

1975

-6.69

106.68

5.8

29.051

7.9

124.5949

7.4

106.5

-6.75

1973

11

26

-6.76

106.59

5.2

10.051

7.0

137.5573

7.6

106.5

-7

1990

31

-6.98

106.37

5.2

14.600

7.0

106.7197

7.1

106.5

-7.25

1986

20

-7.3

106.49

5.8

5.660

7.9

378.9169

9.3

106.5

-7.5

1984

11

20

-7.55

106.52

5.4

5.978

7.4

255.7845

8.6

106.5

-7.75

1991

12

19

-7.8

106.54

5.1

7.107

6.9

159.2933

7.8

106.5

-8

1978

11

11

-7.96

106.44

5.2

8.004

7.0

160.5977

7.8

106.5

-8.25

1988

12

12

-8.35

106.67

5.2

21.893

7.0

81.0210

6.6

106.5

-8.5

1983

-8.66

106.36

5.5

23.599

7.5

109.8952

7.2

106.5

-8.75

1990

-8.8

106.44

5.9

8.669

8.2

338.7626

9.1

106.5

-9

1994

12

-8.91

106.48

5.7

10.234

7.8

230.5278

8.5

106.75

-5.5

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

170.409

9.4

107.6787

7.1

106.75

-5.75

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

152.777

9.4

115.9806

7.3

106.75

-6

1975

-6.69

106.68

5.8

76.983

7.9

64.2252

6.2

106.75

-6.25

1975

-6.69

106.68

5.8

49.454

7.9

86.7753

6.8

106.75

-6.5

1975

-6.69

106.68

5.8

22.476

7.9

148.3503

7.7

106.75

-6.75

1975

-6.69

106.68

5.8

10.234

7.9

253.2984

8.6

106.75

-7

1982

23

-6.94

106.86

5.3

13.908

7.1

120.5621

7.3

106.75

-7.25

1991

30

-7.32

106.73

5.3

8.081

7.1

174.4066

8.0

106.75

-7.5

1984

13

-7.46

106.65

5.1

11.955

6.9

111.8480

7.2

106.75

-7.75

1978

12

-7.77

106.8

5.4

5.978

7.4

255.7845

8.6

106.75

-8

2009

-7.78

107.3

7.0

65.753

9.7

253.6720

8.6

106.75

-8.25

1988

12

12

-8.35

106.67

5.2

14.215

7.0

108.6760

7.1

106.75

-8.5

1991

21

-8.52

106.69

5.3

7.020

7.3

209.7745

8.3

106.75

-8.75

1990

-8.8

106.44

5.9

34.855

8.2

131.5193

7.5

106.75

-9

1973

27

-8.97

106.93

5.7

20.256

7.8

145.6691

7.7

107

-5.5

2000

10

25

-6.55

105.63

6.8

191.596

9.4

99.4311

7.0

107

-5.75

1975

-6.69

106.68

5.8

110.220

7.9

50.3172

5.8

107

-6

1975

-6.69

106.68

5.8

84.426

7.9

60.3187

6.1

107

-6.25

1975

-6.69

106.68

5.8

60.391

7.9

75.7523

6.5

107

-6.5

2000

12

-6.68

106.85

5.4

26.008

7.3

89.3115

6.8

107

-6.75

1982

10

-6.86

106.94

5.7

13.908

7.8

188.1017

8.1

107

-7

1999

22

-6.98

106.93

5.1

8.081

6.9

145.9789

7.7

107

-7.25

1996

27

-7.29

107.07

5.1

8.949

6.9

136.1926

7.5

107

-7.5

2010

11

-7.49

107.06

5.4

6.752

7.3

223.4465

8.4

107

-7.75

1996

11

-7.76

106.98

5.4

2.482

7.3

441.2781

9.6

107

-8

2008

23

-7.98

106.95

5.2

5.978

7.0

195.8687

8.2

107

-8.25

2009

-7.78

107.3

7.0

61.892

9.7

264.3284

8.7

107

-8.5

1993

10

13

-8.44

106.82

5.3

21.061

7.3

99.3826

7.0

107

-8.75

1973

27

-8.97

106.93

5.7

25.626

7.8

124.1399

7.4

115

.-9

1976

14

-8.17

114.89

6.5

92.936

9.1

125.8398

7.4

LAMPIRAN F

KOREKSI INTENSITAS MMI DENGAN JARAK EPICENTER


METODE MURPHY OBREIN

Koreksi nilai intensitas maksimum di mana saat nilai intensitas pada suatu
jarak sama dengan intensitas di episensenter.

Pencarian

nilai

intenitas

maksimum pada suatu jarak dari episenter menggunakan rumus hubungan


Intensitas dengan PGA yaitu:

IMM= (log a - 0.25)/0.25


Di mana : adalah Percepatan getaran tanah maksimum (gal), dan
IMM adalah Intensitas gempa dalam skala MMI
Sedangkan untuk mencari nilai PGA (Peak Ground Acceleration) pada jarak
episenter adalah

log a=0.14 IMM + 0.24 M - 0.68 log R + k

(3.14)

Di mana:
Western Ubited Satates

= 0.60

Japan

= 0.69

Southern Europe

= 0.88

= percepatan tanah pada tempat yang akan dicari

IMM

= intensitas gempa pada tempat yang akan dicari. ( dalam

standar MMI)
M

= magnitudo

= jarak episenter dalam km

= tetapan untuk sumber data dari stasiun pengukuran yang

terekam oleh seismograf (source data record)

k yang digunakan dalam perhitungan ini adalah k= 0.6 karena menggunakan


data USGS (United States Geological Survey,
Formula yang dipakai untuk menghitung nilai PGA dengan Microsoft excel 2007
nilai intensitas pada episenter = 6 MMI dan Magnitudo = 4.5 SR adalah:

=10^((0.14*6)+(0.24*4.5)-(0.68*LOG(A2))+0.6)

Formula yang dipakai untuk menghitung nilai intensitas maksimum dengan


Microsoft excel 2007 adalah:

=(LOG(B2)-0.25)/0.25

Gambar F1. Pengujian intensitas MMI pada jarak epicenter menggunakan


Microsoft excel 2007

LAMPIRAN G

HASIL KOREKSI INTENSITAS MMI DENGAN JARAK EPICENTER


METODE MURPHY OBREIN
Tabel G1. hubungan intensitas dengan jarak pada skala 12 MMI dan magnitude
8.5 Skala Richter
Jarak
epicenter (km)
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
5.00
5.50
6.00
6.50
7.00
7.50
8.00
8.50
9.00
9.50
10.00
10.50
11.00
11.50
12.00
12.50
13.00
13.50
14.00
14.50
15.00
15.50
16.00
16.50
17.00

Nilai
PGA
20893
15858
13041
11205
9898
8913
8140
7513
6994
6555
6178
5851
5563
5308
5080
4875
4689
4520
4365
4223
4091
3969
3856
3751
3652
3559
3472
3391
3313
3240
3171
3105
3043

Nilai
intensitas
16.3
15.8
15.5
15.2
15.0
14.8
14.6
14.5
14.4
14.3
14.2
14.1
14.0
13.9
13.8
13.8
13.7
13.6
13.6
13.5
13.4
13.4
13.3
13.3
13.3
13.2
13.2
13.1
13.1
13.0
13.0
13.0
12.9

Jarak
epicenter (km)
21.00
21.50
22.00
22.50
23.00
23.50
24.00
24.50
25.00
25.50
26.00
26.50
27.00
27.50
28.00
28.50
29.00
29.50
30.00
30.50
31.00
31.50
32.00
32.50
33.00
33.50
34.00
34.50
35.00
35.50
36.00
36.50
37.00

Nilai
PGA
2636
2594
2554
2515
2478
2442
2407
2373
2341
2310
2279
2250
2222
2194
2167
2141
2116
2092
2068
2045
2022
2001
1979
1958
1938
1919
1899
1881
1862
1844
1827
1810
1793

Nilai
intensitas
12.7
12.7
12.6
12.6
12.6
12.6
12.5
12.5
12.5
12.5
12.4
12.4
12.4
12.4
12.3
12.3
12.3
12.3
12.3
12.2
12.2
12.2
12.2
12.2
12.1
12.1
12.1
12.1
12.1
12.1
12.0
12.0
12.0

17.50
18.00
18.50
19.00
19.50
20.00
20.50

2984
2927
2873
2821
2772
2725
2679

12.9
12.9
12.8
12.8
12.8
12.7
12.7

37.50
38.00
38.50
39.00
39.50
40.00

1777
1761
1745
1730
1715
1701

12.0
12.0
12.0
12.0
11.9
11.9

Latitude

105

-9

-8

-7

-6

333

222

111

Kilometer

109

108

107

106
Longitde

110

111

112

113

PETA SEISMISITAS PULAU JAWA TAHUN DATA USGS 1973-2010

114

Sumber Data :
United States Geological Survey 1973-2010

DKI. Jakarta

DI. Yogyakarta

Propinsi Jawa Tengah

Propinsi Banten

Propinsi Jawa Barat

Propinsi Jawa Timur

5.1 to 5.575
5.575 to 6.05
6.05 to 6.525
6.525 to 7.001

Magnitude (SR)

KETERANGAN

PETA SEISMISITAS
TAHUN 1973 - 2010

LAMPIRAN H

Latitude

105

-9

-8

-7

-6

111

222

108

Kilometer

107

106
333

109
Longitde

110

111

112

113

PETA KEDALAMAN GEMPA JAWA DATA USGS TAHUN 1973-2010

114

115

Sumber Data :
United States Geological Survey 1973-2010

DKI. Jakarta

DI. Yogyakarta

Propinsi Jawa Tengah

Propinsi Banten

Propinsi Jawa Barat

Propinsi Jawa Timur

3 to 19.75
19.75 to 36.5
36.5 to 53.25
53.25 to 70

Kedalaman (KM)

KETERANGAN

PETA KEDALAMAN SUMBER GEMPA


TAHUN 1973 - 2010

LAMPIRAN I

LATITUDE

-9
105

-8

-7

-6

333

222

111

Kilometer

109

108

107

106
LONGITUDE

110

111

112

113

TITIK STASIUN PENGUKURAN DI PULAU JAWA 0.25 X 0.25

114

115

DKI. Jakarta

DI. Yogyakarta

Propinsi Jawa Tengah

Propinsi Banten

Propinsi Jawa Barat

Propinsi Jawa Timur

Titik Stasiun Pengukuran

KETERANGAN

TITIK STASIUN PENGUKURAN


DI PULAU JAWA 0.25 X 0.25

LAMPIRAN J

LATITUDE

-9
105

-8

-7

-6

111

107

106

108

222

Kilometer

109

333

LONGITUDE

110

111

112

113

114

PETA KONTUR PGA PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBERG RICHTER

115

25

50

75

100

125

150

175

200

225

250

275

300

325

350

375

400

425

450

Cm/Sec2

LAMPIRAN K

Latitude

-9
105

-8

-7

-6

333

109

222

108

111

107

106

Kilometer

Longitude

110

111

112

113

114

PETA KONTUR PERCEPATAN GETARAN TANAH PULAU JAWA DENGAN METODE MURPHY O'BREIN

115

75

150

225

300

375

450

525

600

675

750

825

900

975

1050

Cm/Sec2

LAMPIRAN L

Latitude

-9
105

-8

-7

-6

Bandung

111

107

106

108

222

Kilometer

Jakarta

109

333

Longitude

110

Yogyakarta

Semarang

111

112

113

Surabaya

114

PETA INTENSITAS MAKSIMUM PULAU JAWA MENGGUNAKAN METODE GUTENBUERG RICHTER

115

MMI

LAMPIRAN M

Latitude

-9
105

-8

-7

-6

333

109

222

108

111

107

106

Kilometer

Longitude

110

111

112

113

114

Peta Intensitas Maksimum Pulau Jawa Menggunakan Metode Murphy O'brein

115

MMI

4.5

5.5

6.5

7.5

8.5

9.5

10

10.5

11

LAMPIRAN N

LAMPIRAN O

TABEL TINGKAT RESIKO GEMPA BUMI BERDASARKAN NILAI


INTENSITAS DAN PGA METODE GUTENBERG RICTER
No

KOTA

Intensitas
max

PGA

Zona Bahaya

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

Bantul
Wonosari
Pandeglang
Yogyakarta
Sleman
Wates
Klaten
Cilegon
Rangkas belitung
Banyu wangi
Serang
Tasikmalaya
Ciamis
Boyolali
Sukoharjo
Wonogiri
Purworejo
Magelang
Sukabumi
Surakarta
Bogor
Pacitan
Salatiga
Cianjur
Majalengka
Magetan
Kebumen
Tuban
Sumedang
Garut
Sampang
Kediri
Bondowoso
Banjarnegara
Tangerang

8.4
8.4
8.3
8.3
8.1
8.1
8.1
8.1
8.1
8.0
8.0
7.9
7.9
7.8
7.8
7.7
7.7
7.7
7.7
7.7
7.6
7.5
7.5
7.4
7.3
7.2
7.2
7.1
7.1
7.1
7.1
7.0
7.0
7.0
7.0

206.814
195.913
190.478
186.26
162.042
159.016
159.016
155.995
155.184
149.443
149.126
137.009
134.428
125.951
122.674
119.971
117.403
114.657
112.978
112.34
109.562
102.912
98.82
94.68
82.717
77.449
76.47
74.843
74.245
71.874
71.484
69.853
68.825
66.778
66.624

resiko besar tiga

resiko besar dua

resiko besar satu

resiko sedang tiga

Resiko sedang dua

Resiko sedang satu

36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77

Jakarta
Bojonegoro
Kuningan
Madiun
Karanganyar
Purwakarta
Sragen
Pamekasan
Ngawi
Tulungagung
Blitar
Malang
Subang
Semarang
Nganjuk
Ponorogo
Ungaran
Bekasi
Cilacap
Jombang
Cirebon
Trenggalek
Bandung
Indramayu
Lamongan
Pasuruan
Brebes
Tegal
Bangkalan
Karawang
Purwokerto
Gresik
Lumajang
Temanggung
Blora
Surabaya
Demak
Probolingo
Purbolinggo
Mojokerto
Pemalang
Purwodadi

7.0
6.9
6.8
6.8
6.8
6.8
6.8
6.8
6.7
6.7
6.7
6.7
6.7
6.7
6.6
6.6
6.6
6.6
6.5
6.5
6.5
6.5
6.5
6.5
6.5
6.5
6.4
6.4
6.4
6.4
6.4
6.3
6.3
6.3
6.3
6.3
6.3
6.3
6.3
6.3
6.2
6.2

66.324
62.224
60.045
59.608
59.159
57.028
56.99
56.507
55.692
55.017
54.848
54.561
52.475
52.103
51.961
51.149
49.436
48.944
47.953
47.524
47.195
47.038
46.254
45.779
45.641
45.135
44.169
43.92
43.063
41.787
41.673
41.25
40.663
40.49
40.127
40.094
39.867
39.167
38.924
38.859
38.26
37.625

Resiko kecil

78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90

Sidoarjo
Sumenep
Rembang
Wonosobo
Jepara
Batang
Kudus
Besuki
Situbondo
Pati
Jember
Kendal
Pekalongan

6.2
6.2
6.1
6.1
6.1
6.0
6.0
6.0
6.0
5.7
5.7
2.9
2.9

36.184
35.784
34.663
32.914
32.914
32.17
31.826
31.742
31.365
25.565
25.241
2.984
2.838

Resiko sangat kecil

LAMPIRAN P

TABEL TINGKAT RESIKO GEMPA BUMI BERDASARKAN NILAI


INTENSITAS DAN PGA METODE MURPHY OBREIN
No

KOTA

Intensitas
max

PGA

Zona Bahaya

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36

Bantul
Wonosari
Sukabumi
Yogyakarta
Sampang
Magetan
Pandeglang
Sleman
Kediri
Garut
Wates
Klaten
Cilegon
Rangkas belitung
Bandung
Serang
Cianjur
Tuban
Bogor
Tasikmalaya
Banyu wangi
Pacitan
Sumedang
Ciamis
Majalengka
Purwakarta
Boyolali
Sukoharjo
Tangerang
Kuningan
Wonogiri
Purworejo
Karawang
Magelang
Bekasi
Surakarta

9.3
9.0
8.9
8.7
8.7
8.5
8.4
8.2
8.2
8.2
8.2
8.2
8.1
8.1
8.1
8.1
8.0
8.0
8.0
8.0
8.0
7.9
7.9
7.8
7.8
7.7
7.7
7.6
7.6
7.6
7.6
7.5
7.5
7.5
7.5
7.5

373.863
310.249
299.432
270.16
262.069
234.012
221.29
203.657
202.821
202.079
197.447
197.447
190.393
189.693
189.33
184.528
180.772
177.854
176.979
174.818
173.624
168.661
164.728
162.303
154.502
152.84
145.793
141.811
140.678
139.608
138.635
135.704
135.478
132.656
131.472
130.149

Resiko sangat besar


satu

Resiko besar tiga

Resiko besar dua

Resiko besar satu

37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78

Cirebon
Jakarta
Cilacap
Indramayu
Karanganyar
Salatiga
Kendal
Purwokerto
Brebes
Situbondo
Temanggung
Tegal
Purbolinggo
Bondowoso
Pemalang
Subang
Sragen
Jember
Kebumen
Wonosobo
Banjarnegara
Ungaran
Besuki
Pekalongan
Semarang
Batang
Bojonegoro
Ponorogo
Malang
Purwodadi
Trenggalek
Demak
Pamekasan
Madiun
Lumajang
Ngawi
Probolingo
Surabaya
Tulungagung
Kudus
Jepara
Blitar

7.4
7.4
7.4
7.3
7.3
7.3
7.2
7.2
7.2
7.2
7.2
7.2
7.1
7.1
7.0
7.0
7.0
7.0
7.0
7.0
6.9
6.9
6.9
6.9
6.9
6.9
6.8
6.8
6.7
6.7
6.7
6.6
6.6
6.6
6.6
6.6
6.5
6.5
6.5
6.5
6.5
6.5

126.979
125.002
123.807
120.377
119.78
116.565
115.329
112.307
112.295
112.058
109.412
109.28
107.4
104.6
101.983
101.775
101.265
99.081
98.751
98.231
97.148
96.075
94.554
94.477
93.579
93.159
87.702
87.149
85.858
85.809
84.962
80.612
79.719
79.582
78.674
78.24
76.772
75.552
74.887
74.835
74.73
74.375

resiko sedang tiga

Resiko sedang dua

Resiko sedang satu

79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90

Pati
Blora
Pasuruan
Rembang
Nganjuk
Sidoarjo
Sumenep
Bangkalan
Gresik
Jombang
Mojokerto
Lamongan

6.4
6.3
6.3
6.3
6.3
6.2
6.2
6.1
6.1
6.1
6.1
6.1

70.678
68.4
68.352
67.159
66.56
63.614
62.728
60.994
60.515
60
58.888
58.273

Você também pode gostar