Você está na página 1de 12

Atheisme adalah pandangan bahwa tidak ada Allah.

Atheisme bukanlah
perkembangan baru. Mazmur 14:1 yang ditulis oleh Daud sekitar tahun 1.000 SM
menyebut tentang atheisme Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada
Allah" (Mazmur 14:1). Statistik baru-baru ini menunjukkan meningkatnya angka
orang-orang yang menjadi atheis, di mana angka orang-orang yang menyatakan
diri sebagai penganut atheisme mencapai 10% dari orang-orang di dunia. Jadi
mengapa makin banyak orang yang menjadi penganut atheis? Apakah atheisme
benar-benar adalah posisi yang logis sebagaimana yang diklaim oleh para
penganutnya?
Mengapa atheisme ada? Mengapa Allah tidak mengungkap diri kepada orang
sehingga membuktikan bahwa Dia ada? Kalau Allah menyatakan diri pastilah semua
orang akan percaya kepadaNya! Masalahnya adalah Tuhan bukan hanya mau
meyakinkan manusia bahwa Dia ada. Kehendak Allah adalah untuk orang percaya
kepadaNya dengan iman (2 Petrus 3:9) dan menerima karunia keselamatan
(Yohanes 3:16). Ya, Allah bisa saja memperlihatkan diri dan dengan tuntas
membuktikan keberadaanNya. Masalahnya adalah Allah telah berkali-kali
membuktikan keberadaanNya dalam Perjanjian Lama (Kejadian 6-9; Keluaran 14:2122; 1 Raja-Raja 18:19-31). Apakah orang percaya bahwa Allah itu ada? Ya! Apakah
mereka berpaling dari jalan yang jahat dan menaati Allah? Tidak! Jika seseorang
tidak bersedia menerima keberadaan Allah dengan iman, maka jelas mereka tidak
siap untuk dengan iman menerima Yesus sebagai Juruselamat mereka (Efesus 2:89). Itulah yang dikehendaki Allah supaya orang-orang menjadi orang Kristen dan
bukan hanyak kaum theis (orang-orang yang percaya bahwa Allah itu ada).
Alkitab memberitahu kita bahwa keberadaan Allah harus diterima dengan iman.
Ibrani 11:6 mengatakan, Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada
Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada,
dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.
Alkitab mengingatkan kita bahwa kita adalah orang-orang yang berbahagia saat
kita percaya kepada Allah dalam iman, Kata Yesus kepadanya: "Karena engkau
telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak
melihat, namun percaya" (Yohanes 20:29).
Fakta bahwa keberadaan Allah harus diterima dengan iman tidak berarti
kepercayaan kepada Allah tidak logis. Ada banyak argumen yang bagus untuk
keberadaan Allah. Silahkan kunjungi halaman Apakah Allah ada? Alkitab
mengajarkan bahwa keberadaan Allah dapat dilihat dengan jelas dalam jagad raya
(Mazmur 19:2-5), dalam alam (Roma 1:18-22) dan dalam hati kita sendiri
(Pengkhotbah 3:11). Sesudah mengatakan semua itu, sekali lagi keberadaan Allah
tidak dapat dibuktikan, harus diterima dengan iman.
Pada saat yang sama, juga dibutuhkan banyak iman untuk bisa percaya pada
atheisme. Membuat pernyataan mutlak Allah tidak ada! adalah mengklaim

mengetahui secara mutlak segala sesuatu yang perlu diketahui tentang segala
sesuatu dan menyatakan bahwa sudah pernah mengunjungi semua tempat dan
menyaksinya semua hal. Pada dasarnya itulah yang mereka klaim ketika mereka
mengatakan bahwa Allah tidak ada. Kaum atheis tidak dapat membuktikan
misalnya, bahwa Allah tidak berdiam di tengah-tengah matahari, atau di bawah
awan Yupiter, atau di nebula yang jauh. Hal ini tidak dapat dibuktikan, sehingga
tidak ada bukti bahwa Allah tidak ada. Ini tidak dapat dibuktikan sehingga tidak ada
bukti bahwa Allah itu tidak ada. Untuk menjadi orang atheis diperlukan iman
sebanyak menjadi orang theis.
Jadi kita kembali ke garis awal. Atheisme tidak dapat dibuktikan dan keberadaan
Allah harus diterima dengan iman. Saya percaya, dengan kuat, bahwa Allah ada.
Saya bersedia mengakui bahwa kepercayaan saya pada keberadaan Allah adalah
berdasarkan iman. Pada saat yang sama dengan tegas saya menolak ide bahwa
kepercayaan pada Allah adalah tidak logis. Saya percaya bahwa keberadaan Allah
dapat dengan jelas dilihat, dirasakan dan dibuktikan secara filosofis dan ilmiah di
mana perlu. Sekali lagi, untuk informasi lebih lanjut silahkan kunjungi halaman
Apakah Allah ada? Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala
memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan
malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam. Tidak ada berita dan tidak
ada kata, suara mereka tidak terdengar; tetapi gema mereka terpencar ke seluruh
dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. Ia memasang kemah di langit
untuk matahari (Mazmur 19:2-5).

mereka akan mencari tahu kebenaran teori logika dengan teori agama, cepat atau
lambat , mereka akan menemukan keselarasan antara ilmu pasti dan agama. . . .
mungkin itu dari sudut pandang beberapa scientist . . dari sudut pandang seni >
syair syair agama puji pujian adalah salah satu music terindah jika anda benar
benar merasakan keindahannya, kaligrafi adalah lukisan terindah jika anda bisa
memaknainya, dan setiap ibadah anda kana menjadi kegiatan terindah jika anda
benar benar menjalankannya dengan kusyu, karena, pada dasarnya ibadah adalah
perbincangan kita dengan Tuhan . . Dia tidak langsung menjawab dengan kata kata,
tapi, lebih ke talk less do more .jawabanNya akan ada dalam setiap kejadian di
sekitar anda, tergantung bisa tidaknya anda membaca arti suatu kejadian. kadang
datang juga lewat mimpi. . . kadang berupa flash flash di pikiran anda, kadang
berupa suara (pernah terjadi ke saya, sewaktu hampir jatuh ke kawah di sebuah
dataran tinggi), kadang jawaban itu diantarkan melalui seseorang / orang yang ada
di sekitar anda, atau... jauh dari anda.
mempelajari agama tidaklah sia sia, karena , agama menjaga anda dari perbuatan
yang tercela.... ilmu tanpa agama ? anda bisa menjadi ilmuwan yang bisa
mencelakakan peradaban dunia. Agama tanpa ilmu akan menjadikan anda

seseorang yang kosong... seperti tong . . . jika agama setengah setengah . .. itulah
teroris .. . . ilmu setengah setengah ?... anda tahu jawabannya....
menjadi diri sendiri bukannya tidak dilarang dalam berbagai agama bukan ?
buktinya, orang orang masih bisa berkreasi dengan segala nikmat yang ada di
dunia ini, tergantung bagaimana anda memaknainya . . . . apakah anda tidak
merasakan sebuah perasaan seperti . . . hati yang berlubang pada diri anda? karena
saya pernah merasakannya saat meninggalkan agama saya . .. .

Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (, berasal dari awalan - + "tuhan")
berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif
pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak
tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos
sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula (atheots), yang berarti
"ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini
sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani
Kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis
secara peyoratif.[14]
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir abad
ke-18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.[15] Pada abad
ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada
semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai
"ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)".[16] Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam
kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan
pada dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer
di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.[16][17][18]

Definisi dan pembedaan

Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi ateisme kuat/lemah dengan ateisme
implisit/eksplisit. Ateis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan; individu
seperti itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis eksplisit mengambil
posisi terhadap kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat menghindari untuk percaya pada
tuhan (ateisme lemah), ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada (ateisme kuat).
Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme,[19] yakni apakah
ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan pada kepercayaan,
dan apakah ateisme memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai
kategori telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme.

Ruang lingkup
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada
sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas
dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata
ateisme. Dalam konteks teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan monoteis, orangorang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya
pula, orang-orang Romawi kuno juga menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak
menyembah dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20, pandangan ini mulai ditinggalkan seiring
dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa/tuhan.[20]
Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan
akan keberadaan tuhan/dewa sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal
seperti yang ada pada agama Hindu dan Buddha.[21]

Implisit dan eksplisit


Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi
mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang
didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa.
Definisi yang luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai
ateis.
Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai
ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan."[22] George H. Smith (1979) juga menyugestikan
bahwa: "Orang yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan.
Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu
yang terlibat, tapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis). Fakta bahwa anak ini
tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis."[23] Smith menciptakan istilah
ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara
sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang
dilakukan secara sadar.
Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan
pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas

sedemikiannya keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu
dipertanyakan keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni
suatu nosi bahwa semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi
bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri sendiri.[24] Terdapat pula sebuah posisi yang
mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis
percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa "tidak ada ateis dalam lubang
perlindungan perang (no atheists in foxholes)."[25] Beberapa pendukung pandangan ini
mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan
susah lebih baik. Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang
membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh "ateis yang benar-benar berada di lubang
perlindungan perang."[26]

Kuat dan lemah


Para filsuf seperti Antony Flew,[27] Michael Martin,[16] dan William L. Rowe[28] membedakan
antara ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan
bahwa tuhan tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme
lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah ataupun
kuat.[29] Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti
ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi[27] dan
apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda).[30] Menggunakan batasan ateisme ini,
kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.
Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah,[16]
kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat
ateisme sama saja tidak benarnya dengan teisme.[31] Ketidaktercapaian pengetahuan yang
diperlukan untuk membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat
sebagai indikasi bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis
terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti seharusnyalah pantas
mendapatkan ketidakpercayaan yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak
terbukti lainnya,[32] dan bahwa ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan
bahwa probabilitas keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.[33] Filsuf
Skotlandia J. J. C. Smart bahkan berargumen bahwa "kadang-kadang seseorang yang benarbenar ateis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme
filosofis tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun, kecuali
mungkin kebenaran matematika dan logika formal."[34] Karenanya, beberapa penulis ateis
populer seperti Richard Dawkins memilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis
sebagai spektrum probabilitas terhadap pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).
[35]

Dasar pemikiran
"Salah satu anak dari gerombolan orang pernah menanyai seorang ahli astronomi siapa ayah
yang membawanya ke dalam dunia ini. Cendekiawan tersebut menunjuk langit dan seorang tua
yang sedang duduk, dan berkata:

'Yang di sana adalah ayah tubuhmu, dan yang itu adalah ayah jiwamu.'
Anak lelaki tersebut membalas:
'Apa yang di atas kita bukanlah urusan kita, dan saya malu menjadi anak dari orang setua itu!'
'Oh sangatlah tidak berbudi, tidak ingin mengenali ayahmu, dan tidak berpikir bahwa Tuhan
adalah penciptamu!' [36] Ilustrasi ateisme praktis dan asosiasi historisnya dengan amoralitas,
judul "Supreme Impiety: Atheist and Charlatan", dari Picta poesis, oleh Barthlmy Aneau,
1552.
Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan ateisme
teoretis. Bentuk-bentuk ateisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan
dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan
argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang
tuhan/dewa.

Ateisme praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup
tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut
pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak
penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun memengaruhi
kehidupan sehari-hari.[37] Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam
komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme
filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh
menerima atau memercayainya."[38]
Ateisme praktis dapat berupa:

Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan
moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan
tindakan praktis;

Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama;
dan

Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.[39]

Ateisme teoretis
Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara
aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen
dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak
keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat
pula alasan psikologis dan sosiologis.
Argumen epistemologis dan ontologis

Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun
menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi
imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran
seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini,
keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan
pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima
ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan
tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah
ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume, menegaskan bahwa
kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah
mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah
dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.[37]
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis
ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan
ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan
seperti "Tuhan adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan
"Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak
berarti.
Argumen metafisika
Informasi lebih lanjut: [[Monisme, Fisikalisme]]
Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa realitas adalah
homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk
fisikalisme, sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis
metafisik relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada
ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya ditujukan
kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh
ateisme metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.[40]

Epikouros sering disebut sebagai orang yang pertama menguraikan secara terperinci masalah
kejahatan. David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (1779)
mengutip argumen Epikouros dalam bentuk sederet pertanyaan:[41] "Apakah [Tuhan] berniat
mencegah kejahatan, namun tidak dapat? maka apakah ia impoten. Apakah ia dapat, namun tidak
berniat? Maka apakah ia berhati dengki. Apakah ia dapat dan berniat? maka darimanakah
kejahatan?"
Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi
Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach[42] dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan
kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan
banyak Buddhis.[43] Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya Feuerbach,
berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan
oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja. Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan
mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan
manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam
teori dan prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang berbunyi jika
"Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan
benar-benar ada, maka adalah perlu untuk menghapusnya."[44]
Argumen logis dan berdasarkan bukti
Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam
kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif
yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu

Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan,


kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.[45]
Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat
pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen
bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan
dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan belas kasih tuhan/dewa adalah tidak
dapat dilihat oleh banyak orang.[46] Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama,
pendiri Agama Buddha.[47]
Argumen antroposentris
Informasi lebih lanjut: [[Antropologi filosofis, Humanisme]]
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima
keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini
menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan
individu untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx,
Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesarpesan kebebasan, bermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.[37]
Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan Tuhan
akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak
memiliki dasar etika,[48] atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan.[49] Blaise Pascal
memaparkan argumen ini pada tahun 1669.[50]

Demografi

Kadar ateisme dan agnostisisme di seluruh dunia[51][52]


Adalah sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden survei dapat
mendefinisikan "ateisme" secara berbeda-beda ataupun menarik garis batas yang berbeda antara
ateisme, kepercayaan non-religius, dan kepercayaan religius non-teis dan spiritual.[53] Selain itu,
masyarakat di beberapa belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai ateis untuk

menghindari stigma sosial, diskriminasi, dan penganiayaan. Survei tahun 2005 yang dipublikasi
dalam Encyclopdia Britannica menunjukkan bahwa kelompok non-religius mencapai sekitar
11,9% populasi dunia, dan ateis sekitar 2,3%. Jumlah ini tidak termasuk orang-orang yang
memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha.[6]
Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa,
dan dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih
percaya kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa.
Di antara orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak percaya
(62%) dan orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya
sebagai ateis, dan 32% lainnya mengaku sebagai agnostik.[54]
Survei resmi Uni Eropa memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya
pada tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk harus atau roh", manakala 52%
percaya pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi 65% pada orangorang yang putus sekolah pada usia 15; responden survei yang menganggap dirinya berasal dari
latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada yang
merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras.[55]
Sebuah surat yang dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa
kepercayaan pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi terendah
di antara para anggota Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, hanya 7,0% anggota yang
percaya pada tuhan personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara
umumnya.[56] Pada tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi Massachusetts
dan Michael Shermer dari California State University melakukan sebuah kajian yang
menemukan bahwa pada sampel survei mereka yang terdiri dari orang dewasa AS yang
"dipercayai" (12% Ph.D dan 62% lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan, dan
terdapat sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan
meningkatnya tingkat pendidikan.[57]
Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan
pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah
artikel dalam Majalah Mensa.[58] Penemuan ini secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis
tahun 1958 yang dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford. Ia
menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama
dengan pengukuran kecerdasan pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun
korelasi negatif ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak mengidentifikasi sebab musababnya,
namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial
mungkin memainkan sebagian peran penting.[59]
Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah
agama anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama ataupun
menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius (humanisme, agnostik, ateis).
Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini.[60] Pada sensus
Selandia Baru 2006 yang menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak
beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.[61]

Ateisme, agama, dan moralitas

Karena ketiadaan Tuhan pencipta, Agama Buddha umumnya dideskripsikan sebagai nonteis.
Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa
sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal.[62] Pada
akhir-akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara
terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis[63][64] dan Kristen ateis.[65][66][67]
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun
diluar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun.
Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai
dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah
diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang
berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.[68]
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato
dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak
diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan
dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus
menerus muncul dalam debat politik.[69][70][71] Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah"
dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak
ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah,
dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum
itu sendiri.[72]

Filsuf Susan Neiman[73] dan Julian Baggini[74] menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan
hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah
kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior,
dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi
moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral
bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat
lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya
sendiri.[75]
Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab
yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius
mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang
mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah
terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.[76] Cohen memperluas argumen ini
dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab AlQur'an yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial
zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.[77]
Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama
Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme.[78]
Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih
menguntungkan)[79] berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.[80] Argumen
ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penghukuman
tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan
mereka.

Você também pode gostar