Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
GAMBARAN UMUM
DETEKSI DINI GANGGUAN MENTAL DAN FAKTOR PENCETUS
GANGGUAN MENTAL
Hal
tersebut
dapat
membantu
individu
dalam
19
20
(prevention), dan
21
gejala dan faktor atau pencetus yang bisa membuat kondisi mental menjadi
tidak sehat (terganggu) secara dini.
b)
Pengertian Mental
Pengertian mental secara definitif belum ada kepastian definisi
yang jelas dari para ahli kejiwaan. Secara etimologi kata mental berasal
dari bahasa Yunani, yang mempunyai pengertian sama dengan pengertian
psyche, artinya psikis, jiwa atau kejiwaan.3
James Draver memaknai mental yaitu revering to the mind
maksudnya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pikiran atau pikiran
itu sendiri.4 Secara sederhana mental dapat dipahami sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan batin dan watak atau karakter, tidak bersifat jasmani
(badan).5
Kata mental diambil dari bahasa Latin yaitu dari kata mens atau
metis yang memiliki arti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat. Dengan
demikian mental ialah hal-hal yang berkaitan dengan psycho atau kejiwaan
yang dapat mempengaruhi perilaku individu. Setiap perilaku dan ekspresi
gerak-gerik individu merupakan dorongan dan cerminan dari kondisi
(suasana) mental.6
Sedangkan secara terminologi para ahli kejiwaan maupun ahli
psikologi ada perbedaan dalam mendefinisikan mental. Salah satunya
sebagaimana dikemukakan oleh Al-Quusy (1970) yang dikutip oleh Hasan
Langgulung, mendefinisikan mental adalah paduan secara menyeluruh
antara berbagai fungsi-fungsi psikologis dengan kemampuan menghadapi
krisis-krisis psikologis yang menimpa manusia yang dapat berpengaruh
James Draver, A Dictionary of Psychology, (New York: Pengin Books, t.th.), hlm. 169.
Tim Penyusun Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 646.
6
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam,
(Bandung , Mandar Maju, 1989), hlm. 3.
22
terhadap emosi dan dari emosi ini akan mempengaruhi pada kondisi
mental.7
Pengertian lain mental didefinisikan yaitu yang berhubungan
dengan pikiran, akal, ingatan atau proses yang berasosiasi dengan pikiran,
akal dan ingatan.8 Seperti mudah lupa, malas berfikir, tidak mampu
berkonsentrasi, picik, serakah, sok, tidak dapat mengambil suatu
keputusan yang baik dan benar, bahkan tidak mempunyai kemampuan
untuk membedakan yang benar dan yang salah, yang hak dan yang batil,
antara halal dan haram, yang bermanfaat dan yang mudharat.9 Dari sini
dapat ditarik pengertian yang lebih signifikan bahwa mental itu terkait
dengan, akal (pikiran/rasio), jiwa, hati (qalbu), dan etika (moral) serta
tingkah laku). Satu kesatuan inilah yang membentuk mentalitas atau
kepribadian (citra diri). Citra diri baik dan jelek tergantung pada
mentalitas yang dibuatnya.
Kondisi individu kelihatan gembira, sedih, bahkan sampai
hilangnya gairah untuk hidup ini semua tergantung pada kapasitas mental
dan kejiwaannya. Mereka yang tidak memiliki sistem pertahanan mental
yang kuat dalam menghadapi segala problematika kehidupan atau tidak
memiliki sistem pertahanan diri yang kuat untuk mengendalikan jiwanya,
maka individu akan mengalami berbagai gangguan-gangguan kejiwaan,
yang berpengaruh pada kondisi kepribadian yang bisa mendorong pada
perilaku-perilaku pathologies.10
Kondisi mental tersebut bisa digolongkan dalam dua bentuk yaitu
kondisi mental yang sehat dan kondisi mental yang tidak sehat. Kondisi
mental yang sehat akan melahirkan pribadi-pribadi yang normal. Pribadi
yang normal ialah bentuk tingkah laku individu yang tidak menyimpang
7
C.P. Chaplin, Kamus Psikologi, terj, Kartini Kartono, (Jakarta: PT grafindo Persada,
1995), hlm. 407.
9
M. Hamdani Bakran Adz-Dzaky, op. cit., hlm. 231.
10
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam,
(Bandung : Mandar Maju, 1989), hlm. 6-7
23
dari tingkah laku pada umumnya dimana seorang individu itu tinggal, dan
pribadi yang normal akan menunjukkan tingkah laku yang serasi dan tepat
(adekuat) dan bisa diterima oleh masyarakat secara umum, dimana sikap
hidupnya sesuai dengan norma dan pola hidup lingkungannya. Secara
sederhana individu tersebut mampu beradaptasi secara wajar.11
Jadi
pribadi yang normal dan metal yang sehat ini bisa dirasakan pada kondisi
diri kita atau kondisi perasaan kita yang cenderung stabil, tidak banyak
memendam konflik internal, suasana hati yang tenang, dan kondisi
jasmani yang selalu merasa selalu sehat.
Sementara itu yang perlu mendapatkan perhatian dan perlu
diwaspadai oleh setiap individu ialah kondisi mental yang tidak sehat,
karena kondisi mental yang tidak sehat itu akan membentuk suatu
kepribadian yang tidak sehat pula (abnormal). Pribadi yang tidak sehat
(abnormal) ialah adanya tingkah laku seseorang atau individu yang sangat
mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum yang ada di
lingkungannya, atau disebut juga dengan perilaku-perilaku yang
menyimpang (abnormal). Secara umum bentuk mental yang tidak sehat
yaitu secara relatif bisa dilihat pada individu jauh dari kemampuan
beradaptasi atau selalu mengalami kesulitan dalam beradaptasi, dan
memiliki ciri bersikap inferior dan superior.12 Yang menjadi barometer
setiap kelainan tingkah laku individu ialah kondisi mentalnya. Mental
yang sehat itulah yang menentukan tanggapan atas dirinya terhadap setiap
persoalan, dan kemampuan untuk beradaptasi, dan mental yang sehat
pulalah yang menentukan apakah seseorang atau individu memiliki gairah
hidup atau justru mereka pasif dan tidak bersemangat bahkan memiliki
ketakutan untuk hidup.13
Pada dasarnya untuk mengetahui apakah seseorang atau individu
sehat mentalnya atau tidak (terganggu mentalnya) tidaklah mudah diukur
atau diperiksa dengan alat-alat seperti halnya pada penyakit jasmani, akan
11
Ibid., hlm. 7
Ibid.
13
Zakiyah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990) , hlm. 16.
12
24
tetapi yang menjadi ukuran adalah merasakan diri kita sejauh mana
kondisi perasaan kita apakah sudah melampaui batas kewajaran atau tidak
seperti, rasa bersedih, kecewa, pesimis, rendah diri dan lain sebagai. Dan
seseorang atau individu yang terganggu kesehatan mentalnya, bisa dilihat
pada tindakannya, tingkah lakunya atau ekspresi perasaannya, karena
seseorang atau individu yang terganggu kesehatan mentalnya ialah apabila
terjadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya.14
Dengan demikian mental ialah hal-hal yang berada dalam diri
seseorang atau individu yang terkait dengan psikis atau kejiwaan yang
dapat mendorong terjadinya tingkah laku dan membentuk kepribadian,
begitu juga sebaliknya mental yang sehat akan melahirkan tingkah laku
maupun kepribadian yang sehat pula.
Sigmund Freud memberikan definisi bahwa kepribadian yang sehat
adalah adanya keseimbangan antara dorongan-dorongan dan motif-motif
tiap bagian jiwa dalam pemuasannya. Begitu juga Arthur Gorden melihat
bahwa kemampuan mengharmoniskan dorongan-dorongan psikis dengan
realitas dengan sendirinya akan terbentuk kepribadian yang sehat dan akan
melahirkan tingkah laku yang sehat pula (normal).15
c) Pengertian Gangguan Mental
Yang
dimaksud
dengan
gangguan
adalah
hal-hal
yang
antara
fungsi-fungsi
jiwa,
yang
menyebabkan
kehilangan daya tahan jiwa, pada akhirnya jiwa menjadi labil dan
14
15
190.
16
25
mampu
merasakan
kebahagiaan
serta
tidak
mampu
mengalami
kesulitan
bersosialisasi,
beraktualisasi,
dan
17
26
21
27
28
akan
mengadakan
tanya
jawab
ataupun
melakukan
25
29
28
William Gladstone, Apakah Mental Anda Sehat, terj, Jeanette M, Lesmana, dkk, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm. 20-21.
29
Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 51-52.
30
Agus Sujanto, op. cit., hlm. 75.
30
perbuatan-perbuatan
tubuh
(badan)
untuk
melahirkan
(mimik) dan
H. Zuhairi dan Sardjoe, Ilmu Jiwa Umum, (Surabaya: Usaha Nasional, 1984), hlm. 9
Ibid., 10-11.
31
sebagai
bagian
kondisi
kejiwaan
mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi mental, tingkah laku dan
kepribadian. Cannon seorang ahli kejiwaan dengan teori sentralnya,
yang dikutip oleh Zuhairini, mengemukakan bahwa gejala jasmani itu
merupakan suatu akibat dari perasaan ataupun emosi yang dialami oleh
seseorang atau individu. Jadi gejala-gejala jasmani itu merupakan
akibat dari kondisi perasaan ataupun emosi yang sedang dialaminya.
Disamping teori tersebut James dan Lange dengan teori perifernya
mengemukakan bahwa gejala-gejala jasmani itu bukan akibat dari
kondisi perasaan ataupun emosi yang dialami oleh seseorang, akan
tetapi sebaliknya yaitu kondisi perasaan ataupun emosi yang dialami
seseorang akibat dari gejala-gejala jasmaniah.34 Dari kedua teori ini
setelah dilakukan analisa bahwa keduanya tidak bisa dipisah-pisahkan
karena keduanya merupakan satu-kesatuan yang utuh yang ada dalam
diri manusia yang saling mempengaruhi terhadap kondisi mental
seseorang, secara sederhana dapat dikatakan bahwa mental seseorang
itu dapat dipengaruhi kondisi internal maupun kondisi eksternal.
Apabila suatu aktivitas perasaan melebihi batas hingga
kemungkinan komunikasi terganggu, maka yang timbul ialah emosi,
karena manusia sudah demikian jatuh terperangkap oleh perasaannya
dan larut didalamnya hingga tidak mampu lagi menguasai dirinya dan
juga tidak mampu mengendalikan perasaannya, maka yang terjadi atau
yang timbul adalah bentuk-bentuk sikap dan perilaku emosional yang
cenderung negatif.
Dengan demikian mental yang sehat ataupun tidak itu bisa
diukur sendiri, melalui kapasitas perasaan, yakni apakah perasaannya
dapat bekerja dalam batas kewajaran atau justru sebaliknya. Apabila
33
34
Ibid., 12.
Ibid., 13.
32
Dari
pengertian-pengertian
tersebut
memiliki
35
Suatu
Pengantar,
(Yogyakarta:
BPFE-
33
Ibid.
34
39
40
35
emosi
berlangsung
banyak
terjadi
perubahan-
41
36
37
38
dengan
39
kemungkinan,
diantaranya,
menerima
atau
menolak,
40
bahwa kehendak atau kemauan juga tidak bisa terlepas dari apa yang
disebut dengan hasrat ataupun nafsu yang bergejolak, yakni suatu
keinginan yang kuat atau meluap-luap, yang cenderung menggebugebu yang terkadang bisa mengganggu atau pikiran, perasaan, emosi
bahkan hasrat tersebut sampai menguasainya, kalau pikiran, perasaan
dan emosinya telah tertutup maka yang muncul adalah sifat
emosionalnya atau nafsunya yang begitu berkobar-berkobar, maka
tidak menutup kemungkinan perilaku atau sikap dan tindakan yang
dilakukan pasti tindakan berada diluar kontrol yang ada dalam dirinya.
Dengan demikian secara lahiriah orang tersebut mengalami gangguan
mental. Maka dari itu kita harus mampu mengatur dan mengendalikan
kehendak atau kemauan kita, jangan sampai terjebak pada hasrat dan
nafsu yang cenderung mengarahkan sikap dan tingkah laku kita pada
tindakan yang negatif. Gejala gangguan mental disini juga bisa kita
kenali atau kita deteksi sendiri lewat kehendak atau kemauan kita.
5) Sikap dan Tingkah Laku
Tingkah laku adalah gerak gerik, aktivitas, tindakan, sikap dan
perbuatan atau gerakan yang nampak pada individu, yang merupakan
manifestasi dari gejala-gejala kejiwaan yang ada dalam diri manusia.
Secara sederhana tingkah laku bisa dikatakan sebagai bentuk yang
kongkrit dari jiwa itu sendiri, maka dari itu tingkah laku sifatnya
mudah diamati, dikenali, ditafsirkan, diramalkan, dan mudah
dimengerti atau mudah difahaminya. Dengan demikian tingkah laku
bisa disebut sebagai bentuk ungkapan jiwa yang tidak bohong, karena
tingkah laku yaitu sebagai manifestasi atau ekspresi dari jiwa baik
yang disadari maupun yang tidak disadari.50
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Freud dengan teori
analisisnya yang mengatakan bahwa perilaku menyimpang ataupun
bentuk gangguan mental yang lain yaitu, bahwa sumber utama konflik
dan gangguan mental itu merupakan manifestasi dari dimensi kejiwaan
50
41
yang berada pada dimensi alam bawah sadar.51 Begitu juga J.B.
Watson penganut faham psikologi behaviorisme, yang dikutip oleh
Drs. M. Dimyati Mahmud, mengatakan bahwa sumber utama konflik
atau gangguan-gangguan mental lain itu ialah akibat dari sesuatu yang
disadari atau juga kondisi lingkunganlah yang mempengaruhinya
tingkah laku seseorang.52 Jadi tingkah laku ialah manifestasi dari
kondisi kejiwaan yang tidak bisa ditipu dan segala bentuk konflik
ataupun problem yang terjadi pada diri kita atau seseorang itu bisa kita
amati lewat sikap dan tingkah laku yang diwujudkannya.
Sebagai mana penjelasan tersebut di atas, bahwa tingkah laku
ialah merupakan ekspresi dan manifestasi dari gejala-gejala hidup
kejiwaan yang ada dalam diri manusia tersebut. Maka segala sikap
tindakan yang dilakukan tidak bisa lepas dari kondisi kejiwaannya
karena, manusia itu terbentuk atas dua dimensi yakni dimensi jasmani
dan dimensi rohani, yang mana keduanya saling mempengaruhi.
Tingkah laku manusia mempunyai arah dan tujuan yaitu untuk
memenuhi suatu kebutuhan hidupnya baik sebagai mahluk individual,
sosial, dan mahluk berketuhanan. Kebutuhan manusia merupakan
dorongan dari kehendak, atau kemauan, pikiran, emosi dan perasaan,
dimana semuanya secara totalitas bekerjasama untuk menentukan
tingkah laku yang tepat (positif) yang harus dilakukan oleh manusia
untuk memenuhi semua kebutuhan.53
Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tingkah
laku manusia menurut tinjauan psikologis ialah beberapa macam
aktivitas, kegiatan dan tindakan manusia yang tampak secara riil
(obyektif dan terbuka) sebagai bentuk penampakan (ekspresi/
51
Segimund Freud, Psikoanalisis Sigmund Freud, terj, Ira Puspitorini, Ikon (Yogyakarta:
Teralitera, , 2002), hlm. 324.
52
M. Dimyati Mahmud, Psikologi; Suatu Pengantar, op. cit., hlm. 15-16.
53
Jamaluddin Kafie, op. cit., hlm. 48-50.
42
Ibid.
43
atau
kita
amati
lewat
kebiasaan-kebiasaan
yang
44
tertuju pada obyek yang jelas dan selalu muncul berulang-ulang kali.
Kecenderungan merupakan sifat watak kita yang disposisional
(bakat/ketetapan) yakni bukan merupakan tingkah laku itu sendiri,
akan
tetapi
merupakan
sesuatu
yang
memungkinkan
akan
menghilangkan
pertimbangan
akal
sehat
dan
45
46
Kartini Kartono, Psikologi Umum, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hlm. 99-110.
47
kelainan yang ada dalam diri kita, baik secara fisik maupun secara
psikis. Secara psikis ada semacam ketidakwajaran pada fungsi intelek
yang semakin tidak efisien, terkadang ada semacam masalah dalam fisik
yang tidak kita ketahui asal penyebabnya, tiba-tiba kita merasa sakit.
Gejala psikis, yang merupakan indikasi dari kondisi mental yang
tidak sehat yang bisa menimbulkan terjadinya gangguan mental, dengan
ciri-ciri diantaranya yaitu:
1) Perasaan sering gelisah, menderita insomnia (kesulitan akan tidur),
mudah tersinggung, sering mimpi buruk, mudah marah, cenderung
bersikap agresif, dan mudah garang (kurang perhatian pada daerah
sekitarnya).
2) Lekas jadi cemas, sering bingung, sering lupa, suka menyendiri,
benci terhadap keramaian, kehilangan nafsu makan dan seksual, dan
cenderung kehilangan kontrol diri, seperti suka ceroboh, sering
berbuat dengan tergesa-gesa dan lain-lain.
3) Sering terjadi disorientasi waktu, kadang-kadang berperilaku
immoral, terkadang lupa terhadap diri sendiri, terkadang berbicara
ngelantur dan tidak jelas.
4) Sering berbuat apatis, beku emosional, perasaan sering bergantiganti, tidak mampu melakukan konsentrasi, ada kelesuan pada
bagian interesnya,
5) Aktivitas intelektualnya mundur dan juga kemampuan-kemampuan
lain menjadi lemah seperti tidak bisa berfikir secara cermat.
6) Merasa kesulitan dalam melakukan adaptasi atau adjustment dan
sering datang perasaan-perasaan putus asa.
7) Prestasi menurun, merasa kesulitan dalam beraktualisasi, sosialisasi,
dan komunikasi serta timbul perasaan-perasaan cepat bosan dan suka
mengumpat.
8) Tanpa disadari tiba-tiba bicara sendiri tanpa dengan obyek yang jelas
48
Dari sekian gejala yang tampak dalam diri kita sebagaimana tersebut
di atas, semua itu merupakan cerminan dari kondisi mental yang tidak sehat
(terganggu) yang dapat mempengaruhi kondisi jiwa, sehingga pada ujungnya
dapat membentuk suatu kepribadian yang tidak sehat pula.
56
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, (Bandung: Penerbit Alumni,
1985), hlm. 124-140.
57
Ibid.
49
58
Drs. Abdul Wahib, Puasa dan Kesehatan Mental, Media, Edisi, 10 th. 11/ Maret 1992,
(Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang), hlm. 57
59
Yang dimaksud dengan disability ialah keterbatasan atau kekurangan kemampuan untuk
melaksanakan sesuatu aktivitas pada tingkat personal, yaitu melakukan kegiatan hidup sehari-hari
yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan hidup. Lih. Rusdi Maslim, Ed,
Diagnosis Gangguan Jiwa; Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III, t.th, hlm. 7.
60
Ibid.
50
51
bisa kita sebut dengan istilah potensi dasar yang dimiliki oleh manusia
sejak ia dilahirkan. Potensi ini sedikit besar dipengaruhi oleh faktor
genetik yang dimiliki dari salah satu orang tuanya.62
Gen merupakan pembawa sifat-sifat hereditas. Jadi apakah diri
kita mempunyai kulit hitam, rambut keriting atau lurus, perawakan tinggi
atau pendek, cerdas atau kurang cerdas, periang atau pemurung, normal
atau idiot, dan sebagainya. Semua ini di tentukan oleh sifat-sifat yang ada
pada genes (gen).63 Maka dapat kita ketahui bahwa sifat-sifat dasar yang
ada pada diri kita baik lahir maupun batin telah ditentukan atau
dipengaruhi oleh gen, karena kita berasal dari bentukan sel warisan
(turunan).
Kerusakan pada gen yang bisa mengakibatkan ketidaknormalan
pada perkembangan individu baik secara fisik maupun psikis (intelektual),
berpengaruh pada kondisi mental. Kalau kita merasa kondisi fisik maupun
psikis kita mengalami ada semacam kelainan, itu akibat dari:
a) Kekurangan nutrisi (gizi), terkena infeksi dan keracunan sewaktu kita
ada dalam kandungan.
b) Sewaktu ibu mengandung, ia menderita suatu penyakit, sehingga ada
pengaruh yang buruk pada janin (foetus intra uterine). Sehingga janin
(bayi) yang dilahirkan terindikasi akan menderita toxemia, yaitu
peristiwa keracunan pada darah, sehingga mengakibatkan abnormalitas
pada sistem syaraf.
c) Terjadi keracunan pada janin (intoxication) akibat atau efek dari obatobat penenang yang mengandung racun, misal obat kontrasepsi anti
hamil yang sangat kuat mengandung racun, akan tetapi obat tersebut
gagal bekerja secara efektif. Atau akibat dari salah satu orang tua yang
pecandu.
Sehingga
mengakibatkan
pertumbuhan
janin
dalam
Ibid.
Ibid., 56.
52
feeble minded, yakni mengalami lemah ingatan pada anak, akibat janin
mengalami keracunan zat besi (plumbum; loodvergiftinging) dalam
kandungan. Sedangkan obat yang bisa merusak janin tersebut disebut
dengan istilah teratogenik.
d) Pada saat mengandung ibu mengalami tekanan mental, seperti trauma,
panik, sock, penuh ketakutan atau ibu sedang mengalami psikhosa
(jadi gila) atau menjadi gila disaat mau melahirkan. Kondisi ibu yang
semacam ini tidak menutup kemungkinan akan melahirkan anak yang
lemah bahkan cacat mental.
e) Pada saat ibu mengandung kandungannya terkena benturan yang
sangat keras sehingga mengenai kepala janin atau bagian vital lain. 64
Jadi tidak heran apabila ada seseorang baru umur beberapa tahun
memiliki kelainan mental seperti idiot, agresif, dan keterbelakangan
mental lain sebagainya, ini semua tak lain akibat gen yang dibawanya. Jadi
gen merupakan salah satu faktor pencetus terjadi gangguan mental.
2) Kondisi Fisik yang Tidak Normal
Kondisi fisik yang tidak normal atau seseorang yang dilahirkan
dengan kondisi fisik yang tidak normal (cacat), ketika seorang itu tumbuh
dewasa atau mulai bisa berfikir dan ketika dia mulai menyadari akan
dirinya serta keinginan bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya,
misalnya bermain, sekolah, dan beraktualisai. Dengan melihat kondisi
fisiknya yang tidak normal, secara naluriah dan itu pasti akan mengalami
disintegrative dalam dirinya, yakni kondisi mentalnya akan mulai
terganggu, seperti hilangnya rasa percaya diri, tumbuhnya rasa malu,
minder dan sebagainya.65 Pada tahap perkembangan selanjutnya apabila
tidak dibekali dengan pondasi psikologis yang kuat, pasti orang yang
mengalami cacat fisik, dalam dirinya mulai tumbuh perasaan-perasaan
negatif atau terjadi konflik batin, yang pada puncaknya menganggap
dirinya tidak berarti lagi, Victor E. Frankl menyebutnya orang semacam
64
Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Pathologi Seks, op. cit., hlm. 27-28.
Abdul Aziz El-Quussy, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/ Mental, terj., Zakiyah Daradjat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 72-76.
65
53
sakit-sakitan)
atau
kita
sedang
mengalami
sakit
yang
Victor E. Frankl, Logo Terapi; Terapi Psikologis Melalui Pemaknaan Eksistensi, terj.,
M. Murtadlo, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. 120-121.
67
Abdul Aziz El-Quussy,, op. cit., hlm. 467.
54
hilangnya semangat hidup. Jadi kondisi fisik yang tidak normal juga
berpengaruh besar terhadap kondisi mental kita.
3) Keluarga
Keluarga merupakan faktor internal yang kerap kali merupakan
faktor terbesar pencetus terjadinya kekalutan mental. Misal apa bila kita
sudah berkeluarga tuntutan-tuntutan yang ada seperti, pemenuhan
kebutuhan keberlangsungan hidup yang harus dipenuhi setiap hari dan
lain-lain yang ada dalam keluarga, ini pasti akan membuat diri seseorang
merasa tertekan untuk bagaimana untuk memenuhi kebutuhan itu semua.
Begitu juga tidak ada kasih sayang dari keluarga (orang tua) cenderung
membuat diri kita merasa tidak diperhatikan dan perasaan aneh lain yang
timbul dalam diri kita. Perasaan aneh ini disebut sebagai gejala
ketidakwarasaan kondisi jiwa atau ketidaksehatan mental kita. Dalam hal
ini Kartini Kartono mengungkapkan bahwa suasana institusionalia dan
interaksional dalam keluarga, yang tidak disertai dengan kasih sayang
akan mengakibatkan retardasi pertumbuhan dari segala fungsi jasmaniah
dan fungsi kejiwaan anak, terutama terjadi hambatan-hambatan pada
perkembangan inteligensi (IQ) dan emosional (EQ). Lembih lanjut ia
mengemukakan bahwa, seorang bayi yang tidak pernah mendapatkan
kasih sayang dan mendapatkan hubungan (relationship) yang wajar
(normal) dari orang tua (keluarga), itu akan berakibat pada ketidak
mampuan mengadakan hubungan dengan lingkungannya yang normal
secara permanen pada usia dewasa, dan cenderung pada tingkah laku atau
moral yang tidak wajar atau rusak/ cacat (moral defectiveness).68
Moral deficiency atau defect ialah tingkah laku individu yang
dicirikan hidupnya sela lalu delinquent yakni selalu melakukan kejahatan
(crimes).
Padahal
dalam
dirinya
tidak
ada
kelainan-kelainan
55
56
57
74
Ibid.
58
Dalam hal ini yang dapat menjadi faktor pencetus terjadinya gangguan
mental ialah terkait dengan masalah penyesuaian diri (adjustment). Hidup
dalam lingkungan baru bisa timbul perasaan-perasan seperti, canggung, malumalu, dan takut, apabila perasaan ini berlarut-larut dalam diri, maka yang
terjadi tak lain adalah konflik batin yang diakibatkan dari ketidakmampuan
dalam melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungannya. Dan apa bila ini
tidak diwaspadai akan mengakibatkan terjadinya gangguan mental yang lebih
parah, yakni yang awalnya neurosis menjadi psikotik.75
Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, mengungkapkan bahwa faktor yang
bisa menyebabkan terjadinya tekanan mental atau faktor pencetus terjadinya
gangguan mental, sebagian besar yaitu diakibatkan oleh adanya tekanan sosial
atau disebut dengan stressor psikososial, yakni apa bila seseorang tidak
mampu mengatasi dan menyikapi stressor tersebut, yang bersangkutan akan
mengalami penurunan (imunitas) sehingga kadar kesehatan yang ada dalam
diri baik fisik maupun mental terganggu, baik ringan (neurosis) maupun berat
(psychotic).
Stressor sosial adalah setiap keadaan atau kejadian yang menyebabkan
perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang tersebut dituntut
secara terpaksa untuk melakukan adaptasi untuk menanggulanginya. Akan
tetapi tidak semua orang mampu untuk melakukannya, sehingga timbullah
keluhan-keluhan seperti, perasaan cemas, stress, bingung, perilaku aneh,
depresi dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa banyak sekali stressor
psikososial yang ada dalam kehidupan sehari-hari, dan ini semua orang
dituntut untuk bisa melakukan penyesuaian dan penyikapan, sehingga diri kita
tidak jatuh sakit, baik fisik maupun psikis.
Dari sekian banyak jenis stressor psikososial yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, para pakar memberikan beberapa contoh seperti:
perkawinan, hubungan interpersonal, pekerjaan, kondisi lingkungan hidup
yang buruk, keuangan, hukum, politik, adat istiadat, perkembangan diri,
penyakit fisik (cacat/ cidera), keluarga, trauma, dan lain sebagainya. Dari
75
59
76
Dadang Hawari, Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi, op. cit., hlm. 3-11.
Ibid., hlm. 17.
78
William Gladstone, Apakah Mental Anda Sehat,op. cit., hlm. 40.
79
Dadang Hawari, Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi, op. cit., hlm. 17-20.
80
Ibid., hlm. 17-20.
77
60
keluar
keringat
dingin
dan
lain
sebagainya,
yang
jelas
61
imunitas tubuh, bila imunitas tubuh menurun maka yang bersangkutan rentan
jatuh sakit baik fisik maupun mental.81
Mekanisme
Stressor Psikososial
Gejala/ keluhan
Dari skema tersebut di atas sirkuit atau jaringan psiko-neuroimunologi atau psiko-neuro-endokrinologi dapat diketahui penjelasannya
mengenai hubungan yang sistematis dan bersifat spontanitas, pengaruh
psikososial dengan kondisi tubuh manusia yang dapat mengakibatkan
terjadinya suatu gangguan ataupun penyakit dalam diri manusia baik fisik
maupun psikis/mental.82 Inilah dari sekian faktor yang dapat memicu
terjadinya gangguan mental dalam pandangan ilmu psikologi, dimana
faktor terjadinya gangguan mental itu sangat komplek.
81
82
62
6.
Suardiman, Menuju Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1986), hlm.
63
atas
diri
individu
tersebut,
seperti
kesulitan
dimaksud
dengan
gangguan
mental
ringan
Ibid.
M. Dimyati Mahmud, op. cit., hlm. 235.
86
Zakiyah Daradjat, op. cit., hlm. 56.
85
64
ekstern atau dunia luar. Faktor pencetus penyakit ini biasanya penderita
memiliki sejarah hidup ataupun pengalaman hidup yang penuh dengan
kesulitan, tekanan-tekanan batin, dan peristiwa-peristiwa traumatis yang
begitu berat. Atau diakibatkan oleh faktor-faktor yang tidak pernah
menguntungkan
mendapatkan
selama
kasih
bersosialisasi,
sayang
masa
berinteraksi,
kecilnya,
dan
tidak
pernah
tekanan-tekanan
mengadakan
adaptasi
terhadap
lingkungannya,
faktor-faktor
yang
menyebabkan
timbulnya
menyebabkan
terjadinya
kelemahan
mental
(mental
breakdown).89
Gangguan mental juga bisa disebabkan oleh adanya kerusakan
pada anggota tubuh, misalnya kerusakan pada otak, sentral saraf, atau
hilangnya berbagai kelenjar, saraf-saraf atau anggota fisik lainnya untuk
menjalankan fungsinya/ perannya. Faktor yang menyebabkan terjadinya
kerusakan-kerusakan tersebut, sebagaimana penemuan para dokter ahli
87
65
saraf dan hasil uji klinis, hal ini dimungkinkan karena keracunan akibat
minuman kera, obat-obatan.
Adapun faktor-faktor lain timbulnya psychoneurosis ialah:
1) Ketakutan yang terus menerus dan sering tidak rasional
2) Ketidakimbangan pribadi
3) Konflik-konflik internal yang serius, terutama sudah dimulai sejak
masa kanak-kanak
4) Lemahnya pertahanan diri (difence of mechanism) secara fisik maupun
mental
5) Adanya tekanan-tekanan sosial dan kebudayaan yang kuat yang tidak
mampu diatasinya
6) Kecemasan, tekanan batin, kesusahan yang berkepanjangan.
7) Dan lain-lain.90
Akibat dari disfungsi saraf itu yang dapat mengganggu kestabilan
mental, pada ujunganya akan membentuk suatu gejala gangguan mental
serius (akut), disebut dengan istilah neurasthenia.
Neurasthenia adalah bentuk psikoneurosa yang ditandai adanya
kondisi syaraf-syaraf yang sangat lemah, tanpa energi hidup, selalu terus
menerus merasa capek, lelah, tidak bergairah, energi tubuh menurun,
lemah yang hebat, disertai keluhan-keluhan pada fungsi psikis, kecemasan,
dan dibarengi perasaan-perasaan nyeri dan sakit pada sebagian tubuh
sehingga penderita menjadi malas dan segan melakukan aktivitas atau
segan melakukan sesuatu (kehilangan semangat atau gairah hidup). Dan
juga timbul perasaan cemas yang tidak bisa dibendung , yang disebut
dengan neurosa kecemasan (anxiety neurosis). Misalnya; takut mati, takut
kalau jadi gila, dan ketakutan-ketakutan lain yang tidak rasional, dan tidak
bisa dimasukkan dalam kategori phobia. Dengan gejala emosi tidak
setabil, suka marah-marah, sering dihinggapi perasaan depresi, sering
dalam keadaan excited (gelisah sekali), sering berfantasi, dihinggapi ilusi,
90
Clifford R. Anderson. MD, Petunjuk Modern Pada Kesehatan, terj. Indonesia Publising
House, (Bandung, 1979), hlm. 330.
66
67
93
Halusinasi ialah suatu pengamatan atau persepsi yang salah alam arti rangsang (obyek)
tidak ada tetapi orang yang mengalaminya merasa mengamati dan diyakini kebenarannya. Seperti
merasa mendengar suara tetapi tidak ada rangsang suara, melihat orang yang akan mengejar dan
ingin membunuhnya padahal pada kenyataannya tidak ada apa, dan lain sebagainya. lih M.
Dimyati Mahmud, hlm. 2565
94
Delusi adalah suatu keyakinan yang dipegang teguh meskipun itu bertentangan dengan
hal yang senyatanya, seperti penderita yakin merasa dirinya seorang presiden, raja, Tuhan (dalam
istilah psikologis disebut dengan delusion of grandeur, yakni delusi kebesaran). Istilah delusi itu
tergantung pada apa yang diyakini oleh penderita. Lih M. Dimyati Mahmud, hlm. 256
68
95
69
70
71
yang pada puncaknya bisa menyebabkan kegilaan atau kepribadiankepribadian yang aneh.
Sementara itu faktor pencetus psychosis organic, diantaranya:
1) Cacat otak yang dibawa sejak lahir
2) Infeksi pada otak
3) Intoksikasi (keracunan)
4) Luka pada kepala
5) Gangguan-gangguan sirkulasi
6) Serangan penyakit yang tiba-tiba
7) Perubahan-perubahan jasmaniah sebagai akibat pertumbuhan dan ketuaan
8) Tumor dan kanker, serta
9) Sebab-sebab jasmaniah yang tidak dikenali.97
Masing-masing sebab baik psychosis fungsional maupun psychosis
organik tersebut dapat mengubah tingkahlakusedemikian hebatnya sehingga
menjadi tidak rasional dan juga menghalangi penyesuaian yang efektif.
Disamping kedua bentuk gangguan mental tersebut di atas (psychosis
dan neurosis) ada bentuk gangguan mental lain yang disebut psychopath.
Psychopath adalah bentuk kekalutan mental yang ditandai dengan tidak
adanya pengorganisasian dan pengintegrasian pribadi. Penderita biasanya
tidak pernah bertanggung jawab secara moral, adaptasi sosial tidak normal,
dan selalu bersitegang dengan norma-norma sosial dan hukum, karena
sepanjang hidupnya ia hidup dalam lingkungan sosial yang abnormal dan
immoral yang diciptakan oleh imajinasi sendiri.98 Secara sederhana gangguan
mental yang disebut dengan psikopat ialah suatu kepribadian yang anti sosial
(dissocial). Para penderita psikopat ini biasanya diakibatakan oleh kondisi
lingkungan yang tidak pernah berpihak atau memperhatikan penderita dan
atau penderita merasa tidak pernah mendapatkan kasih sayang dan dihargai
dari lingkungannya.
97
98
Ibid., 258
Kartini Kartono dan Jenny Andari, op. cit., hlm. 91.
72
99