Você está na página 1de 3

Institut Tekonologi Sepuluh Nopember Surabaya/Pasca Sarjana Arsitektur

Lingkungan
Huda Dawam I

ADAPTASI MANUSIA TERHADAP KONDISI IKLIM TROPIS LEMBAB


Berbicara mengenai iklim tropis lembab pada arsitektur terutama di Indonesia,
tidak bisa lepas dari keterkaintannya dengan arsitektur nusantara. Apabila kita
mencermati bangunan tradisional yang tersebar di seluruh nusantara. Maka disana
kita akan temukan kenyataan bahwa nenek moyang kita dahulu dalam mebuat suatu
bangunan sangat memperhatikan kondisi iklim disekitarnya. Hal ini bisa dibuktikan
dengan adanya kesamaan dalam mengantisipasi permasalahan arsitektur di daerahdaerah tropis lembab. Permasalahan yang di timbulkan oleh kondisi iklim tropis
lembab antara lain adalah, curah hujan yang cukup tinggi, radiasi matahari yang
menyengat, kelembaban yang tinggi, dan aliran undara yang relatif lambat. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut maka nenek moyang kita melakukan beberapa
antisipasi seperti berikut:

Membuat bentuk atap yang tinggi untuk melindungi radiasi matahari dan

curah hujan yang tinggi.


Di beberapa daerah memakai konsep sistem rumah panggung untuk
menghindari kelembaban dari tanah, selain itu juga ada yang difungsikan

supaya terlindung dari hewan buas.


Dinding rumah yang memiliki bukaan-bukaan kecil berfungsi sebagai
ventilasi udara.

Karakteristik lingkungan tropis lembab


Kelembabab sebenarnya relatif tergantung pada suhu udara dan jumlah uap
air yang ada di udara. Yang menyebabkan terjadinya udara menjadi lembab adalah,
saat siang hari lapisan udara paling bawah yang dekat dengan tanah terpanasi oleh
permukaan tanah, sehingga menyebabkan RH (relative humidity) menurun dengan
cepat. Dengan nilai RH yang rendah menyebabkan meningkatnya evaporasi
(penguapan) yang apabila ada kandungan air di tanah maka akan terjadi
penguapan.
Iklim tropis pada dasarnya dibagi menjadi dua, yakni tropis kering dan tropis
lembab (basah). Area tropis kering contohnya adalah daerah Amerika latin dan Timur
tengah, sedangkan area yang masuk dalam tropis lembab contohnya beberapa
negara di asia, Indonesia termasuk didalamnya. Daerah iklim tropis lembab memiliki
karakteristik sebagai berikut:

Institut Tekonologi Sepuluh Nopember Surabaya/Pasca Sarjana Arsitektur


Lingkungan
Huda Dawam I

1. Curah hujan yang tinggi dengan rata-rata sekitar 1500-2500 mm per tahun.
2. Memiliki temperatur tahunan rata-rata sekitar 27 atau 28C dan deviasi 1-3.
Titik suhu maksimum bisa mencapai 30C sedangkan pada kondisi cerah bisa
naik mencapai suhu 38C.
3. Memiliki kelembaban udara yang tinggi, Kelembaban yang spesifik (jumlah
uap air pada satuan massa udara kering) sekitar 20gr/kg, kadang bisa
mencapai 25gr/kg.
4. Kecepatan angin pada siang hari 1.0 m/det, ketika pada waktu musim hujan
2.0 m/det.
5. Radiasi matahari global horizontal setiap harinya rata-rata sekitar 400
watt/m2, dan hampir tidak berbeda banyak disepanjang tahun.
6. Kondisi langit umumnya adalah berawan, dalam keadaan awan tipis luminasi
langit bisa mencapai 15.000 candela/m 2.
Beberapa karakteristik yang disebutkan diatas berakibat timbulnya fenomena
seperti: rasa kurang nyaman bagi manusia (gerah), memudahkan pertumbuhan
jamur, logam mudah berkarat, kayu dan material organik mudah membusuk,
kemungkinan kerusakan pada material bangunan yang cepat, dan adanya variasi
serangga, lalat, nyamuk yang banyak. Karena fenomena ini, manusia yang hidup di
iklim tropis lembab dianggap kurang beruntung oleh sebagian mereka yang hidup di
daerah beriklim empat musim. Karena sungguh sebaliknya, dalam kondisi ini
berbagai macam flora fauna dapat tumbuh dan berkembang sangat subur.
Kombinasi faktor iklim yang terjadi di area tropis lembab dianggap mendukung bagi
keberlangsungan kehidupan berjuta-juta flora dan fauna. Sedangkan bagi manusia
kondisi ini dianggap kurang sesuai bagi keberlangsungan hidup.
Adaptasi manusia terhadap lingkungan tropis lembab
Tubuh manusia memiliki kemampuan otomatis dalam mengatur suhu dalam
tubuh supaya selalu stabil pada saat menghadapi suhu dingin dan suhu panas.
Manusia juga selama kurun waktu berabad-abad telah mengembangkan pola-pola
budaya dan teknologi dalam membantu mereka menyesuaikan diri menghadapi
temperatur dan kelembaban yang ekstrim. Ada dua jenis adaptasi manusia
terhadap iklim tropis lebab, yang pertama adalah adaptasi iklim terhadap kondisi
tubuh manusia. Umumnya manusia di iklim tropis lembab memiliki sedikit lemak
pada tubuh, bentuk hidung yang lebar, memiliki warna kulit yang cenderung gelap
berfungsi untuk melindungi dari radiasi matahari yang berbahaya dan juga sekaligus

Institut Tekonologi Sepuluh Nopember Surabaya/Pasca Sarjana Arsitektur


Lingkungan
Huda Dawam I

dapat menurunkan keluarnya keringat. Kedua adalah adaptasi manusia terkait


dengan bentuk bangunan arsitektur. Nenek moyang kita dahulu dalam membangun
tempat tinggalnya selalu berusaha menyesuaikan kondisi iklim disekitarnya yang
bertujuan untuk mendapatkan kondisi tempat tinggal yang nyaman dihuni. Namun
bukan hanya itu, bangunan juga adalah cerminan budaya yang berkembang dalam
kurun waktu lama yang tetap sesuai dengan perkembangan budaya suatu
masyarakat atau suku bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu bukan hanya soal
adaptasi manusia terhadap bentuk arsitekturnya saja. Namun bangunan tradisional
bisa menjadi salah satu identitas dari suatu masyarakat, suku atau bangsa. Contoh
yang lain lagi adalah, adaptasi arsitektur kolonial Belanda di Indonesia. Para arsitek
di masa kolonial Belanda sangat sadar betul dalam merancang bangunan di
Indonesia. Mereka tidak serta merta menerapkan gaya arsitektur neo klasik yang
saat itu sedang tren di sebagian besar eropa khususnya Prancis. Namun mereka
juga menyesuaikan bentuk arsitektur dengan kondisi iklim di Indonesia yang
cenderung beriklim tropis lembab. Beberapa ciri-ciri bangunan kolonial Belanda
adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

Bukaan yang besar (pintudan jendela)


Adanya ventilasi dibagian atas ceiling
Jarak lantai dan ceiling yang tinggi
Temboknya yang tebal
Bentuk atapnya perisai

Sumber pustaka:
1. Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di
Surabaya 1870-1940.
2. Karyono, Tri Harso. 2013. Arsitektur dan Kota Tropis Dunia Ketiga.
3. Koenigsberger, Ingersoll, Mayhew, Szokolay. 1973. Manual of Tropical
Housing and Building, Part 1 Climate Design.

Você também pode gostar