Você está na página 1de 67

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas. Selain penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke rumah
sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat

menentukan

penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan


pemeriksaan fisik umum serta neuorologi harus segera dilakukan secara serentak
agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. (Tobing,
2011)
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Angka kejadiannya terus meningkat.
Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya Jawa Timur, selama lima tahun terakhir, jumlah
rata-rata penderita Cedera Otak adalah 2043 kasus setiap tahun yang terdiri dari
Cedera Otak ringan (COR), Cedera Otak Sedang (COS) dan Cedera Otak Berat
(COB). Berdasarkan data IRD, pada tahun 2010 jumlah penderita yang dirawat
adalah 822 orang. Sedangkan pada pertengahan tahun 2011 angka kejadian
meningkat menjadi 977 orang dan merupakan kasus terbanyak ditangani tim medis
IRD (antaranews.com).
Kematian sebagai akibat dari cedera kepala yang dari tahun ke tahun semakin
bertambah. Di Amerika Serikat pada tahun 1990 hampir 148.500 orang meninggal
dunia akibat cedera akut dan diperkirakan 44% 50% diantaranya disebabkan oleh
1

cedera otak. Tingkat kematian bervariasi dari 14 hingga 30 per 10.000 populasi per
tahun. Biaya sosial yang diakibatkan cedera otak ternyata sangat mengejutkan, baik
dari sosial maupun ekonomi. Hampir 100% COB dan 66% COS menyebabkan
kecacatan yang permanen dan tidak akan kembali ke tingkat fungsi awal. Di USA
biaya perawatan cedear otak diperkirakan lebih dari $ 25 milyard ter tahun (FCA
1998, Shepard 2001).
Pertambahan angka kematian ini antara lain karena jumlah penderita cedera
kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang tepat atau

sesuai dengan

harapan kita (Smeltzer, 2002.). Angka kejadian cedera kepala sering dijumpai pada
usia reproduktif 15-44 tahun dan 58% laki-laki 12 lebih banyak dibandingkan
perempuan. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia
produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan masih rendah
disamping penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang terlambat
(Smeltzer, 2002). Oleh karena itu diperlukan penilaian dan penanganan yang tepat
dengan melibatkan tim medis dan non medis diantaranya pemberian asuhan
keperawatan.
Dari ulasan tersebut di atas maka penulis tertarik mengangkat asuhan
keperawatan ventilator pada pasien dengan cedera otak berat di ruang observasi
intensif (ROI) RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
2

Melakukan asuhan keperawatan pasien COB dengan ventilator di ruang


observasi intensif (ROI) RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian pasien COB dengan ventilator di ruang observasi
intensif (ROI) RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
b. Menentukan diagnose keperawatan pasien COB dengan ventilator di ruang
observasi intensif (ROI) RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
c. Melakukan intervensi pasien COB dengan ventilator di ruang observasi
intensif (ROI) RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
d. Melakukan implementasi pasien COB dengan ventilator di ruang observasi
intensif (ROI) RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
e. Melakukan evaluasi pasien COB dengan ventilator di ruang observasi intensif
(ROI) RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
1.3 Batasan Masalah
Dalam hal ini penulis hanya membatasi masalah pada Asuhan Keperawatan
Ventilator pada Tn. AM

dengan Cedera Otak Berat Post ICP Monitor di ruang

observasi intensif (ROI) RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 CEDERA OTAK


2.1.1 Pengertian
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan ( accelerasi
- decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta rotasi yaitu

pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan menurut Arif Mansjoer
(2001) adalah :
1. Cedera kepala ringan (mild head injury): Pasien tidak mengalami kehilangan
kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konklusio, tidak ada intoksikasi alkohol
atau obat terlarang, biasanya mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat
menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala.
2. Cedera kepala sedang (moderat head injury) : Suatu keadaan cedera kepala
dengan nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi,
obturned atau stupor. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca trauma, konkusio,
rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya
terdapat kejang.
3. Cedera kepala berat (severe head injury): Cedera kepala dengan nilai tingkat
kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma. Terjadi penurunan derajat
kesadaran secara progresif. Tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau
teraba fraktur depresi kranium.
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan kondisi luka menururt Pahria, Tuti
adalah :
1. Trauma kepala terbuka : Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak
dan laserasi duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak
menusuk otak, misalnya akibat benda tajam atau tembakan.

Fraktur linear: Fraktur linear pada daerah temporal, dimana arteri meningeal
media berada dalam jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan
4

epidural. Fraktur linear yang melintang garis tengah, sering menyebabkan


perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.

Fraktur basis cranii : Sering disebabkan karena trauma dari atas atau kepala
bagian atas membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering
terjadi keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematoma
(raccoon eye).

Fraktur petrosus : Berbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang). Fraktur


longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya
karena tarauma di daerah temporal sedangkan yang posterior disebabkan karena
trauma di daerah oksipital

2. Trauma kepala tertutup


Trauma kepala tertutup dapat menyebabkan kerusakan pada otak dan pembuluh
darah otak. Adapun macam-macam jenis trauma kepala tertutup adalah sebagaia
berikut :
Komusio serebri (gegar otak) : Merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana
terjadi pingsan (kurang dari 10 menit). Gejala gejala lain mungkin termasuk
pusing, noda-noda di depan mata dan linglung. Komusio serebri tidak
meninggalkan gejala sisa atau tidak menyebabkan kerusakan struktur otak.
Kontusio serebri (memar otak) : Merupakan perdarahan kecil atau petechie pada
jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini bersama-sama
dengan rusaknya jaringan saraf atau otak yang akan menimbulkan edema jaringan
5

otak di daerah sekitarnya. Bila daerah yang mengalami edema cukup luas akan
terjadi peningkatan tekanan intracranial
2.1.3 Etiologi
1. Spasme pembuluh darah intrakranial.
2. Kecelakaan otomotif/tabrakan, terjatuh, olah raga, kecelakaan industri.
3. Gejala depresi
4. Gangguan pada jaringan saraf yang sudah terganggu
5. Tertimpa benda keras (Masjoer Arif:2000)
2.1.4 Patofisiologi
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari
jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti : kerusakan SDO,
gangguan ADO, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran
bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, realsi imflamasi dan radikal
bebas (Gromek et al 1973; Miller 1973; Clubb et al 198; Rosner et al 1984;
Gennarelli et al 1985; Graham et al 1987; Hayes et al 1989; Povlishock 1989;
Rosenblum 1989; Umar Kasan 1992). Kerusakan jaringan otak akibat trauma
langsung.
Rambut kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak
terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan
diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan
dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu
sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan
beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
6

tengkorak dengan lekukak yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila leukak melebihi
batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastasesutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.
Mekanisme kerusakan otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi coup (cidera di tempat benturan)
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan
perbedaan percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak
ini dapat menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan.
Benturan dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan
antara massa jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagianbagian yang keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan
dapat timbul lesi baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan
berseberangan atau jauh dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan
pada bagian depan (frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya
pada pukulan dari belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior
sedangkan pukulan di daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal.
Gerakan-gerakan tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup
c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut menimbulkan
tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan menyebabkan terjadinya
kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan robekan. Kerusakan yang

ditimbulkan dapat berupa : Intermediate coup, contra coup, cidera akson yang difus
disertai perdarahan intraserebral
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan
tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian
disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan
dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung
(kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra
coup).

1. Impak (Impact Loading)

Impresi Fraktur
Coup Contusio
Epidural Hematom
Subdural Hematom

2. Inert = Impulsif

Coup Cont.
ICH

Bridging Vein Rupture Contra Coup


ICH
Tekanan Negatif
SDH
(Buble Soap)
SDH, Contra Coup, Cont.

3. Gelombang kejut (Shock wave injury)


8

Intermediate Coup

2.1.5 Manifestasi Klinik


a.Cidera otak primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma.
Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b. Cidera otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme,
fisiologi yang timbul setelah trauma.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
- Kejang-kejang
- Gangguan saluran nafas
- Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:

edema fokal atau difusi

hematoma epidural

hematoma subdural

hematoma intraserebral

over hidrasi

- Sepsis/septik syok
- Anemia
- Shock

Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan
sangat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
Perdarahan yang sering ditemukan:

Epidural hematom:

Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat


pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal media yang terdapat di
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat
berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1 2 hari. Lokasi yang paling
sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.

Tanda dan gejala:


Penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa. Dilatasi pupil
ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal, irreguler, penurunan nadi,
peningkatan suhu.

Subdural hematoma

Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya
terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam
48 jam 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa
bulan.
Tanda dan gejala:

10

Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema
pupil.

Perdarahan intraserebral

Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegi kontralateral,
dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.

Perdarahan subarachnoid

Perdarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan


permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku
kuduk.
A. Gejala Cedera Otak Berat
Merasa lemah, lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan tekanan darah atau
normal perubahan frekuensi jantung, perubahan tingkah laku atau kepribadian,
inkontenensia kandung kemih / khusus mengalami gangguan fungsi, mual, muntah,
dan mengalami perubahan selera makan / minum, kehilangan kesadaran, amnesia,
vertigo, syncope, tinnitus, kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan
pengecapan, sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, trauma baru
karena kecelakaan konfusi, sukar bicara, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
B. Tanda Cedera Otak Berat
Cidera kepala berat mempunyai tanda yang variabel yaitu:
- Perubahan kesadaran
- Latergi

Depresi
Muntah (mungkin proyektif)
11

- Ataksia atau cara berjalan tidak


-

Tetap
Cidera orthopedic
Kehilangan tonus otot
Cemas
Mudah tersinggung
Delirium (suatu kondisi dimana

Gangguan menelan
Perubahan kesadaran sampai koma

Perubahan status mental


Perubahan pupil
Kehilangan penginderaan
Kejang
Kehilangan sensasi sebagian tubuh

Wajah menyeringi
Respon menarik pada rangsang
Nyeri yang hebat
Gelisah
Gangguan rentang gerak
Gangguan dalam regulasi suhu tubuh

Afasia motoris atau sensoris

kesadaran menjadi kabur dan


-

disertai ilusi atau halusinasi)


Agitasi
Bingung
Perubahan pola nafas
Nafas bunyi rochi
Fraktur atau dislokasi
Gangguan penglihatan
Gangguan kognitif
Bicara tanpa arti disartria anomia

Tes Diagnostik
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
3. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
4. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
5. Penilaian dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
Yang dimaksud disini adalah cara pengukuran tingkat kesadaran secara
kuantitatif, berdasarkan tiga variabel pemeriksaan neurologis, yaitu reaksi bukaan

12

mata, bicara dan motorik. Cara pengukuran ini ditemukan oleh Brian Jennett
(Tabel 1).

Tabel 1 : Glasgow coma scale. Diadaptasi dari Jennett B, 1981.


Gejala

Skor
Bukaan mata (E)

Spontan
Dengan rangsangan suara
Dengan rangsangan nyeri
Tidak bereaksi

2
1
Reaksi bicara (V)

Orientasi baik
5
Percakapan membingungkan
4

Kata-kata tidak sesuai


Suara yang tidak komprehensif
2
Tidak bersuara
1
Reaksi motorik terbaik (M)
Sesuai perintah
6
Melokalisir rangsangan
5
Menolak rangsangan
4

Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
2
Tidak ada reaksi
1
Skor koma = E-V-M, dengan rentang 1-1-1 hingga 4-5-6.

2.1.6

Komplikasi Cidera Otak Berat


1. Kebocoran cairan cerebrospinal, dapat disebabkan oleh rusaknya
leptomeningen dan terjadi pada 2 6 % pasien dengan cidera kepala tertutup.
Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala setelah beberapa hari
pada 85 % pasien. Drainase lumbai dapat mempercepat proses ini. Walaupun
13

pasien ini memiliki resiko meningitis yang meningkat (biasanya pneumolok),


pemberian antibiotik profilaksis masih kontoversial. Otorea atau rinorea cairan
cerebrospinal yang menentap atau meningitis berulang merupakan indikasi
untuk operasi reparatif.
2. Fistel Karotis-Kavernosusu, ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos,
kemosisi dan bruit orbital dapat timbul segera atau beberapa hari setelah
cidera. Anglografi diperlukan untuk konformasi diagnosis dan terapi dengan
oklusi balon endovaskular merupakan cara yang paling efektif dan dapat
mencegah hilangnya penglihatan yang permanen.
3. Diabetes Incipidus, dapat disebabkan oleh kerusakan traumatik pada
tangkai hipofisis, menyebabkan penghentian sekresi hormon antidiuretik.
Pasien mengekskresikan sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan
hipernatremia dan deplesi volum. Vasopresin arginin (pitressin) 5 10 unit
intravena, intramuscular, atau subkutan setiap 4 6 jam atau desmopressin
asetat subkutan atau intravena 2 4 mg setiap 12 jam, diberikan untuk
mempertahankan pengeluaran urin kurang dari 200 ml/jam, dan volume
diganti dengan cairan hipotonis (0,25 5 atau 0,45 % salin) tergantung pada
berat ringannya hipernatremia.
4. Kejang Pascatrauma, dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama), dini
(minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu). Kejang segera tidak
merupakan predesposisi untuk kejang lanjut. Kejang dini menunjukkan resiko
yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan
dengan antikonvulsan. Insidens keseluruhan epilepsi pascatrauma lanjut
(berulang, tanpa provokasi) setelah cidera kepala tertutup adalah 5 %; resiko

14

mendekati 20 % pada pasien dengan perdarahan intrakranial ayau fraktur


depresi.
5.

Pneumonia, radang paru-paru disertai eksudasi dan konsolidasi.

6.

Meningitis Ventrikulitis

7.

Infeksi saluran kemih

8.

Perdarahan gastrointestinal

9.

Sepsis asam negatif

10. Kebocoran CSS


2.1.7

Penanganan Medik
Hal penting yang pertama kali dinilai adalah status fungsi vital dan status
kesadaran pasien. Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului
anamnesis yang teliti.
a. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai
adalah:
- Jalan nafas
- Pernafasan
- Nadi dan tekanan darah, sirkulasi jalan nafas harus segera dibersihkan dari
benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa
naso/orofuring, diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher haruss
berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).
Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa:
Pernafasan cheyne stokes
Pernafasan blot / hiperventilasi

15

Pernafasan taksik yang menggambarkan makin memburuknya tingkat


kesadaran.
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock,
terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax,
trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah
yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala
awal peninggian tekanan intracranial, yang biasanya dalam fase akut
disebabkan oleh hematoma epidural.
b. Status kesadaran
Dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, terutama pada
kasus cidera kepala sudah mulai ditinggalkan karena subyektivitas pemeriksa;
stulah apatik, samnolen, spoor, coma. Sebaliknya dihindari atau disertai
dengan penilaian / perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang
luas digunakan ialah dengan skala koma Glasgow. Cara ini sederhana tanpa
memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan baik oleh dokter
maupun perawat.

c. Status Neurologik lain


Selain status kesadaran di atas pemeriksaan neurologik pada kasus trauma
kapitis trauma ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang
dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan
intracranial. Tanda fokal tersebut adalah:
-

Anisokori (ketidaksamaan ukuran diameter kedua pupil mata)

Paresis / Parahisis (Paralisis ringan atau tidak lengkap)

Reties patologik sesisi


16

Pengobatan
1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital agar jalan nafas selalu bebas,
bersihkan lendir, dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pernafasan.
Jika perlu dipasang pipa naso / orofaring dari pemberian oksigen. Infuse
dipasang terutama untuk membuka jalur intravena:gunakan cairan NaCl0,9 %
atau Dextrose In Saline.
2. Mengurangi edema otak, yaitu:

Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan PCO darah sehingga


mencegah vasodilatasi pembuluh darah, selain itu juga dapat
membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan asidosis.

Cairan hiperosmoler digunakan cairan Monitol 15 % atau infuse untuk


menarik air dari ruang intrasel ke dalam ruang intravaskuler lalu
dikeluarkan melalui Deuresis.

Kortikosteroid untuk menstabilkan darah otak.

Barbiturat untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat


ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan
menurun.

3. Obat-obatan Neotropik

Piritinol merupakan senyawa mirip perioksin (Vit-B6) mengaktivasi


metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel.

Piracetam merupakan senyawa mirip GABA suatu neurotransmitter


penting di otak.

17

Citicholine, merupakan koenzim pembentukan lecitin di otak untuk


sintesis membra sel dan neurotransmitter di dalam otak.

Perawatan luka dan pencegahan dekubitus.

Antibiotika diberikan bila terdapat luka terbuka yang luas, trauma


tembus kepala, fraktur tengkorak yang dapat menyebabkan liquarihoe.

2.1.8

Proses Keperawatan
Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem

persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis
injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati
adalah sebagai berikut :
1.

Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis

kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,


pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.

2.

Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit

kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.

18

Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa
klien.
3.

Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,

disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak
karena odema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX,
XII.
4.

Pemeriksaan Penujang
CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.

MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras

radioaktif.

Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :


perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis


X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak


19

CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan


subarachnoid.

ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah

pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat


peningkatan tekanan intrkranial

Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan


penurunan kesadaran.

Prioritas Perawatan:
1.

Maksimalkan perfusi / fungsi otak

2.

Mencegah komplikasi

3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal


4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan,
dan rehabilitasi.

Tujuan:
1.

Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap

2.

Komplikasi tidak terjadi

3.

Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain

4.

Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan

5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh

keluarga sebagai sumber informasi.


20

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan
sputum.
3.

Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak

4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos coma)


5. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
INTERVENSI
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat

napas di otak.
Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.

Kriteria hasil :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda
hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
1) Hitung pernapasan pasien dalam satu menit.

pernapasan yang cepat dari

pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat


meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.

21

2) Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam


pemberian tidal volume.
3) Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih
panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi
terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
4) Perhatikan

kelembaban

dan

suhu

pasien

keadaan

dehidrasi

dapat

mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan


meningkatkan resiko infeksi.
5) Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
penyebaran udara yang tidak adekuat.
6) Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan
ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
2. Tidak

efektifnya

kebersihan

jalan

nafas

sehubungan

dengan

penumpukan sputum.
Tujuan : Mempertahankan jalan nafas bebas

Kriteria Hasil :
Suara nafas bersih, tidak terdapat suara nafas tambahan ( ronchi dan wheezing
negatif ), tidak ada sianosis.
Rencana tindakan :
1) Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat
disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah
terhadap tube.

22

2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang
simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan
tidak adanya penumpukan sputum.
3) Lakukan penghisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum
banyak. Penghisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk
mencegah hipoksia.
4) Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua
bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan odema otak

Tujuan :Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.


Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
Rencana tindakan :
1) Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.

Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.

Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus


eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakkan oleh syaraf kranial oculus motorius dan untuk
menentukan refleks batang otak.
Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal
peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.
2) Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat
kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya
23

pernafasan yang

irreguler

indikasi

terhadap

adanya

peningkatan

metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tandatanda keadaan syok akibat perdarahan.
3) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena
jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
4) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran
urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.

Dapat mencetuskan respon otomatik peningkatan intrakranial.

5) Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.


Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
6) Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.

Dapat menurunkan hipoksia otak.

7) Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).


Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti
untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem
otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan
edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik
untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan
intrakranial.

Antipiretik

untuk

menurunkan

panas

yang

dapat

meningkatkan pemakaian oksigen otak.

24

4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran


(soporos - coma )
Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
1) Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama
yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
2) Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata
dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan
yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman,
mencegah infeksi dan keindahan.

3) Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.


Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus
dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
4) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga
lingkungan yang aman dan bersih.

25

Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang
ada di ruangan.
5) Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.

Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.

5. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,


tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
Tujuan : integritas kulit tidak terjadi
Kriteria Hasil : tidak terjadi dekubitus
Rencana tindakan :
1) Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk
menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
2) Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
3) Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah
yang menonjol.
4) Ganti posisi pasien setiap 2 jam
5) Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan
memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
6) Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
7) Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
8) Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
9) Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan
menggunakan HO.
2.2 VENTILASI MEKANIK
2.2.1 Pengertian
26

Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negative atau positif yang
dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang
lama (Brunner dan Suddarth, 1996)
2.2.2 Klasifikasi
Ventilasi mekanik diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut mendukun
ventilasi, dua kategori umum adalah Ventilator bertekanan negative dan
tekanan positif
1. Ventilator Tekanan Negatif
Ventilator tekanan negative mengeluarkan tekanan negative pada dada
eksternal.

Dengan

mengurangi

tekanan

intratoraks

selama

inspirasi

memungkinkan udara mengalir ke dalam paru paru sehingga memenuhi


volumenya. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas kronik
yang berhubungan dengan kondisi neurovaskuler seperti poliomyelitis, distrofi
muscular, sklerosis lateral amiotrifik dan miastenia gravis. Penggunaan tidak
sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang kondisinya
membutuhkan perubahan ventilasi sering

2. Ventilator Tekanan Positif


Ventilator tekanan positif menggembungkan paru paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian mendorong
alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada ventilator jenis ini
diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi. Ventilator ini secara luas
digunakan pada pasien dengan penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis
ventilator tekanan positif yaitu tekanan bersiklus, waktu bersiklus dan volume
bersiklus.
27

Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan positif yang


mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan kata lain
siklus ventilator hidup menghantarkan aliran udara sampai tekanan tertentu
yang telah ditetapkan seluruhnya tercapai dan kemudian siklus mati. Ventilator
tekanan bersiklus dimaksudkan hanya untuk jangka waktu pendek di ruang
pemulihan.
Ventilator

waktu

bersiklus

adalah

ventilator

mengakhiri

atau

mengendalikan inspirasi setelah waktu ditentukan. Volume udara yang


diterima pasien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan frekuensi aliran udara.
Ventilator ini digunakan pada neonates dan bayi. Ventilator volume bersiklus
yaitu ventilator yang mengalirkan udara pada setiap inspirasi yang telah
ditentukan. Jika volume preset telah dikirimkan pada pasien, siklus ventilator
mati dan ekshalasi terjadi secara pasif. Ventilator volume bersiklus sejauh ini
adalah ventilator tekanan positif yang paling banyak digunakan.
Gambaran ventilasi mekanik yang ideal adalah :
a. Sederhana, mudah dan murah
b. Dapat memberikan volume tidak kurang dari 1500 cc dengan frekuensi
nafas hingga 60x/menit dan dapat diatur ratio I/E
c. Dapat digunakan dan cocok digunakan dengan berbagai alat penunjang
pernafasan yang lain
d. Dapat dirangkai dengan PEEP
e. Dapat memonitor tekanan, volume inhalasi, volume ekshalasi, volume
tidal, frekuensi nafas dan konsentrasi oksigen inhalasi
f. Mempunyai fasilitas untuk humidifikasi serta penambahan obat di
dalamnya
28

g. Mempunyai fasilitas untuk SIMV, CPAP, Pressure Suport


h. Mudah membersihkannya dan mensterilkannya
2.2.3

Indikasi Pemasangan Ventilator


1. Pasien dengan respiratory failure (gagal napas)

Penyebab sentral
a. Trauma kepala

: Contusio cerebri.

b. Radang otak

: Encepalitis.

c. Gangguan vaskuler

: Perdarahan otak, infark otak.

d. Obat-obatan

: Narkotika, Obat anestesi.

Penyebab perifer
a. Kelainan Neuromuskuler :
-

Guillian Bare symdrom

Tetanus

Trauma servikal

Obat pelemas otot.

b. Kelainan jalan napas.


-

Obstruksi jalan napas

Asma broncheal.

c. Kelainan di paru
-

Edema paru, atlektasis, ARDS

d. Kelainan tulang iga / thorak


-

Fraktur costae, pneumothorak, haemathorak.

e. Kelainan jantung
-

Kegagalan jantung kiri.


29

2. Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi.


3. Post Trepanasi dengan black out.
4. Respiratory Arrest.
2.2.4

Modus Operasional
Untuk menentukan modus operasional ventilator terdapat empat parameter
yang diperlukan untuk pengaturan pada penggunaan volume cycle ventilator,
yaitu :
a. Frekuensi pernafasan permenit
b. Tidal volume
c. Konsentrasi oksigen (FiO)
d. Positive and respiratory pressure
Pada klien dewasa, frekuensi ventilator diatur antara 12 15x/ menit.
Tidal volume istirahat 7 ml/kgBB, denganventilasi mekanik tidal volume yang
digunakan adalah 10 15 ml/kgBB. Untuk mengkompensasi dead space dan
untuk meminimalkan atelektase (Way, 1994 dikutip dari LeMone and Burke,
1996).
Jumlah oksigen ditentukan berdasarkan perubahan persentasi oksigen
dalam gas. Karena resiko keracunan oksigen dan fibrosis pulmonal maka FiO
diatur dengan level rendah. PO dan saturasi oksigen arteri digunakan untuk
menentukan konsentrasi oksigen. PEEP digunakan untuk mencegah kolaps
alveoli dan untuk meningkatkan difusi alveoli kapiler.
Modus operasioanal ventilasi mekanik terdiri dari :
-

Cotrolled Ventilation

Ventilator mengontrol volume dan frekuensi pernafasan. Indikasi untuk


pemakaian ventilator meliputi pasien dengan apnoe. Ventilasi mekanik adalah
30

ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama. Ventlator tipe ini
meningkatkan kerja pernafasan pasien.
- Assist / Control
Ventilator jenis ini dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan.
Bila pasien gagal untuk ventilasi, maka ventilator secara otomatis. Ventilator
ini diatur berdasarkan atas frekuensi pernafasan yang sponyan dari pasien,
biasanya digunakan pada tahap pertama pemakaian ventilator
-

Intermitten Mandatory Ventilation

Model ini digunakan pada pernafasan asinkron dalam penggunaan model


control, pasien dengan hyerventilasi. Pasien yang bernafas spontan dilengkapi
dengan mesin dan sewaktu waktu diambil alih oleh ventilator.

Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV)

SIMV dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot
tidak begitu lelah dan efek barotraumas minimal. Pemeberian gas melalui
nafas spontan biasanya tergantung pada aktivasi pasien. Indikasi pada
pernafasan spontan tapi tidal volume dan atau frekuensi nafas kurang adekuat.
-

Positive End Expiratory Pressure

Modus yang digunakan dengan menahan tekanan akhir akspirasi positif


dengan tujuan mencegah atelaksis. Dengan terbukanya jalan nafas oleh karena
tekanan yang tinggi, atelektasis akan dapat dihindari. Indikasi pada pasien
yang menderita ARDS dan gagal jantung kongestif yang massif dan
pneumonia difus. Efek samping dapat menyebabkan venous return menurun,
barotraumas dan penurunan curah jantung.
31

Continious Positive Airway Pressure (CPAP)

Ventilator ini berkemampuan untuk meningkatkan FRC. Biasanya digunakan


untuk penyapihan ventilator
2.2.5

Komplikasi
Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
1. Pada paru
a. Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara
vaskuler.
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat.
f. Aspirasi cairan lambung
g. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
h. Kerusakan jalan nafas bagian atas
2. Pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik
vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi
mekanik dengan tekanan tinggi
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokonstriksi cerebral
Terjadi karena penurunan tekanan CO arteri (PaCO) di bawah
normal akibat dari hiperventilasi.
b. Oedema cerebral
32

Terjadi karena peningkatan tekanan CO arteri di atas normal akibat


dari hipoventilasi.
c. Peningkatan tekanan intra kranial
d. Gangguan kesadaran
e. Gangguan tidur.
4. Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, illeus
b. Perdarahan lambung.
5. Gangguan psikologi

2.2.6

Prosedur Pemberian Ventilator


Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada ventilator
untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan pengesetan
awal adalah sebagai berikut:
1. Fraksi oksigen inspirasi (FiO2) 100%
2. Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB
3. Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit
4. Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik
5. PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir
ekspirasi: 0-5 Cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru
dan untuk mencegah atelektasis.

2.2.7

Penyapihan dari Ventilasi Mekanik


Kriteria dari penyapihan ventilasi mekanik :
1. Tes penyapihan
Kapasitas vital 10-15 cc/kg
33

2.
3.

4.

5.
6.

7.
8.
9.

2.2.8

Volume tidal 4-5cc/kg


Ventilasi menit 6-10 l
Frekuensi permenit <20 permenit
Pengaturan ventilator
FiO < 50%
Tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP ) : O
Gas darah arteri
PaCO normal
PaO 60-70 mmhg
PH normal dengan semua keseimbangan eletrolit diperbaiki
Selang endotracheal
Posisi di atas karina pada foto rontgen
Ukuran :perempuan 6.5 , 7 ,7.5
Laki laki 7 ,7.5 , 8
Nutrisi
Kalori per hari 2000 -2500 kal
Waktu 1jam sebelum makan
Jalan nafas
Sekresi : antibiotic bila ada perubahan warna, penghisapan (suctioning)
Bronkospasme : control dengan beta adrenergic, tiofilin atau steroid
Posisi : duduk, semi fowler
Obat-obatan
Agen sedative : dihentikan lebih dari 24 jam
Agen paralise : dihentikan lebih dari 24 jam
Emosi
Persiapan psikologis terhadap penyapihan
Fisik
Stabil, istirahat terpenuhi

Proses Keperawatan
Adapun Asuhan Keperawatan yang diberikan meliputi :

I. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada psien yang mendapat nafas buatan dengan
ventilator adalah:
1. Biodata
Meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, agama, alamt, dll.
2. Riwayat penyakit/riwayat keperawatan
34

Informasi mengenai latar belakang dan riwayat penyakit yang sekarang dapat
diperoleh melalui oranglain (keluarga, tim medis lain) karena kondisi pasien yang
dapat bantuan ventilator tidak mungkin untuk memberikan data secara detail.
3. Keluhan
Untuk mengkaji keluhan pasien dalam keadaan sadar baik, bisa dilakukan dengan
cara pasien diberi alat tulis untuk menyampaikan keluhannya.
B1. Sistem pernafasan
Setting ventilator meliputi:
a.

Mode ventilator

CR / CMV / IPPV (Controlled Respiration / Controlled Mandatory


Ventilation / Intermitten Positive Pressure Ventilation)

SIMV (Syncronized Intermitten Mandatory Ventilation)

ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Suport)

CPAP (Continous Possitive Air Presure)

b.

FiO2: Prosentase oksigen yang diberikan

c.

PEEP: Positive End Expiratory Pressure

B 2. Sistem kardiovaskuler
Pengkajian kardiovaskuler dilakukan untuk mengetahui

adanya gangguan

hemodinamik yang diakibatkan setting ventilator (PEEP terlalu tinggi) atau


disebabkan karena hipoksia. Pengkajian meliputi tekanan darah, nadi, irama
jantung, perfusi, adakah sianosis dan banyak mengeluarkan keringat.
B 3. Sistem neurologi
Pengkajian meliputi tingkat kesadaran, adalah nyeri kepala, rasa ngantuk,
gelisah dan kekacauan mental.
35

B 4. Sistem urogenital
Adakah penurunan produksi urine (berkurangnya produksi urine menunjukkan
adanya gangguan perfusi ginjal)
B 5. Status cairan dan nutrisi
Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status nutrisi
dan cairan akan memperberat keadaan. Seperti cairan yang berlebihan dan
albumin yang rendah akan memperberat oedema paru.
4. Status psycososial
Pasien yang dirawat di ICU dan dipasang ventilator sering mengalami depresi
mental lyang dimanifestasikan berupa kebingungan, gangguan orientasi, merasa
terisolasi, kecemasan dan ketakutan akan kematian.
II. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi pada pasien yang mendapat bentuan
nafas mekanik/dipasang ventilator diantaranya adalah:
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi
sekret
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses
penyakitnya
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator
yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal
4. Gangguan pemenuhan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan
selang endotracheal
5. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan pemasangan
selang endotracheal
III.Perencanaan
36

1. Diagnosa Keperawatan
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan peningkatan produksi
sekret
Tujuan:
Meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil:
-

Bunyi napas terdengar bersih.

Ronchi tidak terdengar.

Tracheal tube bebas sumbatan.


1

INTERVENSI
Auskultasi bunyi napas tiap 2-4 jam.

RASIONAL
Mengevaluasi keefetifan jalan napas.

Lakukan pengisapan bila terdengar

Mencegah terjadinya plaging

Membantu mengencerkan sekret.

Memudahkan pelepasan sekret.

Mengencerkan sekret.

Menentukan lokasi penumpukan

ronchi
3

Pertahankan suhu humidifer tetap


hangat (35 - 37,8 o C

Melakukan fisioterapi napas / dada


sesuai indikasi dengan cara clapping,
fibrasi

Berikan obat mukolitik sesuai


indikasi / program.

Kaji suara napas sebelum dan sesudah


melakukan tindakan pengisapan.

sekret, mengevaluasi kebersihan


tindakan

Observasi tanda-tanda vital sebelum

Deteksi dini adanya kelainanan

dan sesudah melakukan tindakan.


2. Diagnosa Keperawatan
37

Gangguan pertukaran gas sehubungan dengan sekresi tertahan, proses


penyakitnya
Tujuan: Pertukaran gas kembali normal.
Kriteria hasil:
Hasil analisa gas darah normal yang terdiri dari :
-

PH (7,35 - 7,45)

PO2 (80 - 100 mmHg)

PCO2 (35 - 45 mmHg)

BE (-2 - + 2)

Tidak sianosis

INTERVENSI
Cek analisa gas darah setiap 30

menit setelah perubahan setting

RASIONAL
Evaluasi keefektifan setting ventilator
yang diberikan

ventilator.
2

Monitor hasil analisa gas darah

Evaluasi kemampuan bernapas

Sekresi menghambat kelancaran udara

(blood gas) atau oksimeteri selama


periode penyapihan.
3

Pertahankan jalan napas bebas dari


skresi.

Monitor tanda dan gejala hipoksia

napas.
4

Diteksi dini adanya kelainan.

3. Diagnosa Keperawatan

38

Ketidak efektifan pola nafas sehubungan dengan kelelahan, pengesetan ventilator


yang tidak tepat, obstruksi selang endotracheal
Tujuan: Pola napas efektif.
Kriteria hasil:
-

Napas sesuai dengan irama ventilator.

Volume napas adekuat.

Alarm tidak berbunyi.


1

INTERVENSI
Lakukan pemeriksaan mode

ventilator tiap 1 - 2 jam.


2

Evaluasi semua alarm dan tentukan

fungsi ventilator.
2

penyebabnya.
3

Pertahankan alat resusitasi manual

Bunyi alarm menunjukan adanya gg.


Fungsi ventilator.

Memudahkan melakukan pertolongan

(bag & mask) pada posisi tempat

bila sewaktu/waktu ada gangguan

tidur sepanjang waktu.

fungsi ventilator.

Amankan selang ETT dengan fiksasi

yang baik.
5

RASIONAL
Diteksi dini adanya kelainan atau gg.

Monitor suara dan pergerakan dada

Mencegah terlepas / tercabutnya selang


ETT.

Evaluasi keefektifan jalan napas.

secara teratur.
4. Diagnosa Keperawatan
Gangguan pemenuhan komunikasi verbal sehubungan dengan pemasangan selang
endotracheal
Tujuan: Mempertahankan komunikasi
Kriteria hasil:
-

Klien dapat berkomunikasi dgn menggunakan metode alternatif.


39

INTERVENSI
Berikan papan, kertas dan pensil,

RASIONAL
Mempermudah klien untuk

gambar untuk komunikasi, ajukan

mengemukakan perasaan / keluhan

pertanyaan dengan jawaban ya atau

dengan berkomunikasi.

tidak.
2

Yakinkan klien bahwa suara akan

Mengurangi cemas.

kembali bila ETT dilepas.

40

BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama

: Tn. AM ( laki laki )

Umur

: 40 tahun.

Suku/Bangsa

: Jawa/Indonesia.

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMP

Pekerjaan

: Pengrajin batu bata

No.Reg : 12195112

Status perkawinan : Kawin


Alamat

: Trowulan, Mojokerto

Tgl.MRS

: 11 November 2012

Tgl. Pengkajian

: 19 November 2012

Diagnosa Medik

: Cedera Otak Berat (COB) + EDH + SDH Post ICP Monitor

Keluhan Utama

: Pasien terpasang ventilator

3.2 Riwayat Kesehatan


41

a. Riwayat penyakit sekarang


Keluarga mengatakan bahwa pasien kecelakaan pada tanggal 10 November 2012
jam 22.00 di Trowulan. Pasien tidak sadar dibawa ke RS Mojokerto dan
dilakukan CT SCAN kepala tanpa kontras. Karena belum sadar, tanggal 11
November 2012 jam 10.00 pasien dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo. Kesadaran
px turun dengan GCS 1-1-3, dilakukan resusitasi dan intubasi di Ruang
Resusitasi. jam 22.00 pasien dilakukan operasi ICP monitor, setelah itu
dirawat di ruang observasi intensif sampai sekarang.
b. Riwayat Kesehatan yang lalu
Keluarga mengatakan bahwa pasien tidak pernah sakit yang sampai dirawat di
rumah sakit.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga mengatakan bahwa anggota keluarga juga ada yang pernah kecelakaan
tetapi tidak separah pasien saat ini.
3.3 Pemeriksaan Fisik / Biologis
a. Sistem Pernafasan
B1 :

terpasang ventilator dengan mode spontan triger 2, PS 6, PEEP 6, Fi O 2


30% VT 300-315, RR 28x menit, SpO2 98%, tidak ada pernafasan cuping
hidung, pengembangan paru optimal, tidak ada retraksi intercostalis,
gerakan dada simetris, sputum putih, kental, tidak bau, tidak teraba
emfisema subcutis.
Suara nafas tambahan Rhonchi

+
-

+
-

MK : kebersihan jalan nafas tidak efektif


b. Sistem Cardiovaskuler
42

B2 : - T : 115/72 mmHg, N : 98x/menit, S : 37,8C, Perfusi HKM, CRT < 2 detik.


- Terpasang IV line (tgl 18 Nov 2012) pada kaki kiri infus D5 NS
100 cc /2 jam
- Pemeriksaan laborat (Leukosit 14.600)
- MK : Resiko Infeksi
c. Sistem Persyarafan
B3 : GCS 1X 5, tidak kejang, pupil isokor, reaksi cahaya +/+, diameter 3/
d. Sistem Urogenital

B4 : - Pasien BAK menggunakan dower keteter no 16 (dipasang tgl 10-11-12)


produksi urine 200cc /2 jam, warna kuning jernih, genetalia bersih, tidak
ada kelainan.
e.

- MK : Resiko Infeksi
Sistem Pencernaan
B5 : - Pasien terpasang NG Tube No.16
-Diit sonde parenteral 250 cc
- Tidak ada retensi, perut supel, hepar dan lien tidak teraba,
- Bising usus (+) 10x/mnt
-Mual (-), muntah (-)
-Intake 350cc, Output 200cc
-Hb 9,5 gr/ dl
-Albumin 3,04 gr/dl
-MK : perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

f.

Sistem Integumen / musculoskeletal


B6 : Posisi head up 45, odema

kekuatan otot

turgor kulit

baik, tidak ada dekubitus


g.

Psikologis, Sosial dan spiritual


43

Psikologis : tidak terkaji

Sosiologis : tidak terkaji

Spiritual

: tidak terkaji

3.4 Data Penunjang


a. CT Scan

Fraktur linear sub occipital midline

EDH Fasso posterior 1 cm

SDH Fasso posterior 0,5 cm

b. Foto Thoraks : Tanggal 19-11-12

dalam batas normal

c. Elektrocardiografi : Dalam batas normal


d. Hasil Laboratorium
JENIS
PEMERIKSAAN
HB
Leukosit
Thrombosit
Hematokrit
Albumin
Kalium
Natrium
Clorida
Glukosa
BUN Kreatinin
PH
PO
PCO
B
HCO
FiO

Tgl 19-11-2012

HASIL
Tgl 20-11-2012

9,5
14,6
254
28,0
3,04
3,4
158
122
120

11,2
14,0
325
33,9
3,4
155
116
-

7,4
81
41
0,6
25,4

7,48
102,8
31,6
0,2
23,8

Tgl 21-11-2012

7,45
116
35
0,3
24,3

3.5 Therapi

Infus D5 NS 1000 cc/24 jam


44

Metazolin 3 x 1 gr

Ceftazidim 3 x 1 gr

Phenitoin 3 x 100 mg

Citicolin 2 x 250 mg

Bisolvon 3x1 ampul

Ranitidin 2 x 50 mg

Nebul Ventolin 6x / 24 jam

Sonde PE 6 x 250 cc / 24 jam

Tranfusi PRC 250 cc / 3 jam

3.6 Rumusan Masalah


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif sehubungan dengan peningkatan produksi secret
2. Gangguan pertukaran gas sehubungsn dengan akumulasi sputum di lapang paru
3. Resiko pola nafas tidak efektif sehubungan dengan pengesetan ventilator yang
kurang tepat
4. Resiko kerusakan integritas kulit (dekubitus) sehubungan dengan tirah baring
yang lama
5. Intolerasi aktivitas sehubungan dengan kelemahan umum.
6. Resiko gangguan pemenuhan nutrisi sehubungan dengan intake inadekuat.
3.7 Analisa Data
No
1

Tgl
19-11-12

Data
DS : -

Etiologi
Peningkatan

Diagnosa Keperawatan
Bersihan jalan nafas

DO :

produksi sekret

tidak efektif sehubungan

- Px terpasang tracheostomy

dengan peningkatan

- Px terpasang ventilator

produksi secret
45

No

Tgl

Data
- Mode spontan, triger 2,

Etiologi

Diagnosa Keperawatan

PS 6, FiO 30%,
RR 28x/mnt, SPO 98%,
VTE 300 315
- Ronchi +/+, Wheezing -/ 2

19-11-12

- Sputum putih kental


DS : -

Pemasangan

Terjadinya infeksi

DO :

alat-alat invasif

sehubungan dengan

- Px terpasang tracheostomy

pemasangan alat-alat

- Px terpasang ventilator

invasif

- Sekret kental (+)


- Leukosit 14.600
- Terpasang DK
tgl 10/11/12
- Terpasang IV kateter
tgl 18/11/12
- T : 115/72 mmHg
3

19-11-12

- S : 37,8 C ; N : 98 x/mnt
DS : -

Intoleransi

Resiko gangguan

DO :

aktivitas

integritas kulit

- Px dengan Dx COB

(dikubitus) sehubungan

- GCS 1x5

dengan intoleransi

- Px terpasang tracheostomi

aktivitas

- Px terpasang ventilator
- Hb 9,5 gr/dl
46

3.8 Rencana Keperawatan


No
1

Dx.
Kep
I

Tujuan
Kriteria Hasil
Tujuan :

1. Cuci tangan sebelum

1. Memotong rantai

Dalam jangka waktu

dan sesudah tindakan

infeksi nosikomial

25 menit diharapkan

2. Auskultasi nafas di

2. Adanya ronchi

jalan nafas kembali

seluruh lapang paru

menandakan akumulasi

Intervensi

normal

secret yang banyak

Kriteria Hasil :

3. Nebulezer dengan

- Suara nafas

ventolin 1 amp + NaCl

terdengar bersih

Rasional

3. Mengencerkan secret

0,9% 1cc 6x/hari


47

No

Dx.
Kep

Tujuan
Kriteria Hasil
- Ronchi -/-

4. Lakukan fisioterapi

4. Untuk melepaskan

- Tracheostomi bebas

nafas dengan claping dan

secret secret pada

fibrtaing di lapang paru

bronchus

- Nafas tidak sesak

5. Berikan oksigenasi

5. Mencegah terjadinya

- SPO 95-100%

dengan O 100% yang

hipoksia

dari sumbatan

Intervensi

Rasional

cukup sebelum & sesudah


penghisapan secret

II

6. Lakukan penghisapan

6. Mencegah obstruksi

secret tidak lebih 15 menit

jalan nafas

7. Lakukan evaluasi suara

7. Mengetahui

nafas setelah dilakukan

perubahan di lapang

penghisapan secret

paru setelah tindakan

8. Observasi perubahan

8. Untuk mengetahui

vital sign

perubahan pasien sedini

9. Kolaborasi dgn dokter

mungkin

untuk pemberian tokolitik

9. Menurunkan tekanan

Tujuan :

1. Observasi tanda tanda

secret
1. Peningkatan suhu

Dalam jangka waktu

vital

tubuh merupakan salah

2x24 jam diharapkan

satu indicator adanya

infeksi teratasi

infeksi

Kriteria Hasil :

2. Rawat luka secara

2. Mencegah masuknya

- Tanda infeksi hilang

aseptic 2x/hari atau bila

kuman penyebab

- Leukosit dalam

diperlukan

infeksi
48

No

Dx.
Kep

Tujuan
Kriteria Hasil
batas normal
- Tracheostomi bebas
dari sumbatan
- TTV dalam batas
normal

Intervensi

Rasional

3. Lakukan prosedur

3. Mencegah terjadinya

suctioning secara aseptik

infeksi nosokomial

4. Gunakan alat-alat yang

4. Sterilisasi alat

steril untuk merawat

mencegah terjadinya

maupun tindakan

infeksi

suctioning
5. Kolaborasi dengan tim

5. Antibiotik secara

dokter dalam pemberian

farmako terapi mampu

obat antibiotic dan

membunuh kuman

pemeriksaan laborat
( Leukosit )
3

III

Tujuan :

1. Bersihkan / mandikan

1. Kebersihan kulit

Dalam jangka waktu

pasien 2x/hari

menjaga kelembapan

2x24 jam diharapkan

kulit px

tidak terjadi Dikubitus

2. Ganti sprei tiap hari /

2. Kotoran / lekukan

Kriteria Hasil :

bila diperlukan

sprei menyebabkan

- Perkusi kulit hangat,

ketidaknyamanan px

hangat, kering,

3. Olesi lotion pada

3. Lotion menjaga

merah

daerah kulit yang

kelembapan dan untuk

menonjol

menyerap panas akibat

- Kulit tetap bersih


- Tidak ada tanda
tanda Dikubitus

tekanan
4. Rol roling px & atur

4. Posisi tidur yang

posisi tidur px tiap 2 jam

bergantian mengurangi
49

No

Dx.
Kep

Tujuan
Kriteria Hasil

Intervensi

Rasional
tekanan pada kulit

5. Bantu mobilisasi

5. Membantu

ekstremitas sedini

kelancaran peredaran

mungkin

darah

6. Observasi tanda tanda

6. Mengetahui

vital

perkembangan kondisi
px sedini mungkin

3.9 Tindakan Keperawatan


No
1

Tgl
19-11-12
08.00

Tindakan Keperawatan

TTD

- Melakukan observasi dan mencatat TTV :


T : 115/78 mmHg, N : 98x/mnt, S : 37,8 C, SPO 98%,
mode spontan, PS 6, FiO 30%, RR 28x/mnt, PEEP 6,
GCS 1x5, trigger 2, secret kental

08.05

- Melakukan nebulizer dengan ventolin 1 amp + NaCl 0,9%


1cc 15 menit

08.20

- Melakukan penghisapan secret melalui tracheostomi


dengan teknik aseptic 1 kali hisapan 15 detik
- Melakukan pemberian nafas bantuan dengan jacktion res
10 lpm
50

- Melakukan fisiotherapi nafas dengan claping dan


fibrating selama jeda penghisapan
08.30

- Melakukan penghisapan sampai secret bersih


- Melakukan oral hygene dengan minocep kumur
- Melakukan penggantian kasa IV kateter dengan Nacl
0,9% dan member tanggal pemasangan

08.40

- Melakukan perawatan tracheostomi dengan teknik aseptic


- Melakukan cek retensi pada NGT- retensi (-),
sonde pan-enteral 250 cc diberikan pelan pelan
- Memberikan ekstra paracetamol 500 mg

09.00
- Memberikan obat injeksi per IV sesuai program dokter

10.00

Metazolin 1 gr

Phenitoin 100 mg

Citicolin 250 mg

Bisolvon 1 amp

Ranitidin 1 amp

- Merubah posisi tidur miring ke kanan


- Melakukan observasi dan mencatat TTV :
T : 118/74 mmHg, N : 94x/mnt, S : 36,8 C, SPO 98%,
11.00

mode spontan, PS 6, FiO 30%, F. Total 24x/mnt, PEEP 6,


GCS 1x5, trigger 2, secret kental
- Melakukan nebulizer dengan ventolin 1 amp + NaCl

11.10

0,9% 1cc 10 menit


51

- Melakukan auskultasi suara nafas tambahan Ronchi +/+


- Melakukan pemberian nafas bantuan dengan jacktion res
10 lpm
- Melakukan penghisapan secret melalui tracheostomi
dengan teknik aseptic 1 kali hisapan < 15 detik
- Melakukan fisiotherapi nafas dengan clapping dan
fibrating selama jeda penghisapan
- Melakukan penghisapan sampai secret bersih
12.00

- Memberikan bantuan nafas dengan mengevaluasi


pernafasan px, SPO 98%

13.00

- Melakukan retensi NGT : retensi (-), sonde pan-enteral


250 cc diberikan
- Melakukan observasi TTV dan evaluasi :
T : 120/78 mmHg, N : 90x/mnt, S : 36,6 C, SPO 99%,
mode spontan, PS 6, FiO 30%, F. Total 24x/mnt,
PEEP 5, GCS 1x5, trigger 2, secret kental, Ronchi (+),
Wheezing (-), Hb 9,5 gr/dl
- Mengukur produksi urine 400 cc/6 jam
- Memberikan tranfusi PRC 1 bag, golongan darah O,
250 cc, No. 12124369

20-11-12
07.45

- Melakukan observasi dan mencatat TTV :


T : 128/88 mmHg, N : 94x/mnt, S : 37,8 C, SPO 99%,
mode spontan, PS 5, FiO 30%, F. Total 30x/mnt, PEEP 5,
GCS 1x5, trigger 2, secret kental warna putih
52

08.00

- Melakukan nebulizer dengan ventolin 1 amp + NaCl 0,9%


1cc 15 menit
- Melakukan auskultasi suara nafas tambahan Ronchi +/+

08.15

- Melakukan penghisapan secret melalui tracheostomi


dengan teknik aseptic 1 kali hisapan < 15 detik
- Melakukan pemberian nafas bantuan dengan jacktion res
10 lpm
- Melakukan fisiotherapi nafas dengan claping dan fibrating
selama jeda penghisapan
- Melakukan penghisapan sampai secret bersih
- Mengevaluasi pernafasan px setelah dilakukan tindakan
- Membantu mengganti sprei yang baru

08.25

- Mengatur posisi pasien setengah duduk


- Melakukan oral hygene dengan minocep kumur

08.35

- Melakukan penggantian IV kateter dengan jarum no 18


dan memberi tanggal pemasangan
- Melakukan perawatan tracheostomi dengan teknik aseptic
- Melakukan cek retensi pada NGT- retensi (-), sonde pan-

08.50

enteral 250 cc diberikan pelan pelan


- Memberikan ekstra paracetamol 500 mg per sonde
- Memberikan obat injeksi per IV sesuai program dokter

09.00

Metazolin 1 gr

Phenitoin 100 mg

Citicolin 250 mg
53

10.00

Bisolvon 1 amp

Ranitidin 1 amp

- Melakukan observasi dan mencatat TTV :


T : 114/75 mmHg, N : 90x/mnt, S : 36,4 C, SPO 98%,
mode spontan, PS 5, FiO 30%, F. Total 23x/mnt, PEEP 5,
GCS 1x5, trigger 2, secret encer warna putih

10.30

- Membantu memiringkan pasien ke bagian kiri dengan


diganjal bantal di punggungnya

11.00

- Membersihkan punggung dengan tissue basah


- Melakukan nebulizer dengan ventolin 1 amp + NaCl 0,9%
1cc 10 menit
- Melakukan auskultasi suara nafas tambahan Ronchi +/+
- Melakukan pemberian nafas bantuan dengan jacktion res
10 lpm
- Melakukan penghisapan secret melalui tracheostomi
dengan teknik aseptic 1 kali hisapan < 15 detik
- Melakukan fisiotherapi nafas dengan clapping dan
fibrating selama jeda penghisapan
- Melakukan penghisapan sampai secret bersih
- Memberikan bantuan nafas dengan mengevaluasi

11.30

pernafasan px, SPO 98%


- Melakukan cek retensi : retensi 10 cc dibuang
- Memberikan sonde pan-enteral 250 cc pelan-pelan

13.00
- Melakukan evaluasi perkembangan dari px :
54

T : 110/72 mmHg, N : 90x/mnt, S : 36,5 C,


Px dengan ventilator, mode spontan, SPO 98%, PS 5,
FiO 30%, F. Total 24x/mnt, PEEP 5, VTE 300-315,
GCS 1x5, trigger 2, wheezing (-), ronchi (+)
secret kental warna putih, perkusi HKM, CRT < 2 detik
3

21-11-12
08.00

- Melakukan observasi dan mencatat TTV :


T : 118/74 mmHg, N : 98x/mnt, S : 36,8 C, SPO 99%,
mode spontan, PS 5, FiO 30%, F. Total 30x/mnt, PEEP 5,
GCS 1x5, trigger 2.
- Px terpasang tracheostomy dengan O masker 6 lpm.
Sekret putih encer, perkusi HKM CRT < 2 detik
Reflek batuk (+)

08.05

- Melakukan nebulizer dengan ventolin 1 amp + NaCl 0,9%


1cc 10 menit
- Melakukan auskultasi suara nafas tambahan Ronchi +/+

08.15

- Melakukan pemberian nafas bantuan dengan jacktion res


10 lpm
- Melakukan penghisapan secret melalui tracheostomi
dengan teknik aseptic 1 kali hisapan < 15 detik

08.25

- Observasi px selama tindakan


- Melakukan oral hygene dengan minocep kumur
- Melakukan perawatan mengganti kasa IV kateter dengan
teknik aseptik

08.35

- Melakukan perawatan tracheostomi dengan teknik aseptic


55

- Melakukan cek retensi pada NGT : retensi (-)


- Cek ulang posisi NGT (+)

kondisi baik

- Memberikan sonde pan- enteral 250 cc diberikan pelan


09.00

pelan
- Memberikan obat injeksi per IV sesuai program dokter
- Membantu memiringkan pasien ke bagian kanan sambil

10.00

membersihkan punggung dengan tissue basah


- Melakukan evaluasi dan mencatat perkembangan px
B1 :- Air way bebas, terpasang tracheostomy dengan O
masker tracheostomy 6 lpm
- Reflek batuk (+)
- Sekret warna putih encer
- Ronchi -/B2 :- Perkusi HKM, CRT < 2 detik
- T : 110/72 mmHg, N : 90x/mnt, S : 37C
- Program infuse KAEMg 1000 cc/24 jam
- Tx : - Metazolin 3x1 gr
- Ceftazidim 3x1 gr
- Citicolin 2x500 mg
- Phenitoin 3x100 mg
- Bisolvon 3x1 amp
- Ranitidin 2x50 mg
- Antrain 3x1 amp
B3 :- Keadaan umum lemah, GCS 1x5
B4 :- Dower Kateter (+)
56

- Urin tercatat 250/3 jam


B5 :- NGT (+), Sonde pan-enteral 6x250 cc
- Abdomen supel. B/U 10x/mnt
- BAB (-)

B6 : - Odema

- KekuatanOtot

Kekuatan Otot

57

3.10 Evaluasi
Tgl
Jam
19-11-12

No
Dx
I

08.25

Evaluasi

TTD

S :O : - Nafas dengan ventilator, Mode spontan, triger 2,


PS 6, FiO 30%, F Total 22x/mnt, SPO 95%,
VTE 300 315
- Ronchi -/- Wheezing -/ - Sputum warna putih kental, darah (-)
A.: Masalah teratasi
P : Ulangi intervensi No.2-8 jika terdapat secret

13.00

S :O : - Nafas dengan ventilator, Mode spontan, triger 2,


PS 6, FiO 30%, PEEP 5, F Total 24x/mnt,
SPO 95%, VTE 300 315
- Ronchi -/- Wheezing -/ - Sputum warna putih encer, darah (-)
A.: Masalah teratasi
P : Ulangi intervensi No.2-8 jika terdapat secret

13.00

II

S :O : - Nafas dengan ventilator


58

Tgl
Jam

No
Dx

Evaluasi

TTD

- Terpasang tracheostomy
- Terpasang IV line tangan kanan
- Terpasang Dower Kateter
- Sputum warna putih encer
- S : 36,8C, N : 90x/mnt
- Ronchi -/A.: Masalah belum teratasi
P : Intervensi No.1-5 dilanjutkan
13.00

III

S :O : - Px terpasang ventilator
- Px bedrest
- Perkusi kulit hangat, kering, merah
- Kulit bersih
- Tidak ada tanda-tanda dekubitus
A.: Masalah belum teratasi

20-11-12
13.00

P : Intervensi 1-6 dilanjutkan


S :O : - Px dengan ventilator, Mode spontan, triger 2,
PS 5, FiO 30%, F Total 24x/mnt, SPO 98%,
VTE 300 315, PEEP 5, GCS 1x5
- Ronchi -/- Wheezing -/ - Sputum warna putih, encer, darah (-)
- Reflek batuk (+)
59

Tgl
Jam

No
Dx

Evaluasi

TTD

A : Masalah teratasi
P : Ulangi intervensi No.2-8 jika terdapat penumpukan
secret
13.00

II

S :O : - Px dengan ventilator
- Terpasang tracheostomy
- Infus tangan kanan
- Dower kateter (+)
- Sputum warna putih encer
A : Masalah teratasi
P : Intervensi No.1-5 dilanjutkan

13.00

III

S :O : - Px terpasang ventilator
- Px bedrest, GCS 1x5
- Perkusi kulit hangat, kering, merah
- Kulit bersih, tidak ada tanda-tanda dekubitus
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi 1-6 dilanjutkan

21-11-12
10.00

S :O : - Px sudah tidak memakai ventilator


- Terpasang O masker 6 lpm
60

Tgl
Jam

No
Dx

Evaluasi

TTD

- Sputum warna putih encer


- Ronchi +/+ minimal
- Wheezing -/ - Reflek batuk (+)
A : Masalah teratasi
P : - Rencana px pindah ke bedah F
- Ulangi intervensi No.2-8 jika terdapat secret
10.00

II

S :O : - Terpasang tracheostomy
- Infus tangan kanan
- Terpasang dower kateter
- Sputum warna putih encer
A : Masalah teratasi
P : - Rencana px pindah ke bedah F
- Intervensi No.1-5 dilanjutkan

10.00

III

S :O : - Px terpasang tracheostomy
- GCS 1x5
- Perkusi kulit hangat, kering, merah
- Kulit bersih
- Tidak ada tanda-tanda dekubitus
A.: Masalah belum teratasi
P : - Rencana px pindah ke bedah F
- Intervensi 1-6 dilanjutkan
61

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibicarakan pembahasan Asuhan Keperawatan Pada Tn AM


dengan diagnose medis Cedera Otak Berat dengan Pemakaian Ventilator di Ruang ROI
RSUD Dr Soetomo Surabaya, maka penulis dapat membandingkan antara teori dengan
asuhan keperawatan berdasarkan kasus nyata.
4.1 Pengkajian
62

4.1.1 Umur : pada teori dan kasusnya didapatkan persamaan yaitu cedera kepala pada
kasus ini terjadi pada usia 40 tahun. Pada teori bahwa cedera kepala sering dijumpai pada
usia produktif antara 15 44 tahun.
4.1.2 Jenis Kelamin : pada teori dan kasusnya didapatkan persamaan yaitu cedera kepala
pada kasus ini terjadi pada laki - laki. Pada teori bahwa cedera kepala sering dialami oleh
kaum laki laki.
4.2 Riwayat penyakit
Riwayat penyakit sekarang didapatkan persamaan yait penyebab cedera kepala
karena kecelakaan lalu lintas sedangkan pada teori ditemukan adanya konvulsi hal ini
tidak terjadi dikarenakan tekanan intracranial pada pasien tidak mengalami peningkatan.
4.3 Pemeriksaan Fisik
B1 : pada landasan teori didapatkan gangguan pada nafas hipofentilasi, hypoxia,
hiperapneu. Sedangkan pada kasus nyata hal tersebut dialami pasien pada hari ke dua
kemudian diberi bantuan ventilasi mekanik sehingga kebutuhan oksigennya dapat
terpenuhi dengan adekuat.
B2 : Didapatkan persamaan yaitu adanya tachikardi
B3 : Didapatkan persamaan yaitu pada kasus nyata mengalami penurunan kesadaran
seperti pada teori, tetapi terdapt perbedaan yaitu pada kasus nyata pasien tidak mengalami
peningkatan tekanan intracranial.
B4 : Didapatkan perbedaan yaitu pada kasus nyata pasien tidak mengalami retensi urine
atau inkontinensia urine maupun deficit volume cairan.
B5 : Didapatkan perbedaan yaitu pada kasus nyata pasien tidak mengalami dispagia,
mual dan muntah proyektil, bising usus menurun atau lemah.
B6 : Didapatkan persamaan yaitu pada kasus nyata pasien didapatkan adanya tonus otot
menurun, parese maupun plegi.
63

4.4 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


4.4.1 Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan cedera otak didapatkan
persamaan dengan teori, namun pada kasus nyata hanya didapatkan resiko tinggi
gangguan perfusi jaringan cerebral, untuk intervensi tidak dibahas karena masalah tidak
diangkat.
4.4.2 Resiko tinggi peningkatan TIK berhubungan dengan peningkatan volume otak
didapatkan perbedaan, pada kasus nyata pasien tidak terjadi. Hal ini karena pasien
mendapat pertolongan dengan cepat di rumah sakit.
4.4.3 Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan secret di jalan nafas
didapatkan persamaan pada teori, pada kasus nyata pasien juga didapatkan masalah
ketidakefetifan jalan nafas dan seluruh intervensi dapat diterapkaan pada kasus nyata.
4.4.4 Resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neoruvaskuler, control mekanisme ventilasi didapatkan perbedaan kasus nyata pasien
tidak mengalami masalah tersebut karena pasien sudah mendapatkan bantuan mekanik.
Untuk intervensi tidak dibahas karena masalah tidak diangkat.
4.4.5 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan/ tahanan, tirah
baring, imobilisasi didapatkan persamaan pada teori tetapi pada kasus nyata didapatkan
masalah resiko gangguan integritas kulit dan seluruh intervensi dapat diterapkan pada
kasus nyata.
4.4.6 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan prosedur invasive,
didapatkan persamaan dengan teori. Pada kasus nyata juga didapatkan masalah infeksi,
untuk intervensi dapat diterapkan pada kasus nyata.
4.4.7

Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan kemampuan menelan, penurunan reflek mengunyah didapatkan perbedaan dengan

64

teori yaitu pada kasus nyata tidak didapatkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan.
Intervensi tidak dibahas karena masalah tidak diangkat.
4.5 Implementasi
Di dalam pelaksanaan semua tindakan yang direncanakan dapat diimplementasikan
sesuai dengan situasi dan kondisi pasien secara menyeluruh sesuai dengan fasilitas yang
ada.
4.6 Evaluasi
Pada kasus Tn AM dengan diagnosa keperawatan keridakefektifan jalan nafas
dapat teratasi. Karena pasien masih terpasang tracheostomy tidak menutup kemungkinan
masih ada kecenderungan masalah tersebut timbul kembali. Sedangkan pada diagnose
keperawatan terjadinya infeksi berhubungan dengan tindakan infasive bisa terjadi
sebagian karena pada pemeriksaan leukosit didapatkan penurunan tetapi tidak sampai
batas normal dan pasien masih memerlukan tindakan infasive lebih lanjut.
Untuk diagnosa resiko gangguan integritas kulit (dekubitus) dapat teratasi. Akan
tetapi karena pasien belum sadar, belum mandiri maka diperlukan tindakan keperawatan
secara menyeluruh sesuai fasilitas yang ada.

65

BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Cedera kepala merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang membutuhkan
penanganan segera baik saat di tempat kejadian maupun perjalanan di rumah sakit.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kecacatan dan kematian. Kematian
pada cedera kepala banyak disebabkan karena hipotensi akibat gangguan pada
autoregulasi. Ketika terjadi gangguan autoregulasi akan menimbulkan hipoperfusi
jaringan serebral dan berakhir pada jaringan otak, karena otak sangat sensitive terhadap
oksigen dan glukosa. Lebih dari 50% penyebab cedera kepala karena kecelakaan lalu
lintas, selebihnya diesebabkan karena factor lain seperti terjatuh, terpukul dan
kriminalitas.
66

5.2 Saran
1. Melihat banyaknya masalah yang ditimbulkan pada pasien cedera kepala diharapkan
perawat bisa meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam memberikan asuhan
keperawatan yang optimal sehingga dapat meminimalkan kecacatan dan mencegah
komplikasi lebih lanjut.
2. Dengan tuntutan perkembangan di bidang kesehatan diharapkan seluruh fasilitas
kesehatan yang ada khususnya RS daerah sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan
diharapkan dapat memberikan pelayanan pada cedera kepala secara optimal
3. Dengan berkembangnya ekonomi dan otomotif di kalangan masyarakat sehingga alat
transportasi seperti sepeda motor mudah didapat. Diharapkan para pengemudi baik
sepeda motor maupun mobil mematuhi rambu rambu lalu lintas sehingga
meminimalkan terjadinya kecelakaaan.

67

Você também pode gostar