Você está na página 1de 21

BAB I

PENDAHULUAN

Pemeriksaan mikroskopik pada permukaan kulit telah dilakukan sejak


beberapa ratus tahun yang lalu. Pada tahun 1663, Johan Kolhaus pertama kali
mengamati pembuluh pada lipatan kuku menggunakan sebuah mikroskop. Unna
mempublikasikan tulisan pada tahun 1893 berjudul Diaskopie, yang
menjelaskan mengenai penggunaan minyak imersi pada mikroskop untuk
pemeriksaan mikroskopik permukaan kulit. Kata dermatoscopy pertama kali
dikenalkan pada tahun 1920-an dengan memperkenalkan sebuah alat diagnostik
yang menyerupai mikroskop binokular dengan sumber cahaya yang terpasang
untuk pemeriksaan kulit. Kata dermoscopy pertama kali dikenalkan pada tahun
1950 ketika seorang ahli kulit menggunakan sebuah alat untuk mengevaluasi lesi
berpigmen pada kulit. Pada tahun 1971, Rona Mackie mengidentifikasi
keuntungan dari pemeriksaan mikroskopik permukaan kulit pada perkembangan
diagnosis pre operatif lesi kulit berpigmen. Penggunaan teknik ini pada abad ke21 di dipelajari dan dikembangkan oleh peneliti Austria, Jerman dan Italia. Pada
tahun 1989, konferensi konsensus pertama mengenai pemeriksaan mikroskopik
permukaan kulit diadakan di Hamburg, Jerman dan pada tahun 2001 Konsensus
net meeting mengenai dermoskopi diadakan di Roma, Italia. Tujuan dari kedua
pertemuan tersebut adalah untuk menentukan definisi definisi dari struktur yang
terlihat pada lesi kulit berpigmen benigna dan maligna. (1)
Sebagian besar kondisi dermatologis di diagnosa melalui inspeksi lesi kulit
secara sederhana dengan mata telanjang atau dengan lensa genggam. Kasus
dengan diagnostik yang sulit sering terpecahkan melalui biopsi kulit, yang
membutuhkan prosedur minor, tetapi masih invasif. Dermoskopi adalah salah satu
teknik non-invasif yang digunakan untuk mendiagnosis kondisi dermatologis.
Dermoskopi, yang disebut juga dermatoskopi, epiluminescence microscopy,
incident light microscopy, atau pemeriksaan mikroskopik permukaan kulit,

dilakukan dengan menggunakan instrumen genggam yang disebut dermatoskop


atau dermoskop, yang menggunakan sumber cahaya transluminasi dan perbesaran
optik standar (10x). Dermatoskop menyajikan visualisasi struktur sub permukaan
kulit yang terletak antara epidermis, dermioepidermal junction, dan dermis
papillaris, yang tidak dapat terlihat oleh mata telanjang. (2)
Tujuan penulisan referat ini untuk menjelaskan tentang teknik, aplikasi dan
fungsi dari dermoskopi sebagai salah satu alat pemeriksaan yang digunakan
menunjang diagnosis penyakit kulit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DERMOSKOPI
Dermoskopi, disebut juga dermatoskopi, epiluminescence dermoscopy,
incidence light dermoscopy, dan surface microscopy, adalah teknik non
invasif yang menggunakan alat genggam dengan cahaya dan pembesaran
(umumnya pembesaran 10 kali) untuk melihat lesi kulit yang dalam. Alat ini
digunakan untuk mendeteksi struktur dan detail dibawah epidermis yang
tidak dapat terlihat dengan mata telanjang. Setelah dokter melakukan
pemeriksaan pada lesi yang dicugai dengan mata telanjang, kemudian
digunakan dermatoskop untuk melihat lebih dekat dan detail. (3, 4, 5)
Dermoskopi terbagi atas tiga jenis yaitu.

Oil

immersion devices,

menggunakan

medium

memerlukan kontak dengan kulit


perantara

untuk

mengurangi

dan

penyebaran

permukaan cahaya.

Cross-polarised devices, menggunakan cahaya terpolarisasi silang untuk


mengurangi penyebaran permukaan cahaya.

Hybrid devices, memiliki pilihan untuk menggunakan dengan cahaya


terpolarisasi silang atau minyak immersi untuk mengurangi penyebaran
permukaan cahaya. (6)

(a)

(b)

(c)

Gambar 1. Dermoskop (6)


(a) Oil immersion device; (b) cross-polarised device; (c) hybrid device

B. KEGUNAAN DERMOSKOPI
Kegunaan dermoskopi adalah sebagai berikut.
a.

Membantu membedakan lesi kulit melanoma dengan non melanoma.

b.

Membantu membedakan lesi kulit benigna dengan maligna.

c.

Meningkatkan diagnosis melanoma secara dini.

d.

Meningkatkan diagnosis melanoma incognito.

e.

Membantu menghindari operasi yang tidak dibutuhkan.

f.

Membantu untuk merencanakan operasi.

g.

Membantu pemeriksa untuk bekerja sama dengan ahli patologis (kriteria


beresiko tinggi asimetris, tumbukan tumor, hubungan dermoskopikpatologis).

h.

Jaminan pasien.

i.

Dapat melakukan follow up pasien dengan multipel nevi secara digital


untuk mengamati perubahannya dari waktu ke waktu. (7)

C. INDIKASI PEMERIKSAAN DERMOSKOPI


Indikasi untuk pemeriksaan dermoskopi adalah sebagai berikut.
a.

Membantu membuat keputusan untuk melakukan biopsi, ini merupakan


fungsi yang paling penting.

b.

Evaluasi lesi melanoma, alat ini dapat mengevaluasi morfologi, distribusi


dan susunan pembuluh darah serta struktur putih berkilau.

c.

Evaluasi lesi berpigmen dan non pigmen, secara khusus membantu


membedakan antara melanoma dan karsinoma sel basal dengan lesi kulit
benigna. (2)
Dermoskopi juga berguna untuk membedakan antara hemangioma,

angiokeratoma, karsinoma sel basal berpigmen, dan keratosis seboroik


dengan lesi melanoma. Banyak kegunaan baru yang ditemukan termasuk
mengidentifikasi liang skabies dan tungau, diagnosis tungiasis dan infeksi
parasit lainnya. (4)

D. PERSIAPAN PEMERIKSAAN DERMOSKOPI


Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam persiapan pemeriksaan
dermoskopi yaitu.
a. Kaca pembesar (10x).
b. Sumber cahaya non polarisasi
c. Plate transparan.
d. Minyak atau cairan yang ditempatkan pada lesi untuk mengeliminasi
refleksi cahaya dari permukaan kulit sehingga dapat melihat warna dan
struktur di bawah dermis papillare.
e. Sekarang, sistem baru menggunakan cahaya terpolarisasi memberikan
hasil yang sama tanpa menggunakan cairan. (7)

E. TEKNIK PEMERIKSAAN DERMOSKOPI


Dermatoskop menghasilkan sorotan cahaya yang jatuh pada permukaan
kulit dengan sudut 200, yang memperlihatkan hasil karakteristik dermoskopik
akibat adanya melanin dan haemoglobin pada lapisan kulit yang berbeda.
Dermatoskop umumnya menghasilkan gambar dengan perbesaran 10 kali
lipat. (8)

Gambar 2. Cara penggunaan dermoskop. (6)

Dermoskop memiliki cahaya yang terpasang di dalamnya, yang di


aplikasikan pada permukaan kulit dengan minyak yang diolesi pada lesi untuk
meningkatkan tampakan struktur permukaan kulit sepanjang epidermis,
dermoepidermal junction, dan dermis papilare yang tidak dapat terlihat
dengan mata telanjang. Teknik ini umumnya digunakan untuk mendiagnosis
lesi berpigmen yang meragukan. Pengamatan yang terstruktur pada warna
dan tampakan element struktural (jaringan pigmen, tetesan dan titik, kista
bertanduk, dan pembukaan pseudofolikular dan pola vaskular) dapat
meningkatkan akurasi pada diagnosis melanoma maligna. (2, 6)
Pada pemeriksaan dengan mata telanjang, cahaya yang ditransmisikan
pada kulit direfleksikan pada stratum korneum, sehingga menghalangi
pengamat untuk melihat struktur yang terletak di bawah lapisan ini.

Dermatoskop menyinari kulit menggunakan lampu cahaya pancaran dioda,


dengan atau tanpa filter polarisasi. Dermatoskop yang menggunakan cahaya
non polarisasi memerlukan kontak langsung antara kulit dan alat, dan
memerlukan perantara cairan, seperti ultrasound gel atau alkohol, diletakkan
antara kulit dan penampang kaca dari dermatoskop. Saat cairan perantara
diaplikasikan pada kulit, dermatoskop ditempatkan di atas lesi dan ditekan
lembut, sangat penting untuk memberikan tekanan yang dengan cukup guna
mengeleminasi

gelembung

udara.

Cairan

perantara

menghalangi

terefleksikannya stratum korneum dan meningkatkan refraksi, sehingga


memberikan gambaran struktur di bawah stratum korneum. Dermoskopi non
polarisasi meningkatkan spesifisitas karena mempermudah pengamatan
struktur yang umumnya terlihat pada lesi benigna, seperti kista seperti milia
pada keratosis seboroik. Dermatoskop dengan filter polarisasi silang tidak
memerlukan kontak dengan kulit maupun cairan perantara. Filter polarisasi
silang mengeliminasi cahaya silau dari permukaan kulit dan meningkatkan
refraksi cahaya, sehingga pengamat dapat melihat struktur kulit yang lebih
dalam. Dermoskopi terpolarisasi memiliki sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi kanker kulit berdasarkan kemampuannya dalam meningkatkan
tampakan vaskular dan struktur kristal, dimana keduanya sering terlihat pada
kanker kulit. (2)

Gambar 3. Proses optik dari dermoskopi dengan cahaya terpolarisasi dan non
polarisasi (7)

F. GAMBARAN DERMOSKOPI
Pola yang diobservasi pada dermoskopi terdiri atas 5 elemen dasar
sebagai berikut.
a. Garis (line): objek bersambungan dua dimensi dengan ukuran panjang
lebih besar daripada lebar.
b. Titik (dot): sebuah objek sangat kecil yang memiliki bentuk yang terlihat.
c. Gumpalan (clod): berbatas jelas, objek padat yang lebih besar dari titik,
memiliki bentuk.
d. Lingkaran (circle): garis melengkung yang sama jauhnya dari titik
tengah.
e. Pseudopoda: garis dengan akhiran bulat. (2, 9)

Gambar 4. 5 elemen dasar struktur dermoskopi yaitu garis, titik, gumpalan, lingkaran
dan pseudopoda (atas ke bawah) (2)

Pola terbentuk dari pengulangan elemen dasar yang sama. Terdapat


juga pola tak berstruktur, yaitu suatu area tanpa adanya elemen dasar, atau
sedikitnya tidak ada elemen dasar yang mendominasi. Garis dapat terbentuk
dari lima pola yang berbeda yaitu retikular, bercabang, paralel radial dan
melengkung. (2)

Gambar 5. Pola garis pada tampakan dermoskopi yaitu retikular, bercabang, paralel,
radial dan melengkung (dari kiri ke kanan, atas ke bawah) (2, 9)

10

Gambar 6. Pola dasar pada tampakan dermoskopi (2)

Warna yang terlihat pada dermoskopi terbentuk dari kombinasi keratin,


melanin, darah (termasuk serum dalam krusta), kolagen dan material asing.
Warna melanin bervariasi tergantung dari lokasinya dalam epidermis atau
dermis. (marghoob) Walaupun melanin berwarna hitam, akan tampak warna
yang berbeda tergantung kedalaman lokasinya pada kulit. lokasi sangat
superfisial berwarna hitam, tetapi semakin ke dalam epidermis akan berwarna
coklat. Pada dermis, melanin tampak abu-abu atau biru. Oleh karena itu,
warna ini mengindikasikan adanya pigmen melanin pada lokasi yang lebih
dalam dari ekspektasi, yang dapat menjadi tanda pada keganasan invasif. (9)

Gambar 7. Interpretasi warna pada dermoskopi (2)

11

Morfologi pembuluh darah terdiri atas titik, gumpalan, garis, lurus,


simpul, melengkung, berlekuk-lekuk, spiral dan bergelung. Distribusinya
terdiri atas acak, bergerombol, serpiginosa, linear, berpusat, radial, retikular,
dan bercabang. (2)

Gambar 8. Struktur dasar vaskular dermoskopik, A. titik (dot), B. gumpalan (clods),


garis (lines), C. lurus (straight), D. simpul (looped), E. melengkung (curved), F. berlekuklekuk (serpentine), G. spiral (helical) dan H. bergelung (coiled). (2)

Gambar 9. Pola dasar vaskular dermoskopik, A. acak (random), B. bergerombol


(clustered), C. serpiginosa (serpiginous), D. Linear, E. Berpusat (centered), F. radial, G.
retikular, dan H. Bercabang (branched). (2)

12

G. ALGORITME PEMERIKSAAN DERMOSKOPI


Saat menggunakan dermatoskop, penting untuk memiliki algoritme
dalam menganalisa lesi untuk membantu membedakan nevi maligna dan
beningna. (fitzpatrick) Berbagai algoritme diagnostik pada penggunaan
dermoskopi telah dikembangkan untuk melanoma, termasuk ABCD rule,
seven-point checklist, analisis pola, metode Menzies, modifikasi ABCD-point
list, CASH (color, architecture, symmetry, dan homogenesity), dan
modifikasi dari analisis pola yaitu chaos and clues. Dari keseluruhan metode
ini termasuk kalkulasi numerik, hanya analisis pola dan chaos and clues
yang dapat menilai seluruh malignansi berpigmen kulit, termasuk non
melanoma yaitu karsinoma sel basal berpigmen (pBCC) dan karsinoma sel
skuamosa berpigmen (pSCC). Beberapa penelitian membandingkan metode
ini guna menentukan metode yang paling efektik untuk deteksi melanoma
secara dermoskopik. Analisis pola, yang menampilkan seluruh kesan dari
pola multipel dermoskopik tanpa aturan kaku, berdasarkan penilaian utama
secara subjektif, evaluasi simultan dari berbagai jumlah kriteria, merupakan
metode yang paling banyak digunakan dalam penggunaan dermoskop untuk
mengevaluasi lesi berpigmen. (3, 9)
Dolianitis et al menyatakan bahwa analisis pola memiliki spesifisitas
tertinggi di kalangan bukan ahli, mereka menyimpulkan metode Menzies
memiliki akurasi diagnostik tertinggi (81,1%) dan sensitivitas (84,6%), yang
paling banyak dipilih oleh partisipan. Argenziano et al menyebutkan bahwa
3-point checklist yang menunjukkan hasil efektif dalam penelitiannya, dapat
menjadi pilihan. Dokter keluarga melakukan pemeriksaan denganmata
telanjang menggunakan kriteria ABCD untuk melihat tampakan morfologi
seimpel pada lesi, menilai keasimetrisan, keteraturan tepi, warna, diameter
lebih dari 6 mm dan evolusi tampakan. Sensivisitas dan spesifisitas
menunjukkan angka 43% dan 99,6% jika terdapat 5 kriteria, dan 97,3% dan
36% jika terdapat 1 kriteria. Dokter keluarga mengembangkan kriteria ini
sehingga membantu non dermatologis untuk membendakan antara nevi

13

dengan melanoma secara umum, tetapi tidak dapat mendeteksi seluruh lesi
maligna. (10)

a. Analisis pola
Berbagai tipe dari lesi berpigmen kulit, dan perbedaan spesifik
antara lesi melanoma benigna dan maligna, dapat ditentukan melalui
analisis pola pada bentuk spesifik secara dermoskopik. Terdapat 2
langkah dalam proses analisis pola yaitu. (11)
Analisis pola Tahap 1
Tahap pertama yaitu mengidentifikasi lesi melanoma untuk
mencari adanya agregasi globulus, PN, atau corak bercabang (branched
streaks). Jika pola tersebut tidak ada, maka karakteristik lain harus dicari.
Pertama, cari tanda khas untuk blue nevus yaitu adanya area biru
homogen. Kedua, lesi harus di evaluasi adanya mont-eaten border (batas
seperti dimakan ngenat), fingerprinting,comedo-like openingdan milialike cyst. Pada kasus ini, lesi dicurigai sebagai solar lentigo atau keratosis
seboroik. Ketiga, jika terdapat lagoon berwarna merah atau merah
kebiruan hingga hitam, lesi dicurigai sebagai hemangioma atau
angiokeratoma. Terakhir, lesi diperiksa untuk melihat adanya struktur
maple leaf-like, arborizing telangiektasis, spoke-wheel areas, dan sarang
burung abu biru. Lesi ini sesuai dengan karsinoma sel basal. Semua lesi
harus dievalusi kembali untuk menentukan adanya struktur melanoma,
bahkan jika tidak terdapat struktur yang dijelaskan diatas. (11)

14

Gambar 10. Rangkuman analisis pola tahap 1 (7)

Analisis pola Tahap 2


Tujuan utama dari tahap 2 adalah untuk menentukan diagnosis
banding yang akurat antara lesi melanoma benigna dengan melanoma.
Bentuk penting yang membedakan kedua jenis tersebut adalah tampakan
warna, architectural order, kesimetrisan pola, dan homogen, yang
disingkat sebagai CASH. Nevi melanoma memiliki beberapa warna,
bentuk regular, dan pola simetris. Pada kontras, melanoma maligna
sering tampak beberapa warna, architectural disorder, pola asimetris,
dan heterogen. (11)

15

Gambar 11. Diagram menunjukkan pola nevi benigna secara dermoskopik (7)

Gambar 12. Diagram menunjukkan bentuk spesifik melanoma (7)

b. ABCD rule
Gambaran konvensional asimetris, atau yang lebih dikenal ABCD
pada melanoma, yaitu asimetris, tepi ireguler, warna bervariasi, diameter
lebih dari 6 mm. (2)

c. 7 point checklist
7 point checklist berdasarkan pada deteksi 7 bentuk dermoskopik
yang umumnya berhubungan dengan melanoma yaitu.

16

Atypical pigment network

Blue whitish veil

Atypical vascular pattern

Irregular streaks

Irregular dots atau globules

Irregular blotches

Regression structure (7)

Gambar 13. 7 point checklist (7)

Skor di kalkukasi melalui jumlah poin, tiap kriteria satu poin. Jika
skor lesi 1 atau lebih, maka harus diperiksa secara hati-hati dengan
kecurigaan sebagai melanoma. (7)

17

d. Metode Menzies
Klasifikasi ini mengidentifikasi 2 aspek negatif dan 9 aspek positif.
Untuk mendiagnosis sebagai melanoma, kedua aspek negatif tidak boleh
ditemukan pada lesi, yaitu satu warna atau poin, dan pigmentasi simetris
axial. Sebagai tambahan, sekurang-kurangnya 1 atau 2 aspek positif
harus ditemukan pada lesi, yaitu blue-white veil, bintik coklat multipel,
pseudopoda, radial streaming, depigmentasi seperti skar, globulus atau
bintik dengan tepi berwarna hitam, banyak warna (5 atau 6), bintik biru
atau abu-abu yang multipel atau broadened network. (7, 11)

e. 3 point checklist
3 point checklist merupakan metode yang sederhana untuk
dipelajari dan digunakan, dan memiliki sensitifitas tertinggi untuk
mengidentifikasi melanoma. Metode ini merupakan algoritme skrining
untuk mendekteksi kanker kulit (melanoma dan karsinoma sel basal
berpigmen) dan diaplikasikan hanya pada lesi berpigmen. Satu poin
diberikan pada tiap kriteria yang tampak pada lesi sebagai berikut. (2)

Asimetris: distribusi warna asimetris pada 1 atau 2 sumbu tegak


lurus (perpendicular axes). Bentuk atau bayangan lesi bukan
merupakan faktor untuk menentukan apakah lesi simetris atau tidak.

Jaringan atipik: jaringan pigmen ireguler atau atipik terdiri atas garis
tebal dan lubang ireguler.

Blue-white veil atau depigmentasi seperti skar berwarna putih


dan/atau granula seperti serbuk biru. (2, 7)

18

Gambar 14. Contoh lesi pada 3 point checklist. Skor total 2 atau 3 mengindikasikan
positif, dan lesi harus di lakukan biopsi untuk pemeriksaan lanjut. A: pola asimetris dan
jaringan pigmen atipik. B: pola asimetris dan struktur biru-putih (total 2 poin; diagnosis
melanoma in situ). C dan D: pola asimetris dan struktur biru-putih (total 2 poin, diagnosis
karsinoma sel basal). Lesi C memiliki tampakan klinis oval, tetapi secara dermoskopik
terlihat asimetris karena distribusi warna dan struktur yang tidak merata pada lesi. (2)

f. Chaos and clues

Gambar 15. Algoritma chaos and clues. Pengecualian: perubahan lesi pada orang
dewasa, tampakan dermatoskopik abu-abu pada kepala atau leher, lesi nodular berpigmen,
pola mengerut paralel (telapak tangan atau kaki) (9)

19

H. KEKURANGAN PEMERIKSAAN DERMOSKOPI


Derrmoskopi memiliki beberapa keterbatasan sebagai berikut.
a. Menghasilkan bias (terlalu bergantung pada satu jenis informasi) dan
kepuasan pengamatan (mendasari diagnosis pada informasi yang tidak
lengkap dan mengakhiri pengamatan).
b. Menghasilkan akurasi diagnostik yang lemah jika dokter tidak mengenali
atau menginterpretasikan struktur yang signifikan dengan tepat.
c. Tidak

dapat

mendeteksi

melanoma

secara

dini,

yang

belum

memperlihatkan kriteria dermoskopik spesifik.


d. Melemahkan akurasi diaknostik ketika lesi di diagnosa menggunakan
dermoskopi saja, tanpa memperhatikan kondisi klinisnya. (2)

20

BAB III
KESIMPULAN

Dermoskopi merupakan teknik non invasif menggunakan alat genggam


dengan cahaya dan pembesaran 10 kali lipat untuk melihat lesi kulit yang lebih
dalam. Dermoskopi terbagi atas tiga jenis yaitu oil immersion device, crosspolarized devices dan hybrid devices. Dermoskopi berguna untuk membantu
menentukan diagnosis yang tepat pada lesi kulit, terutama membedakan antara
lesi kulit melanoma dan non melanoma, benigna dan maligna serta menentukan
perencanaan tindakan seperti biopsi.
Terdapat beberapa algoritme yang digunakan dalam menganalisa lesi kulit
pada pemeriksaan dengan menggunakan dermoskop antara lain analisis pola,
ABCD rules, 7 point checklist, metode Menzies, 3 point checklist dan chaos and
clues. Analisis pola merupakan metode yang paling banyak digunakan pada
penggunaan dermoskop guna mengevaluasi lesi berpigmen.

21

REFERENSI

1. Armstrong, A. Dermoscopy: An evidence-based approach for the early


detection of melanoma. UNF Theses and Dissertations. 2011. p. 9-10
2. Marghoob, AA., Usatine, RP., Jaimes, N. Dermoscopy for the family
physician. Volume 88, No 7. American academy of family physician. 2013. p.
441-50.
3. Grichnik, JM., Rhodes, AR., Sober, AJ. Melanocytic tumors. In: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz Si, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ., editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: The
McGraw Hill Companies; 2012. p. 1429-30
4. Cox, NH., Coulson, IH. Diagnosis of skin disease. In: Burns, T., Breatnach,
S., Cox, N., Griffiths., editors. Rooks Textbook of Dermatology Volume 1.
8th edition. Willey-Blackwell. Manchester; 2010. p. 5.20
5. Herschorn, A. Dermoscopy for melanoma detection in family practice.
Volume 58. Canadian Family Physician; 2012. p. 740-5
6. Bowling, J. Diagnostic dermoscopy: The illustrated guide. First edition.
Blackwell publishing Ltd; 2012.
7. Hossam, D., Sadek, A., Saied, N. Dermoscopy: A literature review. Volume
11, No 1. Egyptian dermatology journal; 2015. p. 1-32
8. Pluddemann, A., Heneghan, C., Thompson, M., Wolstenholme, J., Price, CP.
Dermoscopy for the diagnosis of melanoma: primary care diagnostic
technology update. British Journal of General Practice. 2011. p: 146-7
9. Cameron, C., McColl, I, Wilkinson, D. Dermatoscopy in routine practice.
Volume 41, No 7. Australian Family Physician; 2012. p. 482-7
10. Saez, A., Acha, B., Serrano, C. Pattern analysis in dermoscopic images.
Computer vision techniques for the diagnosis of skin cancer; 2014. P. 23-48
11. Stanganelli, I. Dermosopy: overview, technical procedures, and equipment,
color. Medscape Reference; 2014. Accessed from http://emedicine.medscape.
com/article/1130783-overview on December 2nd, 2015.

Você também pode gostar