Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
OLEH:
SGD 7
A.A. Febby Jayantari
1002105006
1002105014
1002105025
1002105032
1002105036
1002105045
Ni Putu Marlina
1002105047
1002105049
1002105066
1002105069
1002105078
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
HIV merupakan virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini
termasuk dalam golongan retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya
sendiri untuk memproduksi kembali dirinya. Acquired Immuno Deficiency Syndrome
(AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh
yang disebabkan oleh infeksi HIV. AIDS merupakan masalah kesehatan Internasional
yang harus segera ditangani. Di belahan dunia penyakit ini sudah merupakan pandemik di
beberapa benua besar seperti Amerika, Afrika, Eropa maupun belahan Asia Tenggara.
Penyakit ini belum ditemukan obatnya, akan tetapi penderita yang mengidap penyakit
HIV tidak perlu cemas, karena jika penyakit HIV dideteksi dengan dini dan ditangani
dengan pengobatan yang maksimal, kemungkinan HIV tidak berkembang menjadi AIDS
itu ada. Tetapi penderita penyakit HIV harus disiplin dalam menjalani pengobatan ARV,
jika terlambat mengkonsumsi ARV kemungkinan virus HIV akan rentan terhadap obat
tersebut bisa meningkat.
Laporan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sampai dengan 31 Desember 2011 yang
dikeluarkan oleh Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI tanggal 29 Februari 2012 menunjukkan
jumlah kasus sudah menembus angka 100.000. Jumlah kasus yang sudah dilaporkan
106.758 yang terdiri atas 76.979 HIV dan 29.879 AIDS dengan 5.430 kematian.
Perkembangan obat antiretroviral (ARV) bagi penderita HIV/AIDS di Indonesia mulai
dari tahun 1996 dengan highly active antiretroviral therapy (HAART) lalu dilanjutkan
pada tahun 2001 dengan pemakaian ARV generik. Selanjutnya, pada tahun 2003, obat
ARV diproduksi secara lokal sehingga pada tahun 2004 berlanjut secara penuh menjadi
program pemerintah. Hingga tahun 2008, tercatat pengguna ARV di Indonesia mencapai
20.000 pengguna.
Kepatuhan menggunakan ARV pada orang dewasa mencapai 76,4%. Kombinasi terapi
antiretroviral (cART= combination antiretroviral treatment) telah terbukti
menjadi
mekanisme terapi yang efektif untuk menekan replikasi viral dan pemulihan dari sistem
kekebalan tubuh, sehingga memungkinkan pasien untuk pulih dan hidup dengan penyakit
HIV
sebagai
penyakit
kronis.
Jika
kepatuhan
terhadap
obat
yang
tinggi,
immunesuppression yang parah tidak akan terjadi pada inisiasi cART, dan tidak ada comorbiditas yang signifikan, proyeksi menunjukkan bahwa orang yang hidup dengan
HIV / AIDS telah sangat meningkatkan prognosis jangka panjang. Meskipun bukti
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami mengenai Pengaruh model pendekatan dari perawat dan
dokter dalam mengurangi mortalitas dini dan peningkatan retensi klinik diantara
resiko tinggi HIV-infected
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui Peran perawat dalam pemberian cART
b. Mengetahui pengaruh intervensi keperawatan dalam mengurangi mortalitas dini
pasien dengan risiko tinggi HIV-infected
c. Mengetahui metode yang digunakan dalam mengetahui Pengaruh model
pendekatan dari perawat dan dokter dalam mengurangi mortalitas dini dan
peningkatan retensi klinik diantara resiko tinggi HIV-infected
d. Mengetahui implikasi keperawatan yang sesuai dalam menyikapi pengaruh model
pendekatan dari perawat dan dokter dalam mengurangi mortalitas dini dan
peningkatan retensi klinik diantara resiko tinggi HIV-infected
D. Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman secara teoritis mengenai Pengaruh model pendekatan dari
perawat dan dokter dalam mengurangi mortalitas dini dan peningkatan retensi klinik
diantara resiko tinggi HIV-infected
2. Meningkatkan pengetahuan serta motivasi perawat dalam mengaplikasikan perannya
saat melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif.
3. Meningkatkan pengetahuan mengenai metode yang digunakan dalam mengetahui
Pengaruh model pendekatan dari perawat dan dokter dalam mengurangi mortalitas
dini dan peningkatan retensi klinik diantara resiko tinggi HIV-infected
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HIV-AIDS
1. Pengertian
HIV ( Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus pada manusia yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia yang dalam jangka waktu yang relatif lama dapat
menyebabkan AIDS. Sedangkan AIDS sendiri adalah suatu sindroma penyakit yang
muncul secara kompleks dalam waktu relatif lama karena penurunan sistem
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala penyakit
karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS
ditujukan pada orang yang mengalami infeksi opportunistik, dimana orang tersebut
mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang)
dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. Kondisi lain yang sering digambarkan
meliputi kondisi demensia progresif, wasting syndrome, atau sarkoma kaposi (pada
pasien berusia lebih dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya yaitu kanker serviks
invasif atau diseminasi dari penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi misalnya,
TB (Tubercolosis). (Doenges, 2000).
Acquired Immune Deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit
yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV ditemukan
dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu
ibu. Virus tersebut merusak kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya
atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.
(Nursalam, 2007)
2. Etiologi
AIDS adalah gejala dari penyakit yang mungkin terjadi saat system imun dilemahkan
oleh virus HIV. Penyakit AIDS disebabkan oleh Human Immunedeficiency Virus
(HIV), yang mana HIV tergolong ke dalam kelompok retrovirus dengan materi
genetik dalam asam ribonukleat (RNA), menyebabkan AIDS dapat membinasakan sel
T-penolong (T4), yang memegang peranan utama dalam sistem imun. Sebagai
akibatnya, hidup penderita AIDS terancam infeksi yang tak terkira banyaknya yang
sebenarnya tidak berbahaya, jika tidak terinfeksi HIV (Daili, 2005)
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
a. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada
gejala.
b. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes
illness.
c. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada.
d. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam
hari, BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
e. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita.
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
a. Lelaki homoseksual atau biseks.
b. Orang yang ketagian obat intravena
c. Partner seks dari penderita AIDS
d. Penerima darah atau produk darah (transfusi).
e. Bayi dari ibu/bapak terinfeksi.
3. Patofisiologi
Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen dan
secret Vagina. Sebagaian besar ( 75% ) penularan terjadi melalui hubungan seksual.
HIV tergolong retrovirus yang mempunyai materi genetic RNA. Bilaman virus
masuk kedalam tubuh penderita ( sel hospes ), maka RNA virus diubah menjadi
oleh ensim reverse transcryptase yang dimiliki oleh HIV . DNA pro-virus tersebut
kemudian diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk
membentuk gen virus.
HIV cenderung menyerang jenis sel tertentu, yaitu sel-sel yang mempunyai antigen
pembukaan CD4, terutama sekali limfosit T4 yang memegang peranan penting dalam
mengatur dan mempertahankan system kekebalan tubuh. Selain tifosit T4,virus juga
dapat menginfeksi sel monosit makrofag, sel Langerhans pada kulit, sel dendrit
folikuler pada kelenjar limfe, makrofag pada alveoli paru, sel retina, sel serviks uteri
dan sel-sel mikroglia otak Virus yng masuk kedalam limfosit T4 selanjutnya
mengadakan replikasi sehingga menjadi banyak dan akhirnya menghancurkan sel
limfosit itu sendiri.
Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut sindrom retroviral akut atau
Acute Roviral Syndrome. Sindrom ini diikuti oleh penurunan CD4 (Cluster
Differential Four) dan peningkatan kadar RNA Nu-HIV dalam plasma. CD4 secara
perlahan akan menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih
cepat pada 1,5 2,5 tahun sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load
( jumlah virus HIV dalam darah ) akan cepat meningkat pada awal infeksi dan
kemudian turun pada suatu level titik tertentu maka viral load secara perlahan
meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan jumlah CD4 < 200/mm3
kemudian diikuti timbulnya infeksi oportunistik, berat badan turun secara cepat dan
muncul komplikasi neurulogis. Pada pasien tanpa pengobatan ARV rata rata
kemampuan bertahan setelah CD4 turun < 200/mm3 adalah 3,7 tahun. (DEPKES
RI,2003)
4. Stadium Penyakit
Menurut Nursalam (2007) pembagian stadium HIV menjadi AIDS ada empat stadium
yaitu
a. Stadium pertama HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologi
ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif.
Rentan waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV
menjadi positif disebut window period. Lama window period satu sampai tiga
bulan, bahkan ada yang berlangsung sampai enam bulan.
b. Stadium kedua asimtomatik ( tanpa gejala )
Asimtomatik berarti bahwa didalam organ tubuh tidak menunjukkan gejala gejala. Keadaan ini dapat berlangsung selama 5 10 tahun. Pasien yang tampak
sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
c. Stadium ketiga pembesaran kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe secara menetapdan merata (Persistent Generalized
Lymphadenopaty), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung
selama satu bulan.
d. Stadium keempat AIDS.
Keadaan inidisertai adanya bermacam macam penyakit antara lain penyakit
saraf, infeksi sekunder dan lain lain.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Mandal (2004) tanda dan gejala penyakit AIDS menyebar luas dan pada
dasarnya dapat mengenai semua sistem organ. Penyakit yang berkaitan dengan infeksi
HIV dan penyakit AIDS terjadi akibat infeksi dan efek langsung HIV pada jaringan
tubuh. Adanya HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari penampilan luar.
Orang yang terinfeksi tidak akan menunjukan gejala apapun dalam jangka waktu yang
relatif lama (7-10 tahun) setelah tertular HIV. Masa ini disebut masa laten. Orang
tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya walaupun darahnya
mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkan bagi kesehatan masyarakat,
karena orang terinfeksi secara tidak disadari dapat menularkan kepada yang lainnya.
Dari masa laten kemudian masuk ke keadaan AIDS dengan gejala sebagai berikut:
Gejala Mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala Minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus sitomegalo
Selain itu terdapat tanda dan gejala lain, antara lain:
a. Pneumonia disebabkan oleh protozoa pneumocystis carini. Penyakit ini paling
sering ditemukan pada AIDS dan sangat jarang mempengaruhi orang sehat.
Dengan gejalanya adalah sesak nafas, batuk-batuk, nyeri dada dan demam.
b. Tuberculosis (TB) paru merupakan infeksi oportunistik yang sering dijumpai pada
ODHA. Sekitar 40% dari infeksi oportunistik pada Odha adalah TB.Di samping
itu, TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA; sekitar 40-50%
kematian pada Odha disebabkan oleh TB. Kematian yang tinggi ini terutama pada
TB paru dengan hasil dahak negative dan TB di luar paru yang kemungkinan
besar disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan terapi TB.
c. Nafsu makan menurun, mual dan muntah
d. Kandidiasis oral, infeksi jamur dan bercak putih dalam rongga mulut apabila tidak
diobati dapat ke esophagus dan lambung.
e. Wasthing syndrome merupakan penurunan BB (malnutrisi akibat penyakit kronis,
diare, anoreksia, malabsorbsi gastrointestinal)
f. Sarcoma kaposis adalah kelainan maligna berhubungan dengan HIV yang paling
sering ditemukan. Penyakit ini melibatkan endotel pembuluh darah dan linfe.
Secara khas ditemukan sebagai lesi pada kulit sebagian tungkai terutama pada
pria. Ini berjalan lambat dan sudah diobati. Lokasi dan ukuran lesi dpt
menyebabkan statis aliran vena, limfedema serta rasa nyeri. Lesi ulserasi akan
merusak intergritas kulit dan meningkatkan ketidak nyamanan serta kerentanan
terhadap infeksi.
g. Pada wanita: kandidiasis vagina dapat merupakan tanda pertama yang
menunjukkan HIV pada wanita.
6. Penularan
Menurut Mansjoer (2000) HIV ditularkan melalui kontak seksual, injeksi perkutan
terhadap darah yang terkontaminasi atau perinatal dari infeksi ibu ke bayinya.Jalur
penularan infeksi HIV serupa dengan infeksi Hepatitis B. Anal intercourse atau anal
manipulation (homoseksual) akan meningkatkan kemungkinan trauma pada mukosa
rektum dan selanjutnya memperbesar peluang untuk terkena virus HIV lewat sekret
tubuh.
Hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti. Hubungan heteroseksual
dengan orang yang menderita infeksi HIV. Melalui pemakai obat bius intravena
terjadi lewat kontak langsung darah dengan jarum dan spuit yang terkontaminasi.
Meskipun jumlah darah dalam spuit relatif kecil, efek kumulatif pemakaian bersama
peralatan suntik yang sudah terkontaminasi tersebut akan meningkatkan risiko
penularan. Darah dan produk darah, yang mencakup transfusi yang diberikan pada
penderita hemofilia, dapat menularkan HIV kepada resipien. Berhubungan seksual
dengan orang yang melakukan salah satu tindakan diatas. (Smeltzer, 2001)
7. Diagnosis
AIDS merupakan stadium akhir infeksi HIV. Penderita dinyatakan sebagai AIDS bila
dalam perkembangan infeksi HIV selanjutnya menunjukkan infeksi-infeksi dan
kanker opurtonistik yang mengancam jiwa penderita. Selain infeksi dan kanker dalam
penetapan CDC 1993, juga termasuk : ensefalopati, sindrom kelelahan yang berkaitan
denagan AIDS dan hitungan CDC<200/ml. CDC menetapkan kondisi dimana
infekssii HIV sudah dinyatakan sebagai AIDS.
8. Pencegahan Penularan
Dengan mengetahui cara penularan HIV, maka akan lebih mudah melakukan langkahlangkah pencegahannya. Secara mudah, pencegahan HIV dapat dilakukan dengan
rumusan ABCDE yaitu:
a. A= Abstinence, tidak melakukan hubungan seksual atau tidak melakukan
hubungan seksual sebelum menikah
kontaminasi
bakteri
dan
komplikasi
penyebab
sepsis
harus
BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisa Jurnal
Peran perawat dalam pemberian cART
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dalam jurnal tersebut ditemukan bahwa studi
menunjukkan pemantauan pasien lebih sering dalam bulan-bulan awal oleh perawat yang
berdedikasi dapat secara signifikan meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi
resiko dalam perawatan di antara pasien berisiko tinggi. Meskipun evaluasi lebih lanjut
dibutuhkan, intervensi ini mungkin relatif mudah untuk diterapkan pada lingkungan
dengan keterbatasan sumber daya. Untuk pengetahuan kita, konsep pengkajian berbasis
keperawatan yang dilakukan secara rutin dan berkesinambungan adalah salah satu
intervensi selain profilaksis kotrimoksazol yang telah dikaitkan dengan penurunan besar
dalam kematian dini pasien yang berisiko tinggi terinfeksi HIV yang diinisiasi cART
dalam keadaan low-income. Efek HREC adalah kombinasi dari pengkajian cepat dan
pengkajian rutin. Cepat karena ini membuat tempat kesehatan dapat diakses lebih mudah
oleh pasien (dengan tidak harus menunggu lama dan dengan tidak harus menghabiskan
waktu lebih banyak di klinik); rutin karena itu membuat memungkinkan untuk
menemukan gejala peringatan dini lebih awal (misalnya, demam, ruam) karena dapat
diidentifikasi dalam beberapa hari, bukan minggu, sesuai onset.
Secara tidak langsung, HREC mungkin telah meningkatkan kepatuhan terhadap cART
dan dengan demikian meningkatkan angka kelangsungan hidup. Kepatuhan mungkin
ditingkatkan pada populasi HREC karena kontak mingguan, pengingat dan dukungan,
sebagai akibat dari peningkatan kepatuhan, pasien akan lebih mungkin untuk mengalami
penekanan dalam perkembangan virus, telah meningkatkan immuneresponse, dan lebih
kecil kemungkinannya untuk mengembangkan resistensi, sehingga secara tidak langsung
berkontribusi terhadap manfaat kelangsungan hidup dalam jangka pendek dan jangka
panjang.
Disinilah peran educator, konsultan dan peran pengawasan perawat sangat dibutuhkan
selain peran klinisnya untuk mengoptimalkan pelayanan sehingga bisa membantu
meningkatkan kualitas hidup pasien terutama pada pasien HIV/AIDS.
B. Analisa PICOT
1.
Population
Analisis ini melibatkan semua pasien berusia 14 tahun atau lebih yang memulai cART
dengan jumlah CD4 kurang dari atau sama dengan 100 sel/mm 3 di salah satu USAIDAMPATH klinik. Ada 4.958 pasien berusia 14 tahun atau lebih dengan Jumlah CD4
100 sel/mm3 dari yang memulai ART pada salah satu USAID-AMPATH klinik selama
periode penelitian. Dari jumlah tersebut, 635 didaftarkan ke HREC. Alasan mengapa
pasien tidak terdaftar dalam HREC termasuk alasan bahwa program HREC belum
dilaksanakan di klinik khusus, dan bahwa pasien tinggal terlalu jauh untuk
memungkinkan mereka datang ke klinik setiap minggu atau setiap dua minggu, dan
kurang tersedianya ruang di klinik untuk perluasan program HREC.
Semua orang yang terinfeksi HIV berusia 14 tahun atau lebih memulai ART dengan
jumlah CD4 100 sel/mm3 yang memenuhi syarat untuk pendaftaran ke HREC yang
akan dianalisis.
2.
Intervention
USAID-AMPATH Partnership telah memiliki lebih dari 140.000 pasien di 25 klinik
di seluruh Kenya barat. Dalam studi ini intervensi yang dilakukan disebut dengan
High Risk Express Care (HREC) yang menyediakan kontak cepat mingguan atau duamingguan dengan perawat untuk individu yang memulai cART dengan jumlah CD4
100 sel/mm3. Semua orang yang terinfeksi HIV berusia 14 tahun atau lebih memulai
cART dengan jumlah CD4 100 sel/mm 3 dan yang memenuhi syarat untuk
pendaftaran ke HREC yang akan dianalisis. Adjusted Hazard Ratios (AHRs) menjadi
kontrol untuk potensi pengganggu menggunakan metode kecenderungan skor.
Dimulai pada Maret 2007, program High Risk Express Care (HREC) ini
diimplementasikan dalam model step-wise di klinik USAID-AMPATH Partnership.
Mulai Mei 2008, HREC telah diluncurkan ke semua klinik pusat. Pemilihan klinik
Comparison
Studi ini membandingkan efektivitas dan keberhasilan dari dua program yang
dilaksanakan untuk mendukung keberhasilan inisiasi cART untuk membantu pasien
HIV-AIDS. Dari studi ini didapatkan hasil yang bisa menjadi acuan untuk pemilihan
program yang efektif.
Ada 426 kematian di antara populasi penelitian: 39 di HREC dan 387 dalam Routine
Care. Tingkat perkiraan insiden kematian selama periode follow-up adalah 5,7 per 100
orang-tahun di HREC dibandingkan dengan 10,6 per 100 orang-tahun dalam Routine
Care (incidence rate ratio, IRR: 0,54, 95% confidence interval, CI: 0,38-0,75). Setelah
penyesuaian untuk potensial pengganggu, program HREC dikaitkan dengan 40%
penurunan risiko kematian (HR disesuaikan: 0,59; CI 95%: 0,45-0,77). Ada juga
1.299 pasien yang mangkir selama periode yang sama, termasuk 134 di HREC dan
1.165 dalam Routine Care. Tingkat perkiraan kejadian mangkir (loss to follow-up)
pada HREC adalah 18,7 per 100 orang-tahun dibandingkan 29,7 dalam Routine Care
(IRR: 0.63, CI 95%: 0,52-0,76). Setelah penyesuaian, pasien di HREC juga banyak
yang cenderung mangkir (AHR 0,62; 95% CI: 0,55-0,70).
Ketika studi menilai titik akhir gabungan dari mangkir dan kematian, ada 1.725
kejadian di 4639,5 orang-tahun masa follow-up, untuk angka kejadian kasar 24,2 per
100 orang-tahun di HREC dibandingkan 39,5 dalam Routine Care (IRR: 0,61; CI
95%: 0,52-0,72). Secara keseluruhan, para pasien HREC lebih mungkin untuk
menjadi hidup dan masih dalam perawatan setelah memulai cART pada akhir dari
periode follow-up studi (AHR 0,62, CI 95%: 0,57-0,67).
4.
Outcome
Ada 4.958 pasien berusia 14 tahun atau lebih dengan jumlah CD4 100 sel/mm 3 dari
yang memulai cART pada salah satu USAID-AMPATH klinik selama periode
penelitian. Dari jumlah tersebut, 635 didaftarkan ke HREC.
Seperti dirangkum dalam gambar pasien dalam Routine Care dan HREC adalah
serupa berkaitan dengan distribusi jender dan usia: 40% laki-laki dengan usia rata-rata
sekitar 36 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok berkaitan
dengan jumlah CD4 pada awal atau proporsi menerima pengobatan untuk TB. Pasien
di HREC sedikit kurang mungkin WHO Tahap III / IV di cART inisiasi (66% vs 69%)
dan harus menempuh perjalanan setidaknya 1 jam ke klinik (71% vs 77%). Mereka
lebih mungkin untuk menghadiri sebuah klinik perkotaan (61% vs 52%), dan
menggunakan kotrimoksazol atau dapson profilaksis di inisiasi cART (100% vs 95%).
Median waktu follow up adalah 318 hari (kisaran interkuartil 147-533). Ada 426
kematian di antara populasi penelitian: 39 di HREC dan 387 dalam Routine Care.
Tingkat perkiraan insiden kematian selama periode follow-up adalah 5,7 per 100
orang-tahun di HREC dibandingkan dengan 10,6 per 100 orang-tahun dalam Routine
Care (incidence rate ratio, IRR: 0,54, 95% confidence interval, CI: 0,38-0,75). Setelah
penyesuaian untuk potensial pengganggu, program HREC dikaitkan dengan 40%
penurunan risiko kematian (HR disesuaikan: 0,59; CI 95%: 0,45-0,77). Ada juga
1.299 pasien yang mangkir selama periode yang sama, termasuk 134 di HREC dan
1.165 dalam Routine Care. Tingkat perkiraan kejadian mangkir (loss to follow-up)
pada HREC adalah 18,7 per 100 orang-tahun dibandingkan 29,7 dalam Routine Care
(IRR: 0.63, CI 95%: 0,52-0,76). Setelah penyesuaian, pasien di HREC juga banyak
yang cenderung mangkir (AHR 0,62; 95% CI: 0,55-0,70).
Ketika studi menilai titik akhir gabungan dari mangkir dan kematian, ada 1.725
kejadian di 4639,5 orang-tahun masa follow-up, untuk angka kejadian kasar 24,2 per
100 orang-tahun di HREC dibandingkan 39,5 dalam Routine Care (IRR: 0,61; CI
95%: 0,52-0,72). Secara keseluruhan, para pasien HREC lebih mungkin untuk
menjadi hidup dan masih dalam perawatan setelah memulai cART pada akhir dari
periode follow-up studi (AHR 0,62, CI 95%: 0,57-0,67).
5.
Time
Studi ini dilakukan di salah satu USAID-AMPATH klinik dari Maret 2007 sampai
Maret 2009. Median follow up time dari studi ini adalah 318 hari (kisaran interkuartil
147-533).
6.
pasien untuk HREC (dalam klinik yang sama). Pasien dikunjungi oleh petugas
klinik atau dokter 2 minggu setelah inisiasi cART dan kemudian dilakukan
kunjungan bulanan. Perawat HREC kemudian bertanggung jawab untuk
kunjungan mingguan interim baik secara fisik maupun melalui telepon untuk
jangka waktu 3 bulan. Pasien diobservasi setiap bulan oleh petugas klinis atau
dokter. Di HREC, pasien yang datang tidak mengantri di waiting bay atau pergi
melalui nurse station, ruang dokter, farmasi atau titik rujukan lain di dalam klinik.
Sebaliknya, pasien tersebut langsung masuk ke "express care room", yang
menyediakan "one-stop care". Perawat HREC mengurus daftar kunjungan
kembali yang dijadwalkan, dan jika pasien menginginkan perjanjian klinik,
outreach team diaktifkan sesuai protokol rutin. Kunjungan HREC untuk pasien
berisiko tinggi difokuskan pada identifikasi co-morbiditas dan komplikasi cART
dan memperkuat kepatuhan pengobatan. Perawat bertanya tentang kepatuhan
terhadap pengobatan dengan menanyakan apakah pasien telah melewatkan salah
satu obatnya pada 7 hari sebelumnya dan kemudian melakukan penghitungan
jumlah pil. Jika pasien tidak patuh sepenuhnya, pasien mendapatkan
edukasi/rujukan petugas klinik atau dokter. Perawat memeriksa adanya sebuah
gejala pada checklist (batuk baru, sesak napas, ruam, mata kuning, muntah, diare,
sakit kepala berat, demam atau "masalah lain yang dianggap pasien memerlukan
penanganan dokter") dan mengukur suhu dan saturasi oksigen transkutan. Jika
pasien melaporkan setiap gejala atau memenuhi ambang batas yang telah
ditetapkan untuk suhu normal ( 37,2Celsius) atau saturasi oksigen (O 2 93%),
pasien dirujuk segera ke petugas klinik atau dokter. Perawat tidak melewatkan
obat selama kunjungan HREC seperti yang sudah diresepkan selama selama
sebulan oleh petugas klinik atau kunjungan dokter.
7.
Implikasi keperawatan
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan dalam jurnal tersebut ditemukan bahwa
studi menunjukkan bahwa pemantauan pasien lebih sering dalam bulan-bulan awal
oleh perawat yang berdedikasi dapat secara signifikan meningkatkan kelangsungan
hidup dan mengurangi resiko dalam perawatan di antara pasien berisiko tinggi.
Meskipun evaluasi lebih lanjut dibutuhkan, intervensi ini mungkin relatif mudah
untuk diterapkan pada lingkungan dengan keterbatasan sumber daya. Untuk
pengetahuan kita, konsep pengkajian berbasis keperawatan yang dilakukan secara
rutin dan berkesinambungan adalah salah satu intervensi beberapa selain profilaksis
kotrimoksazol yang telah dikaitkan dengan penurunan besar dalam kematian dini
pasien yang berisiko tinggi terinfeksi HIV yang diinisiasi cART dalam keadaan lowincome. Kami percaya efek HREC adalah kombinasi dari yang pengkajian cepat dan
pengkajian rutin. Cepat karena ini membuat tempat kesehatan dapat diakses lebih
mudah oleh pasien (dengan tidak harus menunggu lama dan dengan tidak harus
menghabiskan waktu lebih banyak di klinik); rutin karena itu membuat
memungkinkan untuk menemukan gejala peringatan dini lebih awal (misalnya,
demam, ruam) karena dapat diidentifikasi dalam beberapa hari, bukan minggu, sesuai
onset.
Secara tidak langsung, HREC mungkin telah meningkatkan kepatuhan terhadap cART
dan dengan demikian meningkatkan angka kelangsungan hidup. Kepatuhan mungkin
ditingkatkan pada populasi HREC karena kontak mingguan, pengingat dan dukungan,
sebagai akibat dari peningkatan kepatuhan, pasien akan lebih mungkin untuk
mengalami
penekanan
dalam
perkembangan
virus,
telah
meningkatkan
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Sebagai kesimpulan, studi ini telah menunjukkan bahwa weekly rapid assessment oleh
perawat, baik melalui telepon atau secara langsung, dengan arahan langsung petugas
klinis atau dokter, jika diperlukan, secara signifikan dapat meningkatkan kelangsungan
hidup kalangan pasien yang berisiko tinggi terinfeksi HIV yang diinisiasi cART terutama
di daerah sub-Sahara Afrika. Meskipun efektivtas biaya model Express Care perlu
dievaluasi secara menyeluruh, temuan ini menunjukkan bahwa ini mungkin cara yang
inovatif untuk meningkatkan volume pasien, meningkatkan kualitas pelayanan, dan
sangat meningkatkan hasil yang diinginkan pada pasien dalam jangka pendek.
Pemantauan secara teratur oleh perawat khusus di bulan-bulan awal ART secara
signifikan dapat mengurangi kematian dan pasien yang mangkir di antara pasien berisiko
tinggi dalam memulai pengobatan dalam keterbatasan sumber daya.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang dapat diberikan khususnya dalam bidang
keperawatan yaitu sebagai berikut :
1. Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien ( yang sudah mengetahui
kondisinya) terkait dengan pengaruh strategi koping terhadap respon psikologis
penderita HIV/AIDS
2. Meningkatkan pemberian pendidikan kesehatan pada penderita HIV/AIDS tentang
perawatan, pencegahan, penularan dan pengobatan cART secara terus menerus dan
berkesinambungan.
3. Memperhatikan respon pasien secara komprehensif sehingga dapat memenuhi segala
kebutuhan dasar pasien.
4. Mengembangkan psikoterapi transpersonal sehingga selama proses konseling perawat
dapat membantu memediasi pasien dalam membentuk koping indivisu yang adaptif
dalam upaya peningkatan kulaitas hidup.
Data
AIDS
International.
2011.
http://www.who.int/hiv/data/2009_global_summary.png
Available
from
10. Ditjen PPM & PL Depkes RI. Data Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. 2010
Avaiable from : http://www.aidsindonesia.or.id/repo/LT1Menkes2010.pdf
11. CDC.
Explanation
HIV/AIDS.
2011
http://www.cdc.gov/hiv/topics/basic/index.html
Available
from