Você está na página 1de 31

ARTIKEL PERMASALAHAN LINGKUNGAN

Kerusakan Lingkungan di Jawa Barat makin masif.

Amat mengganggu
Kepala Badan Pengendali Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar Setiawan
Wangsaatmaja membenarkan, problem birokrasi dan otonomi daerah amat
mengganggu kelestarian lingkungan. Contohnya, Pemprov Jabar tidak bisa
memaksakan target 45 persen daerah kawasan hijau dalam program provinsi hijau jika

kabupaten/kota tidak memiliki komitmen atas target pemprov itu. Perizinan dan
pengaturan lahan sepenuhnya kewenangan daerah kota/kabupaten. Di sinilah letak
kesulitannya, ujarnya. Salah satu contoh kerusakan itu berlangsung di Daerah Aliran
Sungai Ciliwung dan kawasan lindung Bogor-Depok-Bekasi-Puncak-Cianjur
(Bodebekpunjur) yang menyebabkan banjir besar di Bandung dan Jakarta pekan lalu.
Kritisnya hutan dan daerah resapan air di Bodebekpunjur sebenarnya sudah diketahui
sejak lama, yakni akibat menjamurnya lahan permukiman serta bangunan vila dan hotel
di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur. Proses alih fungsi lahan yang terus-menerus
ini praktis tak bisa dikendalikan karena difasilitasi oleh penataan ruang daerah,
termasuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jabar.
Walhi Jabar mengkaji, di satu sisi RTRW Jabar memberikan legitimasi penyelamatan
kawasan lindung dan jaminan adanya pengendalian pembangunan di kawasan Bogor,
Puncak, dan Cianjur. Namun, di sisi lain, RTRW melegitimasi pengembangan kawasan
budidaya di Kabupaten Bogor dengan sektor unggulan yang mengancam
keberlangsungan lingkungan, termasuk di dalamnya kawasan Puncak.
Sektor unggulan itu meliputi pariwisata, industri manufaktur, perikanan, perdagangan,
jasa, pertambangan, agribisnis, dan agrowisata. Jika dirumuskan dengan benar, RTRW
Jawa Barat 2009-2029 pasti mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008
tentang Penataan Ruang Bodebekpunjur. Namun, dalam penataan ruang itu ada
ketidaksinkronan substansi Bopunjur sebagai kawasan strategis provinsi yang berfungsi
sebagai pelindung dengan pola ruang tidak memastikan adanya kawasan hijau
(lindung), ujar Dadan Ramdan, Direktur Walhi Jabar.
Malah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Bogor pun berniat
menyesuaikan Perda No 19/2008 tentang RTRW Kabupaten Bogor 2005-2010. Salah
satunya adalah mengubah status hutan lindung menjadi hutan produksi dan
permukiman. Hal ini menyesuaikan dengan Perda Provinsi Jabar No 22/2010 tentang
RTRW Jabar 2009-2029.

Krisis air
Di kawasan Bandung Utara, lahan konservasi seluas 38.548 hektar sebagian besar
juga sudah rusak. Kawasan dengan ketinggian 750 meter di atas permukaan laut itu
telah dikuasai 350 izin pembangunan perumahan, hotel, restoran, dan lain-lain.
Padahal, kawasan ini sudah ditetapkan sebagai lahan konservasi melalui Keppres No
32/1990, Kepmen Lingkungan Hidup No 35/1998, dan SK Gubernur Jabar No
191.1/1982, dan dikuatkan Perda Provinsi Jabar No 2/2003 tentang RTRW. Guru Besar
Ilmu Lingkungan Institut Teknologi Bandung Mubiar Purwasasmita menyebutkan,
kawasan ini adalah koridor alam lintasan angin dari arah Cekungan Bandung ke
dataran tinggi Lembang. Koridor ini berfungsi mendinginkan suhu permukaan bumi Kota
Bandung.
Namun, kini, hal itu tak terjadi lagi, karena 70 persen kawasan hutan yang berfungsi
sebagai daerah tangkapan air Kota Bandung itu telah rusak. BPLHD Jabar dan Dewan
Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) mencatat, selama 30
tahun terakhir wilayah hutan yang rusak dan beralih fungsi menjadi lahan pertanian
(sayuran) dan lainnya mencapai 90 persen. Kekeliruan penggunaan lahan juga telah
menyisakan 250.000 hektar lahan kritis di pegunungan, terutama di Daerah Aliran
Sungai Citarum. Tidak berfungsi sebagai penangkap air, indeks ketersediaan air baku di
Jabar per kapita tahun 2012 rata-rata 885 meter kubik per tahun.
Artinya, Jabar sudah tergolong langka air, sebab kebutuhan air yang ideal paling tidak
2.000 meter kubik per kapita. Lingkungan pegunungan dengan 40 daerah aliran sungai
di Jawa Barat hanya mampu menyediakan air bagi 10 juta jiwa. Padahal, Jabar juga
menyediakan air bagi sekitar 80 persen warga DKI Jakarta. Kini, penduduk Jabar
sekitar 44, 2 juta jiwa dan menempati 3,7 juta hektar lahan. Karena itu, Jabar saat ini
seperti akuarium berisi ikan yang melampaui kapasitasnya, ujar praktisi lingkungan dari
DPKLTS, Supardiono Sobirin. Dari luasan hutan Jabar, terdapat 132.180 hektar hutan
konservasi, 291.306 hektar hutan lindung, dan 393.117 hektar hutan produksi. Namun,
10 tahun terakhir, kondisi hutan ini makin kritis. Pemprov Jabar perlu menekan
pemerintah kota/kabupaten agar merevisi RTRW dengan 45 persen kawasan lindung.

Pendekatan dalam perbaikan lingkungan perlu diubah dengan pendekatan partisipatif,


ujar Sobirin.
Kabut Asap sudah Darurat
JAKARTA, KOMPAS Kabut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan yang
menyelimuti sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan sudah masuk kategori
darurat karena mengganggu kehidupan masyarakat. Kondisi ini mendesak untuk
ditanggulangi lembaga lintas sektoral.
ANTARA/RONY MUHARRMAN
Mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Riau
membentangkan poster di depan
patung Selamat Datang yang
dipasangi masker pelindung
pernapasan saat menggelar aksi
peduli bencana kabut asap di
Pekanbaru, Riau, Jumat (4/9). Kabut
asap

yang menyelimuti Sumatera telah


mengganggu aktivitas masyarakat,

bisnis, dan penerbangan.


Sampai Jumat (4/9), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada 156
titik panas sumber kabut asap di Sumatera dan Kalimantan. Dari 156 titik tersebut, 95
titik di Sumatera dan 61 titik di Kalimantan.Kabut asap pekat terutama menyelimuti
wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan
Kalimantan Selatan. Kabut asap juga menyebar ke sejumlah daerah di sekitar enam
provinsi tersebut. Di Sumatera, kabut asap menyelimuti 80 persen wilayahnya. Paling
tidak sebanyak 25,6 juta jiwa terpapar asap, yaitu 22,6 juta jiwa di Sumatera dan 3 juta
jiwa di Kalimantan. Dalam rapat terbatas tentang kabut asap di Kantor Presiden,
Jakarta, Jumat, Presiden Joko Widodo memerintahkan semua pihak terkait
menanggulangi kabut asap tersebut. Penanganan kabut asap secara nasional di bawah

koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rapat terbatas yang


dipimpin Presiden Joko Widodo itu dihadiri Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo,
Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo,
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, serta Sekretaris Jenderal Kehutanan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono."Presiden
meminta kepala daerah agar tidak ragu-ragu menyatakan darurat asap. Bencana ini
bukan bencana kebakaran hutan, tetapi bencana darurat asap," kata Kepala BNPB
Syamsul Maarif di Kantor Presiden. Meski kondisi kabut asap sudah masuk kategori
darurat, pemerintah daerahlah yang berhak menetapkan wilayahnya masuk kondisi
darurat asap. Namun, sejumlah provinsi masih menetapkan wilayahnya siaga bencana
asap, belum tanggap darurat asap seperti di Riau dan Kalimantan Barat. Syamsul
mengatakan, penanganan kabut asap akan dilakukan secara intensif, salah satunya
dengan membuka posko penanganan kabut asap di enam provinsi di Sumatera dan
Kalimantan tersebut. Keberadaan posko itu untuk menguatkan penanganan kabut asap
di lapangan yang selama ini sudah berjalan.
Presiden menugaskan Panglima TNI membantu mengerahkan upaya tambahan
pesawat TNI dan personelnya. Untuk kementerian dan lembaga terkait, Presiden
meminta untuk berkonsentrasi dan mengerahkan program kerja pemerintah ke provinsi
terdampak. Dalam jangka pendek, pemerintah memanfaatkan hujan buatan,
pemadaman dari udara dan dari darat. Sejumlah pesawat dikerahkan untuk
memadamkan kebakaran lahan di Riau, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, serta di Jambi.
Namun, pemadaman dari udara tidak bisa dilakukan selama penerbangan juga
terganggu akibat kabut asap. Hujan buatan juga belum bisa dilakukan karena belum
ada awan yang berpotensi hujan.

Sumberdaya Lahan
Pokok permasalahan terjadinya degradasi sumberdaya lahan adalah karena
inkonsistensi atau ketidak sesuaian antara penggunaan lahan dan ruang yang ada
dengan arahan yang diperintahkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Sekitar 33% lahan tidak digunakan sesuai dengan arahan tata guna tanah dalam
Rencana Tata Ruang bahkan selama lima tahun terakhir telah terjadi penyimpangan
terhadap pemanfaatan kawasan lindung sekitar 12,9% . Kondisi terbesar dari
penyimpangan tersebut terutama disebabkan adanya alih fungsi pada kawasan hutan
dan kawasan resapan air.
Dari tahun 1994 sampai 2000, hutan lindung berkurang sekitar 106.851 ha (24%),
sementara hutan produksi berkurang sekitar 130.589 ha (31 %). Pesawahan dalam
periode ini telah diubah menjadi lahan bukan pesawahan seluas kurang lebih 165.903
ha (17%). Gejala ini bisa menurunkan daya dukung lingkungan wilayah Jawa Barat
(Perda No. 2/2000: Pola Dasar Pembangunan Jawa Barat 2001-2007).
Dalam periode 1994 hingga 2001 telah terjadi perubahan tata guna tanah yang cukup
besar, yaitu berkurangnya hutan primer sebanyak 24%, hutan sekunder dan semak
belukar 17%. Pemukiman, kawasan industri, perkebunan dan kebun campuran meluas
masing-masing sebanyak 33%, 21%, 22% dan 29% hingga tingkat erosi di wilayah
Jawa Barat telah mencapai 32.931.061 ton per tahun.
Wilayah hutan yang sebelumnya 791.571 ha (22% daratan Jawa Barat) ternyata
penutupan vegetasi hutannya hanyalah 9% atau sekitar 323.802 ha pada tahun 2000.
Kerusakan keseluruhan wilayah hutan Jawa Barat diperkirakan akan terjadi dalam
waktu dekat apabila tidak dilakukan tindakan-tindakan yang memadai (BPLHD Jawa
Barat, 2002).
Konversi lahan dari hutan alarm menjadi area yang rendah penutupan vegetasinya
telah terjadi beberapa dekade di kawasan Bopuncur dan Depok. Pembangunan villa
dan perumahan di kawasan Puncak yang selama ini terjadi sudah melebihi aturan yang

ditentukan yaitu 19.500 Ha untuk lahan permukiman perkotaan dan untuk hutan lindung
19.475 Ha (Keppres No.114 Tahun 1999).
Pada kenyataannya kawasan kota dan pemukiman menjadi 20.500 Ha. Selain itu terjadi
perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung yang mengalami peningkatan luasan
lahan budidaya dari 3.761 Ha (tahun 1990) menjadi 13.760 Ha (tahun 2000).
Sementara itu volume banjir periodik 25 tahunan pun mengalami peningkatan dari 330
m3/detik pada tahun 1973 menjadi 740 m3/detik pada tahun 2000.
Balai RLKT Wilayah IV melaporkan bahwa luas lahan kritis di Jawa Barat cenderung
meningkat, terutama yang berada di luar kawasan hutan. Sampai tahun 1999 ada tiga
kabupaten yang memiliki luas lahan kritis terbesar, yaitu : Kabupaten Bandung seluas
36.698 ha, Cianjur seluas 44.084 ha, dan Garut seluas 33.945 ha. Dinas Kehutanan
Propinsi Jawa Barat (2004) melaporkan bahwa luas lahan kritis di DAS Citarum Hulu
sudah mencapai 150.000 ha, Cimanuk Hulu seluas 24.000 ha, Citanduy sekitar 64.000
ha dan lebih dari 9000 ha lahan kritis di DAS Ciliwung Hulu.
Adanya lahan-lahan kritis umumnya disebabkan oleh adanya kegiatan yang secara
langsung menyebabkan rusaknya daya dukung tanah/lahan antara lain pemanfaatan
lereng bukit yang tidak sesuai dengan kemampuan peruntukannya, untuk lahan
pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan tidak sedikit yang
berubah fungsi menjadi areal permukiman.
Pembangunan infrastruktur di Jawa Barat belum bisa mengikuti secara penuh pedoman
yang diberikan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah termasuk transportasi, irigasi,
dan konservasi lingkungan. RTRW tidak mampu mengendalikan perencanaan regional
yang menciptakan kesenjangan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya (Rencana
Strategis Jawa Barat 2001-2004).
Permasalahan tersebut dapat ditelaah lebih lanjut dengan melihat masalah-masalah
yang berkaitan dengan sektor dan komponen lingkungan atau sumberdaya lainnya.
Misalnya, dampak dari adanya lahan kritis yaitu munculnya masalah banjir dan tanah
longsor. Di Jawa Barat daerah yang rawan banjir, yaitu Bandung (1.750 ha), Majalengka

( 530 ha ), Indramayu (16.600 ha), daerah pantai utara Subang ( 12.000 ha), Cirebon
(450 ha), Ciamis (16.000 ha).
Selain dampak adanya lahan kritis terhadap banjir, permasalahan lain yang sering
muncul di Jawa Barat yaitu semakin sering terjadi bencana alam longsor. Bahaya
longsor di Jawa Barat dapat dikategorikan ke dalam dua areal, yaitu di daerah
jalan/prasarana transportasi dan di daerah permukiman penduduk.
2.2.1.2 Sumberdaya Air
Wilayah Propinsi Jawa Barat banyak diberkahi dengan sumber-sumber air tapi dengan
cepatnya kenaikan permintaan akan air telah mengakibatkan sistem penyediaan yang
dibangun tidak lagi seimbang. Curah hujan yang besar (terutama di wilayah bagian
tengah) memberikan aliran air permukaan berlimpah, tapi keragaman aliran menurut
musim dan keterbatasan fasilitas penyimpanannya sumber-sumber air permukaan tidak
lagi memadai untuk satu tahun penuh. Air tanah juga merupakan sumber penting tapi
pengembangannya dibatasi oleh jumlah pengisian kembali sumber air tersebut.

Permintaan air sekarang untuk kebutuhan domestik, konsumsi industri, dan irigasi
pertanian diperkirakan 17,5 milyar m3 pertahun, dan diperkirakan akan terus naik
sekitar satu persen per tahun. Permintaan air irigasi sekitar 80% dari total permintaan
air, meskipun angka ini diperkirakan berkurang dalam jangka panjang, mengingat
kebutuhan domestik, perkotaan dan industri tumbuh lebih cepat. Kebutuhan ini dipenuhi
dari sumber-sumber seperti: air permukaan dari sungai di wilayah Propinsi Jawa Barat
dan air tanah.
Propinsi Jawa Barat memiliki lima satuan wilayah sungai (SWS) utama. Tiga SWS
berperan penting dalam hubungannya dengan perkembangan sosial-ekonomi: SWS
Cisadane-Ciliwung yang dibagi dengan propinsi OKI Jakarta dan Banten, SWS Citarum,
dan SWS Cimanuk-Cisanggarung. Dua SWS lainnya yaitu SWS Cisadea-Cimandiri,
dan SWS Citanduy-Ciwulan.

Keseluruhan wilayah Jawa Barat memiliki 40 daerah aliran sungai (DAS) ukuran besar
dan kecil: 22 sungai mengalir ke utara dan 18 ke selatan. Ketersediaan air sepanjang
musim hujan mencapai kira-kira 81,4 milyar m3 / tahun dan turun menjadi 8,1 milyar m3
pada musim kering, sedangkan permintaan air untuk kebutuhan domestik, pertanian,
dan industri tetap sama pada 17 milyar m3 / tahun. Sebagai konsekuensinya, adanya
pasokan air yang tinggi pada musim basah dan kurang pada musim kering. Disamping
itu, kualitas air pada musim kering umumnya kurang baik karena terkontaminasi berat
oleh baik sumber-sumber domestik maupun industri.
Semua sungai di Jawa Barat dan wilayah-wilayah perkotaan Bogor, Depok, Bekasi,
Bandung dan Cirebon tidak cocok untuk pemakaian langsung. Sungai-sungainya
sangat kotor terutama di bagian hilir sehingga tidak bisa digunakan untuk berbagai
kehidupan. Di wilayah-wilayah pedesaan Jawa Barat banyak aliran dan sungai yang
tidak cocok untuk pemakaian langsung oleh manusia dan air dari sumber-sumber
lainnya perlu dimasak dulu sebelum digunakan. Kebanyakan kontaminasi sungai
tersebut berasal dari limbah domestik yang langsung masuk ke sungai. Aliran air dari
sungai Citarum yang masuk ke waduk Saguling dengan tingkat pencemaran berat
menyebabkan bencana kematian ikan besar-besaran di danau tersebut.
Kebanyakan airtanah dangkal telah tercemar sehingga melewati standar air minum dan
perlu dimasak terlebih dahulu. Airtanah dalam juga telah dieksploitasi secara
berlebihan, dan telah mengalami deplesi sehingga muka air tanah (water table) dari
tahun ke tahun terus menurun. Potensi airtanah secara kuantitatif untuk seluruh Jawa
Barat belum terinformasikan secara jelas, namun dari segi pemanfaatan yang ada saat
ini menunjukkan sekitar 60% industri mengandalkan sumber airtanah sebagai satusatunya sumber air alternatif, terutama pada daerah cekungan Bandung (95%), Bogor
dan Cirebon. Dari beberapa hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Direktorat Geologi
Tata Lingkungan, ternyata untuk Cekungan Bandung dan Botabek sudah tidak
dimungkinkan lagi adanya pemanfaatan airtanah untuk industri, kecuali untuk rumah
tangga. Pemanfaatan airtanah untuk keperluan irigasi di Jawa Barat diarahkan hanya
pada daerah yang tidak mempunyai potensi sumberdaya air permukaan dan potensial
untuk dikembangkan usaha pertanian terutama pertanian yang tidak banyak

memerlukan air.
Intrusi air laut telah cukup jauh ke arah daratan, terutama di wilayah pesisir Pantai
Utara Jawa Barat. Intrusi air laut mencapai lebih dari 1000 m ke daratan ada di
Kabupaten Indramayu, Subang, Karawang, Bekasi dan Cirebon.
2.2.1.3 Sumberdaya Hutan
Menurut Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat, luas kawasan hutan di Jawa Barat
adalah sekitar 791.519 ha atau 22% dari total areal Jawa Barat. Seperti dilaporkan oleh
kantor ini, areal hutan merupakan kawasan hutan, sedangkan areal hutan yang nyata
(cadangan hutan yang ada) kurang dari 9% total wilayah Jawa Barat. Areal hutan
produksi sekitar 472.303 ha, hutan lindung 203.106 ha, dan hutan konservasi adalah
sekitar 116.110 ha.
Menurut Perum Perhutani, areal hutan produksi sekitar 437.665 ha, hutan lindung
271.972 ha, dan hutan konservasi sekitar 208.267 ha dengan total areal hutan sekitar
917.904 ha (Perum Perhutani, 1999). Menurut Bagian Kehutanan (2001), areal hutan
produksi adalah sekitar 465.907, hutan lindung 210.138 ha, dan hutan konservasi
108.074 ha. Sedangkan menurut Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Propinsi Jawa Barat (2001), total areal hutan negara adalah 791.748 ha yang jauh lebih
kecil dari total areal hutan menurut BPLHD Jawa Barat (2000), 1.024.098 ha. Data yang
tersedia tentang areal hutan Jawa Barat bermacam-macam bergantung dari mana data
itu didapat.
Salah satu masalah lingkungan paling serius di Jawa Barat adalah penurunan luas
hutan. Penurunan hutan yang sebagian besar terletak di bagian hulu DAS, memiliki
konsekuensi lingkungan yang luas dan sangat besar. Banjir dalam periode musim hujan
dan kekurangan air pada musim kemarau cenderung meningkat pada lima tahun
terakhir. Masalah-masalah lingkungan terkait lainnya yaitu tingginya sedimentasi sungai
dan waduk telah mengakibatkan berkurangnya produktifitas pertanian dan gangguan
terhadap infrastruktur lainnya secara signifikan bagi pembangunan daerah dan
nasional. Angka sedimentasi yang tinggi ini ditambah dengan erosi tanah yang hebat di

daerah-daerah tangkapan air, yang dalam beberapa kasus disebabkan oleh penurunan
luas hutan.
Angka penurunan hutan yang tinggi di Jawa Barat sangat serius. Penyebab penurunan
hutan bermacam-macam mulai dari perambahan hutan yang berkaitan dengan krisis
ekonomi, tingginya kebutuhan akan lahan pertanian, masalah-masalah kelembagaan
dalam pengelolaan sumber daya hutan, hingga inkonsistensi antara rencana tata ruang
dan implementasinya di tingkat lapangan. Masalah terakhir ini sebagian besar
disebabkan karena lemahnya penegakan hukum. Dalam beberapa tahun terakhir, skala
penurunan hutan di Jawa Barat meningkat. Sebagai contoh, pada skala lokal di KPH
Bandung Selatan, perambahan hutan dilaporkan hingga 15.500 ha. Ini berarti 28% dari
keseluruhan areal hutan yang melibatkan sekitar 41.500 keluarga (Anonymous, 1999).
Hasil-hasil pertanian perkebunan pada lahan hutan disatu sisi memberikan keuntungan
ekonomi buat petani dalam jangka pendek. Tapi pada sisi lain, hal ini akan mengurangi
produksi hutan dan merusak layanan-layanan lingkungan lainnya termasuk stabilisasi
tanah dan air, iklim mikro, dan merosotnya karbon. Konflik antara kepentingankepentingan ekonomi dan ekologi ini perlu ditangani secara tepat sehingga keberadaan
sumberdaya hutan yang tersisa dapat tetap terpelihara.
Disamping masalah perambahan hutan, penurunan luas hutan juga dapat diamati dari
fakta bahwa dari sekitar 22% areal hutan milik negara, tutupan hutan aktual kurang dari
9%. Ini merupakan indikasi yang jelas dari suatu kombinasi tekanan jumlah penduduk,
inkonsistensi dalam rencana tata ruang dan rendahnya penegakan hukum. Dari
perspektif yang lebih luas, status buruk kondisi lingkungan Jawa Barat ini ditopang oleh
meningkatnya jumlah DAS kritis di Jawa Barat. Dari sekitar 40 sub-DAS yang dikenal,
15 sub-DAS (38%) ditemukan dalam kondisi super kritis, dan karenanya perlu diberikan
prioritas tinggi untuk perbaikannya.
Penurunan hutan yang disebabkan oleh kebakaran hutan, perambahan hutan,
penambangan liar, dan permukiman liar di areal hutan dipercaya sebagai penyebab
utama menurunnya areal hutan (cadangan tetap) dari sekitar 22% dari keseluruhan
Jawa Barat) menjadi kurang dari 9%. Penyebab lain yang ditengarai pada penurunan

hutan di Jawa Barat adalah penebangan ilegal yang dipicu oleh pertumbuhan industri
kayu lokal yang tidak terkendali. Statistik menunjukkan bahwa industri-industri kayu di
Jawa Barat memerlukan sekitar 2,5 juta m3 per tahun untuk bahan bakunya. Akan
tetapi, produksi kayu legal dari Perum Perhutani hanya antara 300.000 - 500.000 m3
per tahun. Ketidak-seimbangan antara permintaan dan pemenuhan kayu membuat
penebangan-penebangan liar menjadi lebih kentara. Oleh karena itu, sekitar lebih dari
satu juta m3 kayu per tahun dicurigai berasal dari penebangan liar baik di dalam dan di
luar Jawa Barat. Ini merupakan tantangan besar bagi pengelolaan hutan berkelanjutan
di Jawa Barat.
2.2.1.4 Masalah pertanian
Selama lima tahun terakhir telah terjadi pengurangan atau alih fungsi lahan sawah di
Jawa Barat sebesar 62.834 Ha, yaitu dari luas sawah 976.869 Ha pada tahun 1997
berkurang menjadi 881.637 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di
Kabupaten Bandung sebesar 38.159 Ha, yaitu dari luas sawah 64.147 Ha pada tahun
1997 berkurang menjadi 25.988 Ha pada tahun 2002.
Sebaliknya pertanian lahan kering selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah
terjadi penambahan luasan lahan kering atau alih fungsi ke lahan kering di Jawa Barat
sebesar 804.409 Ha, dari luas lahan kering 1.781.909 Ha pada tahun 1992 bertambah
menjadi 2.586.318 Ha pada tahun 2002. Perubahan terbesar terjadi di Kabupaten Garut
sebesar 90.347 Ha, dari luas lahan kering 154.514 Ha pada tahun 1992 bertambah
menjadi 244.861 Ha pada tahun 2002.
Pembangunan pertanian pada saat ini khususnya tanaman pangan dan hortikultura
diarahkan pada penyediaan bahan pangan beras. Sumbangan sektor pertanian
terhadap perekonomian Jawa Barat tahun 1999 sebesar 1,59 % (NKLD, 2000).
Produksi padi mencapai 10.340.686 ton GKG, atau mencapai 99,71 % dari sasaran
sebesar 10.370.436 ton, dan meningkat 5.57 % dari tahun 1998 yang mencapai
9.795.638 ton GKG (NKLD, 2000).
Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penurunan luasan panen padi

di propinsi Jawa Barat sebesar 2.190.478 Ha dengan total penurunan produksi sebesar
9.112.427 Ton padi dari luas panen padi sebesar 4.102.640 Ha dengan total produksi
sebesar 18.574.790 Ton padi pada tahun 1992 berkurang menjadi luas panen padi
sebesar 1.912.162 Ha dengan total produksi sebesar 9.462.363 Ton padi pada tahun
2002. Pengurangan luasan panen padi tertinggi terjadi di Kabupaten Cirebon sebesar
489.103 Ha dari luas panen padi sebesar 571.204 Ha pada tahun 1992 berkurang
menjadi 82.101 Ha pada tahun 2002. Penurunan luas panen padi terkecil terjadi di
Kabupaten Purwakarta sebesar 17.795 Ha dari luas panen padi sebesar 60.476 Ha
pada tahun 1992 menjadi 42.681 Ha pada tahun 2002.
Penurunan total produksi padi terbesar terjadi di kabupaten Indramayu sebesar
1.037.469 Ton padi dari total produksi padi sebesar 2.114.184 Ton GKG pada tahun
1992 berkurang menjadi 1.076.715 Ton GKG pada tahun 2002.
Sedangkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir juga terjadi penurunan rata-rata
produktivitas lahan sawah di Propinsi Jawa Barat sebesar 0,755 Ton/Ha, dari
produktivitas sebesar 4,135 Ton/Ha pada tahun 1992 menurun menjadi 3,380 Ton/Ha
pada tahun 2002. Penurunan produktivitas terbesar terjadi di Kabupaten Karawang
sebesar 1,12 Ton/Ha dari produktivitas 4,638 Ton/Ha pada tahun 1992 turun menjadi
3,518 Ton/Ha pada tahun 2002. Penurunan produktivitas lahan terkecil terjadi di
Kabupaten Cirebon sebesar 0,455 Ton/Ha.
Penurunan luas areal panen padi, total produksi maupun produktivitas tersebut
disebabkan karena adanya kekeringan pada lahan sawah sehingga banyak areal yang
puso.
Makin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap gizi berimplikasi terhadap
meningkatnya permintaan akan produk hortikultura baik segar maupun olahan sehingga
meningkatkan keinginan petani untuk meningkatkan usaha dalam bidang hortikurtura.
Produksi sayur-sayuran mencapai 3.987.846 ton. atau mencapai 128.33 % dari sasaran
2.406.126 ton, dan meningkat 28,10 % dari produksi 1998 sebesar 2.410.568 ton.

Produksi buah-buahan mencapai 2.304.126 ton dan meningkat 40.77 % dari produksi
tahun 1998 sebesar 1.636.772 ton (NKLD, 2000).
Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir telah terjadi penurunan luasan panen
sayur-sayuran di Propinsi Jawa Barat sebesar 10.069 Ha, dari luas panen sayursayuran sebesar 173.257 Ha pada tahun 1992 berkurang menjadi 163.188 Ha pada
tahun 2002. Pengurangan luasan panen sayur-sayuran tertinggi terjadi di Kabupaten
Cianjur sebesar 6.473 Ha dari luas panen sayur-sayuran sebesar 21.251 Ha pada
tahun 1992 berkurang menjadi 14.778 Ha pada tahun 2002. Tetapi di kabupaten lainnya
justru terjadi kenaikan luas panen sayuran tertinggi terjadi di Kabupaten Bandung
sebesar 7.835 Ha dari luas panen sayuran sebesar 35.629 Ha pada tahun 1992
menjadi 43.464 Ha pada tahun 2002.
Seperti pada kasus sumberdaya hutan, kondisi pertanian lahan basah (sawah) di Jawa
Barat juga menunjukkan indikasi penurunan. Umumnya, masalah-masalah yang
berkaitan dengan pertanian tersebut menyangkut penurunan secara signifikan
kapasitas air irigasi yang disebabkan meningkatnya sedimentasi pada saluran-saluran
irigasi dan kerusakan yang tinggi pada infrastruktur irigasi (54% dari keseluruhan
infrastruktur irigasi). Tingginya erosi tanah pada DAS dan tingginya pengangkutan
sedimen mengakibatkan pendangkalan pada saluran dan waduk. Disamping itu juga
terjadinya inefisiensi penggunaan sumber air karena kebocoran dan salah-pilih
tanaman pertanian (kebutuhan tinggi terhadap air). Terbatasnya sumber air permukaan
maupun sumber air tanah untuk memenuhi kebutuhan pertanian juga mengakibatkan
penurunan produktivitas lahan pertanian tersebut. Ini sebagian besar disebabkan oleh
perubahan iklim global dan regional serta permintaan yang tinggi terhadap air untuk
kebutuhan non-pertanian.
2.2.1.5 Masalah kegiatan pertambangan
Penambangan bahan galian 'C' mencakup pengerukan, penggalian atau penambangan
material yang tidak termasuk material strategis. Bahan galian 'C' termasuk pasir, kerikil,
tanah liat, tanah, batu kapur dan batu yang digunakan sebagai bahan mentah untuk

kebutuhan industri dan konstruksi. Endapan tanah liat, pasir dan kerikil ditemukan di
dataran-dataran rendah dan sungai; batu keras (basal, andesit, dasit) untuk agregat
ditemukan di wilayah-wilayah berbukit dan pegunungan. Pengadaan bahan galian 'C'
sangat penting untuk mendukung pembangunan fisik wilayah di Jawa Barat dan
Jakarta.
Tingkat kecepatan eksploitasi dan penggunaan material ini telah mengakibatkan
beberapa permasalahan lingkungan dimana belum ada ketaatan akan praktek-praktek
pengelolaan yang bijak dan kurangnya rehabilitasi pasca penambangan. Kerusakan
lingkungan karena penambangan, pengedukan dan pengerukan bahan galian 'C'
sebagian besar diakibatkan dari kurang mempertimbangkan masalah-masalah
lingkungan dalam perencanaan, pengoperasian dan perbaikan pasca penambangan.
Kerusakan lingkungan dapat diakibatkan oleh operasi kecil, besar dan mekanisasi atau
oleh dampak kumulatif dari operasi-operasi kecil.
Dampak-dampak lingkungannya meliputi: (i) destabilisasi lereng dengan penggalian
dinding-dinding tinggi, yang sering meluas sampai batas wilayah perumahan, (ii)
meningkatnya bahaya tanah longsor atau runtuhnya batuan akibat terpotongnya lereng
curam yang terdiri dari batuan lepas dan batuan lapuk, karena cuaca dan tidak
terkonsolidasi, (iii) meningkatnya erosi tanah karena hilangnya vegetasi penutup, (iv)
meningkatnya kekeruhan dan pendangkalan selokan dan sungai karena penggalian
tanpa penyediaan penampung sedimen, (v) kerusakan daerah resapan air tanah, (vi)
semakin menurunnya permukaan air bawah tanah atau hilangnya air tanah karena
terpotongnya akuifer, (vii) polusi debu dan suara dari jalan-jalan pengangkutan serta
kerusakan vegetasi dan tanaman.
Tanpa perbaikan yang tepat pada pasca penambangan, tataguna tanah menjadi tidak
serasi lagi dengan areal sekitarnya. Pada dataran rendah di Bogor dan Bekasi sebagai
contoh, banyak lubang-lubang dalam yang ditinggalkan perusahaan-perusahaan.
penggalian, perusakan bentang lahan, timbulnya daerah-daerah genangan yang
dengan limpahan air yang mandek dan meninggalkan lereng curam yang berbahaya. Di
daerah perbukitan dan pegunungan topografi bisa lebih rendah dan lereng yang landai

menjadi lebih curam, yang mengancam stabilitas sisi-sisi bukit, yang pada gilirannya
mengancam pemukiman manusia dan pertanian. Gangguan kelebihan beban dan tanah
atas dapat mengakibatkan hilangnya struktur tanah, stabilitas dan resistensi erosi yang
membuat areal yang 'diperbaiki' menjadi lebih tidak produktif dari set

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Merugikan
Kebakaran lahan dan kabut asap telah
mengganggu kehidupan masyarakat.
Kerugian akibat kebakaran lahan serta
kabut asap diperkirakan miliaran rupiah.

Sebagai gambaran, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menaksir kerugian


akibat kerusakan lingkungan pada
kebakaran hutan dan lahan 2014 di
salah satu lahan perusahaan hutan
tanaman industri seluas 20.000 hektar di
Ogan Komering Ilir sekitar Rp 7,9 triliun.
Jambi, misalnya, tahun ini mengalami
kerugian lebih dari Rp 720 miliar.
Kerugian tersebut mulai dari sisi kerusakan lingkungan, terhambatnya kegiatan
ekonomi, hingga terganggunya kesehatan warga. Akibat kebakaran, ribuan hektar
hutan dan lahan rusak. Satwa yang menghuni kawasan yang terbakar juga terancam
mati. Di bidang ekonomi, kabut asap terutama mengganggu jadwal penerbangan.
Pengusaha ternak sapi dan kerbau di Palembang, Sumsel, Ade Gita Pramadianta,
mengatakan, satu pertemuan terkait usahanya tertunda beberapa hari akibat pesawat
yang membawa koleganya batal terbang karena kabut asap. "Ini pertemuan usaha
untuk membahas kegiatan senilai sekitar Rp 1 miliar," katanya di Palembang, Jumat.
Masyarakat Indonesia mesti menghadapi kabut asap yang sudah hampir satu bulan
menyelimuti sejumlah kota. Musim kemarau panjang membuat kabut asap semakin
parah. Akibatnya sejumlah sekolah pun terpaksa diliburkan demi menjaga kesehatan
para siswa. Tidak hanya itu.. asap tebal juga mulai menyerang saluran pernapasan bayi
dan anak anak. Rapat Koordinasi Pemimpin Daerah di Pulau Nias dengan Pelaksana
Tugas Gubernur Sumut di Medan, Jumat, juga batal karena pesawat Garuda MedanGunungsitoli-Medan batal terbang akibat kabut asap. Para pengusaha bahkan
membatalkan penerbangannya ke luar daerah demi keselamatan penerbangan.
Pengamat ekonomi Universitas Batanghari, Jambi, Pantun Bukit, mengatakan, potensi
ekonomi yang hilang jauh lebih besar dibandingkan nilai kerugian. Dia mencontohkan
tingkat hunian hotel dan penginapan menurun drastis selama dua pekan terakhir sejak
Jambi diselimuti kabut asap. Rata-rata tingkat hunian hotel 60 persen per bulan, tetapi
sejak terganggunya aktivitas penerbangan akibat asap, tingkat hunian juga anjlok. "Kini
menjadi 30 persen saja tingkat okupansinya," kata Pantun. Potensi lain yang hilang
antara lain transaksi belanja wisatawan, jasa kendaraan sewa, dan ekspedisi barang

antardaerah yang nilainya diperkirakan Rp 5 miliar per hari. Sektor perdagangan lebih
terdampak. Pantun mencontohkan, transaksi 600 kilogram udang ketak per hari dari
nelayan Tanjung Jabung Barat untuk memasok kebutuhan restoran di Jakarta bernilai
Rp 800 juta per hari saat ini hilang. Biasanya udang dikirim menggunakan pesawat,
tetapi pengiriman dihentikan sementara akibat kabut asap. "Itu baru dihitung dari bisnis
udang, belum lagi perdagangan lainnya," ujarnya. Kabut asap juga menyebabkan
kesehatan masyarakat terganggu karena kualitas udara menurun. Jumlah penderita
infeksi saluran pernapasan akut di beberapa daerah yang diselimuti kabut asap
meningkat. (TIM KOMPAS)
KOMPAS/PRIYOMBODO Penumpang tujuan Pekanbaru mengembalikan tiket karena
tidak ada kepastian jadwal penerbangan di gerai salah satu maskapai penerbangan di
Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta, Jumat (4/9). Kabut asap yang
membuat jarak pandang terbatas telah melumpuhkan penerbangan dari dan menuju
Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II, Pekanbaru, Riau.

Permasalahan Pencemaran air Jawa Barat

Khusus untuk Kota Bandung saat ini telah tersedia instalasi pengolahan tinja secara
terpusat dengan sistem perpipaan, namun sampai dengan tahun 2002 berdasarkan
data dari Divisi Air Kotor PDAM Kota Bandung menyebutkan bahwa konsumen yang
mendapat pelayanan sistem perpipaan baru mencapai 20% dari penduduk kota,
sedangkan sisanya melalui penyedotan septic tanks oleh Dinas Kebersihan Kota.
Hampir seluruh kota/kabupaten telah memiliki fasilitas Instalasi Pengolahan Lumpur
Tinja (IPLT) namun tidak beroperasi secara optimum dan tinja yang diolah rata-rata
baru mencapai 5% dari laju timbulan tinja yang ada. Bahkan, meskipun lumpur tinja dari
tangki septik telah dikumpulkan/disedot, sebagian besar lumpur tinja tersebut dibuang
langsung ke sungai dan kanal-kanal tanpa mengindahkan prosedur pembuangan
limbah yang semestinya.
Perlu dikemukakan, bahwa sangat sedikit tangki septik yang dirancang dan dibangun
menurut persyaratan yang ditentukan oleh dinas kesehatan, atau kebanyakan tidak
dipelihara dengan baik. Sebagai akibatnya, telah banyak yang menimbulkan
kontaminasi terhadap airtanah. Pada kebanyakan rumah tangga yang kebutuhan airnya
tergantung dari sumur-sumur dangkal, bahaya kontaminasi tersebut cukup besar dan
menjadi sumber timbulnya berbagai penyakit dengan perantara air.
Di daerah perkotaan yang berkembang dengan semakin meluasnya kawasan kumuh,
limbah cair dari rumahtangga khususnya yang tinggal di daerah bantaran sungai
dibuang langsung ke sungai atau selokan-selokan, ke dalam balong-balong atau
langsung dibuang begitu saja ke lahan-lahan kosong.
Kontaminasi Pasokan Air
Sistem pemasokan air dengan pipa tidak lagi memadai karena tingkat kerusakan
perpipaannya yang kurang terpelihara. Tekanan air yang rendah berisiko terkontaminasi
oleh rembesan airtanah, akibatnya baik pasokan air dari perusahaan air bersih maupun
dari penyadapan airtanah dangkal belumlah aman terhadap kesehatan manusia, selagi
air tersebut tidak dimasak dengan sempurna. Kondisi yang demikian telah mendorong
masyarakat untuk lebih banyak memakai air botol-galonan, dan mungkin inilah sebagai
alasan menurut catatan medis di Jawa Barat yang menyatakan bahwa jumlah

penduduk yang terkena diare semakin menurun. Meskipun pasokan air baru pada
tingkat air bersih dan bukan air minum, pemasokannya pun hingga tahun 2002 baru
dapat mencapai 43 % konsumen di perkotaan dan sekitar 22 % konsumen di pedesaan
Jawa Barat.
Limbah padat dan persampahan
Timbulan sampah di Jawa Barat dari tahun ke tahun terus meningkat, dengan
paradigma pengelolaan kumpul-angkut-buang, menyebabkan pengalihan
permasalahan dari sumber aktifitas perkotaan menjadi permasalahan di lokasi
penimbunan akhir. Sampai saat ini hampir seluruh lokasi penimbunan sampah akhir di
Jawa Barat berada pada kondisi tidak memadai. Bahkan sistem pengelolaan yang
dijalankan oleh lembaga formal pengelola kota, belum menunjukkan efektifitas yang
tinggi. Kebersihan kota umumnya di Jawa Barat masih sangat buruk.
Lokasi kritis dimana banyak ditemukan timbunan sampah yang dibuang secara ilegal
oleh masyarakat adalah salah satunya di bantaran sungai, akibatnya terjadi
penyumbatan alur sungai dan berisiko terjadinya banjir. Dari data statistik tahun 2002,
rata-rata hanya sekitar 54 % seluruh limbah domestik yang terkumpul dan terangkut ke
tempat pembuangan akhir. Sisanya, sekitar 23 % dikubur atau dibakar ditempat yang
berpotensi mencemari udara dan air, 3 % dibuang langsung ke sungai dan 21 %
dibuang ke lahan-lahan kosong, atau dibuang ke selokan, kanal-kanal dan sungaisungai kecil lainnya.
Komposisi limbah padat sebagian besar berasal dari rumah tangga. Data dari Kota
Bandung menunjukkan 64 % rata-rata total limbah padat berasal dari rumah tangga,
sementara 27 % dari industri. Sembilan persen berasal dari pasar, daerah komersial,
dan dari sumber-sumber yang lain, sehingga setiap hari keseluruhannya mencapai
7.500m3/hari. Sementara itu yang tertimbun di TPA baru mencapai 60%.
Kecenderungan pola timbulan sampah di Jawa Barat adalah sejalan dengan tingkat
aktifitas kota tersebut. Umumnya kota-kota pusat kegiatan dalam suatu wilayah
andalan, menunjukkan angka timbulan tertinggi. Di Wilayah Bandung Raya timbulan
terbesar berasal dari Kota dan Kabupaten Bandung, yaitu lebih dari 5.000 m3/hari. Di

Wilayah Bodebek, Kota Bogor dan Kab. Bekasi sebagai penimbul sampah terbesar,
yaitu lebih dari 2.000 m3/hari. Di Wilayah Ciayumajakuning, timbulan terbesar berasal
dari Kab. Cirebon dan Majalengka, yaitu lebih dari 1.000 m3/hari.
Faktor penduduk pada dasarnya sebagai penentu besarnya timbulan disamping faktor
aktifitas di dalam kota itu sendiri. Sebagai contoh Kota Bandung dan Kota Bogor
menimbulkan sampah lebih besar dibandingkan Kabupaten Bandung dan Bogor yang
berpenduduk lebih tinggi. Hal ini dapat dipastikan bahwa kontribusi sampah dari
aktifitas kota sangat menentukan besar kecilnya timbulan sampah. Adapun kota-kota
yang memiliki timbulan terkecil yaitu kurang dari 300 m3/hari, adalah Kabupaten
Subang, Purwakarta dan Indramayu.
Di seluruh Jawa barat hampir 90 % lebih TPA di Jawa Barat menerapkan metoda
penimbunan open dumping. Walaupun sudah diketahui bahwa metoda ini telah
menimbulkan pencemaran lindi terhadap air tanah, namun nampaknya metode ini
masih menjadi pilihan para pengelola kota. Alasan utama diselenggarakannya metode
open dumping adalah rendahnya biaya operasi yang harus dikeluarkan, mengingat
metode ini tidak memerlukan perlakuan khusus yang berdampak pada penambahan
biaya operasi. Namun demikian, satu hal yang luput adalah pencemaran yang terjadi
tidak pernah diperhitungkan sebagai biaya yang seharusnya ditanggung oleh
pemerintah.
Disebutnya operasi controlled landfill dan sanitary landfill sebagai metode yang
diterapkan pada sebuah TPA, sesungguhnya perlu dicermati. Banyak kota yang telah
merencanakan pelaksanaan metoda tersebut, namun dalam pelaksanaannya banyak
ditemui TPA yang hanya dioperasikan oleh seorang sopir buldozer, atau hanya
mengandalkan sopir truk sampah untuk menuang sampahnya. Jarang ditemukan
adanya perencanaan penimbunan yang sistematis agar TPA dapat berfungsi dengan
baik dan tidak mengganggu lingkungan.
Kontrol terhadap operasi penimbunan sampah di TPA seluruh Jawa Barat masih sangat
lemah. Tidak jarang dijumpai bahwa suatu TPA sampah kota juga menerima buangan
industri atau bahkan tergolong limbah B3 misalnya limbah infectiuous dari aktifitas

rumah sakit. Hal ini tentunya akan mendatangkan dampak yang tidak diinginkan.
Umumnya terjadi di Jawa Barat bahwa TPA yang telah dipersiapkan untuk dioperasikan
dengan metode sanitary landfill akhirnya berubah menjadi open dumping.
Faktor penyebab utama adalah kurangnya konsistensi pihak pengelola mengetrapkan
aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam perencanaan. TPA tersebut akhirnya akan
menjadi semrawut, bau, berasap dan lindinya menyebar ke segala arah. Pencemaran
air tanah dan air pemukaan sekitar TPA oleh lindi, merupakan masalah yang paling
serius, disamping masalah lain yang ditimbulkan dari pelaksanaan open dumping di
TPA, seperti masalah bau, masalah gas bio yaitu gas methana yang disebabkan karena
tidak adanya upaya penangkapan gas tersebut, masalah pencemaran udara karena
kebakaran dan asap yang terjadi secara alarm di dalam timbunan sampah yang tidak
ditutup, serta masalah sanitasi lingkungan yang menurun akibat kehadiran vektor
penyakit berupa lalat di atas timbunan sampah terbuka.
Permasalahan kualitas udara
Data pemantauan kualitas udara dari pengamatan secara berkala yang dapat
digunakan untuk melihat kecenderungan peningkatan atau penurunannya di kota-kota
di Jawa Barat masih sangat terbatas. Data-data dari stasiun pemantau otomatis
digunakan untuk menghitung Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Berdasarkan
nilai ISPU yang diperoleh, parameter PMi0 dan 03 sering ditemukan menjadi parameter
kritis. Parameter kritis adalah parameter yang menyebabkan dampak buruk terbesar
terhadap kualitas udara.
Pada tahun 2003, data ISPU menunjukan di Kota Bandung hanya terdapat 55 hari yang
tergolong sehat (Pikiran Rakyat, 12 Maret 2004). Berdasarkan data sejak akhir tahun
2000, jumlah hari tidak sehat mempunyai kecenderungan meningkat dari tahun-ke
tahun.
Dengan adanya peralatan mobile monitoring pemantauan kampanye mulai dilakukan di
kota-kota lain di Jawa Barat, seperti Bogor, Cianjur, Depok, Karawang dan Cirebon.
Hasil pemantauan secara kampanye tersebut juga menunjukan kecenderungan yang

sama dengan yang diperoleh di Kota Bandung, yaitu pola fluktuasi pencemar yang
dipengaruhi oleh intensitas kendaraan bermotor.
Di samping pengukuran udara ambien, sejak tahun 2001 di Kota Bandung juga
dilakukan uji emisi kendaraan bermotor dan kualitas udara ambien di jalan-jalan raya.
Hasil pemantauan emisi kendaraan bermotor terkini yang dilakukan oleh BPLH Kodya
Bandung (2004) menunjukan terdapat lebih dari 40% kendaraan bermotor dengan
bahan bakar bensin dan diesel yang tidak memenuhi persyaratan Baku Mutu Emisi
Sumber Bergerak (Kepmen LH 13/1995). Walaupun emisi kendaraan bermotor
umumnya merupakan kontributor yang dominan terhadap pencemaran udara, di kotakota tertentu terdapat sumber-sumber pencemar lain yang juga patut mendapat
perhatian.
Di TPA Bantargebang pencemar bau seluruhnya menunjukan nilai H2S berkisar antara
1.5 sampai 2 kali lipat dari nilai ambang batas Baku Mutu udara ambien. Tingginya
konsentrasi H2S ini dengan jelas mengindikasikan pencemaran bau yang berasal dari
proses pembusukan sampah. Di wilayah lain seperti Kabupaten Bekasi dengan PDRB
lebih dari 82% didominasi oleh sektor industri, di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten
Bandung, sektor industri diperkirakan juga mempunyai kontribusi yang cukup berarti
dalam pencemaran udara.
Pencemaran udara di daerah perkotaan dan kawasan industri dapat menyebabkan
dampak negatif di daerah yang jauh dari sumbernya. Fenomena hujan asam tergolong
ke dalam pencemaran yang disebabkan oleh transport pencemar jarak jauh.
Pengamatan terhadap fenomena hujan asam masih sangat terbatas, salah satu
pengamatan terhadap pH air hujan sejan tahun 1980-an dilakukan oleh LAPAN di Kota
Bandung.Data pH rata-rata tahunan air hujan menunjukkan trend menurun,
mengindikasikan adanya proses perubahan kualitas air hujan yang kemungkinan
disebabkan oleh aktifitas manusia yang semakin meningkat di daerah perkotaan.
Selain hujan asam, terdapat pula indikasi terjadinya pencemaran dari smog fotokimia,
berasal dari konversi NOX, HC dan CO menjadi ozon dan senyawa fotokimia lainnya.
Indikasi tersebut ditunjukan oleh konsentrasi ozon yang sering menjadi parameter kritis,
konsentrasinya yang tinggi di daerah pedesaan, dan menurunnya visibilitas di daerah

perkotaan, terutama dapat diamati di daerah Cekungan Bandung pada siang hari.

d. Permasalahan sosial ekonomi dan kependudukan


Jumlah penduduk propinsi Jawa Barat tahun 2000 adalah 35,72 juta jiwa yang terdiri
dari 18,08 juta laki-laki dan 17,64 juta perempuan dengan rata-rata pertumbuhan 2,03
per tahun dan kepadatan penduduk 1.033 / km2. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan
penduduk 1,7% jumlah penduduk propinsi ini akan mencapai 43,8 juta orang di tahun
2010.Sekitar 45% kelompok penduduk berada di tiga wilayah kota: Bandung, BogorBekasi dan Cirebon. Kepadatan penduduk Bandung adalah 12.711 per km2, sedangkan
kepadatan penduduk Jawa Barat adalah 1.033 per km2. Tahun 2000 sekitar 48,86%
penduduk tinggal di perkotaan sedangkan di tahun 1990 hanya 35,03%, yang
mengindikasikan tingginya angka migrasi ke kota (urbanisasi).
Berdasarkan usia, penduduk Jawa Barat terdiri dari 30,71% usia muda (kurang dari 14
tahun), 64,73% berumur antara 15-64 tahun, dan 4,56% berumur lebih dari 65 tahun.
Meskipun Propinsi Jawa Barat berkembang menuju daerah industri tapi sektor
pertanian menyerap lebih banyak tenaga kerja (28,9%). Sektor-sektor yang menyerap
banyak tenaga kerja di daerah perkotaan adalah perindustrian, perdagangan dan jasa.
Angka pengangguran mencapai 8,01% dari keseluruhan 14,39 juta angkatan kerja.
Pada tahun 2000 terdapat 39,30 persen penduduk yang lulus Sekolah Dasar (SD),
11,8% lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), 12,94% lulus Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA), 2,45% lulus Sarjana muda dan 1,50% lulus 51, 52 dan S3.
Dalam hal kesehatan masyarakat, kematian bayi di Jawa Barat mencapai 42,3% per
1000 kelahiran. Indeks pembangunan manusia Jawa Barat tahun 1999 mencapai
65,3%, urutan ke-13 di Indonesia sedangkan 26,59% dari jumlah penduduk berada
pada garis kemiskinan.
Pola penyakit di Jawa Barat didominasi oleh penyakit yang disebabkan oleh buruknya
sanitasi lingkungan yakni infeksi saluran pernapasan atas (49% pada tahun 2002),
diare dan busung lapar (14% pada tahun 2000). Angka kepadatan penduduk yang

tinggi di Jawa Barat disebabkan oleh beberapa faktor, sebagian besar karena kelahiran
dan migrasi. Menurut sensus nasional tahun 1997, rata-rata angka kelahiran di Jawa
Barat adalah 10,74%. Rata-rata ini mengalami penurunan daripada rata-rata pada
tahun 1990 yaitu 27,66%. Jumlah imigrasi ke Jawa Barat pada tahun 1995 sebesar
4.221.877 dan pada tahun 2000 sebesar 3.911.585 orang. Angka ini termasuk tinggi,
yang artinya lebih dari 10% dari penduduk yang ada sekarang adalah pendatang.
Tingginya angka rata-rata perpindahan penduduk ke Jawa Barat sebagian besar
dikarenakan lajunya pembangunan di bidang industri. Menurut Pusat Data dari
Departemen Perdagangan dan Industri, pada tahun 2002 Jawa Barat memiliki 4.900
unit industri. Pembangunan industri ini membuat para imigran mencari kesempatan
kerja di wilayah Jawa Barat.
Jumlah penduduk yang sangat besar dengan tingginya rata-rata pertumbuhan dan
distribusi yang tidak seimbang di setiap wilayah membuat masalah baru, yaitu
meningkatnya terhadap kebutuhan lahan untuk permukiman. Tercatat sekitar 136,621
ha lahan sawah yang dijadikan daerah permukiman, meskipun ada juga melimpahnya
penduduk tetap berada di beberapa kota besar, sehingga kepadatan penduduknya
dapat mencapai 2000 orang per km2. Sensus Nasional pada tahun 1997 mencatat
bahwa kepadatan penduduk di kabupaten Bekasi adalah 2.176 jiwa per km2, 14.108
jiwa di Kota Bandung, 2.541 jiwa di Kota Bogor, 2.581 juta jiwa di Sukabumi, sementara
di Cirebon sebesar 7.024 jiwa per km2.
Kepadatan penduduk yang tinggi pada daerah perkotaan selalu membuat masalah
baru, seperti pertumbuhan daerah kumuh. Dilaporkan oleh Gubernur (2002) ada sekitar
2.171 lokasi daerah kumuh yang mencakup 4.762 ha tanah, yang dimana telah
ditempati oleh 96.457 keluarga atau 353.941 warga. Permukiman yang terluas kawasan
kumuhnya adalah Kota Bandung, Indramayu, Karawang dan Kabupaten Bandung.
Permukiman kumuh menimbulkan banyak sekali masalah, yang identik dengan
kemiskinan, lingkungan permukiman yang kotor, dan prasarana yang terbatas, yaitu air
bersih, pembuangan air, listrik, sarana bermain dll. Karena keterbatasan tersebut ,

banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai untuk mandi, mencuci, mengambil air
dan juga membuang sampah.
Dengan terbatasnya ketersediaan lahan, beberapa penduduk menetap dan
membangun rumah mereka pada bantaran/tepi sungai. Pada tahun 2000, Badan
Peneliti Statistik (BPS) mencatat bahwa sejumlah 67.059 bangunan rumah yang
berlokasi di bantaran/tepi sungai dengan 69.988 keluarga yang menetap disana.
Permukiman di bantaran/tepi sungai tersebut menyebar luas di Kota Bandung, Ciamis,
Cianjur, Bekasi dan kabupaten Bandung.
Di wilayah pedesaan, tekanan penduduk terhadap lahan sudah sangat tinggi. Kecuali di
wilayah pantai utara, hampir seluruh kabupaten lainnya mempunyai tekanan penduduk
di atas angka 4.

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Kemampuan manusia untuk mengubah atau memoditifikasi kualitas lingkungannya


tergantung sekali pada taraf sosial budayanya. Masyarakat yang masih primitif hanya
mampu membuka hutan secukupnya untuk memberi perlindungan pada masyarakat.
Sebaliknya, masyarakat yang sudah maju sosial budayanya dapat mengubah
lingkungan hidup sampai taraf yang irreversible. Prilaku masyarakat ini menentukan
gaya hidup tersendiri yang akan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan yang
diinginkannya mengakibatkan timbulnya penyakit juga sesuai dengan prilakunya tadi.

Dengan demikian eratlah hubungan antara kesehatan dengan sumber daya sosial
ekonomi. WHO menyatakan Kesehatan adalah suatu keadaan sehat yang utuh secara
fisik, mental dan sosial serta bukan hanya merupakan bebas dari penyakit.
Dalam Undang Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan. Dalam Bab
1, Pasal 2 dinyatakan bahwa Kesehatan adalah meliputi kesehatan badan (somatik),
rohani (jiwa) dan sosial dan bukan hanya deadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan
kelemahan. Definisi ini memberi arti yang sangat luas pada kata kesehatan.
Masyarakat adalah terdiri dari individu-individu manusia yang merupakan makhluk
biologis dan makhluk sosial didalam suatu lingkungan hidup (biosfir). Sehingga untuk
memahami masyarakat perlu mempelajari kehidupan biologis bentuk interaksi sosial
dan lingkungan hidup.
Dengan demikian permasalahan kesehatan masyarakat merupakan hal yang kompleks
dan usaha pemecahan masalah kesehatan masyarakat merupakan upaya
menghilangkan penyebab-penyebab secara rasional, sistematis dan berkelanjutan.
Pada pelaksanan analisis dampak lingkungan maka kaitan antara lingkungan dengan
kesehatan dapat dikaji secara terpadu artinya bagaimana pertimbangan kesehatan
masyarakat dapat dipadukan kedalam analisis lingkungan untuk kebijakan dalam
pelaksnaan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Manusia berinteraksi dengan
lingkungan hidupnya lebih baik, walaupun aktivitas manusia membuat rona lingkungan
menjadi rusak.
Hal ini tidak dapat disangkal lagi kualitas lingkungan pasti mempengaruhi status
kesehatan masyarakat. Dari studi tentang kesehatan lingkungan tersirat informasi
bahwa status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor hereditas, nutrisi, pelayanan
kesehatan, perilaku dan lengkungan.
Menurut paragdima Blum tentang kesehatan dari lima faktor itu lingkungan mempunyai
pengaruh dominan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi status kesehatan
seseorang itu dapat berasal dari lingkungan pemukiman, lingkungan sosial, linkungan
rekreasi, lingkungan kerja.

Keadaan kesehatan lingkungan di Indonesia masih merupakan hal yang perlu


mendapaat perhatian, karena menyebabkan status kesehatan masyarakat berubah
seperti: Peledakan penduduk, penyediaan air bersih, pengolalaan sampah,
pembuangan air limbah penggunaan pestisida, masalah gizi, masalah pemukiman,
pelayanan kesehatan, ketersediaan obat, populasi udara, abrasi pantai, penggundulan
hutan dan banyak lagi permasalahan yang dapat menimbulkan satu model penyakit.
Jumlah penduduk yang sangat besar 19.000 juta harus benar-benar ditangani. Masalah
pemukiman sangat penting diperhatikan.
Pada saat ini pembangunan di sektor perumahan sangat berkembang, karena
kebutuhan yang utama bagi masyarakat. Perumahan juga harus memenuhi syarat bagi
kesehatan baik ditinjau dari segi bangungan, drainase, pengadaan air bersih,
pengolalaan sampah domestik uang dapat menimbulkan penyakit infeksi dan ventilasi
untuk pembangunan asap dapur.
Perilaku pola makanan juga mengubah pola penyakit yang timbul dimasyarakat. Gizi
masyarakat yang sering menjadi topik pembicaraan kita kekurangan karbohidrat,
kekurangan protein, kekurangan vitamin A dan kekurangan Iodium. Di Indonesia
sebagian besar penyakit yang didapat berhubungan dengan kekurangan gizi.
Ada yang kekurangan kuantitas makanan saja (Maramus), tapi seringkali juga kualitas
kurang (Kwashiorkor). Sebagian besar penyakityang didapat berhubungan dengan
kekurangan gizi terutama terdap[at pada anak-anak.
Industrialisasi pada saat ini akan menimbulkan masalah yang baru, kalau tidak dengan
segera ditanggulangi saat ini dengan cepat. Lingkungan industri merupakan salah satu
contoh lingkungan kerja. Walaupun seorang karyawan hanya menggunakan sepertiga
dari waktu hariannya untuk melakukan pekerjaan di lingkungan industri, tetapi
pemaparan dirinya di lingkungan itu memungkinkan timbulnya gangguan kesehatan
dengan resiko trauma fisik gangguan kesehatan morbiditas, disabilitas dan mortalitas.
Dari studi yang pernah dilakukan di Amerika Serikat oleh The National Institute of
Occupational Safety and Health pada tahun 1997 terungkap bahwa satu dari empat
karyawan yang bekerja di lingkungan industri tersedia pada bahan beracun dan kanker.

Lebih dari 20.000.000 karyawan yang bekerja di lingkungan industri setiap harinya
menggarap bahan-bahan yang diketahui mempunyai resiko untuk menimbulkan kanker,
penyakit paru, hipertensi dan gangguan metabolisme lain.
Paling sedikit ada 390.000 kasus gangguan kefaalan yang terinduksi oleh dampak
negatif lingkungan industri dan100.000 kematian karena sebab okupasional dilaporkan
setiap tahun.
Indonesia saat ini mengalami transisi dapat terlihat dari perombakan struktur ekonomi
menuju ekonomi industri, pertambahan jumlah penduduk, urbanisasi yang
meningkatkan jumlahnya, maka berubahlah beberapa indikator kesehatan seperti
penurunan angka kematian ibu, meningkatnya angka harapan hidup ( 63 tahun ) dan
status gizi.
Jumlah penduduk terus bertambah, cara bercocok tanam tradisional tidak lagi dapat
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Dengan kemampuan daya pikir manusia,
maka manusia mulai menemukan mesin-mesin yang dapat bekerja lebih cepat dan
efisien si dari tenaga manusia. Peristiwa ini mulai dikenal dengan penemuan mesin uap
oleh James Waat. Fase industri ini menimbulkan dampak yang sangat menyolok selain
kemakmuran yang diperoleh juga exploitasi tenaga kerja, kecelakaan kerja,
pencemaran lenigkungan, penyakit, wabah.
Pencemaran udara yang disebabkan industri dapat menimbulkan asphyxia dimana
darah kekurangan oksigen dan tidak mampu melepas CO2disebabkan gas beracun
besar konsentrasinya dedalam atmosfirseperti CO2, H2S, CO, NH3, dan CH4.
Kekurangan ini bersifat akurat dan keracunan bersifat sistemik penyebab adalah timah
hitam, Cadmium,Flour dan insektisida .
Pengaruh air terhadap kesehatan dapat menyebabkan penyakit menular dan tidak
menular. Perkembangan epidemiologi menggambarkan secara spesifik peran
lingkungan dalam terjadinya penyakit dan wabah. Lingkungan berpengaruh pada
terjadinya penyakit penyakit umpama penyakit malaria karena udara jelek dan tinggal
disekitar rawa-rawa. Orang beranggapan bahwa penyakit malaria terjadi karena tinggal
pada rawa-rawa padahal nyamuk yang bersarang di rawa menyebabkan penyakit

malaria. Dipandang dari segi lingkungan kesehatan, penyakit terjadi karena interaksi
antara manusia dan lingkungan.

Você também pode gostar