Você está na página 1de 11

Kode Etik Penelitian

Psikologi Perkembangan

Oleh :
1.
2.
3.
4.
5.

Endah Oktaviana
Natalia Putri
Renny Anggreani
Shabrina M.P
Vivian Emilia Frassisca

1402105140
1402105111
1402105141
1402105137
1402105096

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universital Mulawarman
2015

KASUS
Pada tahun 1997, David Corwin menerbitkan sebuah artikel Isu penganiayaan anak
"Videotaped discovery of a reportedly unrecallable memory of child sexual abuse: comparison
with a childhood interview videotaped 11 years before. Atau "penemuan Rekaman video yang
memanggil ulang ingatan pelecehan seksual anak: perbandingan dengan wawancara masa kecil
subjek yang direkam 11 tahun sebelumnya." Wanita yang disamarkan namanya menjadi Jane
Doe, telah setuju untuk mempublikasikan artikel kasus nya dengan Corwin.
Loftus dengan University of Washington dan Melvin Guyer, dengan University of Michigan
dan detektif swasta memastikan identitas sesungguhnya dari Jane Doe. Mereka mewawancarai
ibunya, saudara, ibu tiri dan ibu angkat. Peneliti juga mencoba untuk menghubungi Jane Doe tapi
gagal. Pada bulan Mei dan Juli 2001, dua artikel dalam Skeptical Inquirer berjudul Who abused
Jane Doe? Yang diterbitkan oleh Loftus dan Guyer. Loftus dan Guyer tidak menghubungi
Corwin atau Jane untuk meminta persetujuan mereka untuk mengkonfirmasi identitasnya atau
untuk berbicara dengan pengasuh-nya. Loftus juga tidak menanggapi Universitas Washington
Institutional Review Board (IRB) dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan mereka tentang
penelitiannya Jane Doe. Ini karena Loftus diklaim Michigan telah memberi mereka izin untuk
melanjutkan dengan penelitian.
Corwin dihubungi University of Michigan IRB dan diberitahu bahwa mereka tidak memiliki
catatan persetujuan Guyer atas kasus ini. Universitas telah memutuskan bahwa studi ini tidak
datang dalam ruang lingkup universitas. Corwin mengklaim penelitian tersebut tidak mendapat
ijin untuk diteruskan, karena IRB tidak memberikan bimbingan atau persetujuan, dan bahwa IRB
tidak melarang peneliti dari kehati-hatian menentukan apakah untuk dilanjutkan atau tidak.
Persetujuan pada satu lembaga tidak memberikan persetujuan untuk lembaga lain. Bahkan jika
Guyer memang memiliki persetujuan, yang ia tidak memilikinya, ini tidak memberikan
persetujuan

Loftus

tanpa

perjanjian

sebelum

melakukan

penelitian

ini.

John Slattery, direktur UW Kantor Ilmiah Integritas pada tahun 1997 menyatakan bahwa Loftus
'akan harus meminta izin UW untuk wawancara dan mungkin akan diminta untuk memberikan
UW's IRB daftar pertanyaan yang ditanyakan dan membentuk menjelaskan risiko diwawancarai.

Loftus menghadapi gugatan dari Jane Doe (Nicole Taus) di Solano County, California. Hal
tersebut dikarenakan Loftus mempublikasikan identitasnya, melakukan wawancara terhadap
ibunya, saudara, ibu angkat dan ibu tiri jane Done tanpa ijin dari subjek penelitian. Jane
mengatakan kepada para pejabat Universitas Washington bahwa dia tidak setuju apabila Loftus
'menemui ibunya dan ibu tirinya untuk wawancara. Namun Loftus tetap melakukannya. Loftus
mengaku berteman dengan ibu kandung Jane. Loftus mengakui bahwa dia melakukan hal itu
sebagian besar karena didorong oleh keinginannya untuk menyatukan ibu dan anak
perempuannya (Jane). Loftus juga percaya bahwa aturan kerahasiaan yang digunakan untuk
melindungi pasien atau subyek penelitian tidak boleh digunakan untuk menyembunyikan
kebenaran. Loftus dibebaskan dari kesalahan oleh komite UW (University of Washington),
namun panitia yang dibutuhkan dia untuk mendapatkan izin dari IRB sebelum berbicara dengan
ibu Jane lagi. Komite juga ingin Loftus untuk mengambil kelas etika '. Setelah itu, Loftus
meninggalkan UW untuk University of California, Irvine.
Loftus dan beberapa pihak lain dituduh memfitnah, melakukan pencemaran nama baik,dan
terancam hukuman kelalaian yang disengaja, melakukan invasi emosional privasi, penderitaan
dan kerusakan karena penelitian Loftus tersebut mengungkap informasi pribadi dan identitas
subjek, serta melakukan hal diluar persetujuan subjek.

Psikologi Perkembangan dan Etika


dalam Penelitiannya
Kajian dalam psikologi perkembangan rentang hidup mencakup serangkaian konsep tentang
perilaku yang berubah dan menetap, yang berlangsung sepanjang perjalanan hidup individu,
sejak masa konsepsi hingga berakhir saat kematian. Studi perkembangan rentang hidup
bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum perkembangan rentang
hidup, tentang perbedaan-perbedaan dan persamaan inter-individual di dalamnya, serta derajat
dan kondisi plastisitas individual atau modifiabilitas perkembangan.
Hal yang perlu dipahami lebih lanjut adalah bahwa perkembangan rentang hidup sendiri
bukanlah sebuah teori tunggal, akan tetapi merupakan suatu spesialisasi bidang, suatu rumpun
kajian yang dibangun oleh teori-teori yang lebih spesifik.
Sebagai sebuah perspektif, perkembangan rentang hidup mengajukan empat pemikiran dasar,
yaitu:
1. Development is Lifelong
Perkembangan merupakan proses panjang yang berlangsung sepanjang hayat. Berbagai
perubahan individu yang terjadi di dalamnya adalah hasil dari proses yang terjadi selama
kurun waktu yang lama, dengan melibatkan peran faktor herediter berbagai macam
stimulasi yang diperoleh dari lingkungan.
2. Development is Multidimentional and Multidirectional
Perkembangan bersifat multidimensional, yaitu melibatkan seluruh aspek kehidupan
individu, baik fisik, kognitif, emosi, maupun sosial. Perkembangan juga bersifat
multidireksional, yang tidak hanya menghasilkan pertambahan / peningkatan
kemampuan, namun juga penurunan pada aspek-aspek tertentu.
3. Development is Plastic
Perkembangan bersifat plastis atau fleksibel, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan
tempat individu tumbuh dan berkembang. Semisal, sekalipun seorang anak kurang
memiliki potensi yang kuat pada suatu kemampuan, namun ada kalanya stimulasi yang
kontinu mampu mengoptimalkannya hingga dapat dimanfaatkan dalam kehidupan seharihari.
4. Development is Influenced by Multiple, Interacting Forces

Perkembangan dipengaruhi oleh beragam faktor dan kekuatan, yang saling berinteraksi
satu sama lain, seperti: tingkatan usia, sejarah hidup, pengaruh non-normatif dari
kejadian-kejadian spesifik dalam hidup individu, dan sebagainya.
Dalam proses penelitian tentang perkembangan manusia, terdapat etika yang penting untuk
diperhatikan, mengingat subjek dalam penelitian perkembangan adalah individu dengan beragam
latar belakang kondisi, yang mencakup pula mereka yang berada usia-usia yang mungkin
membutuhkan pendampingan khusus dalam proses penelitian, seperti: bayi, anak, dan lanjut usia.
Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menjaga etika dalam penelitian perkembangan
adalah:
1. Protection from Harm
Bahwa segala hal yang ada dalam pelaksanaan penelitian tidak boleh melanggar hak-hak
individu yang terlibat menjadi subjek penelitian, terlebih sampai memunculkan
pemaksaan atau tindak kekerasan baik terhadap kondisi fisik maupun psikologis.
2. Informed Consent
Setiap individu yang terlibat dalam penelitian harus menyatakan kesediaannya secara
tertulis untuk memastikan tidak adanya unsur pemaksaan dari pihak peneliti terhadap
keikutsertaan mereka. Bagi subjek yang berusia dini dan lanjut usia, setidaknya informed
consent dapat diisi oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap kehidupan
individu-individu tersebut, misalnya: orangtua untuk subjek anak.
3. Privacy
Peneliti harus dapat menjaga dan menjamin kerahasiaan informasi yang diperolehnya dari
subjek penelitian, termasuk di dalamnya menjaga kerahasiaan identitas subjek penelitian.
4. Knowledge of Result
Subjek memiliki hak untuk mendapatkan pengetahuan dari hasil penelitian yang
melibatkan mereka. Oleh karena itu, peneliti harus bersedia menginformasikan hasil
penelitiannya dan memberikan umpan balik terhadap subjek berdasarkan hasil penelitian
tersebut manakala subjek menghendaki.
5. Beneficial Treatments
Jika dalam penelitian yang dilakukan peneliti memberikan perlakukan / treatment tertentu
terhadap kondisi subjek, maka harus dapat dipastikan bahwa perlakuan / treatmen
tersebut dapat memberikan manfaat bagi subjek untuk memperbaiki kondisi atau
mendapatkan solusi terhadap persoalan yang telah dihadapi.

Pembahasan Kasus Menggunakan


Kode Etik Penelitian
Tampaknya Loftus telah melanggar setidaknya lima kode etik, kerahasiaan subjek penelitian,
informed consent, mengenai aturan dan izin penelitian, mengenai partisipasan penelitian dan
hubunganganda/majemuk.
Pertama saya akan melihat kerahasiaan. Dalam "Prinsip Etis Psikolog" diadopsi oleh APA
Majelis Perwakilan tahun 1981, dinyatakan dalam Prinsip 5 tentang kerahasiaan dimana psikolog
harus menghormati kerahasiaan informasi yang mereka peroleh dalam proses pekerjaan mereka.
Psikolog hanya diperbolehkan untuk mengungkapkan informasi ini dengan persetujuan dari
orang atau perwakilan hukum mereka, dengan pengecualian di mana rahasia tersebut jelas dapat
menyebabkan bahaya kepada orang atau orang lain. Berdasarkan bagian B menyatakan lebih
lanjut bahwa psikolog yang menyajikan informasi pribadi yang diperoleh selama kerja
profesional perlu mendapatkan persetujuan terlebih dahulu atau menyamarkan informasi yang
memadai. Nampaknya Loftus tidak mendapatkan persetujuan sebelumnya atau menyembunyikan
informasi yang memadai.
Prinsip umum Kode Etik Indonesiapun menjelaskan dalam Pasal 2 Prinsip A2 bahwa psikolog
harus menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan pribadi,
kerahasiaan, dan pilihan pribadi seseorang.
Pada kode etik APA 1992, mengenai pedoman untuk pengungkapan informasi adalah bahwa
psikolog hanya diperbolehkan untuk mengungkapkan informasi rahasia tanpa persetujuan
individu dalam kasus berikut, 1) untuk membantu menyediakan layanan klien, 2) untuk
mendapatkan konsultasi profesional yang tepat, 3 ) untuk melindungi klien atau orang lain dari
bahaya dan 4) untuk mendapatkan pembayaran untuk layanan yang diberikan, dan pengungkapan
hanya terbatas pada batas minimum yang diperlukan untuk melakukan hal tersebut.
Alasan Loftus 'untuk melanggar kerahasiaan adalah untuk mengekspos kebenaran, tetapi ini
tidak termasuk dalam salah satu pedoman APA untuk melanggar kerahasiaan. Namun, kadangkadang terjadi konflik antara prestasi ilmiah dan masalah etika. Peneliti mungkin menganggap
perlu untuk melanggar kerahasiaan subjek untuk meningkatkan data mereka untuk membantu
orang lain. Namun dengan perencanaan yang peka dan matang, masalah etika dapat
diminimalkan. Psikolog bertanggung jawab untuk mencari saran bila nilai-nilai ilmiah dapat
menyebabkan konflik dan melakukan kompromi dengan Prinsip Etika APA. Investigator juga
bertanggung jawab untuk menghilangkan konsekuensi negatif sebagai hasil dari hubungan
partisipasif.

Prinsip-prinsip etis APA tentang kerahasiaan dalam kaitannya dengan etika penelitian dan
melakukan penelitian. Ketika mendiskusikan kerahasiaan, ada beberapa persamaan antara etika
hubungan klien-terapis dan hubungan peserta-peneliti. Perbedaan antara keduanya dapat
menyebabkan masalah tambahan untuk penelitian psikolog. Klien terapi biasanya menyadari
bahwa mereka menerima layanan. Subjek penelitian mungkin tidak selalu mengetahui hal ini.
Tujuan terapi adalah penyembuhan klien. Tujuan dari penelitian ini adalah penyebaran
informasi.Seorang Terapis, karena hubungannya dekat dengan klien, kemungkinan besar tau apa
saja yang akan menyakiti klien daripada peneliti, itu yang membuat klien merasa lebih nyaman.
Subyek penelitian kurang dikenal oleh peneliti, karena sifat penelitian yang formal dan dangkal.
Menurut Prinsip etika APA, informasi yang diperoleh tentang peserta penelitian selama
penelitian harus dijaga kerahasiaannya kecuali telah melakukan perjanjian di muka.
Loftus dalam "Who abused Jane Doe?" Juga membahas etika kertas nya. Dia percaya adalah etis
untuk memeriksa studi kasus awal. Studi kasus harus terbuka untuk peer review dan hasilnya
harus diulang.
Dia percaya bahwa orang lain wajib untuk memeriksa data seperti yang selama ini dapat
dilakukan tanpa menyakiti atau menyebabkan kerusakan yang tidak semestinya. Dia menyatakan
bahwa meskipun ia telah mendapatkan izin ibu jane Doe untuk berbicara dengan Jane Doe, ia
tidak melakukannya karena fakta bahwa mungkin membingungkan untuk Jane Doe dan bahwa
keyakinan Jane Doe mungkin telah terkontaminasi. Ide untuk menghapus atau bahkan tidak
memeriksa beberapa data karena kemungkinan kontaminasi, sementara hanya menerima
kesaksian orang lain sebagai data yang valid adalah masalah etika yang terpisah. Psikolog tidak
boleh menekan data yang tidak mengkonfirmasi hasil penelitian mereka.
Kode Etik Indonesia, Pasal 23/2b, mengenai laporan psikologis untuk kepentingan khusus
dibuat sesuai dengan kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan
ketetapan hasil pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan
psikologis. Jane Doe tidak memberikan ijin kepada peneliti untuk menghubungi orangtuanya.
Namun peneliti justru mewawancarai orang tua Jane Doe mengenai kebenaran informasi alihalih menghubungi Jane Doe untuk mengklarifikasi kebenara informasi. Dalam Kode Etik
Indonesia pasal 24/c, dijelaskan mengenai kerahasiaan data, dimana dapat dikomunikasikan
dengan pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna
layanan psikologi, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas orang yang menjalani
pemeriksaan psikologi tetap dijaga kerahasiaanya.
Kedua tentang Informed Consent yaitu subyek yang menyetujui untuk berpartisipasi dalam
penelitian setelah menerima penjelasan tentang penelitian dan risiko kode etik menyatakan
bahwa peserta penelitian harus sepenuhnya diberitahu bahwa mereka terlibat dalam penelitian
dan dapat mengambil keputusan apakah akan berpartisipasi atau tidak dalam penelitian.
Persetujuan sukarela subjek penelitian adalah penting. Subjek eksperimental harus mengetahui
berapa lama percobaan, alasan untuk percobaan, tujuan percobaan, bagaimana hal ini akan
dilakukan, semua bahaya dan ketidaknyamanan yang mungkin disebabkan dan efek atas diri
mereka sendiri dari partisipasi mereka dalam percobaan. Dalam kasus ini sangat tidak mungkin
bahwa Jane Doe memberikan informed consent dari apapun untuk Loftus dan Guyer, juga bukan
kemungkinan dia tidak memberikan informasi dari salah satu kriteria tersebut di atas.

Hal ini diterangkan pula dalam Kode Etik Indonesia Pasal 20, mengenai informed consent dan
Pasal 46 mengenai informed consent penelitian. Informed consent adalah persetujuan dari subjek
penelitian. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah
A.Kesediaan untuk mengikuti penelitian dan atau pemeriksaan psikologis tanpa paksaan
B.Perkiraan lamanya penelitian dan atau praktik psikologi
C.Gambaran tentang apa yang akan dilakukan dalam proses penelitian, dan atau praktik tersebut
D.Keuntungan
dan
atau
risiko
yang
dialami
selama
proses
tersebut
E.Jaminan
kerahasiaan
selama
proses
tersebut
F.Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses
tersebut.
Tampaknya Loftus tidak memperhatikan proses dalam penelitiannya. Seharusnya dia
menemui Jane Doe dan menjelaskan Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur, antisipasi
dari keikutsertaan, yang bila diketahui mungkin dapat mempengaruhi kesediaan untuk
berpartisipasi, seperti risiko yang mungkin timbul, ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya;
keuntungan yang mungkin diperoleh dari penelitian; hak untuk menarik diri dari kesertaan dan
mengundurkan diri dari penelitian setelah penelitian dimulai, konsekuensi yang mungkin timbul
dari penarikan dan pengunduran diri; keterbatasan kerahasiaan; insentif untuk partisipan; dan
siapa yang dapat dihubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut. Jika partisipan penelitian
tidak dapat membuat persetujuan karena keterbatasan atau kondisi khusus, Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi melakukan upaya memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan dari
pihak berwenang yang mewakili partisipan, atau melakukan upaya lain seperti diatur oleh aturan
yang berlaku, seperti yang disebutkan pasal 46 Kode Etik Indonesia 1 (a,b). Penelitian tidak
harus memerlukan persetujuan partisipan antara lain penelitian arsip seperti yang dilakukan
Loftus, hanya saja hal tersebut tidak akan menempatkan partisipan dalam resiko pencemaran
nama baik dan kerahasiaan, dimana ini terjadi pada penelitian Loftus.
Data penelitian tidak boleh digunakan dengan cara apapun di luar itu yang diberikan izin. Jane
Doe memberikan persetujuan untuk studi awal, tapi ia tampaknya tidak memberikan persetujuan
untuk studi kedua. Loftus mengakui bahwa dia bisa dihubungi Jane Doe untuk
mewawancarainya, tetapi memilih untuk tidak melakukannya. Seperti yang disebutkan
sebelumnya, Loftus tidak menelepon Corwin sampai penelitian kasusnya berjalan.
Kode Etik Indonesia Pasal 27/1,2, menerangkan mengenai pemanfaatan informasi dan hasil
pemeriksaan untuk tujuan pendidikan atau tujuan lain harus memiliki ijin tertulis dari yang
bersangkutan dan menyamarkan nama lembaga atau perorangan yang datanya digunakan.
Ketiga Loftus berperan ganda sebagai peneliti dan teman dari ibu Jane Doe hal ini dapat
mengakibatkan kekacauan. Hubungan ganda mungkin juga menghancurkan ketidakberpihakan
Loftus 'dalam kasus ini, dan mungkin melemahkan penelitiannya. Beberapa etika laboratorium
tidak diterjemahkan dengan baik untuk penelitian di luar laboratorium. Dilema etika baru
mungkin terjadi di luar laboratorium. psikolog sosial menggunakan apa yang disebut metode
non-reaktif ketika subjek penelitian tidak menyadari mereka sedang diamati. Hal ini akan
menghalangi persetujuan informasi terlebih dahulu dan kontrak sukarela. Orang dapat diamati

dalam setting sosial atau pengaturan (mengubah) dibikin. Prinsip-prinsip etika APA
memungkinkan penelitian meminimalkan- risiko tanpa persetujuan dalam kondisi ini.
Namun definisi minimal-risiko mungkin sulit untuk ditemukan, invasi privasi dan penipuan
mungkin terlibat. Kedua dapat dianggap sebagai syarat yang cukup untuk menyebabkan resiko.
masalah etis dalam kasus ini dapat diminimalisasi jika data tidak dapat dihubungkan dengan
yang diamati. Ketika peserta percaya mereka berada dalam setting pribadi, seperti rumah sendiri,
ditambah masalah etika muncul ketika eksperimen yang diam-diam merebak dalam setting ini.
Tanggung jawab peneliti adalah bekerja di bawah kondisi yang terlibat dalam kasih, pekerjaan
yang menyediakan data yang akurat. Peneliti juga harus yakin grup atau subjek tidak dirugikan
karena sedang dipelajari. Sebuah kasus dapat terjadi bahwa karena pelanggaran kerahasiaan dan
terlalu masuk ke dalam kehidupan pribadi Jane Doe dan kehidupan keluarganya, informed
consent Jane sebelum penelitian kasus ini akan etis dimandatkan. Jane juga menuduh dia
dirugikan oleh penelitian. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, adalah tanggung jawab etis
peneliti untuk memastikan yang demikian tidak terjadi.
Kode Etik Indonesia pasal Pasal 44, mengenai aturan dan izin penelitian juga mengatur
kegiatan di bidang riset, dimana ilmuwan psikologi atau psikolog harus memperhatikan etika.
Psikolog harus memperhatikan dan bertanggungjawab terhadap hak dan kesejahteraan peserta
penelitian, atau pihak lain yang mungkin terkena dampak dari pelaksanaan riset.
Dalam penelitian psikolog harus memenuhi aturan hukum dan ketentuan yang berlaku dalam
hubungan sebagai warga Negara, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaanya. Ijin penelitian
dari wilayah yang menjadi lokasi penelitian harus diperoleh sesuai dengan aturan yang berlaku,
sejalan dengan aturan professional yang harus diikuti, terutama dalam kaitan dengan pelibatan
orang dalam penelitian. Selain izin penelitian, persetujuan dari badan setempat untuk melakukan
riset juga harus diperoleh, dengan memberikan informasi akurat tentang riset yang tertuang
dalam proposal dan protocol penelitian.
Ilmuan psikologi atau psikolog harus membuat perjanjian dengan pihak yang dilibatkan,
sebelum dilakukan riset, melalui penjelasan tentang macam kegiatan riset dan tanggungjawab
masing-masing pihak. Psikolog tidak boleh menipu atau menutupi, yang kalau peserta itu sendiri
tau maka akan mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam penelitian, misalnya kemungkinan
mengalami cedera fisik, rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman emosional yang tidak
disukai. Penjelasan tersebut harus diberikan sedini mungkin, dalam bentuk uraian tentang
maksud dan tujuan riset, prosedur, proses yang akan dijalani, agar calon/peserta dapat
mengambil kesimpulan dari riset tersebut dan memahami kaitannya dengan dirinya.
Dalam pelaksanaan riset tentu diperlukan informed consent (Pasal 46) yang dinyatakan secara
formal. Selain tertulis psikolog harus menjelaskan secara lisan agar dapat dipahami dengan
benar. Dalam penyampaian penjelasan baik lisan maupun tulisan, digunakan bahasa atau istilah
yang mudah dipamahi oleh peserta riset. Pernyataan persetujuan didokumentasikan sesuai
keperluan.

Dalam hal pemanfaatan dan penyebaran hasil riset, sehubungan dengan publikasi hasil
penelitian, psikolog menginformasikan kepada peserta riset, dengan tujuan agar peserta riset
membantunya dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan dimasa mendatang, misalnya
kemungkinan pemunculan identitas atau hasil riset untuk berbagai kepentingan lainnya.
Kasus tersebut berdasar kode etik Indonesia melanggar Pasal 23/2b menyangkut Kerahasiaan
data dan hasil pemeriksaan psikologis. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib memegang teguh
rahasia yang menyangkut klien atau pemakai jasa psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan
kegiatannya. Dalam hal ini keterangan atau data mengenai klien yang diperoleh Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog dalam rangka pemberian jasa/praktik psikologi dapat dikomunikasikan
dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini
diperlukan untuk kepentingan klien, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas
orang atau klien yang bersangkutan tetap dirahasiakan (Pasal 24/c).
Ilmuan psikologi mempunyai kewajiban utama untuk menjaga kerahasiaan klien yang
menjadi hak klien yang ditanganinya dan menyadari bahwa kerahasiaan itu dilindungi oleh
undang-undang, peraturan, atau dalam hubungan professional dan ilmiah. Dalam pelaksanaan
tugasnya mereka harus berusaha untuk tidak mengganggu kehidupan pribadi klien. Kalaupun
diperlukan harus diusahakan seminimal mungkin. Dalam hal diperlukan laporan, baik lisan
maupun tulisan, sebatas perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat.
Dalam hal diperlukan pengungkapan rahasia, maka psikolog dapat membuka rahasia tanpa
persetujuan klien hanya dalam rangka keperluan hokum. Pengungkapan rahasia, baik sebagian
atau seluruhnya hanya boleh dilakukan atas persetujuan klien, sejauh tidak dilarang oleh hokum.
Dalam Pasal 16, Kode Etik Indonesia mengenai hubungan majemuk, psikolog harus menahan
diri dari memasuki atau menjanjikan hubungan lain yang bersifat pribadi, ilmiah, professional,
financial dan hubungan lain dengan pribadi-pribadi tersebut, terutama bila tampaknya akan
cenderung mempengaruhi objektifitas atau mempengaruhi efektivitas kerja mereka, atau juga
merugikan pihak lain tersebut. Bilamana mungkin, mereka menahan diri untuk tidak mengambil
kewajiban professional atau ilmiah bila sebuah hubungan yang sudah ada sebelumnya dapat
menimbulkan resiko merugikan. Bila ilmuan psikologi atau psikolog menemukan tanda-tanda
hubungan ganda yang berpotensi merugikan, mereka berusaha menyelesaikannya dengan
mengutamakan kepentingan pribadi yang terlibat, dan dengan kepatuhan maksimal kepada kode
etik.

Referensi
Berk, L.E. (2007). Development Through The Lifespan, Fourth Edition. Boston: Allyn & Bacon.
Baltes, P.B. (1987). Theoretical Proposition of Life-Span Developmental Psychology: On The
Dynamics Between Growth and Decline. Developmental Psychology, 1987, Vo. 23, No. 5, p.611626.
http://wiwinhendriani.com/2011/12/26/260/

Você também pode gostar