Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Oleh :
DEWI IRIANTI
NIM I1B108209
LEMBAR PENGESAHAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
CEDERA KEPALA BERAT
DI RUANG PICU
Tanggal 16 Mei s/d 19 Mei 2012
Oleh :
DEWI IRIANTI
NIM I1B108209
Pembimbing Lahan
Devi Rahmayanti,S.Kep,Ns
3. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala terjadinya cedera kepala berat adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Penurunan kesadaran
Perdarahan
Laju pernafasan menjadi lambat
Linglung
Kejang
Patah tulang tengkorak
Memar di wajah atau patah tulang wajah
Keluar cairan dari hidung, mulut atau telinga (baik cairan jernih maupun
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.
berwarna kemerahan)
Sakit kepala (hebat)
Hipotensi (tekanan darah rendah)
Tampak sangat mengantuk
Rewel
Penurunan kesadaran
Perubahan perilaku/kepribadian
Gelisah
Bicara ngawur
Kaku kuduk
Pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera
Penglihatan kabur
Luka pada kulit kepala
Perubahan pupil (bagian hitam mata).
Kontusio (gegar otak) adalah suatu penurunan kesadaran sementara yang terjadi
segera setelah mengalami cedera kepala. Cedera kepala bisa menyebabkan memar atau
robekan pada jaringan otak maupun pembuluh darah di dalam atau di sekitar otak,
sehingga terjadi perdarahan dan pembengkakan di dalam otak. Cedera yang menyebar
menyebabkan sel-sel otak membengkak sehingga tekanan di dalam tulang tengkorak
meningkat. Akibatnya anak kehilangan kekuatan maupun sensasinya, menjadi
mengantuk atau pingsan.
Gejala-gejala tersebut merupakan pertanda dari cedera otak yang berat, dan
kemungkinan akan menyebabkan kerusakan otak yang permanen sehingga anak perlu
menjalani rehabilitasi. Jika pembengkakan semakin memburuk, tekanan akan semakin
meningkat sehingga jaringan otak yang sehatpun akan tertekan dan menyebabkan
kerusakan yang permanen atau kematian.
Pembengkakan otak dan akibatnya, biasanya terjadi dalam waktu 48-72 jam setelah
terjadinya cedera. Jika terjadi patah tulang tengkorak, maka cedera otak bisa lebih berat.
Tetapi suatu cedera otak biasanya terjadi tanpa patah tulang tengkorak, dan patah tulang
tengkorak seringk terjadi tanpa adanya cedera otak. Patah tulang di bagian belakang
atau pada dasar tengkorak biasanya menunjukkan adanya dorongan yang kuat, karena
bagian ini relatif tebal. Patah tulang dapat terlihat dari gejala-gejalanya:
a. Hidung atau telinga keluar cairan serebrospinal (cairan bening dari sekeliling otak)
b. Penimbunan darah di belakang gendang telinga atau perdarahan dari telinga (jika
gendang telinga telah pecah)
c. Penimbunan darah di dalam sinus (hanya dapat dilihat dari foto rontgen).
Pada patah tulang tengkorak depresi, satu atau beberapa pecahan tulang menekan
otak sehingga terjadi memar pada otak, yang bisa menyebabkan kejang. Kejang terjadi
pada sekitar 5% anak-anak berumur lebih dari 5 tahun dan 10% anak-anak berumur
kurang dari 5 tahun, selama minggu pertama setelah terjadinya cedera kepala yang
serius. Efek jangka panjang lebih sering terjadi jika kejang timbul 7 hari atau lebih
setelah terjadinya cedera.
4.
KOMPLIKASI
a.
Hematoma
epidural;
Suatu
perdarahan
diantara
tulang
tengkorak
dan
selaputnya/duramater. Perdarahan ini terjadi akibat kerusakan pada arteri atau vena
pada tulang tengkorak. Perdarahan menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam
b.
c.
kejang).
Hematoma intraventrikuler (perdarahan di dalam rongga internal/ventrikel),
hematoma intraparenkimal (perdarahan di dalam jaringan otak) maupun hematoma
subaraknoid (perdarahan di dalam selaput pembungkus otak); Pertanda dari cedera
d.
e.
f.
g.
h.
i.
kepala yang berat dan biasanya menyebabkan kerusakan otak jangka panjang.
Pneumonia.
Meningitis ventrikulitis.
Infeksi saluran kemih.
Perdarahan gastrointestinal.
Sepsis gram negatif.
Kebocoran CSS.
6. MASALAH KEPERAWATAN
a.
Pengkajian
1) Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi,
jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.
2) Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan,
hubungan klien dengan penanggung jawab.
3) Riwayat kesehatan :
a. Tingkat kesadaran / GCS ( < 15 )
b. Convulsi
c. Muntah
d. Dispnea / takipnea
e. Sakit kepala
f. Wajah simetris / tidak
g. Lemah
h. Luka di kepala
i. Paralise
j. Akumulasi sekret pada saluran napas
k. Adanya liquor dari hidung dan telinga
l. Kejang
Riwayat penyakit dahulu harusdiketahui, baik yang berhubungan dengan sistem
persarafan maupun penyakit sistemik lainnya. Riwayat penyakit keluarga terutama
yang mempunyai penyakit menular.
4) Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat
terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau
perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif b.d disfungsi neuromuskular, gangguan kognitif
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan aliran darah vena arteri
3) Gangguan mobilitas fisik b.d intoleran aktivitas, gangguan kognitif
4) Resiko kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko immobilisasi fisik,
gangguan sirkulasi
5) Ansietas b.d ancaman pada status kesehatan, perubahan pada status kesehatan
C. RENCANA KEPERAWATAN
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Pola napas tidak efektif b.d disfungsi
neuromuskular, gangguan kognitif
NOC
NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Airway Management
selama
12
jam,
klien
mampu 1.
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
mempertahankan pola napas yang efektif
jaw thrust bila perlu
melalui ventilator, dengan kriteria hasil:
2.
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
a. Penggunaan otot bantu napas tidak ada
ventilasi
b. Sianosis tidak ada atau tanda-tanda 3.
Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
hipoksia tidak ada.
jalan nafas buatan
c. Menunjukkan jalan nafas yang paten 4.
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
tambahan
frekuensi pernafasan dalam rentang 5.
Kolaborasikan pemberian bronkodilator bila
normal)
perlu
d. Tanda Tanda vital dalam rentang normal 6.
Monitor respirasi dan status O2
(tekanan darah, nadi, pernafasan)
Oxygen Therapy
1.
Bersihkan mulut, hidung dan secret
trakea
2.
Pertahankan jalan nafas yang paten
3.
Atur peralatan oksigenasi
4.
Monitor aliran oksigen
5.
Pertahankan posisi pasien
6.
Onservasi
adanya
tanda
tanda
hipoventilasi
7.
Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
Gangguan mobilitas fisik b.d intoleran Setelah dilakukan tindakan keperawatan Exercise therapy : ambulation
selama 1x24 jam, kebutuhan dasar klien dapat a. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan
aktivitas, gangguan kognitif
terpenuhi secara adekuat, dengan kriteria
lihat respon pasien saat latihan
hasil:
b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
a. Kebersihan diri dan lingkungan
ambulasi sesuai dengan kebutuhan
terjaga
c. Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi
b. Nutrisi terpenuhi sesuai dengan
Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
kebutuhan
Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
c. Kebutuhan oksigen adekuat
secara mandiri sesuai kemampuan
d. Klien meningkat dalam aktivitas
fisik
Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan
e. Memperagakan penggunaan alat
bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
bantu untuk mobilisasi (walker)
Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
Resiko kerusakan integritas kulit dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pressure Management
faktor resiko immobilisasi fisik, gangguan selama 1x24 jam, kerusakan integritas kulit a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian
tidak terjadi, dengan kriteria hasil:
yang longgar
sirkulasi
a. Integritas kulit yang baik bisa b. Hindari kerutan padaa tempat tidur
dipertahankan
c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
b.
Melaporkan
adanya
gangguan
d. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua
sensasi atau nyeri pada daerah kulit
jam sekali k/p
yang mengalami gangguan
c. Mampumelindungi
kulit
dan e. Monitor kulit akan adanya kemerahan
mempertahankan kelembaban kulit f. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah
yang tertekan
dan perawatan alami
g. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien
7.
MASALA KOLABORASI
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala berat adalah sebagai berikut:
a. Lessi massa harus segera dibuang, dan kebanyakan pasien dipasang monitor
tekanan intrakranial. Tanda-tanda vital dan tekanan intrakranial dipertahankan
normal. 12% pasien dengan peninggian tekanan intrakranial tidak dapat diatasi
dengan cara apapun, yaitu hiperventilasi, drainase ventrikuler, diuretik osmotik dan
barbiturat. Sisanya bereaksi dengan baik. Peninggian tekanan intrakranial terjadi
pada pasien, baik kelompok bedah maupun non bedah. Karenanya semua pasien
koma harus dipasang monitor tekanan intrakranial. Pengecualian adalah pasien
dengan CT normal serta tanpa posturing.
b. Diuretik osmotik mempunyai peran terbatas di UGD khususnya pada anak-anak
karena menyebabkan hiperemia pada daerah otak yang cedera hingga meninggikan
tekanan intrakranial, memalsukan gambaran klinik karena disaat hematom kecil,
gejala belum jelas, otak mengkerut hingga perluasan perdarahan tidak
menimbulkan gejala hingga secara tiba-tiba memburuk dan bisa mematikan karena
hematoma yang sudah besar dan menyebabkan shock pada anak dengan volume
yang sudah berkurang karena perdarahan.
c. Meninggikan kepala kecuali pada kelainan jantung, posisikan leher pada garis
tengah supaya tidak mengganggua aliran vena juguler dengan akibat peninggian
tekanan intrakranial, atasi nyeri karena tegangan otot bisa berakibat peninggian
tekanan intrakranial hingga terkadang diperlukan paralisis, serta mencari dan
mengatasi cedera penyerta secara bersamaan.
Perawatan Di ICU.
a. Perawatan harus meminimalkan cedera otak sekunder dan memberikan lingkungan
yang baik untuk pemulihan, terapi diarahkan untuk mempertahankan aliran darah
otak normal, metabolisme otak normal, dan tekanan intrakranial normal.
b. Aliran darah otak dipertahankan dengan cara mempertahankan tekanan perfusi otak
> 50 mmHg bila monitor TIK tersedia. Jenis cedera pada anak-anak yang khas
adalah edema malignan atau sindroma hiperemia otak yang biasa datang dengan
GCS rendah. Ini akibat peninggian tekanan intrakranial karena peninggian aliran
darah otak. Ini bisa dikoreksi dengan baik dengan respirator dan pengontrolan
tekanan intrakranial.
c. Metabolisme otak dipertahankan normal dengan mempertahankan glukosa dalam
batas normal dan pO2 100 mmHg atau sedikit lebih tinggi.
d. Indikasi pemasangan monitor TIK adalah bila GCS 5 atau kurang (kecuali MBO),
GCS 6-7 dengan kelainan pada CT. Pada kenyataannya pasien dengan CT normal
biasanya tekanan intrakranialnya normal, namun bila GCS 3-4 walau CT normal
tetap dipasang monitor TIK, karena kerusakan otak berat akan menyebabkan edema
otak.
e. Pasien selalu dipasang jalur arterial agar memudahkan pemeriksaan gas darah. Bila
tekanan intrakranial normal, pCO2
meninggi diturunkan menjadi 21-25 mmHg. Bila TIK normal, pCO2 21-25 akan
menghilangkan peluang tindakan pada saat TIK meninggi.
f. Paralisis otot terkadang bermakna menurunkan TIK karena penurunan aliran darah
otak pada pasien yang tekanan intrakranial sudah disebelah kanan kurva.
g. Diuretik osmotik untuk pasien yang sudah dirawat di ICU efektif menurunkan TIK.
Dosis bervariasi, namun biasanya 0.25-0,5 g/kg dan dapat diulang tiap 4-6 jam,
dibantu lasix 1 mg/kg. Pemberian mannitol berulang harus dengan pengawasan
osmolaritas yang diperiksa setiap 4 jam antara 300-320 mOsm. Mudahnya terjadi
dehidrasi sehingga harus dipertahankan normovolemia. PRC atau plasma
digunakan mempertahankan volume darah fisiologis.
h. Monitor CVP harus dipasang untuk membantu pengelolaan cairan. Pada
kebanyakan neonatus dan bayi, CVP secara tepat menunjukkan fungsi cairan dan
fungsi jantung kiri.
i. Barbirturat efektif mengurangi TIK karena menyebabkan vasokonstriksi dan
mengurangi metabolisme otak sehingga mengurangi aliran darah otak .
Pentobarbital digunakan bila pasien tidak bereaksi terhadap tindakan lain, yaitu bila
prognosis buruk dengan melakukan koma barbiturat, diberikan 3-5 mg/kg untuk
pembebanan diikuti 0,5-3,0 mg/kg/jam, dengan mempertahankan kadar darah 35-50
mg/ml. 15% pasien tidak bereaksi dengan tindakan ini yang berarti hasil akhir yang
buruk.
j. Banyak pasien mengalami syndrome of inappropriate ADH pada awal perjalanan
klinisnya, dengan ditandai kejang dan rendahnya kadar sodium. Pasien parus
diawasi ketat. Karenanya elektrolit diperiksa setiap hari pada 24 jam pertama.
Penurunan output urin dan rendahnya kadar pO 2 juga pertanda lain terjadinya
SIADH. Cairan IV harus mempertahankan kadar sodium normal.
8.
DAFTAR PUSTAKA
a. Wong DL, Eaton MH, Wilson D, Winkelstein ML, Schwartz P. Buku ajar
keperawatan pediatrik volume 1. Jakarta: EGC, 2008.
b. Blackwell W. Nursing Diagnosis Definition and Classification 2009-2011. USA:
NANDA International. 2009.
c. Moorhead S, et all. Nursing Outcomes Classification (NOC). USA : Mosby
Elsevier. 2004.
d. Bulechek GM, Howard KB, and Joanne MC. Nursing Interventions
Classification (NIC). USA : Mosby Elsevier. 2004.