Você está na página 1de 16

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

CEDERA KEPALA BERAT


DI RUANG PICU
Tanggal 16 Mei s/d 19 Mei 2012

Oleh :
DEWI IRIANTI
NIM I1B108209

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2012

LEMBAR PENGESAHAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
CEDERA KEPALA BERAT
DI RUANG PICU
Tanggal 16 Mei s/d 19 Mei 2012

Oleh :
DEWI IRIANTI
NIM I1B108209

Banjarmasin, 16 Mei 2012


Mengetahui,
Pembimbing Akademik

Pembimbing Lahan

Devi Rahmayanti,S.Kep,Ns

Lukmanul Hakim, S.Kep., Ners

NIP 19780101 200812 2 002

NIP 19760161 199603 1 002

CEDERA KEPALA BERAT (CKB)


1. DEFINISI
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasidecelerasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan
pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera percepatan (akselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti taruma akibat pukulan benda tumpul atau karena kena
lemparan benda tumpul. Cidera perlambatan (deselerasi) bila kepala membentur objek
yang secar relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. (Hudak & Gallo, 1996)
2. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah
ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20
mg%, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak yang mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam
laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypicalmyocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
vebtrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana


penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi .
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol
otak tidak begitu besar.
Cedera kepala menurut patofisiologi dibagi menjadi dua :
a. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi decelerasi rotasi ) yang
menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi :
1) Gegar kepala ringan
2) Memar otak
3) Laserasi
b.

Cedera kepala sekunder


Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
1) Hipotensi sistemik
2) Hipoksia
3) Hiperkapnea
4) Udema otak
5) Komplikasi pernapasan
6) infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

Web of caution pada pasien cedera kepala berat

3. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala terjadinya cedera kepala berat adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.

Penurunan kesadaran
Perdarahan
Laju pernafasan menjadi lambat
Linglung
Kejang
Patah tulang tengkorak
Memar di wajah atau patah tulang wajah
Keluar cairan dari hidung, mulut atau telinga (baik cairan jernih maupun

i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
s.
t.
u.

berwarna kemerahan)
Sakit kepala (hebat)
Hipotensi (tekanan darah rendah)
Tampak sangat mengantuk
Rewel
Penurunan kesadaran
Perubahan perilaku/kepribadian
Gelisah
Bicara ngawur
Kaku kuduk
Pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera
Penglihatan kabur
Luka pada kulit kepala
Perubahan pupil (bagian hitam mata).

Kontusio (gegar otak) adalah suatu penurunan kesadaran sementara yang terjadi
segera setelah mengalami cedera kepala. Cedera kepala bisa menyebabkan memar atau
robekan pada jaringan otak maupun pembuluh darah di dalam atau di sekitar otak,
sehingga terjadi perdarahan dan pembengkakan di dalam otak. Cedera yang menyebar
menyebabkan sel-sel otak membengkak sehingga tekanan di dalam tulang tengkorak
meningkat. Akibatnya anak kehilangan kekuatan maupun sensasinya, menjadi
mengantuk atau pingsan.
Gejala-gejala tersebut merupakan pertanda dari cedera otak yang berat, dan
kemungkinan akan menyebabkan kerusakan otak yang permanen sehingga anak perlu
menjalani rehabilitasi. Jika pembengkakan semakin memburuk, tekanan akan semakin
meningkat sehingga jaringan otak yang sehatpun akan tertekan dan menyebabkan
kerusakan yang permanen atau kematian.
Pembengkakan otak dan akibatnya, biasanya terjadi dalam waktu 48-72 jam setelah
terjadinya cedera. Jika terjadi patah tulang tengkorak, maka cedera otak bisa lebih berat.
Tetapi suatu cedera otak biasanya terjadi tanpa patah tulang tengkorak, dan patah tulang

tengkorak seringk terjadi tanpa adanya cedera otak. Patah tulang di bagian belakang
atau pada dasar tengkorak biasanya menunjukkan adanya dorongan yang kuat, karena
bagian ini relatif tebal. Patah tulang dapat terlihat dari gejala-gejalanya:
a. Hidung atau telinga keluar cairan serebrospinal (cairan bening dari sekeliling otak)
b. Penimbunan darah di belakang gendang telinga atau perdarahan dari telinga (jika
gendang telinga telah pecah)
c. Penimbunan darah di dalam sinus (hanya dapat dilihat dari foto rontgen).
Pada patah tulang tengkorak depresi, satu atau beberapa pecahan tulang menekan
otak sehingga terjadi memar pada otak, yang bisa menyebabkan kejang. Kejang terjadi
pada sekitar 5% anak-anak berumur lebih dari 5 tahun dan 10% anak-anak berumur
kurang dari 5 tahun, selama minggu pertama setelah terjadinya cedera kepala yang
serius. Efek jangka panjang lebih sering terjadi jika kejang timbul 7 hari atau lebih
setelah terjadinya cedera.
4.

KOMPLIKASI

a.

Hematoma

epidural;

Suatu

perdarahan

diantara

tulang

tengkorak

dan

selaputnya/duramater. Perdarahan ini terjadi akibat kerusakan pada arteri atau vena
pada tulang tengkorak. Perdarahan menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam
b.

otak sehingga lama-lama kesadaran anak akan menurun.


Hematoma subdural; Perdarahan dibawah duramater, biasanya disertai dengan
cedera pada jaringan otak. Gejalanya berupa rasa mengantuk sampai hilangnya
kesadaran, hilangnya sensasi atau kekuatan dan pergerakan Abnormal (termasuk

c.

kejang).
Hematoma intraventrikuler (perdarahan di dalam rongga internal/ventrikel),
hematoma intraparenkimal (perdarahan di dalam jaringan otak) maupun hematoma
subaraknoid (perdarahan di dalam selaput pembungkus otak); Pertanda dari cedera

d.
e.
f.
g.
h.
i.

kepala yang berat dan biasanya menyebabkan kerusakan otak jangka panjang.
Pneumonia.
Meningitis ventrikulitis.
Infeksi saluran kemih.
Perdarahan gastrointestinal.
Sepsis gram negatif.
Kebocoran CSS.

5. PEMERIKSAAN KHUSUS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan mendetil, meliputi tingkat kesadaran,
pergerakan, refleks, mata dan telinga, denyut nadi, tekanan darah dan laju
pernafasan.
b. Pemeriksaan mata dititikberatkan kepada penentuan ukuran pupil dan reaksinya
terhadap cahaya; bagian dalam mata diperiksa dengan bantuan oftalmoskop untuk
mengetahui adanya peningkatan tekanan di dalam otak.
c. Pemeriksaan lainnya adalah CT scan dan rontgen kepala.
Pemeriksaan penujang pada cedera kepala berat adalah:
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
e. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
f.
g.
h.
i.

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.


BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)

jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial


j. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

6. MASALAH KEPERAWATAN
a.

Pengkajian
1) Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi,
jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya.

2) Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan,
hubungan klien dengan penanggung jawab.
3) Riwayat kesehatan :
a. Tingkat kesadaran / GCS ( < 15 )
b. Convulsi
c. Muntah
d. Dispnea / takipnea
e. Sakit kepala
f. Wajah simetris / tidak
g. Lemah
h. Luka di kepala
i. Paralise
j. Akumulasi sekret pada saluran napas
k. Adanya liquor dari hidung dan telinga
l. Kejang
Riwayat penyakit dahulu harusdiketahui, baik yang berhubungan dengan sistem
persarafan maupun penyakit sistemik lainnya. Riwayat penyakit keluarga terutama
yang mempunyai penyakit menular.
4) Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat
terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau
perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.

b. Diagnosa Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif b.d disfungsi neuromuskular, gangguan kognitif
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan aliran darah vena arteri
3) Gangguan mobilitas fisik b.d intoleran aktivitas, gangguan kognitif
4) Resiko kerusakan integritas kulit dengan faktor resiko immobilisasi fisik,
gangguan sirkulasi
5) Ansietas b.d ancaman pada status kesehatan, perubahan pada status kesehatan

C. RENCANA KEPERAWATAN
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Pola napas tidak efektif b.d disfungsi
neuromuskular, gangguan kognitif

NOC
NIC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Airway Management
selama
12
jam,
klien
mampu 1.
Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
mempertahankan pola napas yang efektif
jaw thrust bila perlu
melalui ventilator, dengan kriteria hasil:
2.
Posisikan pasien untuk memaksimalkan
a. Penggunaan otot bantu napas tidak ada
ventilasi
b. Sianosis tidak ada atau tanda-tanda 3.
Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
hipoksia tidak ada.
jalan nafas buatan
c. Menunjukkan jalan nafas yang paten 4.
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas,
tambahan
frekuensi pernafasan dalam rentang 5.
Kolaborasikan pemberian bronkodilator bila
normal)
perlu
d. Tanda Tanda vital dalam rentang normal 6.
Monitor respirasi dan status O2
(tekanan darah, nadi, pernafasan)
Oxygen Therapy
1.
Bersihkan mulut, hidung dan secret
trakea
2.
Pertahankan jalan nafas yang paten
3.
Atur peralatan oksigenasi
4.
Monitor aliran oksigen
5.
Pertahankan posisi pasien
6.
Onservasi
adanya
tanda
tanda
hipoventilasi
7.
Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi

Vital sign Monitoring


1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor kualitas dari nadi
4. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
5. Monitor suara paru
6. Monitor pola pernapasan abnormal
7. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
8. Monitor sianosis perifer
2

Ketidakefektifan perfusi jaringan


penurunan aliran darah vena arteri

b/d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Peripheral Sensation Management (Manajemen


selama 6 jam, klien mampu mempertahankan sensasi perifer)
dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi a.
Monitor adanya daerah tertentu yang hanya
motorik, dengan kriteria hasil :
peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
a. Tanda-tanda vital stabil
b.
Instruksikan keluarga untuk mengobservasi
b. Peningkatan intrakranial tidak ditemukan
kulit jika ada lesi atau laserasi
(tidak lebih dari 15 mmHg)
c.
Gunakan sarung tangan untuk proteksi
c. Tekanan systole dan diastole dalam
d.
Batasi gerakan pada kepala, leher dan
rentang yang diharapkan
punggung
d. Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai
e.
Monitor kemampuan BAB
dengan kemampuan
f.
Kolaborasi pemberian analgetik
e. Menunjukkan fungsi sensori motori
g.
Monitor adanya tromboplebitis
cranial yang utuh : tingkat kesadaran
mambaik, tidak ada gerakan gerakan
involunter

Gangguan mobilitas fisik b.d intoleran Setelah dilakukan tindakan keperawatan Exercise therapy : ambulation
selama 1x24 jam, kebutuhan dasar klien dapat a. Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan
aktivitas, gangguan kognitif
terpenuhi secara adekuat, dengan kriteria
lihat respon pasien saat latihan
hasil:
b. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
a. Kebersihan diri dan lingkungan
ambulasi sesuai dengan kebutuhan
terjaga
c. Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi
b. Nutrisi terpenuhi sesuai dengan
Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
kebutuhan
Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
c. Kebutuhan oksigen adekuat
secara mandiri sesuai kemampuan
d. Klien meningkat dalam aktivitas
fisik
Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan
e. Memperagakan penggunaan alat
bantu penuhi kebutuhan ADLs ps.
bantu untuk mobilisasi (walker)
Berikan alat Bantu jika klien memerlukan.
Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
Resiko kerusakan integritas kulit dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pressure Management
faktor resiko immobilisasi fisik, gangguan selama 1x24 jam, kerusakan integritas kulit a. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian
tidak terjadi, dengan kriteria hasil:
yang longgar
sirkulasi
a. Integritas kulit yang baik bisa b. Hindari kerutan padaa tempat tidur
dipertahankan
c. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
b.
Melaporkan
adanya
gangguan
d. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua
sensasi atau nyeri pada daerah kulit
jam sekali k/p
yang mengalami gangguan
c. Mampumelindungi
kulit
dan e. Monitor kulit akan adanya kemerahan
mempertahankan kelembaban kulit f. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah
yang tertekan
dan perawatan alami
g. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien

h. Monitor status nutrisi pasien


5

Ansietas b.d ancaman pada status kesehatan,


perubahan pada status kesehatan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan


Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
selama 1x24 jam, kecemasan keluarga dapat
a. Gunakan pendekatan yang menenangkan
berkurang, dengan kriteria hasil:
b. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan
a. Klien mampu mengidentifikasi dan
selama prosedur
mengungkapkan gejala cemas
c. Pahami prespektif pasien terhdap situasi stres
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan
d. Berikan informasi faktual mengenai kondisi
menunjukkan tehnik untuk mengontol
pasien
cemas
e. Dorong keluarga untuk menemani anak
c. Vital sign dalam batas normal
f. Dengarkan dengan penuh perhatian
d. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa
g. Identifikasi tingkat kecemasan
tubuh dan tingkat aktivitas
h. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
menunjukkan berkurangnya kecemasan
ketakutan, persepsi
i. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
j. Kolaborasi dalam pemberian obat ansietas

7.

MASALA KOLABORASI
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala berat adalah sebagai berikut:

a. Lessi massa harus segera dibuang, dan kebanyakan pasien dipasang monitor
tekanan intrakranial. Tanda-tanda vital dan tekanan intrakranial dipertahankan
normal. 12% pasien dengan peninggian tekanan intrakranial tidak dapat diatasi
dengan cara apapun, yaitu hiperventilasi, drainase ventrikuler, diuretik osmotik dan
barbiturat. Sisanya bereaksi dengan baik. Peninggian tekanan intrakranial terjadi
pada pasien, baik kelompok bedah maupun non bedah. Karenanya semua pasien
koma harus dipasang monitor tekanan intrakranial. Pengecualian adalah pasien
dengan CT normal serta tanpa posturing.
b. Diuretik osmotik mempunyai peran terbatas di UGD khususnya pada anak-anak
karena menyebabkan hiperemia pada daerah otak yang cedera hingga meninggikan
tekanan intrakranial, memalsukan gambaran klinik karena disaat hematom kecil,
gejala belum jelas, otak mengkerut hingga perluasan perdarahan tidak
menimbulkan gejala hingga secara tiba-tiba memburuk dan bisa mematikan karena
hematoma yang sudah besar dan menyebabkan shock pada anak dengan volume
yang sudah berkurang karena perdarahan.
c. Meninggikan kepala kecuali pada kelainan jantung, posisikan leher pada garis
tengah supaya tidak mengganggua aliran vena juguler dengan akibat peninggian
tekanan intrakranial, atasi nyeri karena tegangan otot bisa berakibat peninggian
tekanan intrakranial hingga terkadang diperlukan paralisis, serta mencari dan
mengatasi cedera penyerta secara bersamaan.
Perawatan Di ICU.
a. Perawatan harus meminimalkan cedera otak sekunder dan memberikan lingkungan
yang baik untuk pemulihan, terapi diarahkan untuk mempertahankan aliran darah
otak normal, metabolisme otak normal, dan tekanan intrakranial normal.
b. Aliran darah otak dipertahankan dengan cara mempertahankan tekanan perfusi otak
> 50 mmHg bila monitor TIK tersedia. Jenis cedera pada anak-anak yang khas
adalah edema malignan atau sindroma hiperemia otak yang biasa datang dengan
GCS rendah. Ini akibat peninggian tekanan intrakranial karena peninggian aliran
darah otak. Ini bisa dikoreksi dengan baik dengan respirator dan pengontrolan
tekanan intrakranial.
c. Metabolisme otak dipertahankan normal dengan mempertahankan glukosa dalam
batas normal dan pO2 100 mmHg atau sedikit lebih tinggi.

d. Indikasi pemasangan monitor TIK adalah bila GCS 5 atau kurang (kecuali MBO),
GCS 6-7 dengan kelainan pada CT. Pada kenyataannya pasien dengan CT normal
biasanya tekanan intrakranialnya normal, namun bila GCS 3-4 walau CT normal
tetap dipasang monitor TIK, karena kerusakan otak berat akan menyebabkan edema
otak.
e. Pasien selalu dipasang jalur arterial agar memudahkan pemeriksaan gas darah. Bila
tekanan intrakranial normal, pCO2

dipertahankan 25-30. Bila kemudian TIK

meninggi diturunkan menjadi 21-25 mmHg. Bila TIK normal, pCO2 21-25 akan
menghilangkan peluang tindakan pada saat TIK meninggi.
f. Paralisis otot terkadang bermakna menurunkan TIK karena penurunan aliran darah
otak pada pasien yang tekanan intrakranial sudah disebelah kanan kurva.
g. Diuretik osmotik untuk pasien yang sudah dirawat di ICU efektif menurunkan TIK.
Dosis bervariasi, namun biasanya 0.25-0,5 g/kg dan dapat diulang tiap 4-6 jam,
dibantu lasix 1 mg/kg. Pemberian mannitol berulang harus dengan pengawasan
osmolaritas yang diperiksa setiap 4 jam antara 300-320 mOsm. Mudahnya terjadi
dehidrasi sehingga harus dipertahankan normovolemia. PRC atau plasma
digunakan mempertahankan volume darah fisiologis.
h. Monitor CVP harus dipasang untuk membantu pengelolaan cairan. Pada
kebanyakan neonatus dan bayi, CVP secara tepat menunjukkan fungsi cairan dan
fungsi jantung kiri.
i. Barbirturat efektif mengurangi TIK karena menyebabkan vasokonstriksi dan
mengurangi metabolisme otak sehingga mengurangi aliran darah otak .
Pentobarbital digunakan bila pasien tidak bereaksi terhadap tindakan lain, yaitu bila
prognosis buruk dengan melakukan koma barbiturat, diberikan 3-5 mg/kg untuk
pembebanan diikuti 0,5-3,0 mg/kg/jam, dengan mempertahankan kadar darah 35-50
mg/ml. 15% pasien tidak bereaksi dengan tindakan ini yang berarti hasil akhir yang
buruk.
j. Banyak pasien mengalami syndrome of inappropriate ADH pada awal perjalanan
klinisnya, dengan ditandai kejang dan rendahnya kadar sodium. Pasien parus
diawasi ketat. Karenanya elektrolit diperiksa setiap hari pada 24 jam pertama.
Penurunan output urin dan rendahnya kadar pO 2 juga pertanda lain terjadinya
SIADH. Cairan IV harus mempertahankan kadar sodium normal.

8.

DAFTAR PUSTAKA
a. Wong DL, Eaton MH, Wilson D, Winkelstein ML, Schwartz P. Buku ajar
keperawatan pediatrik volume 1. Jakarta: EGC, 2008.
b. Blackwell W. Nursing Diagnosis Definition and Classification 2009-2011. USA:
NANDA International. 2009.
c. Moorhead S, et all. Nursing Outcomes Classification (NOC). USA : Mosby
Elsevier. 2004.
d. Bulechek GM, Howard KB, and Joanne MC. Nursing Interventions
Classification (NIC). USA : Mosby Elsevier. 2004.

Você também pode gostar