Você está na página 1de 3

Dasar teori

Abrobsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian


kedalam darah. Bergantungpada cara pemberiannya, tempat pemberian
obat adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru,
otot, dan lain-lain. (Farmakologi dan Terapi edisi revisi 5, 2008)
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah),
rektal (dubur) dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal,
intramuskular,

subkutan,

dan

intraperitonial,

melibatkan

proses

penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang


lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal,
tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran
darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian
yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit
atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas
farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses
penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan
kegagalan pengobatan. ( Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
Cara-cara pemberian obat untuk mendapatkan efek terapeutik yang
sesuai adalah sebagai berikut:
1.

Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke

dalam vena, onset of action cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik


untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain,
biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2)
pendek).
2.

Intramuskular (IM) (Onset of action bervariasi, berupa larutan dalam

air yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam
minyak, dan juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki
kecepatan penyerapan obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya
partikel yang tersuspensi: semakin kecil partikel, semakin cepat proses
absorpsi).

3.

Subkutan (SC) (Onset of action lebih cepat daripada sediaan

suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan


dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah
lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat
dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah
mukopolisakarida dari matriks jaringan).
4.

Intratekal (berkemampuan untuk mempercepat efek obat setempat

pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pengobatan infeksi


SSP yang akut) (Anonim, 1995).
5.

Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya

(Anonim, 1995).
Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah
satu

faktor

yang

mempengaruhi

efek

obat,

karena

karakteristik

lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah


kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai
darah yang berbeda, enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang
terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa
jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu
akan berbeda, tergantung dari rute pemberian.
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat
obatnya serta kondisi pasien. Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan
masalah-masalah seperti berikut:
1.

Tujuan terapi menghendaki efek lokal atau efek sistemik.

2.

Apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa

kerjanya lama.
3.

Stabilitas obat di dalam lambung atau usus.

4.

Keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute.

5.

Rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter.

6.

Harga obat yang relatif ekonomis dalam penyediaan obat melalui

bermacam-macam rute.
7.

Kemampuan pasien menelan obat melalui oral.


Bentuk sediaan yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan

besarnya obat yang diabsorpsi, dengan demikian akan mempengaruhi


pula kegunaan dan efek terapi obat. Bentuk sediaan obat dapat memberi
efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh jika obat
beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedang efek lokal
adalah efek obat yang bekerja setempat misalnya salep (Anief, 1990).
Uraian bahan

Na tiopental (FI III)........


Alkohol 70 % (FI III)........
Aquadest (FI III).............
Mencit.................
Daftar pustaka

Anief, Moh., 2000, Ilmu Meracik Obat, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi,IV, Depkes RI, Jakarta,
Anonim.1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI. Jakarta
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 2008, Farmakologi dan Terapi, Edisi Revisi V,
Balai Penerbit Falkultas, Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Siswandono dan Soekardjo, B, 1995, Kimia Medisinal , Airlangga Press,
Surabaya.

Você também pode gostar