Você está na página 1de 45

Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia)


pada
Seorang Anak

Disusun oleh:
Dhyani Chitta Mayasari
14100290016
Pembimbing:
dr. Diane M. Supit, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Acute lymphoblastic leukemia (ALL) adalah salah satu jenis kanker darah
yang tersering pada anak-anak. Ada 6.070 orang di Amerika Serikat yang
didiagnosis ALL pada tahun 2013, dan ada 66.030 orang di Amerika Serikat yang
hidup dengan ALL atau remisi ALL pada tahun 2013 (Leukemia and Lymphoma
Society, 2014).
ALL merupakan proliferasi klonal maligna dari prekursor limfoid yang
didominasi oleh sel B (ALL-B). Pada anak-anak ALL adalah 81% dari seluruh
leukemia anak, dan leukemia mencakup 1/3 dari seluruh kanker pada anak usia 014 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada perempuan. Angka bertahan
hidup pada anak-anak dengan ALL-B mencapai 90% , walaupun demikian bayi
mempunyai prognosis terburuk dengan angka bertahan hidup yang rendah (Woo,
Alberti, & Tirado, 2014).
Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 80.000.000 anak dibawah usia 15
tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus ALL baru anak setiap tahunnya.
Mosert dkk tahun 2006 di Yogyakarta melaporkan bahwa dari semua penderita
ALL, 35% menolak pengobatan, 23% mengalami kematian yang berhubungan
dengan pengobatan, 22% mengalami perburukan atau kekambuhan dan 20%
mengalami event free survival. Temuan ini kurang lebihnya juga menggambarkan
situasi di Indonesia secara umum (Indonesian Childhood ALL, 2013).
Angka kesembuhan dan angka bertahan hidup pasien ALL meningkat pada
dekade terakhir (National Comprehencive Cancer Network, 2014). Angka
bertahan hidup pada anak-anak dengan ALL-B mencapai 90% , walaupun
demikian bayi mempunyai prognosis terburuk dengan angka bertahan hidup yang
rendah (Woo, Alberti, & Tirado, 2014). Mengingat prognosis yang membaik
dalam dekade terakhir, maka penting bagi dokter muda untuk mampu mengenali
ALL dan merujuk untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah agar dokter muda dapat mengerti dan
memahami acute lymphoblastic leukimia (ALL) agar dapat mengenali gejalanya
dan mendiagnosis dini kemudian merujuk agar mendapat penanganan yang cepat
dan tepat.

BAB 2
KASUS

Identitas pasien
-

Nama

: An. S

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 2 tahun

Alamat

: Jl. Pendidikan SDN 003 Sangatta

Anak ke

MRS

: 1 dari 2 saudara
: 9 September 2015

Identitas Orang Tua


-

Nama Ayah

: Tn. S

Umur

: 28 tahun

Alamat

: Jl. Pendidikan SDN 003 Sangatta

Pekerjaan

: Swasta

Pendidikan terakhir

: SMK

Ayah perkawinan ke

:1

Riwayat kesehatan

: Sehat

Nama Ibu

: Ny. E

Umur

: 24 tahun

Alamat

: Jl. Pendidikan SDN 003 Sangatta

Pekerjaan

: IRT

Pendidikan terakhir

: SMK

Ibu perkawinan ke

:1

Riwayat kesehatan

: Sehat

Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesa pada tanggal 9 September
2015 dengan ibu kandung pasien.

Keluhan Utama :
Pucat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD A.W Sjahranie pada tanggal 9 September
2015 dengan keluhan pucat seluruh badan. Keluhan dirasakan sejak 1 minggu
SMRS. Pasien merupakan pasien rawat inap rujukan RSUD Sangatta dengan
kelainan darah dan dirawat sejak tanggal 2 September 2015. Pada saat dirujuk ke
RSUD AWS pasien merasa perutnya kembung dan nyeri. Pasien juga mengalami
mimisan satu kali dan perdarahan gusi, namun tidak ada perdarahan spontan
lainnya. Pasien tidak merasa lemas, lesu, dan tidak ada demam serta nyeri tulang.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pada bulan April pasien MRS di RS SOHC karena keluhan demam dan
pucat. Pada saat itu hasil lab pasien menunjukkan Hb yang rendah sehingga harus
ditransfusi PRC sebanyak 2 unit. Tiga bulan kemudian setelah KRS, pasien
kembali MRS di RSUD Sangatta dengan keluhan perut kembung. Hasil
pemeriksaan darah lengkap menunjukkan kadar Hb rendah dan trombosit yang
rendah. Pada saat itu pasien mendapatkan transfusi PRC 2 unit dan TC 2 unit, dan
kemudian dirujuk ke RSUD AWS karena dicurigai ada kelainan darah. Pasien
tidak pernah mendapat paparan radiasi, tidak pernah menjalani kemoterapi, atau
menderita penyakit lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama.
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Kondisi saat

Sehat/tida
persalinan

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak :


Berat badan lahir

: 2.600 gram

Panjang badan lahir

: 51 cm

Berat badan sekarang

: 11 kg

Panjang badan sekarang

: 86 cm

Gigi keluar

: 10 bulan

Tersenyum

: lupa

Miring

: lupa

Tengkurap

: lupa

Duduk

: 5 bulan

Merangkak

: lupa

Berdiri

: 10 bulan

Berjalan

: 10 bulan

Berbicara 2 suku kata

: lupa

meninggal

meninggal

Makan Minum Anak (Usia berapa sampai berapa, berapa kali, jumlah
pemberian)
ASI

: 0 bulan - 1 tahun
Dihentikan

: Ya

Alasan

: Anak tidak mau

Susu sapi/buatan

: 1 tahun - sekarang

Bubur susu

: 6 bulan

Buah

: 1 tahun

Makan padat dan lauk : 1 tahun

Pemeliharaan Prenatal
Periksa di

: BPS

Penyakit Kehamilan

:-

Obat-obatan yang sering diminum

: Suplemen Zat Besi

Riwayat Kelahiran :
Lahir di

: BPS

Persalinan ditolong oleh

: Bidan

Berapa bulan dalam kandungan

: 9 bulan 10 hari

Jenis partus

: Spontan

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di

: Posyandu

Keadaan anak

: Sehat

Keluarga berencana

: Ya

Memakai sistem

: Suntik 3 bulan

Imunisasi
Imunisasi

Usia saat imunisasi


Booster II

Hepatitis B
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 9 September 2015
Kesan umum

: Sakit sedang

Kesadaran

: E4V5M6

Tanda Vital

Frekuensi nadi

Frekuensi napas

Temperatur

: 100 x/menit, isi cukup, reguler


: 28 x/menit
: 37,7o C per axila

Antropometri
Berat badan

: 11 kg

Panjang Badan

: 86 cm

Status Gizi

: Gizi baik

Kepala
Rambut

: Hitam

Mata

: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks


cahaya (+/+), pupil isokor (3mm), mata cowong (-/-)

Mulut

: Lidah kotor (-), faring hiperemis (-), mukosa bibir basah,


pembesaran tonsil (-/-), gusi berdarah (-)

Leher

Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB (-)


Thoraks
Inspeksi

: Bentuk dan gerak dinding dada simetris dextra = sinistra,


retraksi (-), Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Fremitus raba dekstra = sinistra, ictus cordis teraba ICS


V MCLS

Perkusi

: Sonor di semua lapangan paru


Batas jantung
Kiri

: ICS V midclavicula line sinistra

Kanan : ICS III para sternal line dextra


Auskultasi

: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), S1S2 tunggal reguler, bising


(-)

Abdomen
Inspeksi

: Tampak cembung

Palpasi

: Soefl, nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali (+) 3-3,


splenomegali (+) SII-SIII, turgor kulit kembali cepat

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Ekstremitas

: Akral hangat (+), oedem (-), capillary refill test < 2


detik, sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-),
pembesaran KGB inguinal (-/-), petechiae (-)

Pemeriksaan Penunjang

Tanggal 5 September 2015 (RSUD Kudungga Sangatta)

36.720

1,73x10

Urin lengkap
BJ
pH
Protein
Keton
Glukosa
Epitel
Leukosit
Eritrosit

1,020
5,5
+1
+
0-2
0-6

Tanggal 6 September 2015 (RSUD Kudungga Sangatta)

D
a
r

19.840

1,58x10

18.000

Tanggal 8 September 2015 (RSUD Kudungga Sangatta)

D
a
r

25.800

3,61x10

12.000

Tanggal 9 September 2015


D

Ki

Elek

mi

troli

Da

18.400

3,23x10^6
10.000

Tanggal 10 September 2015


Foto toraks dalam batas normal

Feses Lengkap
Tinja
Warn

K
u
n
i
n
g
K
e
c
o
k
l
a

t
a
Kons

n
L

istens

e
m
b
e

Dara

k
-

Lend

Eritr

osit

Leuk

2
1

osit

Tanggal 11 September 2015


Pemeriksaan darah tepi menunjukkan
Eritrosit : Normokrom normositik, anisositosis
Leukosit : Kesan jumlah meningkat,limfositosis,sel blast (+) 60 %
Trombosit : Kesan jumlah menurun
Kesan/kesimpulan hasil darah tepi :
Bisitopenia dengan lekositosis, limfositosis dan adanya sel blast 60 % ec suspek
Acute leukemia ec ALL DD AML

Saran : Retikulosit, BMP

Kimi

Elekt

rolit

Dara

3,23x10^

8
0,
,
5
Tanggal 12 September 2015
Feses Lengkap
Tinja
Warn

C
o
k
l
a

Kons

t
K

istens

e
r
a

Dara

s
-

Lend

Eritr

osit

Leuk

2
0

osit

Tanggal 15 September 2015


Foto Cruris Dextra
Deminelarisasi tulang
Stress fracture (-)

D
a
r

17.700

10.000
17.700

Diagnosis Kerja

: Susp. Acute Lymphoblastik Leukemia

Diagnosis Lain

:-

Diagnosis Komplikasi

:-

Penatalaksanaan di IGD
-

Inj. Ceftriaxone 2x250 mg (skin test)


Inj. Gentamicin 2x25 mg
Paracetamol syrup 3 x cth I
Rencana BMP dan kultur darah

Penatalaksanaan di Ruangan
-

Inj. Ceftriaxone 2x250 mg


Inj. Gentamicin 2x25 mg
Paracetamol syrup 3 x cth I
Rencana BMP dan kultur darah

Prognosis : Dubia ad Bonam

Follow Up

Tanggal
Hari ke-1
9-9-2015
Melati

Subjektif & Objektif


S: pucat (+), kembung (+), nyeri

Assesment & Planning


A : Susp. ALL

perut (+)

P:

O: T:37,7 Nadi 100 x/i RR 28x/i,


Ane (+/+), ikt (-/-), sianosis (-),
Rh (-/-), Wh (-/-), BU(+) N, NT
(+), organomegali (+), distensi
(-), akral hangat, CRT < 2 detik

(skin test)
Inj. Gentamicin 2x25 mg
Paracetamol syrup 3 x cth I
Rencana BMP dan kultur
darah

BB 11 kg
Hari ke- 2
10-9-2015
Melati

Inj. Ceftriaxone 2x250 mg

S: pucat (+), nyeri perut (-)

A: Susp. ALL
P:

O: T:36,9 Nadi 120 x/i RR 28x/i, Inj. Ceftriaxone 2x250 mg


Ane (+/+), ikt (-/-), sianosis (-), hari 2
Rh (-/-), Wh (-/-), BU(+) N, NT Inj. Gentamicin 2x25 mg
(-),
hepatomegali
(+)
, Paracetamol syrup 3 x cth I
splenomegali (+) S II- S III,

Hari ke-3
11-9-2015
Melati

distensi (-), akral hangat, CRT <

Transfusi TC 4 unit
Cek HDT, SGOT, SGPT,

2 detik

UL, FL, EKG, foto toraks,

BB 11 kg

BMP

S: pucat (+)

A: Susp. ALL

O: T:36,5 Nadi 108 x/i RR 28 x/i,


Ane (+/+), ikt (-/-), Sianosis (-),
Rh (-/-), Wh (-/-), BU(+) N, NT
(-),

hepatomegali

(+)

splenomegali (+) S II- S III,

P:
Inj. Ceftriaxone 2x250 mg
hari 3
Inj. Gentamicin 2x25 mg
Paracetamol syrup 3 x cth I

distensi (-), akral hangat, CRT <

Cek darah post transfusi


Bila
PLT
>
50.000

2 detik

rencanakan BMP

BB 11 kg
Hari ke-4
12-9-2015
Melati

S: batuk (+), pilek (-), demam (-),


nyeri perut (+) kadang-kadang
O: T:36,2 Nadi 128x/i kuat angkat
RR 28 x/i, Ane (+/+), ikt (-/-),
sianosis (-), Rh (-/-), Wh (-/-),
BU(+) N, NT (-), Hepatomegali

A: Susp. ALL
P:
Inj. Ceftriaxone 2x250 mg
hari 4
Inj. Gentamicin 2x25 mg
Paracetamol syrup 3 x cth I

(+) , splenomegali (+) S II- S III,


distensi (-), akral hangat, CRT <

Hari ke-6
14-9-2015
Melati

2 detik
BB 12 kg
PLT 12.000
S: demam (+), nyeri kaki kanan
(+)
O: T:37,7 Nadi 120 x/i RR 36 x/i,
Ane (+/+), ikt (-/-), sianosis (-)
Rh (-/-), Wh (-/-), BU(+) N,

A: Susp. ALL
P:
Inj. Ceftriaxone 2x250 mg
hari 6
Inj. Gentamicin 2x25 mg

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3. Leukimia Limfoblastik Akut

3.1 Definisi dan Epidemiologi


Leukemia akut adalah keganasan primer di sumsum tulang , pada anak
merupakan 35 % dari kanker anak. Delapan puluh persen merupakan Leukemia
Limphoblastik Akut (LLA) dan 20 % Leukemia mieloblastik akut (LMA) .
Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas infiltrasi
progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik yang
dikenal sebagai limfoblas .Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 80.000.000 anak
di bawah usia 15 tahun. Diperkirakan ada sekitar 3000 kasus LLA baru anak
setiap tahunnya. Mostert dkk tahun 2006 di Yogyakarta melaporkan bahwa dari
semua penderita LLA, 35 % menolak pengobatan, 23% mengalami kematian yang
berhubungan dengan pengobatan, 22% mengalami perburukan atau kekambuhan
dan 20 % mengalami event- free survival. Temuan ini kurang lebihnya juga
menggambarkan situasi di Indonesia secara umum (Indonesian ALL Childhood
Protocol, 2013).
Insiden ALL di Amerika sebesar 3.7-4.9 kasus per 100.000 anak dengan
usia 0-14 tahun (Vikramjit, 2014). Puncak insiden ALL terjadi pada usia 2-5 tahun
(Ching, et al, 2008). Insiden penyakit ini akan berkurang seiring dengan
bertambahnya usia. Dengan kemajuan teknik diagnosis dan terapi, angka
kesembuhan pada anak yang menderita ALL saat ini mencapai 90% (Ribera,
2009). Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada kulit putih dibandingkan kulit
hitam (Vikramjit, 2014).

3.2 Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui namun diduga berhubungan
dengan hal-hal berikut :

Faktor Genetik
Insiden leukemia pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20 kali lebih
banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan
leukemia akut. Insiden leukemia akut juga meningkat pada penderita dengan

kelainan kongenital misalnya agranulositosis kongenital, orang yang memiliki


riwayat keluarga positif leukemia berisiko untuk menderita ALL kemungkinan
3,75 kali memiliki riwayat keluarga positif leukemia dibandingkan dengan orang
yang tidak menderita leukemia (Leukaemia Foundation, 2010).
Virus
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang.
Ada beberapa hasil penelitian yang mendukung teori virus sebagai salah satu
penyebab leukemia yaitu enzyme reserve transcriptase ditemukan dalam darah
penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalam virus
onkogenik seperti retrovirus tipe C yaitu jenis RNA yang menyebabkan leukemia
pada binatang (Leukaemia Foundation, 2010).
Sinar Radioaktif
Sinar radioaktif merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan
leukemia. Angka kejadian ALL dan LMA jelas sekali meningkat setelah sinar
radioaktif digunakan. Sebelum proteksi terhadap sinar radioaktif rutin dilakukan,
ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar
dibandingkan yang tidak bekerja di bagian tersebut (Leukaemia Foundation,
2010).
Kimia
Pajanan terhadap benzene dosis tinggi dan bahan industrial lainnya pada waktu
yang lama dapat meningkatkan risiko kelainan darah seperti leukemia (Leukaemia
Foundation, 2010).
Jenis Kelamin
Insiden rate untuk seluruh jenis leukemia lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan, diperkirakan lebih dari 57% kasus baru leukemia pada laki-laki yang
terkena ALL.
Berikut adalah faktor risikon ALL :
1. Cacat genetik seperti trisomi 21, sindrom Blooms, anemia Fanconis,
neurofibromatosis dan ataksia telangiektasia.
2. Paparan peptisida dan produk minyak bumi
3. Penggunaan marijuana maternal

4. Paparan terhadap kemoterapi atau radiasi dosis tinggi seperti di Hiroshima


dan Nagasaki
5. Hipotesis infeksi

virus

atau

bakteri

seperti

Graves

(National

Comprehencive Cancer Network, 2014) (Permono & Ugrasena, 2012)


(IDAI)
3.3 Patogenesis
Menurut Permono (2005), meskipun LLA sering dihubungkan dengan
sindroma gangguan genetik, namun penyebab utama LLA sampai saat ini masih
belum diketahui. Faktor lingkungan yang memperberat resiko terjadinya LLA
adalah pemaparan terhadap radiasi ion dan elektromagnetik.Selain itu beberapa
jenis virus juga berkaitan dengan insiden LLA, terutama infeksi virus yang terjadi
pada masa prenatal seperti virus influenza dan varicella. Leukemia limfoblastik
akut juga dapat terjadi pada anak dengan gangguan imnunodefisiensi kongenital
seperti

Wiscot-Aldrich

Syndrome,

congenital

Hypogammaglobulinemia

danAtaxia-Telangiectasia.
Virus penyebab LLA akan mudah masuk ke tubuh manusia jika struktur
antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Struktur antigen manusia
terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput
lendir yang terletak di permukaan tubuh.World Health Association (WHO) telah
menetapkan istilah HL-A Human leucocyte locus A.Sistem HL-A individu ini
diturunkan menurut hukum genetika sehingga adanya peranan faktor ras dan
keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat diabaikan (Permono & Bambang,
2005).
Menurut Anderson & Sylvia (2006), manifestasi klinis LLA adalah adanya
bukti anemia, pendarahan dan infeksi, seperti demam, pucat, petekie dan
pendarahan, nyeri sendi dan tulang, nyeri abdomen yang tidak jelas,pembesaran
dan fibrosis organ-organ sistem retikuloendotieal hati limfa dan limfonudus.
Kemudian adanya peningkatan tekanan intrakranial karena infiltrasi meningens,
seperti sakit kepala,muntah bahkan penurunan kesadaran.
Limfosit imatur berproliferasi dalam susunan tulang dan jaringan
parenkim dan mengganggu perkembangan sel normal. Akibatnya hematopoesis
normal terhambat mengakibatkan penurunan jumlah sel darah merah dan

trombosit.Pemeriksaanawal yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah


lengkap.

Biasanya

akan

ditemukan

leukositosis

(leukosit>10.000/uL),

neutropenia, anemia dan trombositopenia. Pemeriksaan penunjang umumnya


berupa apusan darah tepi dan pemeriksaan biopsi sumsum tulang (Sugondo et al.,
2007).
Pembagian LLA menurut sistem klasifikasi French American British
(FAB) berdasarkan atas morfologi:L1: Limfoblast kecil, sitoplasma sedikit, dan
nukleolus yang mencolok, merupakan kasus LLA terbesar pada anak, mencakup
85%.L2: Sel limfoblas lebih besar daripada L1. Gambaran sel menunjukkan
adanya heterogenitas ukuran dengan nukleolus yang menonjol serta sitoplasma
yang banyak dan merupakan 14% kasus LLA pada anak.L3: Limfoblas besar,
sitoplasma basofilik. Terdapat vakuola pada sitoplasma dan menyerupai gambaran
limfoma Burkitt, L3 mencakup 1% kasus LLA pada anak (Hasyimzoem, 2014).
Patogenesis dari ALL merupakan sebuah proses yang kompleks dan
mencakup berbagai macam faktor (genetic, imun, lingukangan, dan obat).
Terdapat tiga hal utama yang merupakan kunci dari pathogenesis dari penyakit ini
yaitu : monoclonal origin yang proliferasi sel yang tidak terkontrol akibat selfstimulasi secara terus-menerus pada reseptor pertumbuhan, tidak adanya respon
untuk memberikan sinyal inhibitor pertumbuhan, dan perpanjangan umur sel
akibat dari penurunan proses apoptosis (Galegos, 2013).

Gambar 3.1 Cell Origin and Evolution of a Cancer Stem Cell (Galegos, et al,
2013)

Gambar 3.2 Infection Based Model dalam Patogenesis ALL (Ching, et al,
2008)

Gambar 3.3 Distribusi Kelainan Genetik pada ALL (Galegos, et al, 2013)

3.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinisi ALL sangat tidak spesifik. Gejala dapat berupa mudah
lelah dan letargi, gejala konstitusional (demam, keringat malam, penurunan BB),

sesak nafas, pusing, infeksi dan mudah mengalami perdarahan. Pada anak-anak,
nyeri pada persendian dan tulang mungkin adalah satu-satunya gejala yang timbul
(National Comprehencive Cancer Network, 2014). Selain itu, dapat juga timbul
gatal pada kaki, lengan, atau paha, petekie, sesak nafas, muntah, dan penurunan
BB tanpa sebab (Leukemia and Lymphoma Society, 2014). Limfadenopati,
splenomegali, dan atau hepatomegali dapat ditemukan pada 20% pasien. Massa
pada abdomen dari keterlibatan gastrointestinal, rasa kebas di dagu dari
keterlibatan saraf kranial mengarah kepada ALL sel B matur (Leukemia and
Lymphoma Society, 2014).

3.5 Diagnosis
Diagnosis

LLA

berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik

dan

laboratorium berupa karakteristik morfologi dan pemeriksaan sitokimia dari


aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan morfologi menggunakan klasifikasi FAB (
French American British ). Persentase sel blast yang ditemukan pada sumsum
tulang minimal 25%. Jika mungkin, dilakukan pemeriksaan immunophenotyping
(Indonesian ALL Childhood Protocol, 2013).

Gambar 3.4 Gambaran Hapusan Darah dan BMP ALL L1, L2, L3
(Pathologyoutlines, 2015)
3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksaan ALL yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini mengacu pada
Protokol ALL yang diterbitkan oleh Indonesian Childhood ALL pada tahun 2013.
Penatalaksanaan ALL terbagi menjadi dua yaitu : persiapan sebelum mengawali
pemberian sitostatika kemudian dilanjutkan dengan pemberian sitostatika. Berikut
pembahasan lebih detail mengenai kedua tahapan tersebut.

3.6.1 Persiapan sebelum mengawali pemberian sitostatika


Persiapan ini ditujukan untuk mencegah akan kerusakan ginjal lebih lanjut
karena pengrusakan oleh sel leukemia selama induksi. Awal terdiagnosis

sebaiknya pasien diberikan hidrasi yang adekuat dengan mempertahankan diuresis


1-2 ml/kg/jam.
Untuk pasien dengan jumlah leukosit > 100.000 /mm3 atau sudah terjadi
tanda sindrom lisis tumor diberikan terapi hiperhidrasi. Hidrasi dilakukan dengan
cairan parenteral glukosa 5% dalam 0,225% normal salin, sebanyak 2-3 kali
kebutuhan cairan rumatan atau 2-3 liter/m2/hari untuk mendapatkan diuresis
minimal 3 cc/kg/hari. Alkalinisasi urin dilakukan dengan menambahkan sodium
bikarbonat

ke

dalam

cairan

parenteral

sebanyak

40-60

meq/L untuk

mempertahankan pH urin antara 7,0-7,5.2 Dengan kenaikkan pH urin tersebut


menyebabkan asam urat terionisasi sehingga mencegah pembentukan kristal asam
urat. Namun bila terjadi alkalinisasi yang berlebihan, dapat menyebabkan deposisi
kompleks kalsium-fosfat yang kemudian akan terjadi penurunan laju filtrasi
glomerulus. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan ketat pH urin. Pemberian
allopurinol dengan dosis 200-300 mg/m2/ hari atau 10 mg/kgBB/hari ditujukan
untuk menurunkan konsentrasi asam urat plasma. Obat ini diberikan sampai
didapatkan pH urin mencapai sekitar 7,5 (Endang & Caroline, 2002).
Transfusi dianjurkan untuk mempertahankan kadar hemoglobin> 10 g/dl
selama pelaksanaan kemoterapi. Catat berat badan guna mengontrol kelebihan
cairan, bila perlu beri furosemide. Kadar Hb optimal untuk pemberian sitostatika
adalah > 8 g/dl. Namun setelah pemberian sitostatika selesai, transfusi komponen
sel darah merah diberikan hingga kadar Hb mencapai > 10 g/dl (oksigenasi
jaringan dianggap cukup optimal pada kadar Hb 8 12 g/dl ) (untuk lebih jelasnya
lihat lampiran transfusi darah). Saat pemberian intratekal yang pertama, bila
trombosit < 50.000/mm3, beri transfusikomponen trombosit.
Dianjurkan untuk memeriksa immature plateletfraction (IPF). Bila ada
trombositopenia disertai dengan tanda perdarahan mutlak diberitransfusi
konsentrat trombosit. Jika trombositopenia berkepanjangan, dapat diberikan
transfusi trombositbersamaan tindakan intratekal (IT), atau segera setelah selesai
melakukan IT. Transfusi plasma segar beku menjadi pilihan bila ada perdarahan
yang disebabkan karena faktor koagulasi yang dibuktikan dengan pemanjangan
dari jalur intrinsic dan atau ekstrinsik dari pemeriksaan faal hemostasis.

Direkomendasikan untuk pemberian nutrisi yang adekuat sebelum


memulai kemoterapi terutama pada kasus malnutrisi, intake kalori harus
dipastikan, jangan ragu menggunakan NGT (nasogastric tube). Pengendalian
infeksi juga perlu diperhatikan. Pengendalian infeksi ini meliputi :wajib mencuci
tangan sebelum dan sesudah memeriksa pasien, periksa rutindan menjaga
kebersihan mulut dan mandi sikat gigi,hindari terjadinya luka dan perdarahan gusi
dengan jangan menggosok gigi terlalu keras, tidak diperlukan profilaksis
antibiotik,maupun anti jamur (utamanya derivat azol ; flukonazol,itrakonazol)
maupun dekontaminasi usus. Jika terdapat sepsis, pemberian sitostatika menunggu
perbaikan keadaan umum minimal 3x24 jam dengan pemberian antibiotika
intravena, jika infeksi ringan, pemberian sitostatika bersamaan dengan antibiotika.
Oral Hygiene : sikat gigi, kumur dengan antiseptik apapun. Kontrol ke dokter gigi
untuk perawatan gigi /kebersihan mulut/ bebas dari fokus infeksi pada saat sakit
dan tiap 6 bulan. Bila perlu konsul sejawat ahli THT untuk mencari fokus infeksi.
Parasit : obat cacing (mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 2x100 mg selama 3
hari; albendazol 200 mg dosis tunggal; pirantel pamoat 10-12,5 mg/kgBB) dapat
diberikan pada anak yang baru didiagnosis. Pengobatan cotrimoxasolprofilaksis
(dosis 4mg/kg trimethoprim dan 20mg/kg sulfamethoxazole) dosis 2 kali per hari
selama 3 hari per minggu merupakan rekomendasi kuat untuk mencegah infeksi
dari jerovecii,diberikan segera setelah selesai fase konsolidasi. Pemeriksaan status
gizi senantiasa dilakukan pada awal pengobatan, setelah induksi, konsolidasi,
reinduksi, dan rumatan sebelum blok steroid. Pemeriksaan status nutrisi
termasuk : anamnesa riwayat tumbuh kembang, antropometri. Serta dilakukan
pemeriksaan laboratorium berupa evaluasi hitung jenis, Na, K, Ca, P, ureum,
kreatinin, albumin SGOT, SGPT, bilirubin direk, bilirubin total, asam urat, dan pH
urin.

3.6.2 Pemberian Sitostatika


1. Fase Induksi

Sitostatika yang digunakan pada pengobatan induksi terdiri dari


prednisone (PRED), vincristine (VCR), L-Asparaginase (L-Asp), Daunorubicin
(DNR), dan methotrexate ( MTX ) intratekal. Prednisone digunakan pada Risiko
Biasa (RB) dan Risiko Tinggi (RT). Pada RB, window period diberikan dosis 60
mg/m2 per oral dibagi dalam 3 dosis selama 1 minggu. Selanjutnya diberikan 40
mg/m2 selama 5 minggu (total 6 minggu). Setelah 5 minggu dosis harus
diturunkan setiap 3 hari menjadi separuh dosis sebelumnya, dan berhenti pada hari
ke 42. Pada RT dosis ditingkatkan secara bertahap. Jika BMP tertunda hingga 710 hari setelah prednisone selesai, harus diwaspadai terjadinya risiko rebound cell
( hematogones ).

Gambar 3.5 Protokol Fase Induksi ALL Risiko Biasa (Indonesian Childhood
ALL, 2013)
Pada tanda bintang, bila BMP tidak remisi, induksi dilanjutkan sesuai
denganminggu ke-5 protokol RT. Bila tidak dijumpai sel blast pada pemeriksaan
liquor , terapi intratekal hanya menggunakan MTX, Bila dijumpai sel blast pada
pemeriksaan liquor,menggunakan MTX tripledrug (MTX/deksametason/ara-C ),
2x seminggu dilakukan sampai negatif 3x berturut-turut. Apabila terjadi relaps
CNS akan dikelola secara khusus. Dosis 30 mg/m2, bila tidak ada dapat diganti
Doxorubicin 20 mg/m.

Gambar 3.6 Protokol Fase Induksi ALL Risiko Tinggi (Indonesian Childhood
ALL, 2013)
Vinkristin (VCR) :
- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada hari 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 (dalam
10 ml NaCl 0,9% secara bolus IV pelan dalam 5 menit).
Daunorubisin (DNR)intravena :
- untuk risiko biasa diberikan 2 x selama induksi yaitu hari ke 21 dan ke 28
dengan dosis 30 mg/m2.
- untuk pasien risiko tinggi dosis 30 mg/m2 , diberikan 4 kali pada hari ke-21, 28,
35,dan ke 42( DNR dilarutkan dalam NaCl 0,9 % 100 cc diberikan secara drip IV
dalam 1 jam ). Bila tidak tersedia adanya DNR, dapat diganti dengan
Daunorubicin dengan dosis 20 mg/m2.
L-Asparaginase (L-Asp) (jenis L-Asp E coli) :
- Pada risiko biasa dan risiko tinggi diberikan mulai hari ke 1 minggu ke 4 hingga
akhir minggu ke 5 (untuk RB), minggu ke enam untuk RT
- Diberikan 3 kali selang sehari dalam seminggu, sehingga total pemberian dalam
2 minggu adalah 6 kali, dan 9 x untuk penderita RT

- Dosis 7500 Unit/m2 subkutan maksimal 2 mL per lokasi suntikan. Sebaiknya


meggunakan paronal karena waktu paruh dan keefektivan (toksisitas) berbeda
dengan merk lain dari Asparaginase.
- Bisa diberikan secara iv dalam 100 ml cairan diberikan dalam 1-2 jam, atau i.m
dengan kompres es 15 menit sebelum injeksi, atau setelah L-Asp diaspirasi dalam
syringe, ditambahkan 0,5 1 ml lidocain dalam syringe yang sama (tidak dikocok
agar tidak tercampur), kemudian berikan im pelahan-lahan.
- Dalam kasus alergi L-Asp, harus diberikan L-Asp dari Erwinia dengan dosis
20000 IU/m2/dosis.
- Risiko hipersensitif/anafilkasis terhadap L-Asp umumnya tidak terjadi pada
pemberian awal / fase induksi, tapi lebih sering bila diberikan pada fase reinduksi.
- Jika ada trombositopenia dalam pemberian im, maka berikan transfusi trombosit
terlebih dahulu.
Metotreksat (MTX) triple drug intratekal.
- Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28
- Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor). Gunakan 3
ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.

Gambar 3.7 Dosis MTX (Indonesian Childhood ALL, 2013)

Beberapa hal yang perlu diingat :

1. Luas permukaan tubuh bisa dilihat dari tabel perkiraan permukaan tubuh
berdasarkan dari BB dan TB dari Gehan dan George Pada bayi (anak dibawah
1 tahun dengan BB < 10kg), dosis yang diberikan berdasarkan formula sbb ;
Dosis =dosis dalam mg/m2=.....mg/kg
30
BB < 6 kg : reduksi 50%
BB 6 -10 kg/< 1 tahun : reduksi 30%
2. Ikutilah protokol secara tepat selam induksi ini. Lekopeni atau trombositopeni
bukan merupakan indikasi untuk mengurangi dosis VCR, deksametason dan
L-Asp pada fase ini. Begitu juga dosis DNR pada risiko tinggi harus diberikan
secara penuh terlepas dari parameter hematologi.
3. Ketika terjadi reaksi alergi terhadap L-Asparaginase (produk dari E-coli),
terapi tetap bisa dilanjutkan dengan L-Asp dari Erwinia Caratova dengan dosis
yang sama atau bisa diberikan antihistamin sebagai profilaksis. Penggunaan
L-asp dihentikan bila terjadi gangguan fungsi hati yang berat, pankreatitis atau
hiperglikemia simtomatis. Jika sudah mencapai nilai normal, L-Asp bisa
dilanjutkan kembali dan dapat diberikan setengah dosis. Jika terjadi
hipofibrinogenemia (<50 mg %), bisa diberi FFP.
4. Setiap akan melakukan tindakan intratekal, hitung trombosit harus lebih dari
50.000/mm3 dan tidak ada perdarahan, serta faal hemostasis normal
5. Setelah pemberian obat intratekal, dianjurkan injeksi 2-5 ml saline. Pasien
harus tetap berbaring terlentang dengan posisi kepala lebih rendah dari tungkai
selama 2-4 jam setelah penyuntikan dengan maksud agar obat menyebar
sampai ke ruang araknoid (arachnoid space).
6. Periksa glukosa urin minimal 1 kali seminggu.
7. Bila jumlah lekosit 100.000/mm3, ada organomegali dan atau hiperurikemia
: beri allopurinol 200 mg/m2/hari p.o. selama 3 7 hari.
-Minggu pertama :
-Stabilisasi kondisi pasien. Masalah yang paling sering ditemukan adalah
infeksi, anemia, trombositopenia, dan neutropenia.
- Beri antibiotika dengan spekrum luas jika demam dan jumlah netrofil
rendah.

- Bila anemia,dibutuhkan tranfusi.Jika Hemoglobin < 4g% dengan ancaman


dekompensasi cordis , maka tranfusi diberikan pelan-pelan disertai diuretik.
- Timbang berat badan secara secara berkala untuk mengetahui adanya
kelebihan cairan .
- Pengawasan yang ketat terhadap kemungkinan sindroma tumor lisis
Pemeriksaan urine lengkap, ukur produksi urin, danperiksa serum elektrolit
(Na,K, Ca, P) kreatinin serum, jika ada sindroma tumor lisis terapkan
managemensindroma tumor lisis .
-Netropenia yang terjadi saat induksi disebabkan karena leukemianya, bukan
karena steroid, vincristine, L-Asp, karena itu , steroid dan vincristine dapat
dilanjutkan.
- Amati tanda-tanda infeksi
- Jika suhu tubuh oral atau aksila> 38C, lakukan pemeriksaan fisik, cek CRP,
dan kultur darah, , urine, swab tenggorok dan lesi kulit ,termasuk lesi anal dan
sekitarnya dengan jumlah netrofil 500-1000dan tidak ada fokus infeksi, pasien
tidak pada kondisi sakit akut, tunggu beberapa jam kemudian cek CRP dan
kultur darah ulang. Jika tidak didapatkan fokus infeksi tapi panas,segera
Berikan antibiotika spektrum luas.
- Pasien dengan jumlah netrofil < 500,
- lakukan pemeriksaan laboratorium dan kultur dan berikan antibiotika iv
dengan segera.
-Antibiotika spectrum luas harus mencakup gram positif dan gram negative.
Penggunaaan antibiotika berdasar pada hasil tes kepekaan antibiotik (TKA)
dan
antibiotika yang tersedia dimasing masing rumah sakit .
- Jika setelah 72 jam, masih panas, neutropenia < 500 dan anak tidak
membaik,
dianjurkan pemberian anti jamur. Pada masa induksi, eradikasi sel leukemia
merupakan hal yang terpenting, sehingga sitostatika : PRED, VCR, dan L-Asp
diberikan dengan dosis penuh, mungkin DNR bisa ditunda sementara.
2. Fase Konsolidasi

Pada fase konsolidasi, pemberian metotreksat dosis tinggi (HDMTX)dengan leukovorin rescue memerlukan perhatian yang khusus.
HD-MTX
- Sehari sebelum pemberian HD-MTX, pasien harus dalam kondisi klinis yang
baik(adekuat) dengan hasil pemeriksaan lab :
Lekosit 2000/mm3
Trombosit 75000/ mm3
Fungsi ginjal normal (ureum dan kreatinin tidak > 4 kali batas normal)
Peningkatan kimia enzim hati (S tidak lebih dari 10 kali dari batas atas
nilainormal.
Alkaline urine (pH >6.5 tapi < 8.0)
Tidak ada infeksi, diare, mucositis
Tidak ada gangguan kencing
- Seminggu sebelum pemberian HD MTX, diberikan bicnat oral.
- Saat pemberian HD-MTX
Berikan alkalinisasi urine dengan cara memberikan cairan hidrasi 2-3 L/m2/24
jam ditambah bicnat 40 meq/L selama 4 jam sehingga pH urine dibawah 8.
Pemberian HD-MTX- selama 24 jam, kemudian hidrasi dilanjutkan selama 24
jam, Leucovorin (injeksi/oral) diberikan 42 jam sejak dimulainyaHD-MTX,
diberikan selama 2 hari berturut-turut setiap 6 jam.
Tanda-tanda toksisitas: ulkus pada mulut (oral ulcer), toksisitas pada ginjal,
toksisitas pada liver ( >5x normal transaminase), atau infeksi, dan pemberian
tambahan 3 dosis tiap 6 jam. cotrimoksazol oral sementara dihentikan pada saat
pemberian HD-MTX.
Jika muncul efek samping yang berat (uncontrolled side effect), seperti gagal
liver, gagal ginjal, atau gangguan neurologi, pemberian HD-MTX dan semuanya
ditunda.
Hindari pemberian cotrimoksazol, obat anti inflamasi non steroid (NSAID), dan
penisilin bersamaan dengan HD-MTX. Leucovorin diberikan 15 mg/m2 iv pada
42,48, dan 54 jam setelah dimulainya HD-MTX.

Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya dengan dosis yang maksimal dapat
ditoleransi. Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut
kosong (setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan
bukan dengan susu. Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya
dilakukan setiap 3 bulan.
Metotreksat (MTX) triple drug intrathecal.
- Diberikan 3 kali dalam fase induksi : hari ke 1, 14, dan 28
- Dosis yang digunakan tergantung umur (dikeluarkan 3-5 ml liquor).
- Gunakan 3 ml pelarut NaCl, dberikan intrathecal.
Cyclophosphamide
-Dosis 1000 mg/m2, diberi awal minggu ke 9 dan 13, tanpa dibarengi dengan
pemberian Mesna.

Gambar 3.8 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Biasa (Indonesian


Childhood ALL, 2013)

Gambar 3.9 Protokol Fase Konsolidasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian


Childhood ALL, 2013)
3. Fase Intensifikasi
Pemberian Citarabin secara IV bolus 3x seminggu berturut-turut.
Prednison (PRED) :
- Diberikan sesudah makan dengan dosis 40 mg/m2 selama 4 minggu. Setelah 4
minggu (akhir minggu ke 16) dosis harus diturunkan setiap 3 hari menjadi separuh
dosis sebelumnya, dan berhenti pada akhir minggu ke 17.
Vincristine :
- Dosis 1,5 mg/m2 (dosis mak 2mg) IV pada awal minggu 14,15,16,17 (dalam 10
ml cairan normal saline secara IV pelan dalam 5 menit).
- Selesai intensifikasi, konsul neurologi.
Daunorubicin (DNR) intravena :
- Diberikan 2 x awal minggu ke 14 dan 16 dengan dosis 30 mg/m2(dalam 1 jam
IV).
Citarabine
- Dosis : 75 mg/m2, diberikan pada minggu ke 15 dan 17, 3 kali dalam seminggu.

Pada fase ini mulai diberikan cotrimoksazol profilkasis dengan dosis 2-3
mg/kgbb/dosis (maksimal 2 x 80 mg/hari) diberi 3 kali seminggu.
MTX i.t
- MTX it triple drug diberikan pada minggu ke 15 dan 17 (cara pemberian dan
pedoman pemberian intratekal ini sama seperti pada fase induksi dan konsolidasi).

Gambar 3.10 Protokol Fase Intensifikasi ALL Risiko Tinggi (Indonesian


Childhood ALL, 2013)

4. Fase Rumatan
- Untuk risiko biasa (RB), fase rumatan dimulai pada minggu ke 13 dan berakhir
pada minggu 110, sementara yang risiko tinggi (RT) dimulai minggu ke 18, dan
akan berakhir pada minggu ke 118
- Agar mendapat outcome yang baik , pemberian dosis yang tepat pada fase
rumatan merupakan hal yang esensi. Bergantung pada kondisi sensitifitas anak
terhadap kemoterapi.
- Persyaratan untuk mengawali rumatan.
kondisi umum baik.
tidak ada infeksi.

Hematologi baik, Hb 10 g/dl, minimal hitung ANC 500, trombosit >50.000/mm3


tidak ada perdarahan.
fungsi hati dan ginjal baik.
6 MP dan MTX
- Pemberian 6-MP dan MTX p.o seharusnya menggunakan dosis maksimal yang
dapat ditoleransi.
- Diberi 1 kali sehari (dosis tunggal) terutama dimalam hari saat perut kosong
(setidaknya 30 menit sebelum atau 60 menit setelah makan malam) dan bukan
dengan susu.
- Pemeriksaan fungsi hati selama pemeliharaan sebaiknya dilakukan setiap 3
bulan. Bila ada indikasi dapat dilakukan setiap saat.
- Disarankan pemberian MTX p.o malam hari. Hentikan pemberian obat ini bila
terjadi kenaikan SGOT/SGPT > 10 kali nilai normal. Pengobatan dengan MTX ini
juga harus dihentikan bila ada pneumonia.
- Pertahankan jumlah lekosit diantara 2000 - 4000/mm3 pada saat terakhir
pemberian 6-MP.
Deksametason
- Selama pemberian deksametason nilai lekosit akan meningkat, itu merupakan
reaksi yang normal. Catatan, bahwa hal tersebut dapat menjadi indikasi untuk
menurunkan ataupun menaikkan dosis.
Catatan Penting :
- Ajusted dose diatas selalu sama pada kedua jenis obat .
- Pada pengobatan fase rumatan ini, leukopenia (lekosit < 2000/mm3 ) dapat
berkaitan dengan sensitivitas individu terhadap kemoterapi, infeksi, efek samping
cotrimoksazol, atau kondisi relaps hematologi.
- Pada leukopenia persisten , yang tidak disebabkan infeksi atau relaps, pemberian
obat sitostatika lebih diprioritaskan dibandingcotrimoksazol. Hentikan pemberian
cotrimoksazol, bila tidak ada peningkatan lekosit setelah 1 minggu pemberian 6
MP dan MTX.

Gambar 2.11 Protokol Fase Rumatan ALL (Indonesian Childhood ALL, 2013)
3.7 Prognosis
Berikut ini faktor-faktor yang berpengaruh terhadap buruknya prognosis
ALL adalah sebagai berikut :
1. Jumlah leukosit awal >50.000/mm3
2. Umur pasien saat diagnosis dan pengobatan kurang dari 2 tahun atau lebih
3.
4.
5.
6.

dari 10 tahun
Jenis kelamin laki-laki
Ras African-American dan Hispanic
Translokasi kromosom 9 dan 22, 1 dan 19, atau 4 dan 11
Respon yang buruk pada saat pemberian kemoterapi inisial dilihat dari

BMP dimana sel blast >1000/mm3


7. Kelainan jumlah kromosom dengan indeks DNA>1.16 atau > 50
kromosom
8. Penyebaran pada cerebrospinal fluid
9. Masa mediastinal
10. Prednisone poor response
11. Immunophenotype B-cell
12. Ekspresi CD 10 menunjukkan prognosis baik

(Endang & Caroline, 2002; Caroline, et al, 2008; Sri & Silvia, 2009; Indonesian
ALL Childhood Protocol, 2013)

BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An. S usia 2 tahun


tahun datang bersama orangtuanya ke IGD RSUD AWS dan kemudian dirawat
inap di Ruang Melati pada tanggal 9 September 2015.
TEORI

KASUS
ANAMNESIS

Leukemia akut adalah keganasan


primer di sumsum tulang, pada anak

merupakan 35 % dari kanker anak.


Delapan puluh persen merupakan
Leukemia Limphoblastik Akut

dan nyeri. Pasien juga mengalami


mimisan satu kali dan perdarahan

Puncak insiden ALL terjadi pada

gusi, namun tidak ada perdarahan

usia 2-5 tahun.

spontan lainnya. Saat MRS, ada

Insiden rate untuk ALL lebih tinggi

keluhan nyeri pada kaki kanan.

laki-laki

dan

perempuan

dengan rasio 1,15.


Sering

dihubungkan

dengan

sindroma gangguan genetik, namun


penyebab utama ALL sampai saat
ini masih belum diketahui. Riwayat
keluarga positif leukemia berisiko
untuk

menderita

ALL

3,75

dibandingkan dengan orang yang


tidak menderita leukemia.

dengan penyakit serupa


Keluhan pucat, perut kembung

(LLA).

pada

Usia 2 tahun
Jenis kelamin perempuan
Tidak memiliki riwayat keluarga

Gejala yang ditimbulkan kurang


spesifik, namun meliputi mudah
lelah

dan

letargi,

gejala

konstitusional

(demam,

keringat

malam, penurunan BB), sesak nafas,


pusing,

infeksi

dan

mudah

mengalami perdarahan. Pada anak-

anak, nyeri pada persendian dan


tulang mungkin adalah satu-satunya
gejala yang timbul.
PEMERIKSAAN FISIK

Anemia (mudah lelah, letargi, T:37,7 Nadi 100 x/i RR 28x/i, Ane

(+/+), ikt (-/-), sianosis (-), Rh (-/-),


pusing, sesak, nyeri dada)
Limfadenopati, splenomegali, Wh (-/-), BU(+) N, NT (-),
dan atau hepatomegali dapat hepatomegali (+) , splenomegali (+)
ditemukan pada 20% pasien. S II- S III, distensi (-), akral hangat,
Massa pada abdomen dari CRT < 2 detik
keterlibatan
gastrointestinal, BB 11 kg
rasa

kebas

keterlibatan

di

dagu

saraf

dari

kranial

mengarah kepada ALL sel B


matur. Infeksi dan perdarahan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan

didapatkan anemia, leukositosis,

Kudungga Sangatta

DL

WBC : 36.720

dan trombositopenia.
Pada pemeriksaan darah tepi dapat

ditemukan sel limphoblast > 5%.


Pada pemeriksaan BMP dapat

HCT : 15,7

ditemukan

proliferasi

sel-sel

lymphoblast.

dari

RSUD

Hb : 5,2
Trombosit : 9.000

Darah tepi dari RSUD AWS


tanggal 11 September 2015: sel
limphoblast 60 % suspek ALL.
BMP sudah dilakukan dan masih
menunggu hasil. Foto rontgen

dada dalam batas normal.


DIAGNOSIS

Gejala klinis dan pemeriksaan darah Pasien


dapat
Namun

diagnosis

diagnosis

dengan

keluhan

untuk pucat, kembung dan nyeri perut,

digunakkan

menegakkan

datang

leukemia. serta mimisan 1x dan perdarahan

pasti

ALL gusi.

Hasil

pemeriksaan

darah

memerlukan pungsi sumsum tulang lengkap

ditemukan

anemia,

dimana dapat ditemukan 20% sel trombositopenia, dan leukositosis,


limfoblast. Pemeriksaan penunjang hapusan darah tepi ditemukan sel
lainnya adalah rontgen dada dan blast 60% ec Susp. ALL. BMP

cairan cerebrospinal.
sudah
dilakukan
dan
masih
Pada pemeriksaan darah lengkap menunggu hasil. Foto rontgen
akan didapatkan anemia, kelainan dalam batas normal dan tidak ada
jumlah
leukosit,
dan massa mediastinum.
trombositopenia.

Massa

mediastinum dapat nampak pada


rontgen dada dan leukimia SSP
dapat diketahui dari aspiran cairan
serebrospinal

dan

dilakukan

pemeriksaan sitologi.
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan

pasien

ALL Perbaikan KU

meliputi penatalaksanaan suportif Inj. Ceftriaxone 2x250 mg (skin test)


dan

Penatalaksanaan Inj. Gentamicin 2x25 mg

kuratif.

suportif

meliputi

penyakit

lain

leukimia

pengobatan Paracetamol syrup 3 x cth I


pengobatan oleh karena itu kemoterapi belum

dan

komplikasi

antara

pemberian

menyertai Diagnosis pasti belum ditegakkan

yang

lain

transfusi

berupa bisa dimulai.


darah/

trombosit,

pemberian

antibiotik,

pemberian

obat

untuk

meningkatkan granulosit, obat anti


jamur, pemberian nutrisi yang baik,

dan pendekatan aspek psikososial.


Penatalaksanaan
kemoterapi
dilaksanakan
Protokol

sesuai
Pengobatan

dengan
ALL

(Indonesian Childhood ALL, 2013)

BAB 5
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan yang berciri khas
infiltrasi progresif dari sel limfoid imatur dari sumsum tulang dan organ limfatik

yang dikenal sebagai limfoblas. Diagnosis ALL berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan laboratorium berupa karakteristik morfologi dan
pemeriksaan sitokimia dari aspirasi sumsum tulang. Pemeriksaan morfologi
menggunakan klasifikasi FAB ( French American British ). Persentase sel blast
yang ditemukan pada sumsum tulang minimal 25%. Jika mungkin, dilakukan
pemeriksaan immunophenotyping. Pengobatan ALL di Indonesia saat ini
mengikuti Indonesian Childhood ALL Protocol 2013. Prognosis dari penyakit ini
dipengaruhi banyak faktor.
5.2 Saran
1. Seluruh dokter diharapkan dapat mengenali ALL dari tingkat kesehatan
paling rendah dan segera merujuk ke fasilitas yang lebih lengkap agar
dapat segera mendapatkan pengobatan.
2. BMP pasien suspek ALL segera dilakukan agar diagnosis dan pengobatan
menjadi lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.


hlm. 170.
Caroline, et al. (2008). Prognostic Factors for Leukemic Induction Failure in
Children With Acute Lymphoblastic Leukemia and Outcome After Salvage

Therapy: The FRALLE 93 Study. American Society of Clinical Oncology.


Diunduh 2/2/15 dari http://jco.ascopubs.org/content/26/9/1496.full
Ching, H. P., Leslie, L. P., Thomas, A. L. (2008). Acute Lymphoblastic
Leukaemia. Lancet, 371, 1030-1043.
Endang, W., Caroline, M. (2002). Gangguan Metabolik pada Leukemia Limfositik
Akut dengan Hiperleukositosis. Sari PediatriI, 4(1), 31-35.
Gallegos, et al. (2013). Pathophysiology of Acute Lymphoblastic Leukemia.
Diunduh

26/1/2015

dari

http://www.intechopen.com/books/clinical-

epidemiology-of-acute-lymphoblastic-leukemia-from-the-molecules-tothe-clinic/pathophysiology-of-acute-lymphoblastic-leukemia.
Gambar

HDT

dan

BMP

ALL

L1-3

diunduh

2/2/15

dari

http://www.pathologyoutlines.com.
Hasyimzoem, N. C. (2014). Leukemia Limfoblastik Akut pada Dewasa Dengan
Multiple Limfadenopati . Medula, 2(1), 30-38.
Indonesian Childhood ALL Protocol (2013)
Permono, Bambang. 2005. Leukemia Akut dalam Buku Ajar HematologiOnkologi Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm. 145-151.
Sri, M., Silvia, M. (2009). Leukemia Limfoblastik Akut pada Anak Usia di Bawah
Satu Tahun. Sari Pediatri, 11(3), 219-222.
Vikramjit, S. K. (2014). Pediatric Acute Lymphoblastic Leukemia. Diunduh
tanggal 29/1/2015 dari http://emedicine.medscape.com/article/990113overview#aw2aab6b2b3aa.

Você também pode gostar