Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
MARET 2016
AIRWAY MANAGEMENT
Di susun oleh :
Arwini Avissa Abdullah
110 210 0065
Pembimbing Supervisor :
dr. Julia Hasir, Sp.An, M.kes
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2016
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama
Stambuk
Judul
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.
Makassar, Maret 2016
Pembimbing Supervisor
BAB I
PENDAHULUAN
Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang
dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas.
Kesulitan terbesar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Selain membuat pasien tidak merasa nyeri, tidak ada karakteristik terbaik
untuk seorang dokter anestesi selain kemampuan penanganan jalan nafas dan
pernafasan pasien. Keberhasilan intubasi, ventilasi, krikotirotomi dan anestesi
regional untuk laring memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan nafas.
oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 5-2) : tiroid, krikoid,
epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.
arteri karotis externa dan menyilang pada membran krikotiroid bagian atas, yang
memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior
Saraf
Saraf nervus superior
ditemukan sepanjang
Unilateral
membran krikotiroid.
Bilateral
Saraf laringeal rekuren.
Suara serak
Unilateral
tepi
lateral
dari
Ketika merencanakan
krikotirotomi,
anatomi
dari
arteri
krikoid
dan
arteri
Bilateral
Akut
Aphonia
kronik
Saraf vagus
Suara serak
dipertimbangkan
Unilateral
Aphonia
tiroid
harus
bilateral
Teknik paling baik adalah untuk tetap pada garis tengah, antara kartilago krikoid dan
tiroid.
L
L
F
teknik
yang
disukai
untuk
membebaskan
jalan
nafas. Untuk
mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan (artificial airway) dapat
dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk menimbulkan adanya aliran udara
antara lidah dengan dinding faring bagian posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar
atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau spasme laring pada saat memasang
jalan nafas artifisial bila refleks laring masih intak. Pemasangan oral airway kadangkadang difasilitasi dengan penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan
menekan lidah dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil
(80 mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no
5).
tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam face mask untuk pediatrik di disain
untuk mengurangi dead space.
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face mask yang
rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat
menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini
menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit
breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
Gambar 6.
menggunakan
tehnik 2 tangan
Pada situasi
yang
sulit,
diperlukan
Karena
itu
diperlukan
asisten
untuk
seorang
5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena tekanan kuat dari face
mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang sulit memasang face maks
rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau
memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi
kesulitan ini. Ventilasi tekanan
Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang
sulit.
penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak,
maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop
atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian
juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa di
plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak
terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya
sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk
atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat di
autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai ukuran
(tabel 5-3).
1. memilih ukuran LMA yang sesuai dan periksa kemungkinan
2.
3.
4.
5.
6.
dirasakan.
7. Mengembangkan dengan jumlah udara yg benar.
8. Pastikan anastesi adekuat selama pasien diposisikan.
9. Obstruksi setelah insersi, biasanya karena penekanan epiglotis/
laryngospasme.
10.
Hindari deflasi atau bergesernya masker laring hingga
pasien terbangun
pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk trakeal intubasi,
LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang
sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah untuk
memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-99%). LMA telah
digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik, bougie), ventilasi jet stylet,
fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm).
Dibandingkan
dengan facemask.
Dibandingkan
dengan intubasi
trakhea.
kelebihan
Operasi bebas
genggam
Lebih mudah
memantau jalan nafas.
Proteksi sekresi jalan
nafas.
Kurang trauma saraf
dan mata.
Kurang polusi kamar
operasi.
Kurang invasif.
Sangat berguna pada
intubasi yang sulit.
Jarang trauma gigi
dan laring
Jarang laringospasme
dan bronkospasme.
Tidak membutuhkan
relaksasi otot.
Tidak membutuhkan
mobilisasi leher.
Tidak ada resiko
intubasi esofagus dan
endo brachial
Kekurangan
Lebih invasif
Banyak resiko trauma
jalan nafas.
Membutuhkan skill.
Membutuhkan beberapa
mobilisasi TMJ
Difusi N2O pada balon.
Meningkatkan resiko
aspirasi gastrointestinal.
Kurang aman pada
posisi prone.
Batas maksimum PPV
Kurangnya keamanan
jalan napas.
Resiko tinggi kebocoran
udara dan polusi
Dapat menimbulkan
distensi lambung.
Ukuran pasien
Berat (kg)
1
2
2
3
4
5
bayi
Anak
Anak
Dewasa kecil
Dewasa
Dewasa besar
<6,5
6,5-20
20-30
>30
<70
>70
Volume manset
balom (mL)
2-4
>10
>25
>20
>30
>30
laringoskopi.
Gambar 8. Klasifikasi
BAB III
PENUTUP
Airway
Adalah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap
memperhatikan kontrol servikal. Terlebih dahulu pernafasan dinilai dengan cara look,
listen, and feel. Selanjutnya, tindakan yang dapat dilakukan adalah:
1. Membuka jalan nafas dengan proteksi servikal dengan cara chin lift, head tilt,
maupun jaw thrust.
2. Membersihkan jalan nafas dengan sapuan jari (finger sweep)
3. Mengatasi sumbatan nafas parsial dengan
Adapun tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan),
yaitu:
1. Mendengkur
2. Berkumur (
3. Stridor
Yaitu dengan teknik intubasi, yaitu memasukan pipa ke dalam rongga tubuh
melalui
Pelatihan manajemen nasional
1.
2.
3.
4.
5.
L= Look externally
E= Evaluate the 3-3-2 rule
M= Mallampati
O= Obstruction
N= Neck mobility
Sistem
Disamping
Oleh karena pentingnya teknik intubasi dalam
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams L George, boies L, dkk.
2. Longnecker
3. Dorland, Newman. 2002.
Kamus
Kedokteran
Dorland.
Edisi
29,Jakarta:EGC,1765.
4. Pasca Anestesia, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua,
BagianAnestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta, 2002, Hal :253-256.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Airway Management. In : Morgan GE,
Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology 4th ed. USA,
McGraw
6. Gail
http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html3
7. Gisele
http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html
8. Greenberg MS, Glick M.
9. Samsoon GLT, Young JRB. Difficult tracheal intubation:
10. Wilson ME, Speigelhalter D, Robertson JA, et al. Predicting difficult
intubation. Br J Anaesth. 1988;61:211-216
11. Endotracheal Tube (Breathing Tube). Available at:
12. Friedland DR, et
13. Gregory GA, Riazi J. Classification and assessment of the difficult pediatric
airway. Anesth Clin North Am. 1998;16:729-741
14. Latief, Said A, Kartini A. Suryadi dan M. Ruswan Dachlan. 2001. Petunjuk
Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI:
Jakarta.
15. Safar P. Cardiopulmonary Ressucitation. W.B. Saunders. Canada.1981
16. Wilson IH, Kopf A. Prediction and Management of Difficullt Tracheal
Intubation. Update in Anaesthesia 1998, 37-45
17. Levitan RM, Everett WW, Ochroch EA. Limitations of Difficult Airway
Prediction in Patients Intubated in the Emergency Department. Ann Emerg
Med. 2004;44:307-313.
18. Reed MJ, Dunn MJG, McKeown DW.
19. Hermitea JL, Nouvellona E, Cuvillona P, Fabbro-Peraya P, Langerond O,
Riparta J. The Simplified Predictive Intubation Difficulty Score: a new
weighted score for
20. difficult airway assessment. Eur J Anaesthesiol 2009, 26:10031009
21. Lavi R, Segal D, Ziser A. Predicting difficult airways using the intubation
difficulty scale: a study comparing obese and non-obese patients. Journal of
Clinical Anesthesia 2009, 21; 264267
22. Gupta
23. Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, R. 2002.