Você está na página 1de 18

ANGIOFIBROMA NASOFARING

1. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi
tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak,
serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1-3
2. Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/6000 dari pasien
THT, diperkirakan hanya 0,05% dari semua tumor jinak yang tumbuh di kepala dan leher.
Tumor ini lebih sering dijumpai pada laki-laki remaja, usia dekade ke-2 antara 7-19 tahun dan
sangat jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun. Itulah sebabnya tumor ini disebut juga
angiofibroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal angiofibroma). Figi dkk seperti dikutip
oleh Lee DA melaporkan 144 kasus angiofibroma nasofaring di Amerika Serikat dengan insiden
pada wanita 4,4%. Glad, dkk melaporkan kejadian angiofibroma nasofaring di Denmark adalah
0,4 kasus per juta jiwa per tahun. Di Timur Tengah dan India, kejadian tampaknya jauh lebih
tinggi daripada di Eropa.1,4-7

3. Etiologi
Penyebab tumor ini belum diketahui secara jelas. Banyak penulis yang mengajukan
berbagai macam teori, tetapi secara garis besar dibagi menjadi 2 golongan yaitu :

a. Teori jaringan asal tumbuh


Teori jaringan asal tumbuh pertama kali ditemukan oleh Verneuil yang diikuti oleh
Bensch (1878). Ia menduga bahwa tumor terjadi akibat pertumbuhan abnormal pada jaringan
fibrokartilago embrionik di daerah oksipital. Teori yang sampai sekarang banyak dianut,
dikemukakan oleh Neel, yang berpendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma
adalah dinding postero-lateral atap rongga hidung, tempat prossesus sfenoid palatum bertemu
dengan ala horizontal dari vomer dan akar prosesus pterigoideus tulang sfenoid.4,8
b. Teori hormonal
Martin dkk pertama kali mengemukakan bahwa diduga angiofibroma nasofaring
merupakan hasil dari ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya kekurangan androgen atau
kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara tumor dengan
jenis kelamin dan umur serta hambatan pertumbuhan pada semua penderita angiofibroma
nasofaring. 4,8

4. Perluasan Tumor
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi posterior dan lateral koana pada
atap nasofaring. Tumor akan meluas di bawah mukosa sepanjang atap nasofaring mencapai tepi
posterior septum dan meluas ke arah bawah, membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung
posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi
kontra lateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke samping
ke arah foramen sfenopalatina. Melalui foramen tersebut tumor masuk ke fossa pterigomaksila,
kemudian lesi akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Tumor akan meluas terus melalui
fisura pterigomaksila masuk ke dalam dan rasa penuh di wajah. Bila tumor cukup besar akan

menonjol ke bagian bawah fossa temporal dan menimbulkan pembengkakan di daerah zigoma.
Biasanya tumor berkembang terus masuk fisura orbitalis inferior, membuka bagian anteroposterior fossa pterigomaksila dan masuk ke ujung bawah fissure orbitalis superior. Bila tumor
meluas ke daerah ini, akan menghancurkan ala magna tulang sfenoid dan membentuk pelebaran
yang khas sepanjang tepi bawah lateral fissura orbitalis superior sehingga terjadi proptosis,
tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut muka kodok.8,9
Perluasan intrakranial dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan :8
1. Pembesaran tumor di fossa infratemporal dan pterigomaksila akan menghancurkan tulang
yang membentuk pangkal tulang pterigoideus. Daerah ini merupakan tempat bertemunya
korpus dan ala magna tulang sfenoid, sehingga tumor akan terletak di sebelah dura di fossa
serebri media, lateral dari sinus kavernosus dan anterior dari foramen laserum.
2. Tumor berkembang dari sinus sfenoid melalui destruksi dinding superiornya masuk ke sinus
kavernosus dan atau fossa hipofise. Tumor akan mendorong kelenjar hipofisis ke satu sisi dan
timbul di sela tursika. Hal ini akan menyebabkan kebutaan karena penekanan kiasma optikus.
3. Tumor berkembang dari sinus etmoid melalui erosi dinding superiornya masuk ke fossa
serebri anterior

5. Perdarahan
Suplai darah angiofibroma bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama biasanya berasal
dari arteri maksilaris interna. Pada tumor yang lebih besar sumber perdarahannya berasal dari
arteri faringeal asenden, arteri palatina mayor, arteri meningeal rekuren dan arteri oksipital.
Sebagian besar arteri pemasok tumor ini merupakan cabang dari arteri karotis eksterna. Bila
tumor meluas ke fossa infratemporal, akan mendapatkan perdarahan dari arteri temporalis

superfisialis, arteri fasialis eksterna dan pembuluh darah transfasial. Pada tumor yang tumbuh ke
intrakranial sumber perdarahan yang utama, didapatkan dari sistem a. karotis interna. Bila tumor
tumbuh melewati garis tengah biasanya perdarahan berasal dari pembuluh darah karotis bilateral.
Kesulitan utama dalam pembedahan tumor ini adalah perdarahan hebat, yang dapat mencapai
2000-3000 cc dalam waktu yang singkat. Perdarahan saat operasi dapat disebabkan karena hanya
sebagian tumor yang terangkat atau tumor sudah terdapat di intrakranial. Perdarahan hebat selain
mengganggu jalannya operasi sehingga sulit untuk melihat asal tumor, juga dapat terjadi syok
hipovolemik dan dapat mengakibatkan kematian. Untuk mengurangi perdarahan hebat, Pandi
mengemukakan beberapa upaya untuk mengatasinya, antara lain: penggunaan anastesi dengan
teknik hipotensi, tindakan ligasi a. karotis eksterna, terapi hormonal, radiasi, dan tindakan
embolisasi preoperasi.3,8

6. Gejala Klinis
Keluhan paling sering dijumpai adalah hidung tersumbat (lebih dari 80%) yang bersifat
progresif dan epistaksis berulang (45-60%). Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya
penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman.
Epistaksis biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. Keluhan lain berupa rinolalia, anosmia,
sefalgia hebat (25%) jika sinus paranasal tersumbat atau biasanya menunjukkan bahwa tumor
sudah meluas ke intrakranial, tuli konduktif, deformitas wajah, proptosis dan diplopia. Sumbatan
ostium sinus dapat menyebabkan sinusitis. Perluasan tumor ke orofaring menimbulkan disfagia,
dan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Bila tumor masuk ke dalam fisura orbitalis
superior timbul proptosis, dan dapat disertai gangguan visus serta deformitas wajah penderita.
Dari nasofaring tumor dapat meluas ke fossa pterigopalatina, lalu ke fossa infra temporal,

kemudian menyusuri rahang atas bagian belakang dan terus masuk ke jaringan lunak antara otot
maseter dan businator. Hal tersebut di atas akan menimbulkan pembengkakan pipi dan trismus.
Perluasan tumor ke rongga intra kranial akan menimbulkan gejala neurologis.1,5,8,10,11
7. Histopatologis
a) Makroskopis
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal keras, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian
tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan,
sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia
muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih
banyak komponen fibromanya. Terdapat banyak pembuluh darah pada mukosa dan tak jarang
dijumpai adanya ulserasi. Pada potongan melintang, tampak tumor tidak berkapsul dengan
dasar yang biasanya bertangkai, berlobus-lobus, tepinya berbatas tegas, dan mudah
dibedakan dengan jaringan sekitarnya.1,8,9 Gambaran endoskopisnya dapat dilihat pada
gambar 1.

Gambar 1. Gambaran endoskopik Angiofibroma Nasofaring


yang menunjukan massa hipervaskularisasi dengan permukaan
halus yang sebagian ditutupi oleh fibrin yang bertumbuh ke
dalam fossa nasalis kiri. NS: Nasal Septum; IT: Inferior
Turbinate; JA: Juvenile Angiofibroma.6

b) Mikroskopis

Angiofibroma nasofaring terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam stroma yang
fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah menjadi
predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial tunggal yang
melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan pendarahan yang masif. Stroma
terbuat dari fibril kolagen yang halus dan kasar yang memiliki ciri-ciri jaringan ikat
berbentuk bintang pada daerah tertentu. Jaringan angiomatous cenderung surut seiring
dengan waktu (Gambar 2).8,9

Gambar 2. Angiofibroma: bentuk staghorn pembuluh darah (tanda panah)


dengan sel endothelial12
8. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan
radiologik. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologis jaringan tumor
pasca operasi. Sebaiknya tindakan biopsi dihindari atau dilakukan dalam kamar operasi dengan
peralatan siap operasi, mengingat bahaya perdarahan yang biasanya sukar di kontrol.3,8

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologik dapat banyak membantu dalam menegakkan diagnosis dan


rencana tindakan selanjutnya. Pada pemeriksaan radiologik konvensional akan terlihat
gambaran klasik angiofibroma nasofaring dini. Gambaran ini di sebut sebagai tanda Holman
Miller, yaitu pendorongan ke depan dinding posterior sinus maksila dan pendorongan ke
belakang prosesus pterigoideus, sehingga fisura pterigo palatina melebar. Dari pemeriksaan ini
juga akan terlihat adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring, atau erosi dinding orbita,
arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT-Scan dengan potongan
koronal dan aksial, akan memberikan gambaran yang lebih jelas. Dengan pemeriksaan ini
diketahui lokasi tumor dan perluasaan ke struktur sekitarnya serta melihat adanya invasi ke
tulang (Gambar 3).1,8

(a)
(b)
Gambar 3. a) CT axial; dinding posterior sinus maxillaris terdorong ke arah anterior. b) CT
scan Coronal lesi mengisi kavitas nasi kiri dan sinus etmoid, memblokir sinus maxillaries
dan deviasi septum nasi ke arah kanan.3,12

Pemeriksaan magnetik resonance imaging (MRI) dapat dilakukan dan bermanfaat untuk
melihat perluasan tumor ke intrakaranial dan hubungannya dengan pembuluh darah utama serta
struktur neurologik disekitarnya (Gambar 4).8

Gambar 4. MRI kontras (a) Axial dan (b) coronal. Angiofibroma Nasofaring dengan proses
episentrumnya ke dalam akar dari prosesus pterygoid kiri. Komponen nasofaring dengan
penyebaran submukosal tampak jelas (tanda bintang hitam). Lesi mencapai kompartemen
ekstradural intrakranial melalui fisura orbita inferior dan superior (panah putih), menggeser N.
Maxillaris ke arah inferolateral (panah hitam). Tanda bintang putih menunjukkan Meckels cave.
LPM : lateral pterygoid muscle; MPM: medial pterygoid muscle.6
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis akan memberikan gambaran yang khas yaitu :1,8
a. Pendorongan arteri maksila interna ke depan sebagai akibat pertumbuhan tumor dari
nasofaring ke arah fossa pterigomaksila.
b. Massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan mencapai maksimum setelah 3-6
detik zat kontras disuntikan. Pemeriksaan angiografi bertujuan untuk melihat pembuluh
darah pemasok utama, mengevaluasi besar dan perluasan serta residu tumor. Suplai darah
dapat dari kedua sisi leher.
Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan
kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.1

9. Stadium Tumor
Sistem penderajatan angiofibroma nasofaring pertama kali dikemukakan oleh Sessions
dkk, lalu dimodifikasi oleh Fisch dan Chandler.
Klasifikasi menurut Session adalah :1,8
Stadium IA

: Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult.

Stadium IB

: Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan meluas
setidaknya satu sinus paranasal.

Stadium IIA

: Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila.

Stadium IIB

: Tumor memenuhi pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita.

Stadium IIIA

: Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke intrakranial.

Stadium IIIB

: Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa meluas ke sinus


kavernosus.

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:1,8


Stadium I

: Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi tulang.

Stadium II

: Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan destruksi


tulang.

Stadium III

: Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau regio paraselar.

Stadium IV

: Tumor menginvasi tumor kavernosus, regio kiasma optik dan atau fossa
pituitary.

Menurut Chandler, berdasarkan perluasan tumor, stadium tumor dibagi menjadi:8-10


Stadium I

: Tumor terbatas di nasofaring

Stadium II

: Meluas ke kavum nasi dan atau sinus sfenoid.

Stadium III

: Meluas ke salah satu atau lebih sinus maksila dan etmoid, fossa
pterigomaksila dan infratemporal, orbita dan atau pipi

Stadium IV

: Meluas ke rongga intra kranial.

10. Diagnosis Banding


Banyak sekali neoplasma lain yang memiliki tampilan yang sama seperti JNA, hal ini
penting

untuk

dipertimbangkan

mengingat

kelangkaannya.

Granuloma

piogenik

dan

hemangiopericytomas dapat muncul di saluran hidung dan juga berafiliasi dengan derajat
epistaksis tertentu. Polip hidung adalah massa lain yang lebih sering ditemui di rongga hidung,
walaupun dengan kecenderungan yang lebih rendah untuk perdarahan. Tumor lain yang
melibatkan dasar tengkorak dapat menyerupai JNA lokal seperti craniopharyngioma, Chordoma,
chondrosarcoma, karsinoma nasofaring, neuroblastoma penciuman, atau rhabdomyosarcoma.13,14

11. Penatalaksanaan
Berbagai

jenis

pengobatan

dikembangkan

sejak

ditemukannya

tumor

ini.

Penatalaksanaan tumor ini yaitu:


1. Operasi
Operasi merupakan pilihan utama, pada penatalaksanaan angiofibroma nasofaring.
Operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena risiko perdarahan yang
hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan
perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial (sublabial midfacial degloving) atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke
intrakranial. Hingga tahun 1960-an pendekatan dasar bedah pada angiofibroma nasofaring
adalah transpalatal, yang mana dapat dikombinasikan dengan insisi sublabial atau suatu
10

pendekatan Caldwell-Luc. Efektifitas operasi tergantung dari lengkapnya pengangkatan masa


tumor. Beberapa pendekatan dikemukakan oleh para ahli sebagai usaha mengekstirpasi
seluruh jaringan tumor pada daerah yang relatif sempit. Tandon menganjurkan untuk
menggunakan pendekatan operasi secara transpalatal untuk tumor yang terdapat pada
nasofaring, koana, rongga hidung dan sinus etmoid. Untuk tumor yang sudah meluas ke fossa
infratemporal, pterigomaksila dan pipi digunakan pendekatan operasi secara transmaksila
dengan insisi Weber Ferguson atau dikombinasikan dengan pendekatan transpalatal. Spector
mengemukakan pilihan operasi secara transpalatal pada tumor yang terbatas di nasofaring,
hidung dan sinus sfenoid. Untuk tumor yang meluas ke lateral melalui fisura pterigomaksila,
dapat dikombinasikan pendekatan Caldwel-Luc dan transpalatal. Bila tumor meluas ke pipi,
sinus maksila dan fosa pterigomaksila dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan
transantral atau transbukal. Operasi kombinasi transpalatal dan rinotomi lateral dilakukan bila
perluasannya kearah sinus etmoid dan retro orbita. Bila tumor meluas ke fossa infra temporal
bagian anterior dilakukan operasi kombinasi peningkapan dan labiomandibulotomi medial.
Bila tumor meluas ke fossa infra temporalis bagian inferior (pipi, dasar tengkorak dan rongga
parafaring) dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan transmandibula anterior. Pada tumor
yang meluas ke intrakranial, dilakukan operasi kombinasi transpalatal dan kraniotomi
frontotemporal. Kamel, seperti dikutip Khalifa mengungkapkan bahwa pendekatan endoskopi
transnasal dapat digunakan untuk tumor stadium I-II.3,8,11,12,15,16
2. Radioterapi
Grybauskas melaporkan angka kesembuhan 80% pada terapi radiasi dengan dosis 3.0003.500 cGy. Penelitian lain melaporkan pada radiasi 3.200 rads adanya penurunan vaskularisasi
tumor tetapi tidak adanya pengecilan bermakna ukuran tumor. Dharmabakti mengutip bahwa

11

radiasi eksterna banyak dilakukan di Kanada oleh Briant dkk. Dengan dosis 3.000-3.500 cGy,
memperoleh angka kesembuhannya mencapai 70-80%. Terapi radiasi biasanya digunakan
sebagai terapi paliatif untuk mengurangi perdarahan pada saat operasi, sebagai terapi
tambahan pada tumor yang rekuren, dan pada tumor dengan pertumbuhan intrakranial.
Radiasi pada usia remaja dapat mengganggu pertumbuhan tulang wajah, radionekrosis dan
perubahan tumor menjadi ganas. Terapi ini dilakukan juga pada pasien yang menolak operasi
dan pada tumor yang tidak mungkin untuk di operasi lagi.8,12,16
3. Hormonal
Pengobatan hormonal pada kasus angiofibroma, pertama kali dilakukan oleh Boedts
(1940) dikutip oleh Pandi dengan pemberian preparat progesteron dan ternyata tumor
mengecil. Martin menyatakan bahwa ketidakseimbangan hormonal dapat merangsang
pertumbuhan tumor ini. Shciff mengemukakan suatu trilogi terjadinya tumor ini. Pertama
tumor ini terjadi oleh karena ketidakseimbangan androgen-estrogen. Kedua, aktivitas
berlebihan dari kelenjar hipotalamus, dan ketiga, respon yang berlebihan dari jaringan
pembuluh darah tersebut. Schiff memberikan estrogen pada angiofibroma nasofaring selama
4-6 minggu, setelah itu dilakukan pembedahan untuk pengangkatan tumor. Hasil dari tindakan
tersebut adalah berupa perdarahan yang lebih sedikit dibandingkan dengan tidak diberikan
estrogen sebelumnya. Estrogen memberikan efek pematangan jaringan fibrosa dan pembuluh
darah. Estrogen termasuk hormon steroid kelamin, yang fungsi utamanya berhubungan erat
dengan fungsi alat kelamin primer dan sekunder, terutama pada wanita. Hormon ini
merupakan sintesis dari kolesterol, terutama di ovarium dan di kelenjer lain, misalnya korteks
adrenal, testis dan plasenta. Estrogen dibentuk dari androstenedion maupun testosteron yang
mempunyai 4 cincin siklik dengan 19 atom C. Estrogen endogen pada manusia paling banyak

12

terdiri dari estradiol dan potensi estrogeniknya juga paling kuat. Oksidasi estradiol menjadi
estron dan hidrasi estron menjadi estriol, terutama terjadi di hepar. Dietilstilbesterol
merupakan senyawa estrogen sintetik pertama dan potensi estrogenik yang cukup kuat.
Reseptor estrogen dapat ditemukan pada alat reproduksi wanita, kelenjar payudara, hipofisis,
prostat dan hipotalamus. Estrogen terikat dengan afinitas tinggi pada reseptor protein di
sitoplasma. Setelah mengalami modifikasi, kompleks reseptor estrogen ini ditranslokasi ke
inti sel yang akan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini memicu sintesis RNA dan beberapa
protein spesifik lain. Sintesis protein oleh estrogen ini dihambat oleh penghambat sintesis
RNA (daktinomisin), dan penghambat sintesis protein (sikloheksimid). Penggabungan
estrogen dengan reseptornya dihambat oleh obat golongan anti estrogen, misalnya klomefin
atau tamoksifen. Terapi hormonal pada angiofibroma nasofaring bertujuan untuk mengecilkan
masa tumor dan mengurangi perdarahan. Pemberian estrogen dapat meningkatkan maturasi
kolagen dan mengurangi pembuluh darah dari tumor, sehingga perdarahan berkurang dan
tumor mengecil. Estrogen dapat menimbulkan efek samping berupa penurunan kadar
testosteron plasma, atrofi testis dan ginekomastia pada anak laki-laki. Harison, Walike dan
Mackay memberikan dietilstilbestrol selama 30 hari. Terlihat peningkatan jaringan ikat fibrosa
dan penurunan dari jumlah pembuluh darah. Dosis terapi yang dianjurkan tidak lebih dari 15
mg/hari selama satu bulan dan dosis maksimal yang pernah diberikan adalah 3.000 mg. Di
Indonesia seperti yang dikutip oleh Dharmabakti melaporkan bahwa setelah pemberian
estrogen, ternyata tumor mengecil tetapi setelah pemberian dihentikan tumor tumbuh lagi.3,8,12

4. Sitostatika

13

Geopfert dkk (1985) pertama kali memberikan sitostatika terhadap 5 kasus angiofibroma
nasofaring yang mengalami residif dengan memberikan kombinasi deksorubisin dan
dekarbasin atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid. Hasil yang diperoleh
ternyata cukup memuaskan dan tumor mengalami regresi secara perlahan-lahan, tanpa
menimbulkan komplikasi. Sitostatika diberikan pada tumor rekuren yang besar, pasca
tindakan pembedahan, tumor dengan pertumbuhan intrakranial dan tumor yang mendapat
perdarahan utama dari pembuluh darah intrakranial. Obat yang diberikan antara lain
doksorubisin dan dacarbazine atau kombinasi vinkristin, daktinomisin dan siklofosfamid.8
5. Embolisasi
Tindakan embolisasi sebelum operasi dilakukan untuk mengurangi perdarahan dan
mencegah komplikasi akibat perdarahan. Untuk melakukan embolisasi diperlukan angiografi
terlebih dahulu untuk mengetahui arteri mana yang memberi perdarahan tumor, sehingga
sering disebut angiografi embolisasi praoperasi. Pada pemeriksaan angiografi secara rutin,
arteri karotis interna, arteri faringeal asenden, arteri maksilaris interna pada kedua sisi kanan
dan kiri diperiksa. Setelah menentukan target arteri yang akan dilakukan oklusi kemudian
dilakukan embolisasi. Embolisasi pra operasi dapat mengurangi perdarahan saat operasi, tetapi
perdarahan pasca embolisasi saat operasi masih mungkin terjadi tergantung dari derajat tumor
(Gambar 5).8,12

14

(a)
(b)
Gambar 5. Angiogram; suplai darah tumor dari a.maxillaris interna sebelum embolisasi. (b)
Setelah embolisasi a. maxillaries interna.3
6. Ligasi arteri karotis eksterna.
Salah satu cara untuk mengurangi perdarahan selama operasi adalah dengan melakukan
tindakan ligasi arteri karotis eksterna. Tindakan ini pertama kali dilakukan oleh Pare (1652)
pada pasien dengan luka tusuk yang luas di leher akibat pedang. Pada tahun 1857 Mott
melakukan tindakan ligasi untuk tumor kepala. Waston (1939) melaporkan 20 kasus yang
dilakukan ligasi a.karotis pada kasus tumor kepala. Tandon pada tahun 1986 melakukan
tindakan ligasi arteri karotis eksterna pada 3 pasien. Pandi melakukan ligasi a.karotis eksterna
pada 2 pasien dan ternyata dapat mengurangi perdarahan selama operasi. Wilson
mengemukakan bahwa perdarahan utama angiofibroma nasofaring hampir semuanya
unilateral, berasal dari a.maksilaris interna dan a.faringeal asenden, yang merupakan cabang
dari a.karotis eksterna. Ligasi a.karotis eksterna dapat mengurangi perdarahan saat operasi.
Menurut Wilson, beberapa penulis menyatakan bahwa dengan ligasi arteri karotis eksterna
ipsilateral hanya sedikit menurunkan perdarahan, tetapi ligasi kedua arteri karotis eksterna
dilaporkan sangat berguna pada beberapa kasus.8

12. KEKAMBUHAN

15

Gullane et al (1992) melaporkan angka kekambuhan 36% pada pasien yang menjalani
operasi dan 57% pada pasien yang menjalani radioterapi. Harma (1959) melaporkan angka
kekambuhan 46,5%. Laffargue (1947) seperti dikutip oleh Lloyd melaporkan tidak adanya
kekambuhan sama sekali. Lee KJ menulis angka kekambuhan sekitar 6-20% pada pasien yang
menjalani operasi. Horisson melaporkan angka kekambuhan 27,5%. Pandi dan Rifki melaporkan
timbulnya kekambuhan 6,4%. Dharmabakti

melaporkan angka kekambuhan penderita

angiofibroma yang telah dilakukan pembedahan 21,8%. Fagan melaporkan angka kekambuhan
37,5%. Besarnya angka kekambuhan sangat tergantung kepada luasnya tumor, teknik
pembedahan yang digunakan dan pengalaman ahli bedahnya sendiri.8

13. KOMPLIKASI
Dapat terjadi perdarahan akut. Teknik operasi dengan menggunakan transpalatal untuk
tumor stadium I dan II dapat mengakibatkan gangguan fungsi palatum. Pendekatan rinotomi
lateral memberikan lapangan pandang operasi yang lebih baik, tetapi dapat mengakibatkan
sikatrik yang mengganggu kosmetik.8,14

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher, Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2007: hlm 188-90

2. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2004: hlm 368-9
16

3. Quinn FB, Matthew W R. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Grand Rounds


Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology. [online] Januari 2007 [cited on: 02
Agustus 2014]; Available from: URL: http://www.utmb.edu/otoref/grnds/AngiofibromaJuv-NP-070103/Angiofibroma-Juv-NP_070103.pdf
4. Asroel HA. Angiofibroma Nasofaring Belia. Fakultas Kedokteran Bagian Tenggorokan
Hidung danTelinga Universitas Sumatera Utara [online] 2002 [cited on: 29 Juli 2014];
Available from: URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3465/3/ththary3.pdf.txt
5. Tewfik TL. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma [online] Maret 2014 [cited on: 31 Juli
2014]; Available
from:
URL:
http://emedicine.medscape.com/article/872580overview#showall
6. Nicolai Piero, Alberto Schreiber, Andrea BV. Juvenile Angiofibroma: Evolution
ofManagement. Hindawi Publishing Corporation International Journal of Pediatrics
Volume 2012, Article ID 412545 [online] September 2011 [cited on: 30 Juli 2014];
Available from: URL: http://www.hindawi.com/journals/ijpedi/2012/412545/
7. Boies LR, George LA, Peter AH. Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 1997: hlm 324
8. Firdaus MA, Sukri Rahman, Ade Asyari. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring
Juvenil Dengan Pendekatan Transpalatal. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. [cited on: 29
Juli
2014];
Available
from:
URL:
http://repository.unand.ac.id/17214/1/Penatalaksanaan_Angiofibroma_Nasofaring_Juveni
l_Dengan_Pendekatan_Transpalatal.pdf
9. Hajar TS, Hafni. Angiofibroma Nasofaring Belia. Departemen Ilmu Penyakit THT-KL
Fakultas Kedokteran USU, Vol 38 [online] September 2005 [cited on: 30 Juli 2014];
Available from: URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15580/1/mknsep2005-%20%288%29.pdf
10. Rahman Sukri, Bestari JB, Surya Azani. Angiofibroma Nasofaring Pada Dewasa [cited
on: 30 Juli 2014]; Available from: URL: http://repository.unand.ac.id/18160/
11. UCLA Head and Neck Surgery. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma [online] 2013
[cited
on:
02
Agustus
2014];
Available
from:
URL:
http://headandnecksurgery.ucla.edu/body.cfm?id=124
12. Gara MF, Sevil AY, Kksal Y. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma. Eur J Gen Med;7(4):419425 [online] Maret 2010 [cited on: 31 Juli 2014]; Available from: URL:
http://www.bioline.org.br/request?gm10080

17

13. Pham Viet. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma: Evaluation and Treatment [online]
Desember 2012 [cited on: 02 Agustus 2014]; Available from: URL:
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/angiofibroma-2012-12/angiofibroma-2012-12.pdf
14. Gaillard Frank, dkk. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma [online] 2014 [cited on: 03
Agustus 2014]; Available from: URL: http://radiopaedia.org/articles/juvenilenasopharyngeal-angiofibroma
15. Anggreani Lenny, Marlinda Adham, Zanil Musa, dkk. Gambaran ekspresi reseptor
estrogen pada angiofibroma nasofaring belia dengan menggunakan pemeriksaan
imunohistokimia. ORLI Vol. 41 No. 1 [online] 2011 [cited on: 02 Agustus 2014];
Available from: URL: http://www.orli.or.id/index.php/orli/article/view/53
16. UT Southwestern Medical Center. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma [online] 2014
[cited
on:
02
Agustus
2014];
Available
from:
URL:
http://www.utswmedicine.org/conditions-specialties/neurosciences/programs/skullbase/juvenile-nasopharyngeal-angiofibroma.html

18

Você também pode gostar