Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
A. PENGERTIAN
Gagal napas akut adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia,
hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbon dioksida arteri), dan asidosis (Corwin, 2009).
Gagal napas akut adalah memburuknya proses pertukaran gas paru yang mendadak dan
mengancam jiwa, menyebabkan retensi karbon dioksida dan oksigen yang tidak adekuat
(Morton, 2011).
Urden, Stacy dan Lough mendifinisikan gagal napas akut sebagai suatu keadaan klinis yaitu
sistem pulmonal tidak mampu mempertahankan pertukaran gas yang adekuat (Chang, 2009).
Gagal nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia, hiperkapnia
(peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri) dan asidosis.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Saluran Nafas Bagian Atas
a. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
Dihangatkan
Disaring
Dan dilembabkan
Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi ( terdiri dari : Psedostrafied ciliated
columnar epitelium yang berfungsi menggerakkan partikel partikel halus kearah faring
sedangkan partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar serous
yang berfungsi melembabkan udara yang masuk,
menghangatkan udara). Ketiga hal tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan
diteruskan ke
b.
c.
d.
e.
Glotis
2. Saluran Nafas Bagian Bawah
a. Trakhea
Merupakan pipa silider dengan panjang 11 cm, berbentuk cincin tulang rawan
seperti
huruf C. Bagian belakang dihubungkan oleh membran fibroelastic menempel pada dinding
depan usofagus.
b. Bronkhi
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat percabangan ini disebut carina.Brochus
kanan lebih pendek, lebar dan lebih dekat dengan trachea.Bronchus kanan bercabang menjadi :
c.
lobus superior, medius, inferior. Brochuskiri terdiri dari : lobus superior dan inferior
Paru
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan
rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru ada dua bagian
yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo
sinister) yang terdiri atas 2 lobus.
Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang
langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang
menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura
parietalis).Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang
berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara
eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain.
Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah. Paru-paru
berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk
pertukaran gas.
Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter 1 mm, dindingnya
makin menipis jika dibanding dengan bronkus. Bronkiolus ini memiliki gelembung-gelembung
halus yang disebut alveolus. Bronkiolus memiliki dinding yang tipis, tidak bertulang rawan, dan
tidak bersilia.
Gas memakai tekanannya sendiri sesuai dengan persentasenya dalam campuran, terlepas dari
keberadaan gas lain (hukum Dalton). Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya
masih mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada
bagian distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara
(alveolus).
Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya
terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon. Oleh karena alveolus berselaput
tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas
pernapasan.
Merupakan jalinan atau susunan bronhus bronkhiolus, bronkhiolus terminalis,bronkhiolus
respiratoty, alveoli, sirkulasi paru, syaraf, sistem limfatik.
d. Alveoli
Terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisial.
Membran alveolar :
Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah rongga alveoli
Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang menghasilkan surfactant.
Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri yang saling berhubungan langsung,
ini terdiri dari : sel endotel, aliran darah dalam rongga endotel.
Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel kapiler,epitel alveoli,
saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit serum.
e.
Sirkulasi Paru
Mengatur aliran darah vena vena dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis dan mengalirkan
darah yang bersifat arterial melaului vena pulmonalis kembali ke ventrikel kiri.
Kepatenan Ventilasi tergantung pada empat faktor :
a. Kebersihan jalan nafas, adanya sumbatan atau obstruksi jalan nafas akan menghalangi masuk
dan keluarnya dari dan ke paru-paru.
b. Adekuatnya system syaraf pusat dan pusat pernafasan
c. Adekuatnya pengembangan dan pengempesan peru-peru
d. Kemampuan oto-otot pernafasan seperti diafpragma, eksternal interkosa, internal interkosa, otot
abdominal.
Ventilasi paru mengacu kepada pergerakan udara dari atmosfir masuk dan keluar paru. Ventilasi
berlangsung secara bulk flow.Bulk flow adalah perpindahan atau pergerakan gas atau cairan dari
tekanan tinggi ke rendah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ventilasi antara lain :
tekanan
resistensi bronkus
persyarafan bronkus.
C. ETIOLOGI
1.
a.
1)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
2)
a)
b)
c)
3)
a)
b)
c)
d)
4)
a)
b)
c)
b.
1)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
2)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
3)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Pneumonia berat.
Cedera paru akut akibat berbagai penyebab (sindrom gawat napas akut).
Penyakit kardiovaskulaer:
Edema jantung paru
Embolisme paru masif atau berulang
Vaskulitis pulmonal
Gangguan ekstra pulmonal:
Penyakit pleura dan dinding dada:
Pneumototaks
Efusi pleura
Fibrotoraks
Deformitas dinding dada
Cedera traumatik pada dinding dada: flail chest
Obesitas
Gangguan otot pernapasan dan taut neuromuskuler:
Miastenia gravis dan gangguan mirip miastenia
Distrofi muskuler
Polimiositis
Botulisme
Obat paralisis otot
Hipokalemia berat dan hipofosfatemia
Gangguan saraf perifer dan medula spinalis:
Poliomielitis
Sindrom Guillain-Barre
Trauma medula spinalis (kuadriplegia)
Sklerosis lateral amiotropik
Tetanus
Sklerosis multipel
4)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
D. Patofisiologi
Gagal nafas akut dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, diantaranya mengakibatkan ventilasi
yang tidak adekuat. Salah satu penyebab terpenting pada ventilasi yang tidak adekuat adalah
obstruksi saluran pernapasan atas.
Depresi sistem saraf pusat juga akan mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat. Pusat
pernapasan, yang mengendalikan pernapasan, terletak di bagian bawah batang otak /pons dan
medulla oblongata (muttaqin)
E. Klasifikasi
Berdasarkan penyebab organ yang terganggu dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. kardiak
Gangguan gagal nafas bisa terjadi akibat adanya penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 akibat
jauhnya jarak difusi akibat edema paru. Edema paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk
G. Pemeriksaan diagnostik
1. Hb : dibawah 12 gr %
2. Analisa gas darah :
pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
paO2 Hipoksemiaringan
Hipoksemiasedang
Hipoksemiaberat
Pada keadaan paO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan PaO2
sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari penyakit kronik yang menjadi akut
kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak
terangsang oleh hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe (Muhardi, 1989).
Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-benar membutuhkan
oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur
dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari
toksisitas (Sue dan Bongard, 2003)
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan
keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera diberikan dengan adekuat karena jika tidak
diberikan akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harusdiberikan
dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan meminimalisasi efek
samping. Bila diperlukan oksigen dapat diberikan terus-menerus. (Brusasco dan Pellegrino,
2003)
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus rendah dan sistem arus
tinggi (Tabel 3). Kateter nasal kanul merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan
secara luas. Nasal Kanul arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6
L/mnt, dengan FiO2 antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan
FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa membran menjadi kering.
Untuk memperbaiki efisiensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, diantaranya
electronic demand device, reservoir nasal canul, dan transtracheal cathethers, dan dibandingkan
nasal kanul konvensional alat-alat tersebut lebih efektif dan efisien. Alat oksigen arus tinggi di
antaranya ventury mask dan reservoir nebulizer blenders. Alat ventury mask menggunakan
prinsip jet mixing (efek Bernoulli). Dengan sistem ini bermanfaat untuk mengirimkan secara
akurat konsentrasi oksigen rendah (24-35 %). Pada pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe 2,
bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan memperbaiki hipoksemia. Alat
tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan masalah rebreathing diatasi melalui proses
pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40
L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi. Dua indikasi
klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini adalah pasien yang memerlukan
pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal (Sue dan Bongard, 2003).
2. Atasi Hiperkarbia: Perbaiki Ventilasi
Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obat pernapasan.
Pada semua pasien gangguan pernapasan harus dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan
napas atas. Pertimbangan untuk insersi jalan napas artifisial seperti endotracheal tube (ETT)
berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artifisial dibandingkan jalan napas alami (Sue dan
Bongard, 2003).
Resiko jalan napas artifisial adalah trauma insersi, kerusakan trakea (erosi), gangguan respon
batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar, resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan
kerja pernapasan. Keuntungan jalan napas artifisial adalah dapat melintasi obstruksi jalan napas
atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan
PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik (Sue dan Bongard,
2003).
Pada pasien gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan
pernapasan, dan terapi pernapasan via jalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik
dengan jalan napas artifisial. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah seperti pada Tabel 1
di atas dan juga tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Indikasi Intubasi dan ventilasi mekanik
Secara Fisiologis:
a.
b.
c.
a.
b.
c.
d.
Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin
berguna, tetapi pengkajian klinis respon terhadap terapi lebih berguna dan bermanfaat. Faktor
lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan
positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan positif non invasif) (Sue dan Bongard, 2003).
Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut kemulut atau mulut ke
hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung (face mask atau ambu bag) dengan
memompa kantungnya untuk memasukkan udara ke dalam paru (Muhardi, 1989)..
Hiperkapnea mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin ini akibat dari turunnya
ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon ventilasi pada bagian dengan imbalan ventilasiperfusi. Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis respiratoris.
Namun, kegagalan ventilasi kronik (PaCO2>46 mmHg) biasanya tidak berkaitan dengan asidosis
karena kompensasi metabolik. Dan koreksinya pada asidosis respiratoris (pH < 7.25) dan
masalahnya tidak mengkoreksi PaCO2. Pada pasien dimana pemulihan awal diharapkan, ventilasi
mekanik non invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif yang efektif, namun
seperti telah diketahui, pada keadaan pemulihan yang lama/tertunda pemasangan ET dengan
ventilasi mode assist-control atau synchronized intermittent ventilation dengan setting rate sesuai
dengan laju nafas spontan pasien untuk meyakinnkan kenyamanan pasien (Nemaa, 2003).
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas (Tabel 1 dan tabel 4) atau
keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera teratasi). Kondisi
yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut atau
kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun
sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya
meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang ventilator harus
dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang dipasang ventilator umumnya
memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam
maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi
lebih kecil. Secara statistik angka survival berhubungan sekali dengan diagnosis utama, usia, dan
jumlah organ yang gagal. Pasien asma bronkial lebih dari 90 % survive sedangkan pasien kanker
kurang dari 10 %. Usia diatas 60 tahun kemungkinan survive kurang dari 50 %. Sebagian
penyebab rendahnya survival pasien terpasang ventilator ini adalah akibat komplikasi pemakaian
ventilator sendiri, terutama tipe positive pressure. Secara umum bantuan napas mekanik
(ventilator) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu invasive Positive Pressure Ventilator (IPPV),
dimana pasien sebelum dihubungkan dengan ventilator diintubasi terlebih dahulu dan Non
Invasive Positive Pressure Ventilator (NIPPV), dimana pasien sebelum dihubungkan dengan
ventilator tidak perlu diintubasi. Keuntungan alat ini adalah efek samping akibat tindakan
intubasi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa
bicara, makan, batuk, dan bisa diputus untuk istirahat (Sue dan Bongard, 2003).
3. Terapi suportif lainnya
a. Fisioterapi dada.
Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret, sputum. Tindakan ini selain untuk
mengatasi gagal nafas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik,
bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak tangan pada saat
inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada,
punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan drainagepostural. Kadang-kadang diperlukan juga
obat-obatan seperti mukolitik dan bronkodilator (Muhardi, 1989)
b. Bronkodilator (Agonis beta-adrenergik/simpatomimetik).
Obat-obat ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika diberikan
secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping sacara
inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif
mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali lebih banyak
daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan
peningkatan frekuensi pemberian (hingga tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan.
Pemilihan obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping.
Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Efek samping meliputi
tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit
jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi.
Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh
perpindahan kalium dari kompartement ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi
beta adrenergik (Sue dan Bongard, 2003).
c. Antikolinergik/parasimpatolitik.
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis
intrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas berkaitan
dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih
berperan. Obat ini direkomendasikan terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis
kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu dikombinasikan dengan agonis beta
adrenergik. Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio
untuk nebulisasi. Efek samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin (Sue
dan Bongard, 2003).
d. Teofilin.
Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta adrenergik. Mekanisme
kerja adalah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium,
antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi. Efek samping
meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang lebih parah adalah aritmia, hipokalemia,
e.
f.
g. Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab gagal nafas.
Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga pengobatan untuk masing-masing
penyakit akan berlainan (Muhardi, 1989).
Semua terapi diatas dilakukan dalam upaya mengoptimalkan pasien gagal nafas di
UGD sebelum selanjutnya nanti di rawat di ICU. Penanganan lebih lanjut terutama masalah
penggunaan ventilator akan dilakukan di ICU berdasarkan guidiles penanganan pasien gagal
nafas di ICU pada tahap berikutnya.
I.
Komplikasi
1. Oksigenasi ke organ lain yang buruk dapat menyebabkan kegagalan multi organ
2. Individu yang mengalami gagal nafas beresiko tinggi terhadap kematian
3. Infeksi paru dan abdomen merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Adanya edema paru,
hipoksia alveoli, penurunan surfaktan akan menurunkan daya tahan paru terhadap infeksi.
J. Prognosis
Mortalitas rata-rata sekitar 50-60%. Mortalitas sekitar 40% didapatkan pada pasien dengan gagal
nafas saja, sedangkan pada pasien dengan sepsis atau adanya kegagalan organ utama didapatkan
mortalitas sekitar 70-80% dan bahkan bisa sampai 90% kalau sindrom gagal nafas amat berat.
Pada pasien yang bertahan hidup, umumnya fungsi paru akan kembali setelah berbulan-bulan,
namun harapan tersebut sangat kecil karena pasien yang menderita ARDS akan mengalami
kerusakan paru yang permanen dengan infeksi dan fibrosis.
II.
A. Pengkajian
Pengkajian Primer
1. Airway
a. Peningkatansekresipernapasan
b. Bunyinafaskrekels, ronkidanmengi
2. Breathing
a. Distress pernapasan :pernapasancupinghidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
b. Menggunakanototaksesoripernapasan
c. Kesulitanbernafas : diaforesis, sianosis
3. Circulation
a. Penurunancurahjantung : gelisah, letargi, takikardia
b. Sakitkepala
c.
d.
e.
f.
g.
PengkajianSekunder
Pemeriksaanfisik head to toe.
Pemeriksaankeadaanumum dan kesadaran
Eliminasi
Kajihaluaranurin, diare/konstipasi.
4. Makanan/cairan
Penambahan BB yang signifikan, pembengkakanekstrimitasoedemapadabagiantubuh.
5. Nyeri/kenyamanan
Nyeripadasatusisi, ekspresimeringis.
6. Neurosensori
Kelemahan :perubahankesadaran.
B. DiagnosaKeperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungandenganpeningkatanproduksi secret.
2. Gangguanpertukaran gas berhubungandengansekresitertahan di permukaan alveoli, alveolar
1.
2.
3.
3.
hipoventilasi.
Ketidakefektifan pola napas berhubungandengan PPOM, distensidinding dada, kelelahan,
4.
kerjapernafasan.
Penurunanperfusijaringanberhubungandenganmenurunnyacurahjantung,
hipoksiajaringan,
asidosisdankemungkinantrombusatau emboli.
5. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat
6. Nyeri berhubungan dengan agen injuri biologi
7. Defisit perawatan diri berhubungan penurunan kesadaran.
C. Rencana Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungandenganpeningkatanproduksi secret
NOC :
a. Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif.
b. Mengeluarkan sekresi secara efektif
c. Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal.
d. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
NIC :
Airway suction
a. Pastikankebutuhan oral/ tracheal suctioning
b. Auskultasisuaranafassebelumdansesudah suctioning
c. Informasikankepadakliendankeluargatentang suctioning
d. Berikan O2 dgnmenggunakan nasal untukmemfasilitasikansoctionnasotrakeal
e. Anjurkanalat yang sterilsetiapmelakukantindakan
f.
Airway management
a. Bukajalannafas
b. Posiskanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
c. Indentifikasipasienperlunyapemasanganalatjalannafasbuatan
d. Lakukanfisioterapi dada jikaperlu
e. Berikan bronchodilator bilaperlu
f. Monitor respirasidan status O2
2.
hipoventilasi
NOC :
a.
Dapat memepertahankan Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar dalam keadaan normal
b. Tidak terdapat cyanosis pada pasien
c.
Pasien tdk mengalami nafas dangkal atau ortopnea
NIC :
Air way management
a.
b.
c.
d.
e.
f.
a.
b.
Bukajalannafas
Posisikanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
Pasang mayo bilaperlu
Lakukan suction pada mayo
Auskultasisuaranafas, catatadanyasuatutambahan
Monitor konsentrasidan status O2
Respiratory monitoring :
Monitor rata-rata, kedalaman, iramadanusaharespirasi
Catatpengerakandada,amatikesimetrisan,
penggunaanotottambahan,
retraksiototsupraclavikulardanintercostatis
c. Monitor suaranafas, sprtdengkur
d. Catatlokasitrakea
e. Monitor kelelahanototdiafragma ( gerakanparadoksis )
Tentukankebutuhan suction denganmengaukultasicreklesdanronchipadajlannafasutama
Auskultasisuaraparusetelahtindakanuntukmengetahuihasilnya
3.
Bukajalannafas
Posiskanpasienuntukmemaksimalkanventilasi
Pasang mayo bilaperlu
Lakukan suction pada mayo
Auskultasisuaranafas, catatadanyasuatutambahan
Monitor konsentrasidan status O2
a.
b.
c.
d.
e.
Terapioksigen
Bersihkanmulut, hidungdan secret trakea
Pertahankanjalannafas yang paten
Aturperalatanoksigenasi
Monitor aliranoksigenasi
Monitor adanyakecemasanpasientrhadapoksigenasi
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
D. Implementasi
1. Implementasi
3.
Masalah tidak teratasi / tujuan tidak tercapai (perlu dilakukan pengkajian ulang & intervensi
dirubah).
DAFTAR PUSTAKA
Chang, Ester, 2009, Patofisiologi: aplikasi pada praktik keperawatan,
EGC: Jakarta
http://kegawatdaruratan.blogspot.com/2008/02/asuhan-keperawatan-klien-gagal-napas.html
Corwin, Elizabeth J, (2001), BukusakuPatofisiologi, Edisibahasa Indonesia,
EGC: Jakarta
Muttaqin, Arif, 2012, Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan EGC:
Salemba Medika
Morton, Patricia Gonce, 2011, Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Kep. Holistik, Ed. 8,Egc:
Jakarta
http://curupmedicalcomunnity.blogspot.com/p/anatomi-dan-fisiologi-sistem-pernapasan.html
kumpulan askep-askep
Welcome to my blog
Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi dari
beberapa keadaan, dimana penyebeb utamanya adalah :
a. Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun ekstrapulmonal.
Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran napas bawah, sirkulasi pulmonal,
jaringan, dan daerah kapiler alveolar. Kelainan ekstrapulmonal disebabkan oleh obstruksi akut
maupun obstruksi kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh fleksi leher pada pasien tidak sadar,
spasme larink, atau oedema larink, epiglotis akut, dan tumor pada trakhea. Obstruksi kronik,
misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik, asma, COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis
terutama yang disertai dengan sepsis.
b. Gangguan neuromuskular
Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera spinal, fraktur
servikal, keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan gangguan metabolik seperti alkalosis
metabolik kronik yang ditandai dengan depresi saraf pernapasan.
c. Gangguan/depresi pusat pernapasan
Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma, infark otak,
hipoksia berat pada susunan saraf pusat.
d. Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan minute volume
(mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering terjadi pada guillain bare syndrome,
distropi muskular, miastenia gravis, kiposkoliosis, dan obesitas.
e. Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas hipoksemia, seperti
pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak), ARDS, fibrosis paru, emfisema, emboli lemak,
pneumonia, tumor paru, aspirasi, perdarahan masif pulmonal.
f. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace (ruang rugi), seperti pada tromboemboli, emfisema, dan
bronkhiektasis.
3.
Klasifikasi
Infark miokard
Kardiomiopati
Miokarditis
Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan coartasio aorta
Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi, ASD, dan VSD.
Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid insufisiensi.
b. Nonkardiak
Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah maupun di pusat pernapasan,
serta proses difusi. Hal ini dapat disebabkan oleh obstruksi, emfisema, atelektasis,
pneumothorak, dan ARDS.
4. Mekanisme Gagal Nafas
Beberapa mekanisme yang menyebabkan hipoksemia dapat bekerja secara sendiri atau bersamasama.
a. Tekanan partial O2 yang dihirup (FiO2) menurun
Terjadi pada dataran tinggi (high altitude) sebagai respons menurunnya tekanan barometer,
inhalasi gas toksik, atau dekat api kebakaran yang mengkonsumsi CO.
b. Hipoventilasi
Hipoventilasi akan menyebabkan retensi CO2 dan PaCO2 meningkat. Peningkatan PaCO2 dapat
melebihi batas normal dapat mengganggu sensitifitas medulla oblongata untuk men-drive
pernapasan dan apabila tidak terkompensasi, dapat menyebabkan apnea.
c. Gangguan Difusi
Akibat pemisahan fisik gas dan darah (pada penyakit paru interstisial) atau menurunnya waktu
transit eritrosit sewaktu melalui kapiler.
d. Ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi/perfusi (V/Q) regional
Keadaan ini selalu menyebabkan keadaan hipoksemia yang berarti dalam klinik. Unit paru yang
ventilasinya jelek dibandingkan perfusinya menyebabkan desaturasi, yang efeknya sebagian
tergantung kadar O2 darah vena. Kadar O2 vena yang menurun menyebabkan keadaan
hipoksemia menjadi lebih jelek. Penyebab terbanyak adalah keadaan yang menyebabkan
ventilasi paru menurun atau obstruksi saluran napas, atelektasis, konsolidasi, oedema
waktu, kapasitas buffer di otak meningkat, dan akhirnya terjadi penumpukan terhadap
rangsangan turunnya pH di otak akibatnya drive tersebut akan menurun.
Efek hiperkapnia akut kurang dapat ditoleransi daripada yang kronis, yaitu berupa
gangguan sensorium dan gangguan personalia yang ringan, nyeri kepala, sampai konfusi dan
narkosis. Hiperkapnia juga menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak dan peningkatan tekanan
intrakranial. Asidemia yang terjadi bila (pH < 7,3) menyebabkan vasokonstriksi arteriolar paru,
dilatasi vaskuler sistemik, kontraktilitas miokard menurun, hiperkalemia, hipotensi dan kepekaan
jantung meningkat sehingga dapat terjadi aritmia yang mengancam nyawa.
Manifestasi klinis gagal napas hipoksemia diperburuk oleh adanya gangguan hantaran
oksigen ke jaringan. Hal-hal yang dapat menyebabkan penurunan oksigen delivery, antara lain:
Penurunan konsentrasi O2
Penurunan konsentrasi O2 terjadi karena penurunan saturasi haemoglobin akibat berkurangnya
PaO2 atau bergesernya kurva disosiasi oksihaemoglobin ke kanan.
Anemia
Ikatan antara CO dengan Hb lebih kuat daripada ikatan O 2 dengan Hb, sehingga menyebabkan
kesulitan untuk melepas O2 ke jaringan.
Penurunan curah jantung
Penurunan curah jantung tergantung dari aliran balik vena sistemik, fungsi ventrikel kanan dan
kiri, resistensi pulmonal dan sistemik, serta frekuensi denyut jantung.
Selain itu, tanda dan gejala yang muncul pada gagal napas yaitu aliran udara di mulut dan
hidung tidak dapat dirasakan. Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan
sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada saat inspirasi. Adanya kesulitan inflasi paru
dalam usaha memberikan ventilasi buatan dan terdengar suara napas tambahan gargling, snoring,
wheezing.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Analisa gas darah
Membedakan gambaran kemajuan hipoksemia (penurunan PaO2 meskipun inspirasi
meningkat). Hiperkarbia dapat terjadi pada tahap awal berhubungan dengan kompensasi
hiperventilasi. Hiperkrbia menunjukkan kegagalan ventilasi.
Hb : dibawah 12 gr%
Analisa gas darah :
pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
PaO2 di bawah 80 atau di atas 100 mmHg
PaCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
BE di bawah -2 atau di atas +2
Saturasi O2 kurang dari 90 %
b. Sinar X (foto thorax)
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui. Terdapat
gambaran akumulasi udara/cairan, dapat terlihat perpindahan letak mediastinum.
c. Tes fungsi paru
Menunjukkan complain paru dan volume paru menurun.
d. EKG
Memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan atau menunjukkan disritmia.
e. Pemeriksaan saturasi oksigen
Memadainya tekanan oksigen dalam darah arteri, PaO 2 diharapkan dihitung dari persamaan
gas alveolar ketika pasien bernafas dengan FiO2 yang lebih tinggi dari udara biasa.
7. Penatalaksanaan
a. Jalan nafas
Jalan nafas sangat penting untuk ventilasi, oksigen, dan pemberian obat-obatan pernapasan
dan harus diperiksa adanya sumbatan jalan nafas. Pertimbangan untuk insersi jalan nafas
artificial seperti ETT berdasarkan manfaat dan resiko jalan napas artificial dibandingkan jalan
napas alami. Keuntungan jalan napas artificial adalah dapat melintasi jalan napas bagian atas,
menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan
PEEP . memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute untuk bronkhoskopi.
b. Oksigen
Besarnya aliran oksigen tambahan yang diperlukan tergantung dari mekanisme hipoksemia
dan tipe alat pemberi oksigen. CPAP (Continous Positive Airway Pressure ) sering menjadi
pilihan oksigenasi pada gagal napas akut. CPAP bekerja dengan memberikan tekanan positif
pada saluran pernapasan sehingga terjadi peningkatan tekanan transpulmoner dan inflasi
alveoli optimal. Tekanan yang diberikan ditingkatkan secara bertahap mulai dari 5 cm H 2O
sampai toleransi pasien dan penurunan skor sesak serta frekuensi napas tercapai.
c. Bronkhodilator
Bronkhodilator mempengaruhi kontraksi otot polos, tetapi beberapa jenis bronkhodilator
mempunyai efek tidak langsung terhadap oedema dan inflamasi. Bronkhodilator merupakan
terapi utama untuk penyakit paru obstruksi, tetapi peningkatan resistensi jalan nafas juga
banyak ditemukan pada penyakit paru lainnya.
d. Agonis beta-adrenergik
Obat-obatan ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan secara
parenteral atau oral.
e. Antikolinergik
Respon bronkhodilator terhadap antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis
intrinsik.
f. Kortikosteroid
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui secara
pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi.
g. Fisioterapi dada dan nutrisi
Merupakan aspek penting yang perlu diintegrasikan dalam tatalaksana menyeluruh gagal
nafas.
h. Pemantauan hemodinamik
Meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut jantung, ritme jantung tekanan darah sistemik,
tekanan vena central, dan penentuan hemodinamik yang lebih invasif.
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian Data Dasar
a. Aktivitas/ Istirahat
Gejala:
Kekurangan energi/kelelahan, insomnia
b. Sirkulasi
Gejala:
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan gagal napas :
1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret/ retensi sputum di
jalan napas dan hilangnya reflek batuk sekunder terhadap pemasangan ventilator.
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan
3. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan
Intervensi
kriteria hasil
Keperawatan
Rasional
1.
tindakan
Lakukan
dengan akumulasi
keperawatan
sekret/ retensi sputum di selama 30 menit indikasi dengan mencegah terjadinya trauma jalan
jalan napas dan
napas menjadi
(atraumatic,
sekunder terhadap
paten, dengan
asianotic,
aseptic).
Ubah posisi
pasien secara
periodik
Observasi
penurunan
fremitus.
Catat
karakteristik
bunyi napas
Catat
karakteristik dan
produksi sputum.
Pertahankan
posisi
tubuh/kepala
dengan tepat.
Kelembaban mengurangi akumulasi
Observasi status
respirasi :
frekuensi,
kedalaman nafas,
reguralitas,
adanya dipsneu
sesuai indikasi.
Kerusakan pertukaran Setelah dilakukan Mandiri :
Rasional
Observasi status Takipnea adalah mekanisme
gas berhubungan dengan tindakan
pernafasan secara kompensasi untuk hipoksemia. Suara
retensi sekret, proses
keperawatan
periodik : RR
nafas bersih (clear lung) menjamin
weaning, setting
selama 2 x 24
(frekuensi nafas), tidak adanya retensi sekret yang
ventilator yang tidak
jam, pasien akan
suara nafas,
mempengaruhi proses pernafasan.
tepat.
memperlihatkan
kemampuan
pertukaran gas
yang kembali
normal dengan
bantu nafas,
kriteria hasil :
ekspansi dada
a. Hasil analisa gas
dan kesimetrisan
darah arteri
gerak dada.
(AGDA) normal:
pH
7,35-7,45 Monitor tandaPO2
80-100
tanda hipoksia.
PCO2 35-45
HCO3 22-26
Pantau SaO2 ,
BE
-2
pantau adanya
sampai +2
kemungkinan
b. Penggunaan otot
pasien tampak
bantu napas (-)
c. RR : 12 - 20
sesak, sianosis.
x/menit
d.HR : 60 100
x/menit, irama
Pantau HR /
berbagai distritmia.
reguler
Dapat menunjukkan berlanjutnya
denyut nadi.
e. SaO2 : 95 - 100%
hipoksia jaringan otak, hipoksemia
f. Suara nafas bersih Catat
g. Pasien tampak
dan/atau asidosis
kemungkinan
sesak (-), sianosis
perubahan irama Mengevaluasi kemampuan fungsi
(-)
jantung
respirasi pasien terhadap perubahan
h. Penurunan
Observasi tingkat
setting ventilator
kesadaran (-)
kesadaran pasien.
Adakah apatis,
gelisah, bingung,
somnolen
Cek AGDA
setiap 10 30
menit setelah
perubahan setting
ventilator
Monitor hasil
AGDA selama
periode
penyapihan /
Bronkodilator/ekspektoran
weaning
ventilator
Kolaborasi :
Berikan obat
patogen penyebab.
sesuai indikasi.
Contoh steroid,
antibiotik,
bronkodilator,
ekspentoran.
3.
Ketidakefektifan pola
nafas berhubungan
intervensi
dengan kelelahan,
keperawatan
pengesetan ventilator
klien akan
peningkatan sekresi,
mempertahankan slang/cubbing
obstruksi ETT
ventilator dari
efektif dengan
terlepas, terlipat,
kriteria hasil :
1. Nafas sesuai
dengan irama
a. Lakukan
Rasional
a. Menjamin ventilator berfungsi secara
efektif sesuai setting yang diharapkan
pemeriksaan
jam. Monitor
bocor atau
tersumbat.
barotrauma
Agar pasien kooperatif terhadap
pada posisi
tempat tidur
sepanjang waktu
ventilator
d. Monitor suara
nafas dan
g. Sedatif
pergerakan dada
akan
menuru
nkan
e. Observasi RR
dan bandingkan
upaya
pasien
irama nafas
melawa
pasien dengan
irama ventilator
n irama
ventilat
f. Berikan
penjelasan pada
pasien agar tidak
melawan irama
or.
Analge
sik
mengur
ventilator
angi
Kolaborasi
nyeri
g. Kolaborasi
pemberian sedatif
akibat
pemasa
dan analgesik
ngan
ventilat
4.
or
Rasional
a. Memenuhi kebutuhan dasar / ADL
Sindroma defisit
perawatan diri
proses perawatan,
a. Bantu ADL
berhubungan dengan
kebutuhan ADL
pasien : mandi,
penggunaan ventilator
(activity daily
oral hygiene,
dengan kriteria
berpakaian,
hasil :
Semua anggota
perubahan posisi
badan pasien
tampak bersih,
b. Berikan
pasien mampu
melakukan
tindakan minimal
d. Mencegah kontraktur, memperbaiki
untuk dirinya
Gangguan komunikasi
fisioterapi
Setelah dilakukan M andiri
verbal berhubungan
tindakan
dengan pemasangan
keperawatan
Tracheal Tube)
pasien mampu
alat komunikasi
berkomunikasi
alternatif, contoh
b. Memudahkan bagi pasien untuk
secara efektif,
dengan kriteria
gesture
hasil:
a. Pasien mampu
a. Ajarkan pada
Rasional
a. Sebagai sarana alternatif bagi pasien
pasien untuk
alternatif
(ya/tidak) saat
b. Pasien
menyatakan
mampu
mengutarakan
berkomunikasi
dengan pasien
c. Klarifikasi setiap
tulisan /
maksud/keinginan pernyataan
nya
pasien
menggunakan
pertanyaan
6.
tertutup
Resiko penurunan curah Setelah dilakukan Mandiri
jantung berhubungan
tindakan
dengan penurunan
keperawatan
kontraktilitas miokard
nadi perifer,
mmHg
HR : 60-100
capillary refill,
x/menit
Capilary Refill
h. Berikan posisi
semifowler
memperburuk penurunan kardiak
Monitor pola dan
output.
jumlah
k. Memungkinkan penanganan cepat
tidur/istirahat
pada kasus gagal jantung dan resusitasi
Perhatikan efek
samping
pemberian obat
inotropik
mengurangi beban kerja jantung
k. Siapkan peralatan
dan obat-obat
emergency yang
m. Obat laxative dapat membantu
mudah dijangkau menurunkan resiko vagal yang dapat
memperparah penurunan cardiac
output
n. Membantu menilai perkembangan dan
Kolaborasi
Berikan obat-
obatan nitrat,
glikosida,
vasodilator,
diuretic, dan
antihipertensi
n. Kolaborasi
pemeriksaan
saat BAB
maupun BAK
p. Jelaskan
pentingnya
mengubah gaya
hidup
(menghindari
merokok, diit
rendah kolesterol,
olahraga)
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan ialah tindakan pemberian asuhan keperawatan yang
dilaksanakan untuk membantu mencapai tujuan pada rencana keperawatan yang telah
disusun. Prinsip dalam memberikan tindakan keperawatan menggunakan komunikasi
terapeutik serta penjelasan setiap tindakan yang diberikan kepada klien. Selain itu, juga
berprinsip melakukan tindakan keperawatan yang telah dituliskan dalam rencana
keperawatan dan menuliskan setiap tindakan keperawatan yang telah dilakukan.
Tindakan keperawatan yang dilakukan dapat berupa tindakan keperawatan secara
independent, dependent, dan interdependent. Tindakan independen yaitu suatu kegiatan yang
dilakukan oleh perawat tanpa petunjuk atau perintah dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
Tindakan dependen ialah tindakan yang berhubungan dengan tindakan medis atau dengan
perintah dokter atau tenaga kesehat lain. Tindakan interdependen ialah tindakan keperawatan
yang memerlukan kerjasama dengan tenaga kesehatan lain seperti ahli gizi, radiologi,
fisioterapi dan lain-lain.
Dalam melakukan tindakan pada pasien dengan gagal napas perlu diperhatikan ialah
penanganan terhadap tidak efektifnya bersihan jalan napas, gangguan pertukaran gas, pola
napas tidak efektif, kondisi aktual atau resiko penurunan curah jantung, adanya
ansietas/ketakutan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan yang dapat digunakan
sebagai alat ukur kerberhasilan suatu asuhan keperawatan yang dibuat. Evaluasi berguna
untuk menilai setiap langkah dalam perencanaan, mengukur kemajuan klien dalam mencapai
tujuan akhir dan untuk mengevaluasi reaksi dalam menentukan keefektifan rencana atau
perubahan dalam membantu asuhan keperawatan. Evaluasi keperawatan ada 2 macam, yaitu
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif dilakukan sesaat setelah
memberikan implementasi keperawatan untuk menilai keberhasilan terapi dalam jangka
pendek. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan untuk menilai keberhasilan terapi dalam
jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Sherwood, Lauralee. (2011). Fisiologi Manusia (Dari Sel ke Sistem ). Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
Ulfah, Anna, dkk. (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta : Bidang Pendidikan dan
Pelatihan Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional Harapan Kita.