Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa. (Al-Baqarah; 2)
2) Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum aswaja ialah sunnah Rasulullah
SAW. Karena Rasulullah adalah orang yang berhak dalam menjelaskan dan
menafsirkan Al-Quran, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah AlQuran. Allah berfirman dalam Al-Quran surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr
ayat 7, sebagai berikut;
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya (Al-Hasyr: 7).
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat
kedua setelah Al-Quran dalam menentukan hukum.
3) Al-Ijma
Ijma menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd,
sesudah wafatnya pada suatu masa, tentang suatu perkara (hukum).
Jadi yang disebut Ijma ialah kesepakatan para Ulama atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi
Muhammad SAW, seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah
wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para
Mujtahid. Adapun Al-ijma sendiri dibagi menjadi 2 macam :
Ijma Bayani ( ) ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan
kesepakatannya. Contohnya: pada masa sahabat seperti ijma yang
dilandaskan pada Al-Quran adalah kesepakatan para ulama tentang
keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. AnNisa ayat 23. Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam
3
ayat
tersebut
mencakup
ibu
kandung
dan
nenek,
sedangkan
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431 yang artinya
Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau
melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang
terbanyak.
4) Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu
berasal dari kata Qasa ( ) . Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara
keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-faru, al-hukmu dan as-sabab.
Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu
hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-faru-nya adalah beras (tidak
tercantum dalam al-Quran dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu
wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai
dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat.
Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan
gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas
menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Quran Allah S.WT.
berfirman :
Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai
pandangan. (Al-Hasyr : 2)
: :
,
.
.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Harits Muhammad Abdul bin Ibrahim A-Salafy Al-jazary. Mengenal Kaedah Dasar
Ilmu Hadits (Penjelasan Mandhumah Al-Baiquniyah), Alih Bahasa: Abu
Hudzaifah. Maktabah Al-Ghuroba,Cet.Ke-1, September 2006.
Rifai M. 1973. Usul Fiqih. Bandung: PT. Almaarif
Nuril Huda, A.N. 2007, Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) menjawab persoalan
Tradisi dan Kekinian, Lantabora press. JAKARTA.
Ismail Ibnu, 2011, Islam Tradisi, Kediri: Tetes Publisking Tempias Tinta
Emas.
Idrus Ramli Muhammad, 2010, Sumber Ajaran Islam, Surabaya:
Khalista.