Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
REFERAT
disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik madya
SMF/LAB Penyakit Dalam RSD dr. Soebandi Jember
Oleh:
Anjani Putri Retnaninggalih
112011101035
Pembimbing:
dr. Dwi Arianti, Sp. JP
DAFTAR ISI
ii
2.3 Patofisiologi.......................................................................................
11
14
15
17
35
30
ii
BAB I. PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Terdapat beberapa definisi dari Acute Limb Ischaemia atau Iskmia Anggota
Gerak Akut, antara lain:
-
Sedangkan menurut (TASC II) Akut limb iskemik (ALI) adalah adanya
penurunan tiba-tiba perfusi ekstremitas menyebabkan potensi ancaman
terhadap kelangsungan hidup ekstremitas. Presentasi ini biasanya sampai
2 minggu setelah akut.
Oklusi akut dari suatu arteri pada ekstremitas dimana merupakan penurunan
secara tiba-tiba atau perburukan perfusi anggota gerak yang menyebabkan
ancaman potensial terhadap viabilitas ekstremitas. Sebagai hasil dari iskemia
akut adalah terjadinya hipoksia jaringan yang menyebabkan perubahan
ireversibel pada otot skelet dan saraf perifer. Perubahan ireversibel pada otot
dan saraf terjadi biasanya setelah empat hingga enam jam setelah iskemia
akut. Adanya gangguan iskemia biasanya diawali oleh gejala klaudikasio
intermiten, yang merupakan tanda adanya oklusi.
Apabila proses aterosklerosis berjalan terus maka iskemia akan makin
hebat dan akan timbul tanda/gejala dari iskemia kritikal. Pasien dengan
iskemia akut tungkai biasanya juga memiliki resiko lain yang disebabkan oleh
proses
aterosklerosis
seperti
stroke,
miokard
infark,
atau
kelainan
2.2 Etiologi
Perlunya membedakan antara emboli dengan thrombosis in situ tidak
boleh mengurangi kepentingan dalam mendiagnosa dan memberikan terapi
secara cepat, tepat. Meskipun demikian, kondisi iskemia yang disebabkan
oleh emboli terkait dengan adanya onset yang cepat, riwayat penyakit jantung
sebelumnya, dan tidak adanya riwayat PAD sebalumnya. Ekstremitas yang
kontralateral cenderung memberikan hasil normal pada pemeriksaan, tanpa
ada stigmata kejadian atherosclerosis sistemik.
a. Thrombosis
Thrombosis in situ lebih berperan sebagai penyebab kasus iskemia
anggota gerak akut dibandingkan emboli sebagaimana ditunjukkan pada trial
Thrombolysis or Peripheral Arterial Surgery (TOPAS), sekitar 85% dari
seluruh kasus. Angka kejadian kasus emboli telah menurun sejak beberapa
sebesar 17% pada pasien yang mengalami iskemia akut dan hanya sebesar
1,8% pada aneurisma asimtomatik yang memerlukan terapi reapir elektif.
b. Emboli
Iskemia anggota gerak akut sering disebabkan oleh emboli, seringkali
berasal dari jantung. Embolus sering menyumbat pada bifurkasio aortoiliac,
bifurkasio femoral, atau trifurkasio popliteal. Selama beberapa dekade
terakhir, etiologi kejadian cardioemboli telah makin berkembang. Emboli
yang disebabkan oleh rheumatic mitral stenosis dengan pembesaran atrium
merupakan suatu kejadian yang jarang terjadi karena prevalensi penyakit
katup jantung rematik saat ini telah menurun secara substansial. Fibrilasi
atrium yang terkait usia dan disfungsi ventrikel kiri dengan pembentukan
thrombus di apeks merupakan penyebab terbanyak kejadian cardioemboli.
Penyebab yang lebih jarang meliputi endocarditis, intracardiac myxoma, atau
paradoxical embolism yang disebabkan oleh patent foramen ovale yang
memungkinkan transit thrombus yang ada di vena ke dalam sirkulasi arteri.
Oklusi emboli akut terkait aneurisma aorta dan thrombus intramural jarang
terjadi.
c. Penyebab Iatrogenik
Iskemia anggota gerak akut dapat disebabkan oleh metode akses arterial
melalui arteri femoralis dan injuri pembuluh darah di lokasi akses, baik
dengan terbebasnya alat penutup vaskular ataupun dengan adanya injuri
langsung pada arteri femoralis major maupun arteri iliaca major. Demikian
juga, thrombosis yang terjadi terkait kateter dan emboli pada arteri popliteal
dapat terjadi
d. Sebab Lain
Vasospasme yang intens, seperti akibat ergotism atau konsumsi kokain,
telah dilaporkan dapat menyebabkan oklusi pada distal aorta dan pembuluh
darah iliaka dimana tunika intima mengalami kompresi oleh tunika media.
DVT (deep vein thrombosis) Iliofemoral dengan pembengkakan massif pada
paha dapat menyebabkan gangguan pada aliran arterial ke kaki. Sindroma
phlegmasia cerulean dolens membutuhkan terapi trombolisis dengan dipandu
kateter yang harus dilakukan segera untuk mengembalikan aliran darah balik
vena dan juga aliran arterial ke ekstremitas bawah.
2.3 Patofisiologi
Kebanyakan emboli menyebabkan sumbatan di area percabangan arteri,
bifurkasio aorta, iliaca, femoral, atau popliteal di area kaki, dan bifurkasio
brachial pada lengan. Thrombosis in situ seringkali menyebabkan gangguan
pada arteri femoral dan popliteal, terutama pada kondisi pasien yang pernah
mengalami bypass arteri, rupture plak atherosclerosis, atau pada keadaan low
output. Penghentian aliran arteri ke ekstremitas secara mendadak memicu
kompleks proses patofisiologis. Jaringan yang mengalami malperfusi akan
mengalami
perubahan
metabolism,
dari
metabolism
aerob
menjadi
(ATP)
intraseluler,
dan
menyebabkan
disfungsi
yang progresif. Semakin parah kerusakan seluler yang terjadi, makin besar
perubahan yang dialami mikrovaskular. Pada kondisi nekrosis otot, aliran
mikrovaskular berhenti dalm waktu beberapa jam. Secara teori, butuh waktu
sekitar 6 jam untuk menyebabkan injuri fungsional yang ireversibel. Rentang
waktu ini dapat lebih lama pada kondisi ekstremitas yang memiliki aliran
darah kontralateral.
Kondisi iskemik akan memicu suatu kondisi injuri reperfusim suatu
proses yang dipicu oleh pengembalian perfusi dan dimediasi oleh kompleks
kaskade sitokin, reactive oxygen species (ROS), dan neutrofil. reactive
oxygen species (cth : superoxide anion, hydrogen peroksida, hidroksil radikal,
peroksinitrit) diproduksi oleh neutrofil teraktivasi dan xanthine oxidase, suatu
enzim yang berlokasi di sel endotel mikrovaskular pada otot skeletal dan
teraktivasi pada kondisi iskemik. Di bawah kondisi normal, xanthine
dehydrogenase menggunakan nicotinamide adenine dinucleotide untuk
mengoksidase hypoxanthine menjadi xanthine. Xanthine dehydrogenase
diubah menjadi xanthine oksidase setelah 2 jam iskemia. Selama iskemia
berlangsung, ATP didegradasi menjadi hypoxanthine, akan tetapi xanthin
oxidase membutuhkan oksigen untuk mengubah hypoxanthine menjadi
xanthine. Sehingga, hypoxanthine akan terakumulasi selama iskemia. Ketika
oksigen diperoleh selama fase reperfusi, isoform xanthine dehydrogenase
akan teraktivasi. Perubahan hypoxanthine dalam jumlah besar-besaran akan
menciptakan reactive oxygen species.
Substrat yang esensial dalam produksi radikal-radikal ini, oksigen
molecular, dihasilkan selama proses reperfusi. Oksidan yang berasal dari
xanthine oxidase memediasi peningkatan permeabilitas vaskular dalam otot
postischemic. Peran penting oksigen elemental dan peran oksigen radikal
dalam injuri reperfusi sering diabaikan pada penelitian-penelitian yang
menunjukkan bahwa reperfusi yang dimulai dengan darah autolog yang
terdeoksigenasi mencegah peningkatan permeabilitas setelah iskemik.
Merubah darah yang memperfusi menjadi darah yang teroksigenasi selama
reperfusi mirip dengan respon injuri mikrovaskular yang tampak setelah
di
awal
reperfusi
akan
menurunkan
injuri
postischemic.
dengan
menginduksi
terjadinya
neutropenia
secara
kimiawi,
2.4 Diagnosis
Diagnosis Iskemia Anggota Gerak Akut dapat sulit ditegakkan, terutama
pada pasien yang juga mengalami defisit sensoris dan motoris yang
menyebabkan perhatian kita langsung terarah pada pemeriksaan secara
10
neurologis. Tanda dan gejala klinis pada iskemia anggota gerak akut
bermanifestasi dengan variasi temuan gejala terkait keparahan iskemia dan
durasi malperfusi arterial. Diagnosis iskemia anggota gerak akut dibuat
berdasarkan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan radiologi untuk mengkonfirmasi
diagnosis dengan computed tomographic angiography (CTA) atau magnetic
resonance angiography (MRA) meyebabkan adanya potensi keterlambatan
dalam memberikan intervensi terapeutik. Bedside USG duplex dapat
dilakukan secara cepat dan dapat memberikan informasi mengenai lokasi
oklusi dan pemilihan strategi akses arteri untuk prosedur endovascular.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara cermat, melibatkan evaluasi dengan
Doppler untuk mendeteksi sinyal arteri dan vena, biasanya cukup untuk
mendapatkan informasi ini. Pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan
lokasi oklusi di arteri dan mengurangi kebutuhan untuk dilakukan
pemeriksaan tambahan lainnya.
Anamnesis
Anamnesis mempunyai 2 tujuan utama:
1. Menanyakan gejala yang muncul pada kaki yang berhubungan dengan
keparahan dari iskemia anggota gerak (sakit sekarang)
2. Mengkaji informasi terdahulu (seperti, riwayat klaudikasio, intervensi baru
pada
arteri
proksimal
ataupun
kateterisasi
diagnostic
kardiak),
Kemunculan penyakit
Gejala pada kaki pada ALI berhubungan secara primer terhadap nyeri atau
fungsi. Onset serangan dan waktu nyeri yang tiba-tiba, lokasi dan
intensitasnya, bagaimana perubahan keparahan sepanjang waktu kesemuanya
harus digali. Durasi dan intensitas nyeri adalah penting dalam membuat
keputusan medis. Onset tiba-tiba dapat memiliki implikasi etiologi (seperti,
emboli arteri cenderung muncul lebih mendadak daripada arterial thrombosis),
11
12
motorik dan kulit mengkilat seperti marmer memperkuat dugaan telah terjadi
injuri iskemik ireversibel.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan seksama dapat menentukan level
oklusi dengan mendeteksi gradient temperature di sepanjang ekstremitas dan
deficit nadi baik secara palpasi maupun dengan pemeriksaan arteri dengan
Doppler. Perubahan kulit menjadi pucat dan perubahan suhu kulit terdeteksi
pada satu level di bawah level terjadinya oklusi. Pemeriksaan fisik harus
melibatkan pencarian sumber iskemik yang potensial. Temuan berupa atrial
fibrillation, murmur jantung pada penyakit katub jantung, atau adanya gejala
CHF dapat berimplikasi pada sebab cardioemboli. Gejala sistemik seperti
demam, keringat malam, dan menggigil dapat mengacu pada endocarditis
sebagai etiologi emboli jantung. Stigmata adanya PAD di ekstremitas
kontralateral atau tanda-tanda pernah mendapatkan terapi revaskularisasi
berupa pembedahan mengacu pada kondisi thrombosis arterial in situ,
sedangkan nyeri dada, hipertensi, dan denyut arteri yang asimetris pada
ekstremitas atas mungkin memerlukan pemeriksaan radiologi tambahan untuk
mengeksklusi kemungkinan diseksi aorta.
Lebih penting lagi, pemeriksaan fisik merupakan cara untuk menentukan
klasifikasi keparahan iskemia, urgensi untuk dilakukan revaskularisasi, dan
prognosis setelah dilakukan revaskularisasi (Tabel 2.1), Klasifikasi klinis ini
juga berguna untuk menentukan strategi intervensi yang terbaik. Secara
umum, Rutherford class I merepresentasikan ekstremitas yang viable dan tidak
terancam, seperti pada pasien dengan iskemia kronik dan nonkritis. Rutherford
class II menampilakn gejala-gejala sebagaimana ekstremitas yang terganggu.
Ekstremitas klas IIA ditunjukkan dengan kondisi sensoris dan motoris yang
intak meskipun tidak didapatkan sinyal arterial pada Doppler. Klass IIB
meliputi pasien dengan ekstremitas yang terancam, kehilangan fungsi sensori,
gangguan fungsi motoris ringan, dan tidak ada sinyal arteri Doppler.
Ekstremitas pada tingkat klasifikasi ini masih dapat diselamatkan jika
mendapatkan penatalaksanaan segera. Iskemia ekstremitas yang ireversibel
ditunjukkan pada kalsifikasi Rutherford class III, dengan kerusakan saraf
13
14
Angiografi
Merupakan kriteria standar dalam mendiagnosis penyakit oklusi arteri
perifer.
Duplex ultrasonography
-
Suatu prosedur pemeriksaan diagnostik atau terapi yang bersifat noninvasif untuk menilai struktur dan fungsi pembuluh darah.
B-mode
-
Untuk melihat dan menilai seluruh arteri dan vena pada ekstremitas
bawah digunakan B-mode untuk mengetahui apakah terdapat oklusi
yang disebabkan oleh adanya plaque atau trombus pada arteri.
Pada kasus ALI, jika diambil gambaran short axis, maka pembuluh
darah ateri tidak terlihat, karena adanya oklusi.
Jika pada kasus ALI, color pada pembuluh darah arteri tidak terisi,
yang diisebabkan oleh adanya oklusi.
15
2.7 Klasifikasi
Ad hoc committee of the Society for Vascular Surgery and the North
American Chapter of the International Society for Cardiovasculer Surgery
menciptakan suatu klasifikasi untuk oklusi arterial akut. Dikenal tiga kelas
yaitu:
16
Onset
a) Acute: kurang dari 14 hari
b) Acute on chronic: perburukan tanda dan gejala kurang dari 14 hari
c) Chronic iskemik stabil: lebih dari 14 hari
Severity
a) Incomplete: Tidak dapat ditangani
b) Complete: Dapat ditangani
Cathegory
I - Viable
Sensory
return
Paralysis
Loss
Intact
None
- Salvageable Intact/
Not
Doppler
Arterial
Venous
None
Audible
Audible
None
Partial
Inaudible Audible
Partial
Partial/
Inaudible Audible
immediately
threatened
IIa
Threatened
if
promptly slow
treated
IIb
- Salvageable Slow/
Threatened
if
absent
complete
immediately
treated
III
- Primary
Irreversible
amputation
Absent
Complete
Staining
Tense
Compartment
Tabel 2.2. Pembagian ALI menurut Society for Vascular Surgery / International Society
for Cardiac Vascular Surgery (SVS/ISCVC)
17
2.8 Manajemen
Penegakan diagnosis iskemia anggota gerak akut dan pengembalian
perfusi arteri merupakan poin penting dalam terapi. Keputusan apakah akan
dilakukan revaskularisasi atau amputasi primer harus dilakukan dengan
memperhatikan viabilitas dari ekstremitas yang terkena. Pada pasien dengan
ekstremitas yang masih bisa diselamatkan, pemilihan tipe terapi revaskularisasi
juga sama pentingnya. Dua faktor utama yang mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas pasien dengan iskemia anggota gerak akut terdiri atas beban
komorbiditas medis dan keterlambatan dalam mengenali dan menangani
ekstremitas yang mengalami iskemik. Faktor lain terkait dengan angka
keselamatan bebas amputasi yang lebih rendah meliputi usia yang semakin tua,
ras, diabetes, dan tidak adanya tatalaksana awal berupa antikoagulasi
Terapi pembedahan telah lama dikaitkan dengan angka mortalitas
perioperatif yang tinggi. Dari sejumlah 3000 pasien yang dikumpulkan untuk
mendapatkan terapi pembedahan untuk iskemia anggota gerak akut pada 30 pusat
pelayanan kesehatan yang diamati antara rentang waktu 1963 dan 1978, angka
kematian dalam 30 hari sebesar 25%. Meskipun telah banyak perkembangan
dalam teknik pembedahan dan anastesi, Jivegard melaporkan sebanyak 20%
angka kematian masih terjadi selama 1 dekade berikutnya. Bahkan pada tahun
1990an, angka kematian dalam 30 hari setelah terapi pembedahan pada pasienpasien yang dipilih untuk berpartisipasi dalam TOPAS, Surgery versus
Thrombolysis for Ischemia of the Lower Extremity (STILE), dan trial acak
Rochester, masih sebesar 5% - 18%
Tingginya beban penyakit kardiopulmonar dan tingginya angka kematian
operasi yang dilakukan pada populasi pasien yang menderita iskemia anggota
gerak akut mendorong untuk dilakukannya strategi terapi endovascular yang lebih
tidak invasive. Hasil-hasil trial acak menunjukkan keseimbangan antara terapi
endovascular dan terapi pembedahan pada pasien tertentu, terutama pasien yang
masuk dalam klasifikasi I dan IIa. Penyebab dari iskemia ekstremitas, lokasi
sumbatan, klasifikasi Rutherford, demikian juga karakteristik tiap pasien
memegang peran penting dalam memilih strategi terapi revaskularisasi. Trial
18
yang
akan
mendapatkan
terapi
endovascular.Trial-trial
ini
19
di
atas
baseline
secara
cepat.
Pasien
dengan
heparin
induced
20
21
22
segera setelah terjadi kombinasi endpoint of death, amputasi mayor, dan iskemia
berulang terjadi pada 61,7% pasien dengan terapi lisis dan 36,1% pasien pada
pasien yang mendapat terapi pembedahan (P<0.001). Angka kematian dalam
waktu 30 hari sebesar 4,0% pada sisi terapi dengan trombolisis dan 4,9% pada sisi
yang mendapatkan terapi pembedahan (P=NS), dengan angka amputasi sebesar
5,2% pada sisi trombolisis dan 6,3% pada sisi pembedahan (P=NS). Perbedaan
angka morbiditas sebesar 21% pada kelompok yang mendapat terapi trombolisis
dan 16% pada kelompok yang mendapat terapi pembedahan berakar pada
perdarahan dan komplikasi akses vaskular dan iskemia berulang yang diketahui
pada kelompok sebelumnya. Pasien-pasien yang berada pada kelompok yang
mendapat terapi trombolisis tidak sampai harus melakukan terapi pembedahan
revaskularisasi.
durasi gejala: di antara pasien dengan durasi gejala kurang dari 14 hari, angka
kejadian amputasi cenderung lebih rendah pada pasien dengan terapi trombolitik
dibandingkan pasien yang mendapatkan terapi pembedahan (5,7% vs 17,9%; P =
0,06). Di antara pasien dengan durasi gejala yang lebih lama, sejumlah 5,3%
pasien yang mendapat terapi trombolisis mengalami amputasi, dan sejumlah 2,1%
pada kelompok pasien yang mengalami pembedahan (P=NS). Pada pasien-pasien
dengan durasi gejala 14 hari, angka kematian dan amputasi dalam 6 bulan sebesar
15,3% pada kelompok yang mendapat terapi fibrinolitik dan sebesar 37,5% pada
kelompok yang mendapat terapi pembedahan (P=0,01). Studi ini secara tegas
menyatakan bahwa terapi trombolitik tidak efektif di sebagian besar kasus iskemia
ekstremitas kronis.
Trial TOPAS, trial ketiga yang membandingkan antara intervensi
pembedahan dengan trombolisis dengan panduan kateter, melibatkan pasien yang
memiliki durasi gejala kurang dari 14 hari. Kondisi thrombosis merupakan
etiologi utama iskemia anggota gerak akut, berperan dalam 85% kasus, dan terjadi
lebih sering pada arteri cangkokan dibanding arteri asli. Sebagai tambahan, hanya
sebesar 19% dari arteri cangkokan terbuat dari pembuluh vena autolog,
pengembangan praktek modern. Fase pencarian dosis awal pada trial ini
mengambil secara acak 213 pasien untuk mendapatkan infus urokinase dengan
23
dosis yang bervariasi diikuti infuse dosis rendah dalam jangka panjang.
Trombolisis lengkap berhasil diperoleh di 71% pasien, tanpa ada perbedaan angka
keselamatan ekstremitas atau angka kematian dalam kurun waktu 12 bulan, baik
pada kelompok yang mendapat terapi urokinase maupun kelompok yang
mendapat terapi pembedahan, yang signifikan secara statistik. Pasien yang
diterapi dengan urokinase memiliki angka kejadian perdarahan intracranial yang
lebih tinggi
tinggi. Pada fase kedua trial, 542 pasien dipilih secara acak untuk mendapatkan
terapi pembedahan atau mendapat terapi infuse urokinase dengan dosis yang
paling aman. Rekanalisasi terjadi pada 79,7% pasien dan trombolisis komplit
terjadi pada 67,9% pasien. Setelah 1 tahun, angka keselamatan-bebas amputasi
baik pada kelompok yang mendapat terapi trombolisis maupun kelompok yang
mendapat terapi pembedahan hampir sama satu sama lain (65% vs 69,9%; P=NS)
akan tetapi pada kelompok dengan terapi trombolitik memiliki angka kejadian
perdarahan intracranial yang lebih tinggi yaitu 1,6%. Perdarahan intracranial
terkait dengan pemberian infuse UFH dalam dosis terapeutik dan terjadi pada
4,8% pasien yang mendapatkan dosis yang ditujukan untuk antikoagulasi sistemik
penuh, dibandingkan dengan 0,5% pasien yang menerima dosis subterapeutik
heparin.
Komplikasi utama perdarahan lebih tinggi pada kelompok trombolitik
dibanding kelompok yang menerima terapi pembedahan (12,5% vs 5,5%;
P=0.005). Pada waktu KRS, kematian terjadi pada 5,9% pasien yang mendapat
terapi pembedahan dan 8,8% pada pasien yang diterapi dengan urokinase (P=NS).
Terapi trombolitik dengan urokinase terkait dengan tingginya angka kejadian
komplikasi perdarahan, akan tetapi terapi ini secara efektif menurunkan
kebutuhan untuk dilakukan terapi pembedahan tanpa mempengaruhi angka
survival-bebas amputasi pada pasien dengan sumber iskemik murni karena
trombotik dibanding pasien dengan sebab emboli.
Review Cochrane yang meliputi lima trial penggunaan trombolisis dengan
panduan kateter melibatkan 1283 pasien dan melaporkan bahwa tidak ada
perbedaan signifikan antara kedua jenis strategi ketika membandingkan angka
24
keselamatan ekstremitas atau angka kematian dalam kurun waktu 30 hari atau satu
tahun. Pasien yang menjalani terapi trombolisis dengan panduan kateter lebih
mudah mengalami komplikasi perdarahan (8,8% vs 3,3 %; 95% confidence
interval [CI] : 1,7-4,6) dan stroke (1,3% vs 0 %; 95% confidence interval [CI] :
1,57-26,22). Pengalaman di kenyataan yang sebenarnya tentang penggunaan
catheter-directed thrombolysis ditunjukkan pada laporan yang diberikan oleh
National Audit of Thrombolysis for Acute Leg Ischemia (NATALI) yang
mencatat 1133 pasien yang diterapi dengan obat-obatan trombolisis antara tahun
1990 dan 1999. Studi ini menunjukkan angka keselamatan-bebas amputasi sebesar
75%, dengan angka kejadian amputasi dan kematian masing-masing sebesar 12%
pada 30 hari pertama, dan angka kejadian perdarahan mayor sebesar 7,8%. Belum
jelas apakah pencatatan tipe seperti yang disebutkan di atas melibatkan pasien
yang mana memilih dilakukan terapi trombolitik dikarenakan tingginya angka
mortalitas perioperatif.
Analisis multivariable mengidentifikasi sejumlah faktor yang digunakan
untuk memprediksi kesuksesan terapi trombolitik. Kemampuan dalam menembus
thrombus dan posisi kateter yang bertugas menginfuskan trombolitik langsung ke
thrombus mendukung kesuksesan fibrinolisis. Demikian juga, arteri native atau
arteri prosthetic cangkokan lebih responsive terhadap trombolisis, sedangkan
pasien dengan diabetes cenderung kurang sukses dalam mendapat terapi ini.
Kesuksesan terapi trombolitik telah mendorong untuk dilakukan penelitian
yang intens tentang regimen dosis dan agen yang optimal dalam upaya yang
berkelanjutan untuk menghasilkan efek trombolisis yang maksimal dengan
komplikasi perdarahan yang minimal. Regimen yang paling banyak digunakan
dalam trombolisis arteri adalah streptokinase, urokinase, dan rtPA. Urokinase
telah diketahui mampu menghasilkan efek trombolisis lebih cepat dan lebih
sedikit komplikasi perdarahan dibandingkan streptokinase. Sehingga penggunaan
streptokinase telah ditinggalkan dikarenakan efek imunogeniknya, efek aktivasi
platelet, dan angka kejadian perdarahan yang lebih besra dibandingkan agen-agen
generasi terbaru. Urokinase telah ditarik dari produksi pada tahun 1999 setelah
munculnya kekhawatiraan adanya kontaminasi dalam proses produksi. Sejak saat
25
itu, agen rtPA telah menjadi fibrinolitik yang dominan digunakan dalam praktek
klinik. Tiga agen yang tersedia dalam kelas ini : alteplase, reteplase, dan
tenecteplase.
Alteplase dan tenecplase memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk
mengaktivasi fibrin-bound plasminogen dibandingkan urokinase dan reteplase,
yang mana kurang spesifik fibrin. Penurunan kemampuan mengikat fibrin pada
reteplase menyebabkan lebih banyak obat bebas untuk mempenetrasi thrombus
sehingga menhasilkan efek lisis yang lebih besar dibandingkan tPA. Alteplase
sering
digunakan
untuk
catheter-directed
thrombolysis.
Catheter-directed
26
Clinical Status and Exercise Capacity in Diastolic Heart Failure [RELAX]). Pada
studi ini, 74 pasien dengan oklusi akut menerima berbagai dosis reteplase yang
diberikan tunggal atau reteplase yang digabung dengan infus abciximab. Pada 90
hari, hasil akhir yang didapatkan pada pasien dengan terapi rtPA dosis 1 mg/jam
tidak berbeda, baik yang menerima placebo ataupun kelompok yang menerima
abciximab. Menariknya, tidak ada kejadian perdarahan intracranial ditemukan
pada dua kelompok ini. Agen ajuvan tidak disetujui untuk digunakan sebagai
terapi standard. Di sisi lain, unfractioned heparin seringkali digunakan sebagai
terapi infuse pada kelompok yang mendapat terapi kateter untuk memperoleh
angka PTT sekitar 40-50. Analisa subgroup pada trial STILE menunjukkan bahwa
pemberian heparin selama pemberian infus alteplase berperan menurunkan angka
kematian, amputasi, morbiditas mayor, dan iskemia berulang. Lebih penting lagi,
infuse heparin yang ditambahkan pada baik kelompok urokinase atau alteplase
tidak menyebabkan peningkatan kejadian perarahan. Pemberian infuse heparin
melalui sidearm juga menurunkan resiko thrombosis kateter. Dengan demikian,
disarankan untuk diberikan heparin dengan dosis 400-600 unit/jam, beberapa
penulis merekomendasikan dosis yang lebih rendah yaitu sebesar 100 unit/jam.
Resiko komplikasi perdarahan meningkat seiring durasi terapi. Telah
diperkirakan bahwa resiko munculnya komplikasi mayor terkait terapi trombolitik
meningkat dengan peningkatan durasi infuse, dari 4% pada pemberian infus
selama 8 jam menjadi 34% pada pemberian infuse selama 40 jam. Durasi optimal
pemberian infuse trombolitik masih belum bisa ditentukan dengan tegas. Telah
terjadi penurunan bertahap durasi terapi yang diberikan, dari 48 jam infuse pada
percobaan-percobaan awal menjadi 6-18 jam durasi infuse yang diberikan pada
era teknik adjunctive. Monitorisasi level fibrinogen selama pemberian infuse
trombolitik telah lama ditekankan. Level fibrinogen dicek secara berkala selama
pemberian infuse, dan jika level fibrinogen menunjukkan angka di bawah 100-150
mg/dL maka hal tersebut mengindikasikan disfibrinogenemia dan membutuhkan
penurunan dosis obat atau bahkan penghentian seluruh terapi infuse. Level
fibrinogen yang lebih rendah terkait dengan kejadian perdarahan pada trial STILE,
27
akan tetapi masih belum jelas apakah level fibrinogen merupakan predictor yang
dapat dipercaya untuk memprediksi munculnya komplikasi perdarahan.
Satu dari kelemahan catheter-directed thrombolysis adalah pemanjangan
waktu infuse, harga agen fibrinolitik yang mahal, perlunya pemeriksaan
angiografi berulang, dan monitoring pasien di intensive care units (ICU).
Keterlambatan dalam mengembalikan patensi pembuluh darah membuat terapi ini
tidak cocok untuk pasien yang membutuhkan revaskularisasi segera, sehingga
terapi pembedahan menjadi pilihan strategi terapi untuk pasien dengan gejala
yang masuk dalam klasifikasi IIb Rutherford. Dorongan untuk mengatasi
permasalahan ini, penurunan dosis trombolitik dibutuhkan untuk memperoleh
keberhasilan klinis, dan menurunkan komplikasi perdarahan telah mendorong
pengembangan sejumlah teknik tambahan dan peralatan yang didesain untuk
memperoleh hasil reperfusi pada ekstremitas yang terganggu yang lebih cepat.
Mechanical
thrombectomy,
pulse-spray
thrombectomy,
dan
ultrasound
catheter-directed
thrombolysis
dengan
mechanical
Xpeedior
rheolytic
thrombectomy
catheter
(Medrad
28
sementara fungsi vacuum yang dihasilkan pada bagian proksimal jet penyemprot
akibat efek Venturi akan membantu mengaspirasi fragmen debris. Modifikasi
sederhana dapat dilakukan dengan mengganti larutan saline dengan obat
trombolitik, yang dapat disemprotkan ke dalam thrombus tanpa dilanjutkan
aspirasi. Sekitar 20-30 menit setelah terapi penyemprotan, thrombus yang
terinjeksi fibrinolitik akan terpecah-pecah dan diaspirasi dengan mode
trombektomi standard, mengurangi volume trombotik dan mengembalikan aliran
arteri. Trombektomi mekanik dapat dilakukan tanpa teknik pulse spray untuk
mengembalikan aliran darah pada pasien dengan intoleransi terhadap obat
trombolitik. Pada penelitian awal, trombektomi dengan kateter AngioJet pada
iskemia anggota gerak akut pada pembuluh arteri native dan graft bypass
mengembalikan aliran arteri pada 90% pasien. Perbaikan klinis tampak pada 82%
pasien, dengan angka kejadian embolisasi di distal thrombus terjadi pada hanya
2%. Catheter-directed thrombolysis secara rutin digunakan dengan terapi ajuvan
ini, akan tetapi dosis dan durasi terapi fibrinolitik yang diberikan dikurangi.
Rheolytic thrombectomy diteliti dalam suatu pusat kesehatan yang
mencatat pasien yang sebagian besar terdiri atas kelompok klasifikasi IIa dan IIb
yang diterapi dengan catheter directed infusion sebelum atau sesudah diberikan
terapi rheolytic thrombectomy. Setelah angioplasty ajuvan dan stenting atau
pembedahan elektif dilakukan pada 80% pasien ini, angka kejadian amputasi
sebesar 7,1% dan angka mortalitas sebesar 4,0% dalam 30 hari. Pengalaman yang
didapat dengan menggunakan rheolytic thrombectomy menunjukkan bahwa
teknik ini cukup efektif digunakan pada kasus thrombosis in situ, tergantung tipe
pembuluh darah yang terkena. Alat-alat trombektomi tidak mampu untuk
memindahkan thrombus yang sudah padat dan melekat dan alat-alat trombektomi
ini paling baik digunakan untuk menterapi thrombus akut. Secara keseluruhan
angka keberhasilan teknik dengan AngioJet berkisar antara 56% sampai 95%,
dengan angka kejadian munculnya emboli di dista sebasar 9,5% dan angka
keselamatan bebas amputasi mencapai 75% dalam 2 tahun. Peralatan ini juga
dapat digunakan tanpa diikuti trombolitik, dengan angka keselamatan anggota
gerak mencapai 95%.
29
30
peralatan ini sudah menjadi bagian terapi ajuvan yang penting dalam
mempercepat proses reperfusi dan menurunkan jumlah obat trombolitik yang
digunakan. Efek positif berupa pengurangan lama waktu prosedur dan dosis
trombolitik, cenderung diimbangi dengan efek buruk berupa efek traumatik yang
lebih besar dibanding efek farmakoterapi yang akan didapat. Obat-obat
trombolitik juga berperan untuk menciptakan patensi pada cabang-cabang
pembuluh darah dan pembuluh kolateral yang terlalu kecil untuk mendapat terapi
dengan peralatan ini.
Suction Embolectomy
Percutaneous aspiration thrombectomy dapat menjadi metode yang efektif
untuk pembuluh darah popliteal dan tibial. Kateter dengan lumen yang besar (6F8F) dihubungkan dengan syringe 60 cc digerakkan menuju bagian proksimal
oklusi, vakum diperoleh dengan melakukan aspirasi syringe dan thrombus
diaspirasi ke dalam kateter dan disingkirkan dari arteri. Kombinasi antara catheter
suction embolectomy dengan trombolisis dapat meningkatkan angka kesuksesan
hingga 90%, dengan angka keselamatan ekstremitas sebesar 86% setelah follow
up selama 4 tahun.
31
EKOS EndoWave (EKOS Corp., Bothell, Wash.) telah diujikan pada 25 pasien
dengan oklusi arteri di ekstremitas bawah. Resolusi thrombus komplit didapatkan
pada 88% pasien setelah mendapat waktu terapi rata-rata hanya sekitar 16,9 +
10,9 jam. Suatu studi lain membandingkan antara penggunaan ultrasound
accelerated thrombolysis dengan trombektomi mekanik yang menggunakan
Rotarex pada 20 pasien yang mengalami oklusi pembuluh darah cangkokan
femoropopliteal
akut.
Motarjeme
menggunakan
ultrasound-accelerated
32
yang melibatkan 119 pasien dengan iskemia ekstremitas akut, 54% kasus
diberikan terapi teknik endovascular tunggal, 13% mendapat terapi pembedahan,
dan 25% teknik gabungan. Trombosis femoropopliteal dan tibial cenderung
memiliki prognosis yang kurang baik dibandingkan pasien yang menderita oklusi
pada segmen aortoiliaka. Setelah 30 hari, 82% pasien yang dilibatkan dalam
penelitian ini dapat bertahan hidup tanpa harus mengalami amputasi. Komplikasi
yang dapat terjadi berupa hematoma di lokasi akses terjadi pada 11% pasien,
perdarahan yang membutuhkan tranfusi pada 8% pasien, dan sindroma
kompartemen pada 4% pasien. Angka kematian dalam 30 hari ditemukan pada 6%
pasien, kebanyakan dari mereka telah mendapatkan terapi pembedahan amputasi,
sedangkan angka keselamatan ekstremitas dalam waktu 1 tahun adalah sebesar
74,6% dan angka keselamatan dalam waktu 1 tahun sebasar 85,7%.
33
yang
efektif.
Angiografi
intraoperatif
harus
dilakukan
untuk
34
untuk
menurunkan
komplikasi
tungkai
dengan
memperbaiki
mikrosirkulasi. Pada sebuah studi acak terhadap 300 pasien dengan iskemia
tungkai akut, pasien yang diterapi dengan infus iloprost intraarteri maupun
intravena memiliki tingkat kematian 90 hari yang jauh lebih rendah dibandingkan
pasien yang diberikan placebo. Namun, tidak ada perbedaan pada tingkat
amputasi. Belum ada satupun dari terapi tahap penelitian ini yang sudah dipakai
luas dalam praktek klinis modern.
35
2.9 Prognosis
Pasien dengan iskemik lengan dan tungkai akut biasanya memiliki faktor
pencetus berupa gangguan kardiovaskuler, yang dapat memungkinkan
timbulnya suatu iskemik. Populasi ini memiliki prognosis jangka panjang
yang buruk. Angka kelangsungan hidup rata-rata dalam lima tahun pada
iskemik lengan dan tungkai akut yang disebabkan oleh thrombosis adalah
sekitar 45%, dan jika disertai dengan emboli, akan berkurang menjadi sekitar
20%. Angka kelangsungan hidup rata-rata pada 1 bulan penderita yang
berusia diatas 75 tahun dengan iskemik tungkai dan lengan akut adalah
sekitar 40%. Resiko untuk kehilangan anggota gerak tergantung kepada
beratnya iskemik dan lamanya waktu yang telah lewat sebelum tindakan
revaskularisasi dilakukan.
Skema mengenai klasifikasi yang membagi derajat berat ringannya
iskemik dan kemampuan dari anggota gerak untuk tetap bertahan, sejalan dan
berhubungan dengan temuan neurologis dan kriteria Doppler, telah
dikembangkan oleh Perkumpulan Bedah Vaskuler dan Perkumpulan
Internasional Bedah kardiovaskuler. Anggota gerak yang masih berfungsi dan
dapat bertahan, pada kategori 1, yaitu yang tidak bersifat mengancam dengan
seketika, begitu pula dengan kelainan fungsi sensori maupun motorik, dan
adanya aliran darah yang dapat dideteksi dengan menggunakan pemeriksaan
Doppler. Ancaman kelangsungan hidup, pada kategori II, mengindikasikan
bahwa derajat beratnya suatu iskemik yang akan menyebabkan kehilangan
anggota gerak kecuali suplai darah terpenuhi dengan segera. Kategori tersebut
terbagi lagi secara garis besar yaitu yang bersifat perlahan mengancam
anggota gerak dan yang bersifat seketika, yang ditandai dengan adanya rasa
nyeri, berkurangnya rasa sensoris, dan kelemahan otot. Pemeriksan Doppler
tidak dapat mendeteksi aliran darah arteri. Iskemik lengan dan tungkai yang
tidak dapat diperbaiki akan memicu terjadinya kehilangan jaringan dan
tindakan amputasi, kategori III, ditandai dengan hilangnya sensasi,
kelumpuhan, dan tidak terdeteksinya aliran darah pada pemeriksaan Doppler
pada arteri dan vena distal sampai ke tempat sumbatan.
DAFTAR PUSTAKA
Callum Ken, Bradbury Andrew. 2000. ABC of Arterial and Venous Disease:
Acute Limb Ischaemia. British Medical Journal. Volume: 320.
Creager Mark A., Kaufman John A., Conte Michael S. 2012. Acute Limb
Ischemia. The New England Journal of Medicine. 366:23.
Nehler Mark R. 2008. Diagnosis and Tratment of Acute Limb Ischemia. Inter
Society Consensus for the Management of PAD.
Patel Nilesh, Sacks David, Patel Rajesh I., et al. 2001. SIR Reporting Standards
for the Treatment of Acute Limb Ischemia with Use of Transluminal Removal of
Arterial Thrombus. J Vasc Interv Radiol. 12:559-570.