Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Manusia memiliki sepasang ginjal berbentuk kacang yang terletak di
retroperitoneal intra abdomen. Kedua ginjal terletak setinggi vertebra Thorakal 12
hingga Lumbal 3. Pada orang dewasa ukuran ginjal biasanya memiliki panjang
sekitar 11 cm dan tebal 5 cm dengan berat 150 gram. Ginjal kanan biasanya
terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat bagi hepar. Ukuran
ginjal manusia tergantung dari banyaknya jumlah nephron. 5,6
Nephron adalah unit dasar dari struktur dan fungsi ginjal. Nephron terdiri
dari tubulus renal dan glomerulusnya. Setiap manusia diperkirakan memiliki ratarata 1 juta nephron pada satu ginjal. Jika ginjal dipotong melintang, akan terlihat
dua bagian : bagian luar yang disebut korteks, dan bagian dalam yang disebut
medula. Korteks ginjal terdiri dari glomerulus yang dikelilingi oleh kapsul
Bowman. Tubulus renal terdiri dari beberapa bagian. Bagian yang paling dekat
dengan glomerulus disebut tubulus kontortus proksimal. 5,6
Ansa Henle terdiri dari tubulus kontortus proksimal, segmen tipis
desenden dan segmen tebal asenden. Segmen berikutnya adalah tubulus kontortus
distal yang ukurannya lebih pendek dan terhubung ke duktus koligentes.
5,6
Ginjal
kaya akan suplai perdarahan dan persarafan. Setiap ginjal biasanya disuplai oleh
satu pembuluh darah arteri renalis yang bercabang menjadi bagian anterior dan
posterior yang akan bercabang menjadi arteri segmented lalu bercabang lagi
menjadi arteri interlobar yang akan melewati kortek ginjal. Arteri interlobar akan
bercabang kembali menjadi arteri arkuata yang kemudian akan bercabang menjadi
arteri yang lebih kecil lagi yaitu arteri kortikal radiata. Arteriol aferen berasal dari
arteri kortikal radiata, kemudian diikuti oleh glomerulus dan arteriol eferen yang
berlanjut menjadi kapiler peritubular. Pembuluh darah vena berjalan paralel
dengan pembuluh darah arteri. 5,6
Gambar.1. Komponen dari nefron dan collecting systems duct. (diambil dari :
buku elektronik Medical Physiologi 2nd edition, William F. Ganong)
Ginjal banyak dipersarafi oleh persarafan simpatikus yang berasal dari
saraf spinal Thorakal 10, 11, 12, dan Lumbal 1. Perangsangan serabut saraf
simpatikus akan menyebabkan konstriksi pembuluh darah ginjal dan penurunan
aliran darah ke ginjal. Dinding arteriol aferen mengandung sel juxtaglomerular
yang mensekresikan renin. Sel ini secara histologis disebut sebagai makula densa.
Sel juxtaglomerular, makula densa, dan sel lacis yang berada di dekatnya disebut
sebagai juxtaglomerular apparatus. 5,6
Terdapat tiga proses yang terlibat dalam proses pembentukan urin : filtrasi
glomerular, reabsorpsi tubular, dan sekresi tubular. Filtrasi glomerular melibatkan
ultrafiltrasi plasma pada glomerulus. Cairan filtrat terkumpul di ruang antara
kapsul Bowman yang kemudian mengalir ke arah distal melalui lumen tubulus
yang komposisi dan volumenya dipengaruhi oleh aktivitas dari tubulus.
Reabsorpsi tubular adalah transport zat-zat keluar dari lumen tubulus untuk
kembali masuk ke dalam pembuluh darah kapiler. Proses reabsorpsi ini
melibatkan zat-zat ion yang penting, air, zat metabolit, dan zat sisa.
Sekresi tubular adalah proses transport masuk ke dalam lumen tubulus. Zat
anion dan kation organik diambil oleh sel epitel tubulus dari pembuluh darah
kapiler sekitarnya. Beberapa zat diproduksi dan disekresi oleh sel tubulus. Proses
ekskresi adalah proses eliminasi melalui urin. Secara umum, jumlah zat yang
diekskresi tercermin dalam rumus :
Ekskresi = Filtrasi Reabsorpsi + Sekresi
Status fungsional dari ginjal dapat dinilai dari beberapa pemeriksaan
berdasarkan konsep clearance ginjal. Pemeriksaan-pemeriksaan ini mengukur laju
filtrasi glomerular, aliran darah ginjal, dan resorpsi dan sekresi tubulus dari
beberapa zat. Beberapa dari pemeriksaan ini, seperti pemeriksaan GFR dilakukan
secara rutin di klinis. 5,6
Gambar 2. Proses yang terlibat dalam pembentukan cairan urin. (diambil dari :
buku elektronik Medical Physiology 2nd edition, William F. Ganong)
II.2 RADIOFARMAKA
Terdapat beberapa radiofarmaka yang dapat digunakan pada pemeriksaan
ginjal dan saluran kemih di bidang kedokteran nuklir. Penggunaan radiofarmaka
ini tergantung dari aspek spesifik fungsi ginjal yang akan diperiksa. 3 Ginjal dapat
melakukan banyak fungsi, oleh sebab itu beberapa radiofarmaka telah
dikembangkan untuk dapat menilai anatomi dan fungsi dari ginjal.
Pengelompokan radiofarmaka dibuat berdasarkan jenis pemeriksaan yang
akan dilakukan seperti pemeriksaan aliran darah ginjal, perfusi, dan gambaran
morfologi dari ginjal, serta pemeriksaan renografi, mengukur laju filtrasi
glomerulus (GFR) dan aliran plasma ginjal efektif (ERPF). Radiofarmaka untuk
pemeriksaan ginjal harus dapat menilai fungsi ginjal secara terpisah.2
Radiofarmaka juga harus memiliki komposisi yang konstan dan murni serta
tingkat energi sebesar 320 keV. Biasanya 51Cr digunakan untuk menandai
ethylene-diamine-tetra-acetic acid (EDTA) dan untuk mengukur laju filtrasi
glomerulus (GFR).3
golongan
dari
diethylenetetraaminepenta
radiofarmaka
acetic
acid
jenis
ini
(DTPA)
adalah
99mTc-
dan
51Cr-
10
11
7,8
pemeriksaan renografi, sangat membantu bila kita melihat urutan citra yang
didapat dan menganalisa kurva aktivitas terhadap waktu secara hati-hati. Pada
pencitraan diniliai penangkapan radioaktivitas oleh kedua ginjal untuk melihat
kemampuan ginjal mengekstraksi radiofarmaka.8 Pada pencitraan normal ginjal
relatif mempunyai ukuran yang sama dan selama dua menit pertama menunjukkan
distribusi radiofarmaka yang sama.
12
Pada citra berikutnya mungkin dapat terlihat kaliks, pelvis, dan ureter.
Fungsi relatif ginjal bervariasi antara 40-60 %. Kedua ginjal biasanya terletak
pada ketinggian yang sama, walaupun ginjal kanan dapat terletak pada posisi yang
lebih rendah daripada ginjal kiri karena adanya organ hepar. Kurva normal secara
khas memperlihatkan adanya tiga fase. Fase pertama/inisial dimana terjadi
peningkatan secara cepat segera setelah penyuntikan radiofarmaka yang
menunjukkan kecepatan injeksi dan aliran darah vaskuler ke dalam ginjal. Dari
fase ini dapat pula dilihat dari teknik penyuntikan radiofarmaka, apakah bolus
atau tidak. Fase ini terjadi kurang dari 2 menit. Fase kedua/sekresi menunjukkan
kenaikan yang lebih lamban dan meningkat secara bertahap. Fase ini berkaitan
dengan proses penangkapan radiofarmaka oleh ginjal melaui proses difusi lewat
sel-sel tubuli dan filtrasi glomerulus, atau keduanya ke dalam lumen tubulus.
Dalam keadaan normal fase ini mencapai puncak dalam waktu 2-5 menit.
Ketika aktivitas radiofarmaka mulai meninggalkan daerah ginjal maka
dimulailah fase ketiga. Fase ketiga/ekskresi dimana tampak kurva menurun
dengan cepat setelah mencapai puncak kurva yang menunjukkan keseimbangan
antara radioaktivitas yang masuk dan meninggalkan ginjal. Fase ketiga
menggambarkan terutama untuk eliminasi radiofarmaka dari daerah ginjal. Bentuk
kurva dari fase ketiga ini menggambarkan pola urodinamik dari ginjal dan pola
eliminasi melalui sistem pelvikalises menuju ke ureter dan vesika urinaria,
sehingga pada fase ini sangat sensitif untuk untuk kelainan pada saluran kemih
(pelvis, ureter, dan vesika urinaria) dan suatu bentuk kurva yang normal dapat
menyingkirkan dugaan adanya obstruksi pada saluran kemih.
Bentuk kurva renografi yang normal umumnya menggambarkan pula
fungsi ginjal yang normal, walaupn mungkin ukuran ginjal kecil dan memberikan
kontibusi dari fungsi ginjal di bawah 40 %. Kelainan pada fungsi ginjal yang
terlihat pada renografi dapat disebabkan oleh perfusi ginjal yang berkurang,
berkurangnya eliminasi radiofarmaka, berkurangnya filtrasi atau kelainan fungsi
seluler tubulus.3 Bila ginjal sudah tidak berfungsi, penangkapan radioaktivitas
akan minim atau tidak ada sama sekali, dan kurva akan berjalan datar/tidak
beraturan sebab hanya menggambarkan aktivitas background saja. Pada gambar
13
obstruksi total, vesika urinaria tidak tampak dan fase kedua akan tampak naik
terus dan tidak terlihat adanya fase ketiga.7
Parameter yang sering ditambahkan biasanya adalah Waktu Transit
Seluruh Ginjal (Whole Kidney Transit Time/WKTT) adalah waktu total yang
dibutuhkan radiofarmaka untuk transit melalui parenkim ginjal dan pelvis. WKTT
adalah jumlah antara Waktu Transit Parenkim Rata-rata (Mean Parenchyma
Transit Time/MPTT) dan Waktu Transit Pelvis (Pelvic Transit Time/PvTT). Nilai
normal MPTT adalah 100-240 detik. Parameter yang lain adalah Indeks Waktu
Transit Parenkim (Parenchymal Transit Time Index/PTTI) dan Indeks Waktu
Transit Seluruh Ginjal (Whole Kidney Transit Time Index/WKTTI). PTTI adalah
MPTT dikurangi Waktu Transit Minimum (MinTT), nilai normal untuk PTTI
adalah 10-156 detik. WKTTI adalah WKTT dikurangi MinTT, nilai normalnya
adalah 20-170 detik.3
14
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Prinsip dari pemeriksaan ini menggunakan obat furosemide karena
efeknya bersifat diuretik yang menghambat reabsorpsi garam dan air di limb
asenden ansa henle. Sifat diuretiknya tergantung dari fungsi ginjal, terutama
jumlah nephron pada ginjal, deplesi dari natrium dan chloride, dan tidak adanya
hipotensi.
menghambat secara selektif reabsorpsi dari NaCl pada tubulus kontortus asenden
tebal pada ansa Henle. Furosemide dieliminasi dari tubuh melalui sekresi ginjal
dan filtrasi glomerular dengan respon diuretik sangat cepat pada pemberian injeksi
intravena.
Durasi dari kerja furosemide biasanya 2-3 jam dan waktu paruh tergantung
dari fungsi ginjal. Respon diuretik dari furosemide berhubungan secara positif
dengan ekskresinya di dalam urin. Furosemide bekerja dengan menghambat
sistem transport Na+/K+/2Cl- pada membran lumen di tubulus kontortus
desenden dari ansa Henle. Furosemide meningkatkan aliran darah ke ginjal dan
menyebabkan redistribusi dari aliran darah di dalam korteks ginjal. Selain itu
furosemide juga meningkatkan jumlah volume urin dan meningkatkan kadar
potasium pada pasien dengan gagal ginjal akut.
Furosemide dikontraindikasikan bagi pasien-pasien yang alergi terhadap
obat ini, juga pada pasien dengan sirosis hepatik, gagal ginjal borderline, atau
gagal jantung kongestif. 9 Pada bayi baru lahir, dimana fungsi ginjal belum matur
pemeriksaan renografi diuretik sebaiknya ditunda hingga bayi berusia 4 minggu.
Sebelum usia tersebut tubulus ginjal belum dapat merespon dari kerja obat
furosemide. Menurut suatu penelitian, maturitas fungsi ginjal akan terjadi pada
tahun pertama kehidupan dan secara bertahap menjadi sempurna pada usia 2
tahun. 10
Persiapan yang perlu dilakukan pada pasien sebelum dilakukan
pemeriksaan renografi diuretik ini. Sebelum dilakukan pemeriksaan, sebaiknya
dilihat kembali hasil dari USG ginjal. Hasil USG ini akan membantu apakah
15
hidronephrosis yang terjadi unilateral atau bilateral, atau apakah disertai dengan
dilatasi dari ureter, atau apakah ada kelainan yang lain seperti duplikasi ginjal.
Disarankan sebaiknya pasien dalam status cukup terhidrasi dengan volume urin
yang cukup, karena pada pasien dengan status hidrasi yang buruk akan
memberikan hasil pada pencitraan menjadi tidak baik serta disertai dengan
penurunan fungsi ginjal dan ekskresi yang tertunda.3,10
Pada pasien bayi atau anak-anak yang tidak dapat mengendalikan proses
miksi, sebaiknya digunakan kateter ke dalam vesika urinaria untuk memastikan
aliran urin yang cukup. Untuk menilai dari respon furosemide dibutuhkan dua
faktor utama yaitu fungsi ginjal yang masih cukup baik pada ginjal yang diperiksa
(GFR > 15 mL/menit) dan status hidrasi dari pasien. Volume urin yang
mencerminkan respon dari diuretik dan status hidrasi sebaiknya diukur selama
pemeriksaan.
10
16
Gambar 3. Renografi diuretik protokol F+0 pada anak laki-laki berusia 6 bulan.
(diambil dari : Radionuclide Investigations of the Urinary Tract in the Era of
Multimodality Imaging)
Renogram aktivitas terhadap waktu dengan koreksi background digunakan
dalam penilaian aliran urin dan mengukur fungsi masing-masing ginjal. Bila
ginjal tidak mengalami obstruksi maka pada kurva dapat dengan mudah dilihat
pada fase pengosongan sistem saluran urin atau fase ekskresi, sedangkan bila
kurva terus naik pada fase ekskresi maka kemungkinan besar terdapat obstruksi
pada sistem saluran urin pada pasien tersebut. Dalam menilai respon ginjal pasien
terhadap furosemide juga dapat menggunakan parameter kuantifikasi yang
sederhana seperti time to peak (waktu puncak) atau waktu untuk mengekskresikan
17
10
Ketika fungsi
ginjal berkurang secara bermakna, maka pemeriksaan ini tidak akan dapat menilai
respon diuretik secara akurat. Hasil pencitraan juga tidak dapat dinilai bila perunut
banyak terkumpul di pelvis ginjal. Hasil dari pemeriksaan renografi diuretik tidak
dapat digunakan bila fungsi ginjal yang dinilai telah berkurang menjadi kurang
dari 20 % dari total fungsi ginjal atau ketika pelvis ginjal tidak penuh dalam
waktu 60 menit sejak radiofarmaka disuntikkan. 10
18
akurat dan secara implisit dapat memilih pasien yang dapat disembuhkan dengan
revaskularisasi. Pada saat ini metode revaskularisasi yang digunakan adalah
metode percutaneus transluminal renal angioplasty, suatu prosedur yang tidak
sepenuhnya aman dan memiliki komplikasi utama yang tidak ringan. Dan
menurut beberapa penelitian, bila dibandingkan antara angioplasty dengan terapi
pengobatan maka hasilnya didapat bahwa angioplasty lebih baik dibandingkan
dengan pengobatan. Sehingga benar-benar dibutuhkan suatu prosedur diagnostik
yang optimal dalam memilih pasien yang akan dilakukan revaskularisasi. 2
Gangguan renovaskuler dapat dicurigai pada pasien-pasien dengan
hipertensi yang sulit dikendalikan atau resisten dengan pengobatan, hipertensi
yang tejadi pada usia di bawah 35 tahun, perburukan fungsi ginjal selama terapi
dengan ACE inhibitor, hipertensi progresif, perburukan fungsi ginjal dengan sebab
yang tidak jelas, ditemukan penyakit vaskuler pada organ lain, penyempitan arteri
renalis yang terlihat pada angiografi, dan abdominal bruit.2 Pada saat ini banyak
para klinisi yang mengunakan SAR lebih dari 50 % pada angiografi sebagai
standar emas untuk mendiagnosa RVHT, walaupun ada juga yang menggunakan
SAR lebih dari 70 %. Namun perlu juga diingat bahwa SAR dapat terjadi dengan
bertambahnya usia dan dapat terjadi pada pasien-pasien nonhipertensif atau pada
pasien yang tidak ditemukan penyebab hipertensinya.
Kemudian pertanyaan berikutnya adalah, apakah pasien menderita RVHT
dan dapat diharapkan sembuh dengan revaskularisasi. Bukan pertanyaan apakah
pasien memiliki SAR atau tidak. Tidak heran apabila nilai sensitifitas dan
spesifisitas dari pemeriksaan renografi kaptopril akan meningkat bila standar emas
yang digunakan ada respon perbaikan dari pasien RVHT setelah dilakukan
revaskularisasi daripada menggunakan standar emas kelainan anatomi dari SAR
tersebut.2 SAR merupakan kelainan yang murni kelainan anatomi. Menurut
pedoman dari National Kidney Foundation/Disease Outcome Quality Iniative
yang disebut dengan stenosis apabila terjadinya penyempitan pembuluh darah
lebih dari 50 %, namun baru akan menimbulkan kelainan hemodinamik secara
bermakna bila stenosis terjadi lebih dari 75 %. Efek yang langsung terjadi pada
SAR dengan perubahan hemodinamik secara bermakna adalah penurunan pada
19
tekanan perfusi di arteriol eferen yang merangsang dari peningkatan sekresi renin
oleh sel juxtaglomerular di arteriol aferen.
Kemudian hal ini akan menyebabkan peningkatan angiotensin I yang
dirubah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) yang
bersifat vasokontriksi. Angiotensin II juga meningkatkan reabsorpsi natrium di
tubulus proksimal dan distal dengan merangsang peningkatan produksi dari
aldosteron. Sifat angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi secara luas akan
menyebabkan timbulnya hipertensi sistemik dengan peningkatan resistensi perifer
total. Maka sebenarnya efek dari angiotensin II adalah mencegah - atau minimal
membatasi - penurunan dari GFR karena SAR.
Dalam menegakkan diagnosa HTRV akan tergantung pada peningkatan
aktivitas sistem renin-angiotensin atau gangguan hemodinamik dan fungsi ginjal.
Pada ginjal yang terdapat SAR akan ditemukan peningkatan produksi renin,
memiliki GFR yang normal atau sedikit menurun, dan menunjukkan penurunan
fungsi ekskresi. Pada ginjal kontralateral, terdapat aliran darah dan GFR yang
meningkat atau normal, dan penurunan produksi renin karena negative feedback
dan peningkatan fungsi ekskresi. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa tingkat
kesembuhan pasien tergantung dari tingkat kerusakan ginjal kontralateral, oleh
sebab itu lebih cepat RVHT yang disebabkan oleh RAS diatasi, maka lebih besar
peluang dari hipertensi untuk sembuh. 2
20
Kaptopril adalah salah satu obat yang termasuk ke dalam golongan ACE
Inhibitor yang dapat digunakan sebagai suatu stressor pada ginjal, memperburuk
atau membuat gangguan fungsi dari ginjal pada kasus penyakit renovaskuler tetapi
bukan pada kasus hipertensi esensial. Hipertensi esensial berhubungan dengan
peningkatan vasokontriksi dari arteriol aferen korteks nephron, yang dibawah
kendali angiotensin II. Kaptopril menghambat proses ini dan meningkatkan aliran
darah sehingga memperbaiki fungsi ginjal. 2,9
Gangguan renovaskuler akan bertambah buruk jika diberikan kaptopril.
Tidak ada mekanisme pada arteriol aferen, dimana dilatasi secara maksimal yang
terjadi karena autoregulasi ginjal pada gangguan renovaskuler bukan karena
mekanisme dari kaptopril. Kaptopril memiliki mekanisme utama dalam
21
Gambar 5. Diagram mekanisme aksi dari ACE Inhibitor (diambil dari : Reliability
of Captopril Renography in Patients Under Chronic Therapy with Angiotensin II
(AT1) Receptor Antagonists).
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Kaptopril diberikan secara oral dengan dosis 25 mg. Tekanan darah
dipantau sebelum pemberian kaptopril dan setiap interval waktu 5 menit setelah
pemberian kaptopril. Jika tekanan diastolik turun sebesar 10 mmHg atau lebih
selama pemantauan, maka ini merupakan tanda bahwa efek kaptopril sudah mulai
bekerja dan pemeriksaan renografi sudah dapat dimulai. Jika hal ini tidak terjadi
maka pemeriksaan dapat dimulai 1 jam setelah pemberian kaptopril. Pasien
22
disarankan untuk puasa paling tidak empat jam sebelum pemberian kaptopril,
namun selama puasa cairan tetap harus masuk agar status hidrasi pada pasien tetap
terjaga dengan baik. Golongan obat ACE inhibitor lain yang dapat digunakan
adalah enalapril dengan dosis 2,5 mg yang diberikan secara intravena. 2,9
Untuk persiapan pasien pada pemeriksaan renografi kaptopril adalah
pasien diperintahkan untuk menghentikan obat ACE inhibitor selama kurang lebih
7 hari, dan untuk obat angiotensin II dan diuretik setidaknya dihentikan selama 2
hari. Namun, waktu yang direkomendasikan menurut literatur sangat bervariasi,
mulai dari 3 minggu sampai dengan 12 jam untuk kaptopril dan 24 jam untuk
enalapril. Sebaiknya waktu yang tepat untuk menghentikan konsumsi dari obat
ACE inhibitor adalah 5 kali interval dosis (3 hari untuk kaptopril dan 5 hari untuk
enalapril). Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kekurangan cairan atau
dehidrasi. Sedangkan obat-obatan antihipertensif lainnya tidak perlu dihentikan,
karena tidak terlalu mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan renografi kaptopril.
2,7,8
HASIL
Pada pemeriksaan renografi kaptopril akan diperoleh gambaran yang dapat
menunjukkan retensi aktivitas pada parenkim, dan bertahan lebih lama pada
penggunaan kaptopril apabila dibandingkan dengan hasil pemeriksaan renografi
konvensional yang digunakan sebagai data dasar. Pada pemeriksaan renografi
yang menggunakan radiofarmaka tubular agent hal ini dapat disebabkan oleh
ketiadaan cairan filtrasi yang menghalangi washout dari tubular agents. Pada
penggunaan glomerular agents seperti DTPA dapat terlihat adanya penurunan
yang bermakna pada penangkapan radioaktivitas atau bahkan tidak nampak pada
ginjal yang terganggu. Indeks parameter seperti waktu transfer kortikopelvik
(waktu pada saat aktivitas pertama kali muncul di ginjal dan pelvis) dapat dicatat
dan dibandingkan antara renografi konvensional dengan renografi kaptopril.
Kurva aktivitas terhadap waktu bentuknya akan memburuk bila
dibandingkan dengan renografi konvensional; terutama terdapat gangguan pada
fase kedua dimana terjadi pemanjangan waktu menuju puncak dan perburukan,
23
atau bahkan tidak ada fase ketiga. Biasanya fungsi ginjal akan turun sebanyak 5
%, walaupun pada beberapa literatur menyebutkan penurunan fungsi sebesar 10 %
dapat digunakan untuk mendiagnosa RVHT. MPTT dapat meningkat menjadi
lebih dari 240 detik, atau 60 detik lebih lama dari nilai normal. Jika dicurigai
terdapat gangguan renovaskuler unilateral, maka ginjal kontralateral akan
menunjukkan renografi dan parameter yang normal. 2,7,8
Pemeriksaan renografi sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien yang
mengkonsumsi ACE inhibitor secara teratur, namun jika hasilnya abnormal maka
pemeriksaan renografi konvensional yang sebenarnya dilakukan dengan
menghentikan obat ACE inhibitor selama satu minggu. Jika hasilnya
menunjukkan suatu perbaikan maka hal ini menunjukkan bahwa ACE inhibitor
memiliki pengaruh yang merugikan pada fungsi ginjal, dan menunjukkan adanya
gangguan renovaskuler. Selanjutnya pemeriksaan renografi kaptopril dapat
dilakukan untuk memastikan bahwa perburukan yang terjadi dapat disebabkan
oleh ACE inhibitor. Nephropati diabetik adalah penyebab yang umum untuk
gangguan renovaskuler.
Hal ini dapat disebabkan oleh penyakit pembuluh darah kecil walaupun
juga dapat disertai oleh kelainan pada pembuluh darah besar. Penyakit pembuluh
darah kecil dicurigai bila terdapat respon yang simetris pada pemberian kaptopril.
Jika responnya menunjukkan asimetris pada pemberian kaptopril, dimana ginjal
yang lebih buruk akan memiliki MPTT yang lebih panjang menjadi lebih dari 300
detik, dicurigai adanya suatu SAR yang berarti secara fungsional. Perbaikan pada
pemeriksaan renografi konvensional sebagai data dasar dapat menunjukkan bahwa
penggunaan kaptopril pada pasien diabetes tersebut tidak akan memperburuk
fungsi ginjal, yang akan membantu memperlambat terjadinya nephropati diabetik.
7,8
24
pasien dalam penelitian ini dilakukan angiografi. Pada 2 buah artikel yang
diterbitkan di tahun 2000 menyebutkan di populasi yang menderita SAR tinggi
sekitar 20% dan 65%, nilai prediksi positif dan negatifnya juga tinggi yaitu 90 %
dan 95 %. Namun pada suatu penelitian lain, dimana populasi penderitanya
rendah hanya sekitar 5 %, yang melibatkan 667 dan 450 pasien penderita
hipertensi nilai sensitifitas dan spesifisitasnya tetap tinggi yaitu 90-100 % dan 9495 %.2
25
26
ureter, dan vesika urinaria. Dan ROI yang dibuat harus konsisten selama
pemeriksaan renografi secara serial. 3,7
Parameter yang digunakan pada pemeriksaan perfusi dan renografi pada
pasien transplantasi ginjal adalah bladder appearance time, rasio ginjal-vesika
urinaria, waktu puncak renografi, indeks ekskresi, indeks perfusi, dan rasio ginjalaorta. Paremeter ini digunakan pada renografi transplantasi ginjal bukan dari
nilainya yang absolut, namun dilihat dari perubahan nilai pada pemeriksaan yang
dilakukan secara serial. Pada renografi transplantasi ginjal tidak ada kriteria
renografi normal, karena tidak ada nilai normal yang pasti untuk menyingkirkan
kemungkinan terjadinya rejeksi atau ATN. Pada pasien yang menerima ginjal dari
donor hidup yang sehat, biasanya memberikan gambaran renografi yang normal.
Walaupun renografi tidak pernah mencapai nilai normal, perubahan aktivitas
terjadi terhadap waktu dapat memberikan petunjuk kemajuan dari kondisi pasien
transplantasi ginjal. Yang perlu diperhatikan dari renografi pada transplantasi
ginjal ini adalah gambaran perfusi dan kurva renografinya karena dapat
memberikan informasi yang penting. 3
Terdapat dua metode yang digunakan sebagai petanda fungsional dan
penilaian perfusi ginjal pada pemeriksaan renografi transplantasi ginjal secara
serial, yaitu indeks perfusi dari Hilson dan rasio ginjal-aorta dari Kirschner. Untuk
indeks perfusi dari Hilson adalah menghitung indeks perfusi ROI dibuat pada
ginjal dan arteri iliaka yang kemudian dibuat kurva aktivitas terhadap waktu.
Rasio dari arteri dan ginjal digunakan sebagai indeks perfusi. Jika tidak ada aliran
darah ke ginjal yang ditransplantasi maka nilai indeks perfusi akan meningkat.
Sedangkan pada metode rasio ginjal-aorta dari Kirschner, dimana menggunakan
kurva aktivitas terhadap waktu dari ginjal dan aorta. Pada metode ini, nilai rasio
akan menurun bila tidak ada perfusi ke ginjal. Kelemahan dari kedua metode ini
adalah dibutuhkan penyuntikan bolus intravena yang baik, dimana tidak selalu
dapat dilakukan pada pasien-pasien transplantasi ginjal.
Metode yang lebih sedehana adalah dengan menggunakan waktu puncak
renografi dan jumlah total aktivitas pada ginjal, vesika urinaria, kateter, dan setiap
aliran urin . Lebih dekat waktu puncak pada tiga menit lebih baik, lebih tinggi
27
aktivitas lebih baik.3 Parameter yang digunakan untuk menilai bahwa operasi
transplantasi ginjal dikatakan berhasil atau ginjal berfungsi dengan baik
diantaranya adalah, apabila ginjal berfungsi dengan baik dan dapat menghasilkan
urin, kadar kreatinin dan ureum serum turun dan kadar kalium dalam batas
normal.
Masih dalam perdebatan apakah renografi dapat digunakan secara rutin
pada pasien demikian. Beberapa tempat memakai renografi pasca operasi untuk
menilai fungsi ginjal yang ditransplantasi sebagai data dasar untuk pemeriksaan
yang selanjutnya. Ini terbukti dalam literatur bahwa renografi dapat mendeteksi
adanya rejeksi sebelum terjadi perubahan pada parameter biokimia. Namun, perlu
dilakukan renografi secara serial terhadap pasien pasca operasi transplantasi ginjal
apakah itu berfungsi dengan baik atau tidak.3
Pasien biasanya tidak memproduksi urin dan memerlukan dialisis untuk
menjaga biokimia darah berada dalam kadar yang dapat diterima. Sehingga
pengukuran kadar biokimia darah tidak dapat digunakan. Renografi dan perfusi
ginjal secara rutin dilakukan dalam 24 jam pertama untuk memastikan
keberhasilan dari operasi. Pada beberapa kasus ATN dapat berlangsung selama
beberapa minggu pasca operasi. Biopsi ginjal adalah pemeriksaan yang definitif,
namun dapat memberikan morbiditas, walaupun menggunakan biopsi dengan
jarum yang halus atau dengan kontrol dari USG.
HASIL
Penggunaan renografi secara rutin dapat membantu menentukan waktu
yang tepat untuk dilakukan biopsi ginjal dan mengurangi jumlah biopsi yang tidak
perlu. Renografi akan memberikan gambaran perbaikan sampai ATN diatasi. Jika
terjadi rejeksi, gambaran renografi akan mengalami perburukan. Sayangnya
nephrotoksisitas siklosporin juga dapat memberikan gambaran yang sama dengan
rejeksi. Sehingga perlu dilakukan biopsi ginjal pada saat seperti ini untuk
membedakan kedua keadaan ini. Gambaran DTPA pada ATN berbeda dengan
gambaran pada MAG3 atau hipuran. Karena DTPA secara murni difiltrasi dan
28
tidak ada sekresi pada tubulus, maka setelah fase inisial aktivitas pada ginjal akan
turun secara cepat karena filtrasi glomerulus sangat kecil. 3
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa pada transplantasi ginjal
memiliki beberapa risiko komplikasi yang dapat memberikan gambaran yang
serupa pada pemeriksaan renografi. Komplikasi tersebut dapat memberikan
gambaran fase kedua dan ketiga yang memanjang akibat dari uptake dan ekskresi
yang berkurang. Sehingga pemeriksaan renografi pada transplantasi ginjal ini
bukan untuk mencari penyebab dari kegagalan transplantasi ginjal, namun untuk
memantau perkembangan fungsional dari transplantasi ginjal.
Oleh sebab itu, risiko komplikasi tersebut dapat digunakan sebagai
diagnosa pembanding dari penyebab terjadinya kegagalan fungsional dari
transplantasi ginjal. Nyeri yang akut disertai dengan oligouria atau anuria
cenderung disebabkan oleh obstruksi akut atau juga trombosis akut. Jika disertai
dengan pireksia maka dapat dipikirkan sebagai suatu rejeksi (penolakan). Suatu
obstruksi akut dapat disertai dengan sistem pelvikalises yang berdilatasi. Suatu
trombosis akut tidak akan memberikan gambaran ginjal pada pemeriksaan perfusi,
sedangkan rejeksi akut akan menunjukkan fungsi ginjal dan perfusi yang
berkurang. 3
29
maka kadar kreatinin di dalam plasma akan meningkat hingga dua kali lipat dari
nilai normal pada saat produksi dan ekskresi dari kreatinin dalam keadaan
seimbang.6
Namun terdapat beberapa kelemahan dari kreatinin clearance ini. Beberapa
kelemahan tersebut adalah sekresi kreatinin pada tubulus yang kecil menyebabkan
kreatinin clearance kurang akurat bila dibandingkan dengan inulin. Kreatinin
clearance membutuhkan pengambilan sampel darah dan pengumpulan urin yang
akurat selama 24 jam. Hasil GFR yang diperoleh adalah hasil GFR total, bukan
GFR ginjal secara terpisah. Selain itu kreatinin clearance tidak dapat dilakukan
pada keadaan klinis yang memerlukan nilai GFR secara cepat. Dari sudut pandang
klinis, nilai GFR yang diperoleh dari inulin maupun kreatinin clearance tidaklah
bermakna, namun kebutuhan untuk memperoleh nilai GFR ginjal secara terpisah
dan pada saat akut membatasi penggunaan kedua metode tersebut. Akibatnya
teknik kedokteran nuklir pada nefrourologi telah dikembangkan untuk mengatasi
masalah ini dan dapat memberikan pelayanan dalam fungsi ginjal di klinis. 2,6
Laju Filtrasi Glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) adalah jumlah
filtrasi glomerulus yang dibentuk setiap menit dalam nefron kedua ginjal. Filtrasi
glomerulus terjadi akibat tekanan di dalam kapiler yang menyebabkan filtrasi
cairan melalui membran kapiler ke kapsul Bowmans. Tekanan filtrasi glomerulus
adalah tekanan netto yang memaksa cairan keluar melalui membran glomerulus,
hampir sam dengan tekanan hidrostatik glomerulus (60 mmHg) dikurangi tekanan
osmotik koloid glomerulus (32 mmHg) dan kapsula Bowmans (18 mmHg)
sehingga besarnya tekanan filtrasi normal kira-kira 10 mmHg. Koefisien filtrasi
merupakan konstanta yang besarnya 12,5 mL/menit/mmHg. Jadi didapatkan
persamaan bahwa :
GFR = Tekanan filtrasi x Koefisiensi filtrasi = 10 mmHg x 12,5 mL/menit/mmHg
= 125 mL/menit (protap)
Dalam penentuan GFR perlu dipahami konsep clearens ginjal yaitu
kemampuan ginjal untuk menjernihkan plasma dari berbagai macam zat. Laju
clearens adalah volume yang dijernihkan per unit waktu (mL/menit). GFR dapat
30
diukur dengan menghitung laju clearens ginjal dari zat khusus. Zat khusus
tersebut harus memiliki sifat yang dibutuhkan dalam pemeriksaan GFR seperti
harus diekskresi secara eksklusif oleh ginjal, harus dapat difiltrasi secara bebas
melalui glomerulus, harus secara fisiologis bersifat inert, dan juga tidak
direabsorpsi atau disekresi oleh tubulus ginjal. 99mTc-DTPA hampir memenuhi
semua kriteria diatas, sehingga dapat digunakan untuk pemeriksaan GFR. 99mTcDTPA dieliminasi secara eksklusif oleh filtrasi glomerulus. Tiga menit setelah
penyuntikan 99mTc-DTPA secara intravena, kuantitas dari radiofarmaka yang
meninggalkan ginjal dapat diabaikan sehingga dapat diasumsikan bahwa selama
interval tersebut dapat merefleksikan filtrasi glomerulus pada ginjal.12
INDIKASI
Indikasi klinis untuk pengukuran nilai GFR adalah untuk mencari dan
menilai penyakit-penyakit nefrourologi kronis, bersama dengan renografi sebelum
operasi ginjal dan atau saluran kemih, menilai fungsi ginjal sebelum dilakukan
transplantasi ginjal, memonitor fungsi ginjal selama menjalani pengobatan dengan
obat-obatan yang berpotensi untuk terjadinya nephrotoksik, selain itu juga dapat
digunakan untuk menghitung dosis obat terutama yang diekskresikan melalui
ginjal. 8
Penggunaan penanda dari logam seperti EDTA yang ditandai dengan 51Cr
memiliki clearance plasma yang serupa dengan clearance inulin, sehingga 51CrEDTA dapat digunakan sebagai standar emas alternative untuk pengukuran nilai
GFR. Namun penggunaan 51Cr-EDTA juga terbatas karena sulit diperoleh. DTPA
yang ditandai dengan 99mTc saat ini digunakan sebagai radiofarmaka pilihan
pada renografi yang membutuhkan nilai GFR. 99mTc-DTPA bersifat stabil,
memiliki ikatan protein yang rendah dibersihkan melalui filtrasi glomerulus, dan
tidak bekerja pada tubulus ginjal. Berdasarkan hasil penelitian dari Klopper et al.
menunjukkan bahwa 99mTc-DTPA dapat memberikan hasil yang memuaskan
untuk pengukuran nilai GFR walaupun terdapat ikatan protein yang minimal. 2
31
metode
penyuntikan
tunggal
menggunakan
32
ke-2 dan ke-4 dengan teknik pengambilan sampel darah sebanyak 7 kali
selama 4 jam dengan pengambilan yang pertama pada jam ke-1 dan
dilanjutkan setiap 30 menit. Hasilnya, diperoleh hubungan yang sempurna
(r=0.996) dan lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan
pengambilan sampel pada jam ke-1 dan ke-2 atau jam ke-2 dan ke-3. Hal
ini dipercaya karena disebabkan oleh belum terjadinya keseimbangan pada
saat itu.2
2. Teknik Sampel Darah Tunggal
Teknik ini memiliki prinsip dalam menentukan suatu hubungan
semiempiris antara clearance perunut di dalam plasma (merupakan akibat
dari proses GFR) dan distribusi volume yang merupakan aktivitas yang
disuntikkan dibagi dengan aktivitas sampel di dalam plasma. Prinsipnya
adalah mengukur konsentrasi 99mTc-DTPA di dalam plasma pada waktu
tertentu dan dibandingkan dengan jumlah perunut disuntikkan dengan
menggunakan teknik laboratorium in vitro yang telah distandarisasi.
Persentase perunut yang disuntikkan yang tinggal di dalam darah pada saat
itu akan lebih rendah pada pasien dengan nilai GFR yang normal bila
dibandingkan dengan pasien yang fungsi ginjalnya telah berkurang.2
Russel et al. menunjukkan suatu metode untuk menghitung GFR
total oleh teknik clearance plasma dengan pengambilan sampel darah
tunggal. Russel melaporkan bahwa waktu optimal untuk pengambilan
sampel adalah pada menit ke-180 setelah penyuntikkan 99mTc-DTPA,
walaupun waktu yang terbaik untuk pengambilan sampel sebenarnya
tergantung dari kondisi fungsi ginjal itu sendiri. Penentuan GFR dengan
menggunakan teknik ini memiliki kesepakatan yang erat dengan 51CrEDTA sebagai standar emas karena clearance-nya serupa dengan inulin.2
Teknik sampel darah tunggal ini juga dilaporkan telah memberikan
hasil yang valid pada anak-anak dalam mengukur nilai GFR. Tauxe et al.
menghitung nilai GFR pada 30 anak dengan usia berkisar 4-16 tahun
menggunakan prosedur teknik yang sama pada orang dewasa, didapatkan
hasil waktu optimal untuk pengambilan sampel darah adalah pada menit
ke-91. Bahkan, teknik ini juga dapat digunakan pada semua kondisi fungsi
ginjal. 2
33
34
35
36
ringan dan yang tidak dapat dideteksi oleh radiofarmaka untuk GFR. 2 Hippuran
juga digunakan untuk pemeriksaan ginjal dan saluran kemih pada bayi dan anakanak.
2,3
secara luas di Amerika Serikat karena harganya yang mahal, sulit didapat dan
dapat juga diganti dengan 99mTc sebagai alternatif untuk tubular secretory
function agent. 2,3
INDIKASI
Pemeriksaan ERPF ini diindikasikan untuk menilai perfusi dan fungsi
ginjal, menilai fungsi ginjal setelah trauma, dan uji saring pada pasien hipertensi
esensial.
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Radiofarmaka yang digunakan adalah 131I-hippuran sebanyak 300 uCi
atau 99mTc-MAG3 dengan dosis aktivitas sebanyak 5 mCi yang disuntikkan
secara intravena secara bolus.8 Pada pemakaian radiofarmaka 131I-hippuran,
penderita sebelumnya diberi larutan lugol 10 tetes untuk memblok jaringan tiroid
agar tidak menangkap 131I. Penderita harus dalam keadaan terhidrasi dengan baik
dengan cara diberikan minum 500 mL sebelum pemeriksaan. Kandung kemih
penderita diusahakan dalam keadaan kosong dengan buang air kecil terlebih
dahulu sebelu dilakukan pemeriksaan.8
Pasien diposisikan terlentang dengan detektor ditempatkan sedemikian
rupa sehingga ginjal dan kandung kemih berada dalam lapang pandang pencitraan
dari proyeksi posterior. Teknik pencitraan dilakukan secara dinamik dengan
matriks 128x128. Setelah itu seluruh data kasar digabung, kemudian dibuat ROI
pada kedua ginjal serta dibawah kedua ginjal untuk substraksi latar belakang,
didapatkan kurva aktivitas terhadap waktu. Pengukuran penangkapan ginjal
radiofarmaka dilakukan pada 1-2 menit setelah titik injeksi dari kurva renografi
yang mencerminkan total ERPF pada masing-masing ginjal.8
Pemeriksaan ERPF dengan metode lain adalah dengan cuplikan plasma
tunggal, menggunakan 131I-hippuran 44 menit setelah penyuntikan. Fraksi filtrasi
37
(FF) adalah rasio antara GFR dan ERPF yaitu fraksi dari plasma dalam
glomerulus yang ditransfer ke daerah kapsula Bowmans sebagai filter. Nilai
normal FF adalah 18-22 % atau berkisar yang berarti jumlah filtrasi glomerulus
adalah kurang lebih seperlima jumlah plasma yang melalui ginjal. Nilai GFR
berkisar 20 % dari ERPF. 2 Pada penyakit jantung kongestif nilai FF meningkat.
Pada glomerulopati karena nilai GFR menurun maka FF juga menurun.8
HASIL
Nilai normal untuk ERPF adalah 491 817 ml/menit/1,73 m2 untuk pria,
dan 439-745 ml/menit/1,73 m2 untuk wanita. 8