Você está na página 1de 3

Agama dan Kekuasaan

Dalam literatur klasik, seringkali konsepsi ini diwacanakan. Adalah mahfum bagi kebanyakan
penikmat dunia politik mengenal konsepsi tersebut: kekuasaan.

Pertanyaannya apakah benar agama dan kekuasaan bisa berjalan.


Indonesia, negeri yang mayoritas muslim dengan persentase 87,18 persen pada sensus 2010.

Al-Ghazali (w. 505 H.) dalam bukunya al-Iqtishd fi al-Itiqd berkata bahwa agama dan
kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan merupakan
penjaganya. Bagi al-Ghazali agama (Islam) tidak bisa dipisahkan dari negara.
Sosok al-Ghazali memang bukanlah representasi beragamnya madzhab teologi (kalm), fiqh,
ataupun pemikiran politik umat Islam. Tetapi jika dicermati, sejarah panjang kesadaran dan
praktik politik umat sejak generasi awal sejalan dengan pandangan al-Ghazali. John L.
Esposito dalam Islam and Politics mengakui kenyataan ini dengan mengatakan: Whet-her
under Rightly Guided Caliphs or Umayyad and Abbasid rulers, the ideological foundation of
the comunity / state was Islam.
Sebagai imam besar madzhab al-Asyari dalam teo-logi, asy-Syafii dalam fiqh, dan Sunni
dalam pemikiran politik, pemikiran al-Ghazali memiliki banyak pengikut di dunia Islam,
termasuk Indo-nesia. Magnum opus-nya: Ihy Ulm ad-Dn menjadi buku bacaan wajib bagi
santri-santri NU. Di negeri tetangga kita, Malaysia, Naquib al-Attas dengan ISTAC-nya juga
banyak mengembangkan ide-ide al-Ghazali. Namun tam-paknya tidak semua pengikut alGhazali saat ini sepakat dengan pandangannya me-ngenai relasi agama Islam dengan negara.
Diantara alasannya karena menyepakati pandangan al-Ghazali di atas berarti melawan arus
global Seku-larisme, Pluralisme dan De-mokrasi. Sekularisme yang salah satu doktrinnya
adalah desakralisasi politik telah mengharamkan peran agama dalam ruang publik dan akan
memposisikan pemikir seperti al-Ghazali sebagai pelaku maksiat. Pluralisme dengan
relativitas kebenarannya tidak akan rela dengan adanya dominasi satu agama dalam negara.
Dan Demokrasi yang mencita-citakan kedaulatan rakyat telah menjadikan ke-daulatan
Tuhan sebagai musuh.
Keberatan yang diajukan Sekularisme, Pluralisme, dan Demokrasi terhadap terhadap peran
agama, termasuk Islam, dalam ruang publik bukan tanpa alasan. Tiga ide ini sen-diri
dicetuskan dalam setting sejarah tertentu di Barat yang diantaranya adalah trauma yang
mereka alami ketika ge-reja mendominasi ruang publik. Ada kejumudan ilmu pengetahuan,
inkuisisi, dan berbagai kezaliman atas nama tuhan, dan sebagainya.
Apakah dunia Islam me-ngalami hal yang serupa? Tentu tidak. Zaman keemasan Madinah,
Baghdad, Damas-kus, Mesir, dan Andalusia jus-tru dialami ketika Islam mendominasi ruang

publik. Tapi memang masalahnya adalah bahwa zaman ke-emasan pun tidak terlepas dari
noda-noda hitam sejarah. Banyak pertumpahan darah yang disebabkan perebutan kakuasaan,
perseteruan antar madzhab, agama, dan se-bagainya.
Noda-noda hitam inilah yang selalu dijadikan alasan oleh para penganut Seku-larisme,
Pluralisme, dan Demokrasi untuk menolak pe-ran Islam di ruang publik. Sebenarnya tidak
ada satu sejarah peradaban pun yang lepas dari noda hitam. Selalu ada gap antara idealitas
dengan realitas. Di sisi lain, sikap terhadap berbagai cacat sejarah yang ada sangat tergantung pada sudut pandang yang diambil.
Bagi orang yang memiliki sudut pandang seperti al-Ghazali, berbagai noda hitam dalam
sejarah Islam lebih disebabkan oleh human error: kebodohan, ketamakan, tidak adanya
profesionalitas, dan sebagainnya; bukan kesa-lahan Islam. Karena Islam yang sempurna juga
dipahami dan dilaksanakan oleh ma-nusia yang tidak sempurna. Demikian pula ketika peradaban Sekular-Demokratik dikritik karena tidak juga mampu menjelma dalam wujud
sempurna dalam level praksis, jawaban yang muncul adalah: masih prosesatau human
error.
Bagaimanapun, me-ngambil posisi melawan arus memang tidak nyaman. Tetapi kalaulah alGhazali masih hidup di zaman ini, tentu ia akan tetap pada posisinya. Karena ini adalah
masalah keyakinan dalam memandang kehidupan; yaitu bahwa Islam bukan sekedar
mengatur masalah ibadah ritual yang cukup dilaksanakan oleh individu, melainkan juga
mengatur masalah politik, so-sial, ekonomi, dan hubungan internasional yang mem-butuhkan
adanya negara untuk mengimplementasi-kannya; bukan untuk ke-baikan komunal, melainkan
rahmatan lil lamn.

Você também pode gostar