Você está na página 1de 11

ADAB BERMASYARAKAT

Pada awal surah telah dibicarakan hal-hal besar seperti hukum pidana (perzinaan dan
tuduhan), hingga upaya preventif dari tindak pidana itu seperti istidzan sebelum memasuki
rumah danghadhdhul-bashar, adab kaum muslimin dan kaum munafiq dalam bertahkim
kepada Rasulullah.
Pada bagian ini akan dibahas secara khusus adab pergaulan dalam
masyarakat, istidzanmemasuki rumah orang lain maupun untuk meninggalkan majlis, dan
penataan ziyarah dan jamuan makan antara sahabat dan kerabat, di samping adab dalam
memanggil orang yang lebih mulia. Semuanya ini adalah adab yang berkaitan dengan
masyarakat muslim dalam menata hubungan sosialnya.
Permasalahan ini dijelaskan dalam surah An Nur ayat 58 sampai 64









) (58


) (59



) (60











) (61



) (62







) (63
)(64
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang
kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin
kepadamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum shalat Shubuh, ketika
menanggalkan pakaian (luar)mu, ditengah hari dan sesudah salat Isya. Itulah tiga
aurat bagimu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain (tiga
waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada
sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka
meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka memeinta izin.
Dan perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haidh) yang tiada ingin
kawin (lagi, tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak

bermaksud menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi
mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula)
bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri makan (bersama-sama
mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibumu, di
rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di
rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang
perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang
perempuan, di rumah yang kamu miliki kuncinya, atau di rumah kawan-kawanmu.
Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka
apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu
memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu
sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu memahaminya.
Sesungguhnya yang sebenar-benarnya orang mumin ialah orang yang beriman
kepada Allah dan rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah
dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan
(Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang
meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena
sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka
dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasulullah
di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain.
Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di
antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih.
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasulullah di antarakamu seperti panggilan
sebagian kamu kepada sabagian yang lain. Sesungguhnya Allah telah mengetahui
orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung
(kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
Ketahuilah sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bui.
Sesungguhnya Dia mengetahui keadaan yang kamu berada di dalamnya. Dan
mengetahui pula hari manusia dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya
kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.

1. Waktu Privasi
Para pelayan (budak) dan anak-anak yang sudah mumayyiz (berusia kurang lebih 7
tahun) sebelum berusia baligh boleh memasuki rumah tanpa meminta izin terlebih dahulu,
kecuali dalam tiga waktu berikut ini.yaitu :
a. Sebelum shalat fajar. Sebab biasanya pada waktu itu seseorang sedang tidur, atau
dalam keadaan yang tidak ingin terlihat orang lain.
b. Waktu Zhuhur, (tidur siang). Sebab pada waktu itu biasanya seseorang
menanggalkan pakaiannya karena udara panas, atau sedang bersama keluarganya.
c. Setelah shalat Isya. Sebab waktu itu adalah waktu tidur dan istirahat.
Hal ini didasarkan pada firman Allah :










Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah budak-budak (lelaki dan
wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh di antara
kamu, meminta izin kepadamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu sebelum
shalat Shubuh, ketika menanggalkan pakaian (luar)mu, ditengah hari
dan sesudah salat Isya. Itulah tiga aurat bagimu. Tidak ada dosa
atasmu dan tidak pula atas mereka selain (tiga waktu) itu. Mereka
melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang
lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An Nur/24:58)
Tiga waktu ini disebut dengan aurat karena sering terbukanya aurat pada waktuwaktu seperti itu.
Ayat di atas memerintahkan kepada para pendidik untuk membimbing anak yang
belum mencapai usia baligh, tetapi sudah mumayyiz supaya meminta izin.
Di luar tiga waktu itu tidak diharuskan meminta izin terlebih dahulu karena akan
sangat berat dilakukan oleh orang-orang yang terbiasa keluar masuk rumah tersebut, karena
usianya yang masih anak-anak atau kebutuhan pelayan untuk menjalankan tugasnya.
Hal ini sebagai antisipasi jika orang yang berada dalam rumah itu, dalam keadaan
yang tidak ingin terlihat orang lain, termasuk anak-anaknya sendiri.
Dengan konsep ini Allah mendidik kaum muminin dengan adab mulia, agar
terbangun umat yang sehat, lurus jiwanya, suci pikirannya, bersih perasaannya dan jelas
pemahamannya.
Dan ketika anak sudah baligh maka ia diharuskan meminta izin sebelum masuk rumah
orang lain dan bahkan rumah orang tuanya sendiri, sebagaimana orang dewasa
lainnya. Firman Allah :

Artinya: Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka
meminta izin, seperti orang-orang sebelum mereka memeinta izin. (QS. An Nur/24:
59)

Dari Atha bin Yasar, menceritakan ada seseorang yang bertanya kepada Nabi :
Apakah saya harus meminta izin sebelum memasuki rumah ibuku? Jawab Nabi; Ya!. Orang
itu berkata: Saya serumah bersamanya?. Sabda Nabi: Mintalah izin kepadanya!. Orang
itu berkata lagi : Saya yang menjadi pelayannya?. Sabda Nabi: Mintalah izin kepadanya!
Apakah kamu ingin melihat ibumu telanjang? Jawab orang itu : Tidak!. Sabda Nabi:
Mintalah izin kepadanya. [1]
Demikianlah ajaran Islam mentarbiyah umatnya untuk memiliki kepribadian yang
mulia, dan mampu menghormati hak orang lain.
2. Penataan Hubungan antar Kerabat dan Sahabat
Sebelum datang ayat ini, kaum muslimin sering merasa bersalah ketika makan
bersama-sama tiga kelompok ini, yaitu:
a. Orang buta, karena ia tidak melihat makanan sehingga tidak dapat mebedakan
mana yang enak dan mana yang kurang enak.
b. Orang pincang, karena ia tidak dapat mapan ketika duduk, sehingga dikhawatirkan
mengganggu hak duduk orang lain.
c. Orang sakit, karena tidak dapat menikmati makanan sebagaimana layaknya.
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turunnya ayat ini yaitu:
1. Dari Mujahid
Bahwa orang-orang pada waktu itu apabila berkunjung ke rumah bapaknya,
atau rumah saudaranya, rumah saudarinya, rumah pamannya, atau rumah saudara
ibunya, biasa bersama-sama dengan orang buta, pincang atau sakit. Orang-orang yang
diajaknya merasa berkeberatan dengan mengatakan: Mereka membawa kamu ke
rumah orang lain. Maka turunlah ayat in sebagai kelonggaran bagi mereka untuk
makan di rumah orang lain.[2]
2. Dari Ibnu Abbas
Ketika turun ayat 29 surah An Nisa,[3] kaum muslimin menghentikan makan
di tempat orang lain, padahal mereka beranggapan bahwa menjamu makan itu adalah
memanfaatkan harta yang paling utama. Maka turunlah ayat ini, memberikan
kelonggaran untuk makan yang disediakan untuk mereka.[4]
3. Dari Adh Dhahhak
Bahwa orang-orang Madinah sejak sebelum Nabi diutus sebagai rasul tidak
suka makan dengan orang buta, orang sakit, atau orang pincang. Karena orang buta
tidak dapat makanan enak, orang sakit tidak dengan cocok makanan orang sehat, dan
orang pincang tidak dapat berebut makanan. Maka ayat ini turun untuk mengubah
kebiasaan mereka.[5]
Maka ayat ini menjadi solusi atas persoalan mereka. Firman Allah :















Artinya: Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak
(pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri makan
(bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-

bapakmu, di rumah ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di


rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang lakilaki, di rumah saudara bapakmu yang perempuan, di rumah saudara ibumu
yang laki-laki, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah yang
kamu miliki kuncinya, atau di rumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan
bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu
memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kamu memberi
salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu
sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik.
Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat (Nya) bagimu, agar kamu
memahaminya. (QS. An Nur/24:61)
a. Makan Bersama
Ada sebagian tradisi Arab yang mereka warisi dari Nabi Ibrahim, bahwa tidak
diperbolehkan makan sendirian, harus ada yang menemani sewaktu makan. Tradisi ini
masih dipelihara oleh suku Kinanah. Jika ia punya tamu, ia tidak akan makan kecuali
bersama dengan tamunya.
Ayat ini menjelaskan tentang sunnah makan yang sangat berbeda dengan
tradisi Arab yang mengharamkan makan sendirian.
Arab memang berhasil mengukir kedermawanan, namun ia berlebihan dalam
penekanan. Islam meluruskan tradisi itu dengan mengatakan bahwa makan bersamasama itu baik, akan tetapi makan sendirian juga tidak dilarang.[6]
Kemudian adab makan dalam Islam dijelaskan dengan lebih detail yaitu:
1. Mencuci tangan sebelum makan, sabda Nabi:

:
:



Artinya: Diriwayatkan dari Anas bin Malik radliallaahu anhu bahwa Rasulullah
bersabda : Barang siapa menginginkan agar Allah memperbanyak
kebaikan rumahnya maka hendaklahia berwudhu ketika makanan
datang dan diangkat (selesai makan). (HR. Ibnu Majah)
2. Berdoa dan membaca basmalah, ketika hendak memulai dan hamdalah ketika usai
makan, sabda Nabi:

:


, ,
Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah radliallaahu anha bahwa Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda : Jika di antara kamu maka,
hendaklah ia menyebut nama Allah (Basmalah). Dan apabila ia lupa
menyebut nama Allah pada awalnya, maka hendaklah ia mengucapkan:
Bismillah awwalahu wa akhirahu(Dengan menyebut nama Allah di
awal dan di akhirnya).(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ahmad)

, :

, , :
: , : ,
,
Artinya: Dari Sahal bin Muadz bin Anas dari bapaknya bahwa Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa yang memakan
makanan kemudian berkata : Segala puji bagi Allah yang telah memberi
makan ini, dan memberi rizki tanpa kekuatan dan daya kami, maka
Allah akan ampuni dosanya yang telah berlalu dan yang akan datang.
Dan barangsiapa yang memakai pakaian, kemudian berkata : Segala
puji bagi Allah yang telah memberikanku pakaian ini dan
memberikannya sebagai rizki kepadaku, dengan tanpa kekuatan dan
daya kami, maka Allah akan ampuni dosanya yang telah berlalu dan
yang akan datang. (HR. Abu Dawud)
3. Tidak mencela makanan yang disajikan. Abu Hurairah berkata:

,

:
,
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah radliallaahu anhu bahwa dia
berkata : Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam sama sekali tidak
pernah mencela makanan. Jika ia berselera ia makan dan jika tidak
berselera ia tinggalkan.(Hadits Muttafaq alaih)
4. Makan dengan tangan kanan dan mengambil yang terdekat dengan posisinya.
Umair ibnu Abi Salamah berkata: Aku pernah menjadi pelayan di rumah
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Ketika makan tanganku menjuluri meja
makan. Rasulullah menegurku:

Artinya: Hai anak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kanan, dan
makanlah makanan yang terdekat denganmu. (Hadits Muttafaq alaih)
5. Tidak makan sambil bersandar. Abu Juhfah Wahb bin Abdullah berkata: Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: Saya tidak makan sambil bersandar. (HR Al Bukhari)
6. Mendoakan tuan rumah seusai makan. Anas ra berkata bahwa Nabi Muhammad
shallallaahu alaihi wa sallam datang ke rumah Saad bin Ubadah. Saad
membawakan roti dan minyak kepada beliau. Beliaupun memakannya kemudian
berdoa:

Artinya: Semoga orang-orang yang berpuasa berbuka di rumahmu, dan orangorang baik yang makan makananmu, dan para malaikat
mendoakanmu. (HR. Abu Dawud)
7. Tidak menyia-nyiakan nikmat Allah. Anas ra berkata : Apabila Rasulullah makan
makanan, maka beliau menggunakan ketiga jarinya dan berkata: Apabila sesuap
makananmu jatuh, maka hendaklah ia mengambilnya dan membersihkan
kotorannya, lalu hendaklah ia memakannya dan janganlah membiarkannya untuk
syetan. Dan Rasulullah menyuruh kami supaya mengeluarkan piring besar, seraya
bersabda:

Artinya: Sesungguhnya kamu tidak mengetahui di bagian manakah terdapat


barakahnya.(HR. Muslim)
b. Memberikan salam
Islam sangat mendorong umatnya untuk menyebarkan salam yang berarti
doa keselamatan. Firman Allah:

Artinya: Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini)
hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti
memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi
Allah, yang diberi berkat lagi baik.(QS. An Nur/24: 61)
Ayat ini mengungkapkan dengan lembut kekuatan hubungan masyarakat
muslim. Orang yang memberikan salam kepada orang lain, sesungguhnya ia
memberikan salam kepada dirinya sendiri. Dan salam yang diberikan adalah salam
yang datangnya dari Allah.
Dalam sebuah hadits disebutkan :




:


, :
,

Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada Rasulullah : Islam manakah yang paling baik ?. Dia
bersabda : Engkau memberikan makan dan memberikan salam kepada
yang telah engkau kenal dan yang belum engkau kenal. (Hadits Muttafaq
alaih)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

:



Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa dia berkata : Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa sallam bersabda : Kalian tidak akan masuk surga
sebelum kalian beriman, dan kalian tidak beriman sebelum kalian saling
cinta-mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang

apabila kalian kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai?


Sebarkanlah (budayakan) salam di antara kalian. (H.R. Muslim)
3. Istidzan Meninggalkan Majlis
Kaum muslimin adalah sebuah keluarga besar, dan Rasulullah shallallaahu
alaihi wa sallam sebagai qaid (pimpinan) keluarga itu.
Dalam mengatur hubungan internal keluarga ini Allah SWT mengajarkan adab
mulia yang menunjukkan ketinggian budi dan kebesaran jiwa.
Ayat ini dilatar belakangioleh sikap orang munafiq yang meninggalkan forum
bersama tanpa izin, sperti yang diterangkan dalam sababun nuzul ayat ini, yaitu:
Ketika Rasulullah dan kaum muslimin sedang menggali khandaq (parit) untuk
menghadapi perang Ahzab. Rasulullah sendiri menyisingkan lengan bajunya bekerja
keras bersama kaum muslimin. Akan tetapi kaum munafiq memperlambat pekerjaan
itu dengan memilih pekerjaan yang ringan-ringan dan sering mereka diam-diam
meninggalkan pekerjaan itu tanpa sepengetahuan Rasulullah untuk menengok
keluarganya. Sedangkan kaum muslimin apabila terpaksa harus meninggalkan
pekerjaan itu, ia meminta izin terus terang kepada Rasulullah dan Rasulullah
mengizinkannya. Apabila telah selesai kepentingan mereka, mereka segera
melanjutkan tugasnya. Berkaitan dengan sikap inilah ayat ini turun, dengan
menjelaskan perbedaan sikap orang beriman dan orang munafiq.[7]
Firman Allah:



Artinya: Sesungguhnya yang sebenar-benarnya orang mumin ialah orang yang
beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersamasama Rasulullah dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka
tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.
Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad)
mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka
apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah
izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu jadikan panggilan
Rasulullah di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada
sebagian yang lain. Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang
berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada
kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul
takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An Nur/24:
62)
Apapun latar belakangnya, ayat ini mengajukan konsep adab mulia dalam
bermasyarakat.

Adab ini hanya bisa muncul dari dalam jiwa yang dipenuhi dengan cahaya
iman. Dan jika adab ini ditegakkan dengan baik maka akan tegaklah sendi
kemasyarakatan yang kokoh. Dan jika tidak ditegakkan maka akan melahirkan
kekacauan-kekacauan dan ketidak pastian dalam tata kemasyarakatan.
Keberadaan iman yang hakiki menjadi kunci keberhasilan konsep ini. Tidak
cukup hanya dengan pernyataan iman lalu tidak ada realisasi ajaran agama dalam
kehidupannya.
Adab-adab kaum muslimin terhadap Rasulullah sebagai pimpinan umat dalam
bermasyarakat itu ialah:
a. Adab majlis.
Umat Islam yang merupakan satu kesatuan keluarga harus memiliki
perhatian terhadap urusan-urusan penting yang memerlukan peran serta seluruh
umat, seperti permusyawaratan, peperangan, atau kerja-kerja sosial lainnya.
Di sinilah seorang mumin tidak diperbolehkan meninggalkan forum tanpa
mendapatkan izin dari pimpinannya, untuk menjaga suasana agar tidak kacau dan
urusan bersama menjadi terbengkelai.
Kaum muminin meyakini konsep ini sebagai konsep rabbani (datangnya
dari Allah), mereka konsisten dengan konsep ini sebagaimana mereka konsisten
dengan kepentingan bersama umat ini. Mereka tidak akan meninggalkan forum
kecuali dalam terpaksa. Iman dan adab melindungi mereka agar tidak
meninggalkan urusan bersama yang menjadi perhatian masyarakat, dan
memerlukan pertemuan bersama.
Al Quran memberikan hak untuk mengizinkan atau tidak kepada pendapat
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam sebagai pimpinan umat. Al Quran
memberikan otoritas kepada pemimpin untuk memerankan fungsi leadernya.
Mempertimbangkanmashlahat (kebaikan) dan madharrat (kerugian) yang timbul
dari keberadaan seseorang atau kepergiannya.
Walaupun demikian Al Quran mengarahkan bahwa bertahan dalam urusan
jamaah jauh lebih baik daripada meninggalkannya, untuk memenuhi kebutuhan
yang dianggap mendesak. Sebab keluarnya seseorang dari permasalahan jamaah
mengesankan kurangnya perhatian dan kurangnya keterlibatan dalam urusan
jamaah. Sehingga Rasulullah sebagai pimpinan umat diajarkan untuk memintakan
ampunan kepada orang yang meninggalkan forum, meskipun telah mendapatkan
izinnya.
b. Adab memanggil Rasulullah
Seorang mumin ketika memanggil Rasulullah hatinya dipenuhi oleh rasa
cinta dan hormat kepadanya. Sehingga setiap kalimat yang keluar dari mulutnya
adalah cerminan dari rasa cinta dan hormat itu.
Hal ini mendasar untuk disampaikan, karena Rasulullah sebagai seorang
pendidik harus dihormati oleh anak didiknya. Sebagai seorang pemimpin harus
disegani oleh rakyatnya.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam sangat tawadhu (rendah hati),
lunak dan mudah. Kondisi ini tidak boleh melenakan para sahabat, bahwa
Rasulullah adalah murabbi(guru)- nya, yang bisa dipanggil sebagaimana panggilan
antara mereka. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam adalah seorang pendidik
yang harus tetap diposisikan lebih tinggi dari sesamanya, dalam batas-batas yang
diajarkan agama.
Adab muslim dalam memanggil Rasulullah adalah:
1. Tidak memanggilnya dari balik kamar. Firman Allah:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memanggilmu dari luar kamar


(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti (QS. Al Hujurat/49: 4)
2. Tidak mengeraskan suaranya melebihi suara nabi. Firman Allah:







Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya
dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu
terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalmu,
sedang kamu tidak menyadari. (QS. Al Hujurat/49: 2)
3. Tidak memanggil dengan namanya atau nama kunyah-nya (Abu Qasim),
sebagaimana panggilan kepada sesama. Akan tetapi memanggilnya dengan
panggilan kehormatan sebagaimana Allah menghormatinya, yaitu: Ya
Nabiyyahllah, atau Ya Rasulallah.
c. Ancaman Meninggalkan Majlis Tanpa Izin
Allah SWT memperingatkan kepada siapapun yang keluar dari majlis
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam dengan sembunyi-sembunyi sebagai
bentuk penyimpangan dari Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya, atau merupakan
perlawanan terhadap perintah Allah dan rasul-Nya. Mundur dengan sembunyisembunyi menunjukkan sifat pengecut dan perbuatan hina yang menunjukkan
kehinaan seseorang.
Meskipun mata kepala Rasulullah tidak melihatnya, tetapi penglihatan
Allah tidak akan pernah terlena. Firman Allah:





Artinya: Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsurangsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya),
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An Nur/24: 63)
Amrihi (perintah rasul) dalam arti luas adalah seluruh ajaran yang
disampaikan. Sabda Nabi:

:


Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
sallam bersabda : Barang siapa yang mengada-ada sesuatu dalam
agama ini, yang tidak ada dasarnya, maka itu pasti tertolak. (Hadits
Muttafaq alaih)

Peringatan ini sangat menakutkan. Orang-orang yang meninggalkan jalan


hidup Rasulullah untuk mencari jalan hidup lainnya, dengan bersembunyisembunyi atau terang-terangan diancam dengan :
a. Terkena fitnah kemunafikan. Tidak ada stabilitas nilai, tidak ada keterikatan
aturan, bercampur aduk antara haq dan batil, baik dan buruk, kerusakan tatanan
sosial, sehingga tidak ada seorangpun yang dapat merasa aman atas diri dan
kekayaannya.
b. Berhadapan dengan azab Allah yang sangat pedih. Rasulullah shallallaahu alaihi
wa sallam mengumpamakan dirinya dengan umat ini, mengatakan:




Artinya: Perumpamaan diriku dan kamu semua adalah bagaikan seorang lakilaki yang menyalakan api. Serangga dan laron memperebutkan api
itu hingga terbakar, dan orang itu berusaha menghalau serangga dan
laron itu dari api. Dan saya sudah menghalau kamu semua dari api
neraka, tetapi kamu melepaskan diri dari tanganku. (H.R. Ahmad dan
Muslim)
Peringatan ini ditutup dengan mengingatkan manusia, yang beriman maupun yang
menyimpang, bahwa Allah melihat semua yang terjadi, mengawasi semua perbuatan yang
mereka lakukan. Firman Allah:






Artinya: Ketahuilah sesungguhnya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit
dan di bumi. Sesungguhnya Dia mengetahui keadaan yang kamu berada
di dalamnya (sekarang). Dan (mengetahui pula) hari (manusia)
dikembalikan kepada-Nya, lalu diterangkan-Nya kepada mereka apa yang
telah mereka kerjakan. Dan Allah mengetahui segala sesuatu. (QS. An
Nur/24: 64)
Demikianlah surah ini menutup pembahasannya dengan mengikat hati dan pandangan
manusia kepada Allah SWT. Mengingatkannya untuk senantiasa bertakwa dan takut kepadaNya. Inilah jaminan terakhir. Rasa takut dan takwa kepada Allah-lah yang akan menjadi
pagar pembatas manusia dari aturan, hukum, adab, dan akhlak yang telah Allah tetapkan
untuk manusia ini.

Você também pode gostar