Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu deformitas oro-fasial yang cukup sering dijumpai adalah celah bibir langitlangit, kedua jenis deformitas ini dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan. (Sianita,2011).
Labiopalatoschisis atau Cleft Lip and Palate (CLP) dalam bahasa Indonesia dikenal dengan
bibir sumbing atau celah bibir dan atau langitan merupakan kelainan yang sering terjadi pada
congenital deformity setelah clubfoot deformity. Celah bibir adalah suatu keadaan terbukanya
bibir sedangkan celah langitan adalah kelainan terbukanya langit-langit rongga mulut. Hal ini
merupakan suatu perkembangan bibir dan langitan yang tidak sempurna semasa janin
terbentuk. Celah bibir dan atau langitan mempengaruhi kira-kira 1 dari 750 angka kelahiran.
Celah ini berhubungan dengan banyak masalah termasuk estetik dan bentuk gigi yang
abnormal juga dengan masalah wicara, pendengaran, dan wajah. (Pujiastuti, 2008).
Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum adalah 1 dari 2.000 kelahiran di
Amerika Serikat. Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum bervariasi
berdasarkan etnis, dari 1.000 kelahiran didapatkan pada etnis Indian 3,6, etnis Asia 2,1, etnis
kulit putih 1,0, dan etnis kulit hitam 0,41. Sebaliknya, insidens celah palatum konstan pada
semua etnis, yaitu 0,5 dari 1.000 kelahiran. Di Indonesia, kelainan ini cukup sering dijumpai,
walaupun tidak banyak data yang mendukung. Jumlah penderita bibir sumbing dan celah
palatum yang tidak tertangani di Indonesia mencapai 5.000-6.000 kasus pertahun,
diperkirakan akan bertambah 6.000-7.000 kasus per tahun. Namun karena berbagai kendala,
jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal, hanya sekitar 1.000-1.500 pasien per
tahun yang mendapat kesempatan menjalani operasi. (Irawan, 2014)
Seorang anak yang dilahirkan dengan deformitas ini akan berbagai kesulitan dan
seringkali berdampak serius. Kesulitan yang dimaksud antara lain dalam berbicara,
mendengar, membaca, selain itu anak dengan celah bibir dan langit-langit sering merasa
malu, rendah diri dan menarik diri dari lingkungannya (Sianita, 2011). Dari uraian tersebut
diatas, maka Labiopalatoschisis atau Cleft Lip and
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan asuhan
keperawatan sistem pencernaan pada klien dengan Labiopalatoschisis atau Cleft Lip and
Palate (CLP)
1.2.2
Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memahami:
a Anatomi Fisiologi Rongga Mulut
b Definisi Cleft Lip and Palate (CLP)
c Etiologi Cleft Lip and Palate (CLP)
d Manifestasi klinis Cleft Lip and Palate (CLP)
e Patofisiologi dan WOC Cleft Lip and Palate (CLP)
f Komplikasi Cleft Lip and Palate (CLP)
g Pencegahan Cleft Lip and Palate (CLP)
h Penatalaksanaan pada klien dengan Cleft Lip and Palate (CLP)
i Asuhan keperawatan pada klien dengan Cleft Lip and Palate (CLP)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Rongga Mulut
Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomi oleh pipi,
palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding bagian lateral masingmasing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit.
Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa, yang terdiri dari
epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot businator (otot yang menyusun
dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian
anterior dari pipi berakhir pada bagian bibir (Tortora et al., 2009).
Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas dan bibir bagian
bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada bagian superior sampai ke
lipatan nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior.
Bibir bagian bawah terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura
pada bagian lateral dan ke bagian mandibula pada bagian inferior (Jahan-Parwar et al., 2011).
Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis, jaringan
subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun dari bagian
superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion merupakan bagian yang
tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitelepitel pada bagian ini melapisi
banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan warna yang khas pada bagian tersebut.
Selain itu, gambaran histologi juga menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor.
Folikel rambut dan kelejar sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur
tersebut tidak ditemukan pada bagian vermilion (Tortorra et al., 2009; Jahan-Parwar et al.,
2011).
Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan dengan gusi
pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di bagian tengah dari
membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat melakukan proses mengunyah,
kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otototot orbukularis oris di bibir akan membantu
untuk memosisikan agar makanan berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah.
Otot-otot tersebut juga memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara.
Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga
mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Struktur palatum
sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan bernafas pada saat yang sama.
Palatum secara anatomis dibagi menjadi dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan
palatum mole (palatum lunak). Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga
mulut. Palatum durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara
rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila dan tulang
palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap rongga mulut
dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat berbentuk lengkungan yang
membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari jaringan otot
yang sama halnya dengan paltum durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Marieb and
Hoehn, 2010; JahanParwar et al., 2011).
2.2 Definisi
a. Labio Palato skisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut,
palato skisis (sumbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk menyatu
selama perkembangan embrio (Hidayat, Aziz, 2006).
b. Bibir sumbing adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya propsuesus nasal
median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embriotik. (Wong,
Donna L. 2003).
c. Celah bibir dan celah langitan adalah suatu kelainan kelahiran yang terjadi di daerah
mulut dan bibir. Keadaan kelainan ini dapat meyebabkan berbagai bervariasi problem
yang berhubungan dengan rongga mulut, bicara, pendengaran dan mungkin juga
mempengaruhi jumlah, ukuran, bentuk dan posisi gigi sulung maupun gigi tetap.
(Pujiastuti,2008)
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu :
Golongan I
: Celah pada langit-langit lunak (gambar 1).
Golongan II
Golongan III
Golongan IV
Gambar 1. A. Celah pada langit-langit lunak saja. B. Celah pada langit-langit lunak dan keras. C. Celah yang meliputi
langit-langit dan lunak keras juga alveolar pada satu sisi. D. Celah yang meliputi langit lunak dan keras juga alveolar
dan bibir pada dua sisi. (Young & Greg. Cleft lip and palate. http://www2.utmb.edu/otoref/Grnds/Cleft-lip-palate9801/Cleft-lip-palate-9801. 2 December 2011.)
Gambar 2. (A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir bilateral dengan celah
langit-langit dan tulang alveolar, (D) Celah langit-langit. (Stoll et al. BMC Medical genetics. 2004, 154.)
2.4 Etiologi
Etiologi celah bibir adalah multifaktorial dan etiologi celah bibir belum dapat
diketahui secara pasti. Pembentukan bibir terjadi pada masa embrio minggu keenam sampai
minggu kesepuluh kehamilan. Penyebab kelainan ini dipengaruhi berbagai faktor, disamping
faktor genetik, bisa juga faktor non-genetik.
a. Faktor Genetik
Faktor herediter mempunyai dasar genetik untuk terjadinya celah bibir telah diketahui
tetapi belum dapat dipastikan sepenuhnya. Kruger (1957) mengatakan sejumlah kasus
yang telah dilaporkan dari seluruh dunia tendensi keturunan sebagai penyebab kelainan
ini diketahui lebih kurang 25-30%. Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai
gagalnya mesodermal berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini
seharusnya bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada epithelium ataupun tidak
adanya perubahan otot pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada daerah
tersebut. Sebagai tanda adanya hipoplasia mesodermal. Adanya gen yang dominan dan
resesif juga merupakan penyebab terjadinya hal ini. Teori lain mengatakan bahwa celah
b. Faktor Non-Genetik
Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu hal penyabab terjadinya
celah. Melalui percobaan yang dilakukan pada binatang dengan memberikan
vitamin A secara berlebihan atau kurang. Yang hasilnya menimbulkan celah pada
anak-anak tikus yang baru lahir. Begitu juga dengan defisiensi vitamin riboflavin
pada tikus yang sedang dan hasilnya juga adanya celah dengan persentase yang
tinggi, dan pemberiam kortison pada kelinci yang sedang hamil akan menimbulkan
wanita berumur 35 tahun maka sel-sel telurnya juga berusia 35 tahun (Pai, 1987).
Meskipun obat yang digunakan selama kehamilan terutama untuk mengobati penyakit
ibu, tetapi hampir selalu janin yang tumbuh akan menjadi penerima obat. Penggunaan
asetosal atau aspirin sebagai obat analgetik pada masa kehamilan trimeseter pertama
dapat menyebabkan terjadinya celah bibir. Beberapa obat yang sebaiknya tidak
dikonsumsi selama kehamilan
adalah
rifampisin,
fenasetin,
sulfonamid,
bibir
dan
langit-langit,
tetapi
hanya
sedikit
Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan trauma fisik dapat
menyebabkan terjadinya celah. Stress yang timbul menyebabkan fungsi korteks
adrenal terangsang untuk mensekresi hidrokortison sehingga nantinya dapat
mempengaruhi keadaan ibu yang sedang mengandung dan dapat menimbulkan celah,
dengan terjadinya stress yang mengakibatkan celah yaitu : terangsangnya
hipothalamus adrenocorticotropic hormone (ACTH). Sehingga merangsang kelenjar
adrenal bagian glukokortikoid mengeluarkan hidrokortison, sehingga akan meningkat
di dalam darah yang dapat menganggu pertumbuhan.
2.6 WOC
Geneti
k
Teratoge
n
Toksikosis
Kehamilan
Infeksi
Kegagalan perkembangan
tulang dan jaringan lunak
pada trimester I
Prosesus maxilaris tumbuh ke 2
arah
Medial
Anterior
Penyatuan dengan
pembentukan prosesus
fronto nasal (pada 2 titik
bawah lubang hidung untuk
membentuk bibir atas)
Sel mesekim
sebagai
penginduksi
Diferensiasi sel epitel
pada prosesus palatal
Gagal
Menyatu
Gagal
Terdapat celah pada
bibir saja/lubang
hidung, tulang
maxila, gigi
Hambatan Komunikasi
Resiko Aspirasi
Labioski
sis
Pembedahan
Ketidakmamp
uan
menghisap
Ketidakefektifan
pemberian ASI
Nyeri
Kerusakan
Integritas
Kulit
2.7 Komplikasi
a. Masalah asupan makanan
Masalah asupan makanan merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
celah bibir. Adanya celah bibir memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan
hisapan payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis
mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang
ditemukan adalah refleks hisap dan refleks menelan pada bayi dengan celah bibir tidak
sebaik normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu. Cara
memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses menyusui
bayi dan menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala dapat membantu. Bayi yang
hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat
menyusui, namun pada bayi dengan labiopalatochisis biasanya membutuhkan
penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga
hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah
pemberian makan/ asupan makanan tertentu.
b. Masalah dental
Anak yang lahir dengan celah bibir mungkin mempunyai masalah tertentu yang
berhubungan dengan kehilangan gigi, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada area
dari celah bibir yang terbentuk.
c. Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena
terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan
penutupan tuba eustachius.
d.
Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada
perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat
menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas
nada yang lebih tinggi (hypernasal quality of 6 speech). Meskipun telah dilakukan reparasi
palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga nasal pada
saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita celah palatum
memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung pendek dan kurang
dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari hidung. Anak mungkin
mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan
terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu
2.8 Pencegahan
a. Menghindari merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan terbaik yang telah
dipelajari untuk terjadinya celah orofacial. Ibu yang menggunakan tembakau selama
kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya celah-celah
orofacial.
b. Menghindari alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi tumbuh
kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan memiliki
hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada sindrom alkohol fetal
(fetal alcohol syndrome)
c. Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan sangat
penting bagi tumbuh kembang bibir, palatum dan struktur kraniofasial yang normal
dari fetus.
a) Asam Folat
Pemberian asam folat pada ibu hamil sangat penting pada setiap tahap kehamilan
sejak konsepsi sampai persalinan. Asam folat memiliki dua peran dalam
menentukan hasil kehamilan, yang pertama adalah dalam proses maturasi janin
jangka panjang untuk mencegah anemia pada kehamilan lanjut dan kedua adalah
dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik. Telah
disarankan bahwa suplemen asam folat pada ibu hamil memiliki peran dalam
mencegah celah orofasial yang non sindromik seperti bibir dan/atau langit-langit
sumbing. Ibu hamil membutuhkan 400mg-800mg asam folat pada tahap yang
sangat awal dari kehamilan setiap harinya.
b) Vitamin B-6
Vitamin B-6 diketahui dapat melindungi terhadap induksi terjadinya celah
orofasial secara laboratorium pada binatang oleh sifat teratogennya demikian juga
kortikosteroid, kelebihan vitamin A, dan siklofosfamid. Deoksipiridin, atau
antagonis vitamin B-6, diketahui menginduksi celah orofasial dan defisiensi
vitamin B-6 sendiri cukup untuk membuktikan terjadinya langit-langit mulut
sumbing dan defek lahir lainnya pada binatang percobaan.
c) Vitamin A
Asupan vitamn A yang dikaitkan dengan peningkatan resiko terjadinya celah
orofasial. Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi
vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan defek
kelahiran lainya pada babi. Penelitian klinis manusia menyatakan bahwa paparan
fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin A juga dapat menghasilkan
kelainan kraniofasial yang gawat.
d. Modifikasi Pekerjaan
Dari data-data yang ada dan penelitian skala besar menyerankan bahwa ada hubungan
antara celah orofasial dengan pekerjaan ibu hamil (pegawai kesehatan, industri
reparasi,
pegawai
agrikulutur).
Teratogenesis
karena
trichloroethylene
dan
terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot khusus
dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang
optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu kecil
sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup, jika dot dengan besar lubang
khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok secara
perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu
melewati langit-langit yang terbelah. Selain itu celah pada bibir harus direkatkan
dengan menggunakan plester khusus non alergenik untuk menjaga agar celah pada
bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan
menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat dorongan lidah pada
prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi
sulit dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non
alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba.
2. Tahap sewaktu operasi
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah
soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan
oleh seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah
usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 56 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan
huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf
bibir tetap menjadi kurang sempurna. Operasi untuk langit-langit (palatoplasty)
optimal pada usia 18 20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum
anak masuk sekolah. Palatoplasty dilakukan sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum
anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara
bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan
mengeluarkan suara normal atau tidak sengau sulit dicapai. Operasi yang dilakukan
sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak,
setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa
melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah
pada posisi yang salah.
3. Tahap setelah operasi.
Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari
tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan
memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing
luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok atau dot khusus
untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang
ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya
untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi
bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak
sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak banyak bermanfaat.
4. Perawatan
a. Menyususi oleh ibu
Menyusu adalah metode pemberian makan terbaik untuk seorang bayi dengan
bibir sumbing tidak menghambat pengahisapan susu ibu. Ibu dapat mencoba
sedikit menekan payudara untuk mengeluarkan susu. Dapat juga menggunakan
pompa payudara untuk mengeluarkan susu dan memberikannya kepada bayi
dengan menggunakan botol khusus (dot domba).
b. Menggunakan alat khusus
1) Dot domba
Karena udara bocor disekitar sumbing dan makanan dimuntahkan melalui hidung,
bayi tersebut lebih baik diberi makan dengan dot yang diberi pegangan yang
menutupi sumbing, suatu dot domba (dot yang besar, ujung halus dengan lubang
besar), atau hanya dot biasa dengan lubang besar.
2) Botol peras
Dengan memeras botol, maka susu dapat didorong jatuh di bagian belakang mulut
hingga dapat dihisap bayi.
c.
Posisi mendekati duduk dengan aliran yang langsung menuju bagian sisi atau
udara
Suatu kondisi yang sangat sakit dapat membuat bayi menolak menyusu. Jika hal
ini terjadi arahkan dot ke bagian sisi mulut untuk memberikan kesempatan pada
kulit yang lembut tersebut untuk sembuh
menyebabkan
kesulitan
kehamilandapat
mengidentifikasi
karakteristik
Diagnosa Keperawatan :
Pre Operasi :
a. Ketidakefektifan pemberian ASI b.d rekfleks hisap bayi buruk
b. Ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
tidak adekuat
c. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
d. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kesulitan berbicara
e. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing dalam jalan
napas
Post Operasi :
a. Nyeri berhubungan dengan inisiasi pembedahan
b. Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pasca pembedahan
Intervensi Keperawatan Pre-Operasi :
No Diagnosa
Tujuan dan kriteria hasil
Intervensi
1
Ketidakefektifan pemberian Setelah dilakukan tindakan a. Kaji kemampuan bayi
pemberian
untuk
menghisap
ASI b.d rekfleks hisap bayi keperawatan,
ASI pada bayi efektif
secara efektif
buruk
b. Pantau
keterampilan
dengan kriteria hasil :
ibu
dalam
- Keberlangsungan
Risiko
aspirasi Setelah dilakukan tindakan
berhubungan
dengan keperawatan,
bayi/anak
gangguan menelan
terhindar
dari
aspirasi,
dengan kriteria hasil :
Bayi
menunjukkan
peningkatan
kemampuan
menelan,
bertoleransi terhadap asupan
oral tanpa aspirasi
Hambatan
komunikasi Setelah dilakukan tindakan
verbal berhubungan dengan keperawatan, pasien tidak
kesulitan berbicara
mengalami
hambatan
komunikasi verbal, dengan
kriteria hasil :
- Mampu
mengkomunikasikan
kebutuhan dengan
lingkungan
- Komunikasi ekspresi
: ekspresi pesan
verbal atau pun non
verbal bermakna
a. Jelaskan
pada
ibu
tekhnik menyusui yang
benar.
b. Tempatkan anak pada
posisi semi fowler
c. Sendawakan
bayi
setelah
setiap
pemberian makan
d. Pantau
status
pernapasan
selama
pemberian makan dan
tanda-tanda
aspirasi
selama
pemberian
makan.
a. Dorong pasien untuk
berkomunkasi secara
perlahan dan untuk
mengulangi permintaan
b. Dengarkan
penuh
perhatian
c. Anjurkan ekspresi diri
dengan cara lain dalam
menyampaikan
informasi
(bahasa
isyarat)
d. Kolaborasi
dengan
terapi wicara
No
1
Diagnosa
Tujuan dan kriteria hasil
Nyeri berhubungan dengan Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
inisiasi pembedahan
nyeri berkurang dengan
kriteria hasil :
Kerusakan
Intervensi
a. Kaji bayi atau anak
untuk
mengetahui
iritabilitas
dan
kegelisahan setiap 2 jam
setelah pembedahan.
b. Berikan
posisi/rasa
nyaman pada bayi
c. Beri obat analgesik,
sesuai program.
d. Lakukan
aktivitas
pengalihan, misalnya,
permainan,
kartu,
videotapes,
dan
membaca buku untuk
anak yang lebih besar.
tidak meregang
pemisahan sutura.
- Pantau tanda dan gejala
infeksi.
b. Beri sedikit air setelah
pemberian makan untuk
membersihkan
mulut
dari setiap sisa susu,
yang
dapat
menyebabkan
pertumbuhan bakteri.
c. Pasang restrain lengan,
sesuai program.
d. Setelah
pembedahan
celah bibir, posisikan
bayi atau anak dengan
baik, berbaring miring
atau telentang- jangan
posisikan
telungkuppertahankan
kepala
tempat
tidur
ditinggikan.
BAB 3
STUDI KASUS
3.1 Contoh Kasus
Ny. A datang ke rumah sakit dengan anaknya bernama An. B yang berumur 2 bulan
dengan keluhan terdapat belahan pada bibir yang menyebabkan bayi susah untuk
menelan dan menyusu.
a. Pengkajian
- Anamnesa
a) Identitas Klien:
Nama : An. B
Usia : 2 bulan
Tempat tgl lahir : Surabaya, 21 Januari 2016
Berat badan : 3000gr
P.B : 48cm
Berat lahir :3000gr
P.B lahir : 48 cm
b) Keluhan Utama : Ibu pasien mengatakan pada bibir anak terdapat celah, anak
susah nyusu dan menelan
c) Riwayat Penyakit Sekarang : sejak dilahirkan 2 bulan lalu di bidan, anak terdapat
celah pada bibir dan langit-langit, anak susah untuk menyusu. Dari bidan
dianjurkan untuk segera dibawa ke RS besar, tapi baru ada biaya dan bantuan
sekarang.
d) Riwayat Kesehatan Lalu (Riwayat kehamilan)
Ibu pasien mengatakan, sewaktu hamil jarang periksa ke bidan karena
menganggap bayinya dalam keadaan sehat dan aktif didalam kandungan, selama
mengandung tidak meminum asaam folat, dan vitamin lainnya.
e) Riwayat Kesehatan Keluarga
Ibu pasien mengatakan di keluarga tidak ada yang mengalami kelaianan pada
celah bibir
f) Riwayat Nutrisi
Ibu pasien mengatakan saat hamil, tidak meminum susu, makan seperti biasanya.
Saat anak lahir, anak kesulitan untuk menyusu, kadang tersedak.
g) Riwayat Psikososial
Ibu pasien mengatakan saat mengetahui anaknya ada kelainan merasa cemas,
namun saat bidan memberi tahu tentang kelainan anaknya dan kelainan bisa
dioperasi, sudah cukup tenang
4. Pemeriksaan Fisik Khusus Pada Klien dengan CLP
Hidung
Inspeksi : terdapat celah di hidung
Inspeksi pada labia skisis : tampak sebagian adanya celah pada bibir.
Palpasi dengan menggunakan jari : teraba celah langit-langit saat diperiksa dengan jari.
Mulut
Terdapat celah pada bibir, palatum
Gusi terdapat celah pada bagian kanan atas
Gags reflex potisif
Ovula tidak simetris
Rooting reflex potisif
Sucking reflex lemah
5. Pemeriksaan Fisik Per-Sistem
B1 (Breath) :
Tidak ada kelainan
B2 (Blood) :
Tidak ada kelaian
B3 (Brain):
Anak tampak menangis, rewel
B4 (Bladder):
Tidak ada masalah
B5 (Bowel):
Saat menyusu, anak tampak kesulitan untuk menghisap asi dan sering tersedak
B6 (Bone):
Tidak ada masalah.
b. Analis data
No
1
Data
Subjektif :
Ibu pasien mengatakan :
- sejak lahir anak
terdapat celah pada
bibir
- anak susah menyusu
objektif :
terdapat celah di
hidung
Inspeksi pada labia
skisis : tampak
sebagian
adanya
celah pada bibir.
Palpasi
dengan
menggunakan jari :
teraba celah langitlangit saat diperiksa
dengan jari.
Masalah keperawatan
Ketidakefektifan
pemberian ASI b.d
buruk
Subjektif :
Ibu pasien mengatakan :
- sejak lahir anak
terdapat celah pada
bibir
- anak susah menelan
objektif
Analisis data
Faktor predisposisi (kurang asam
folat, vitamin)
Risiko aspirasi
skisis : tampak
sebagian
adanya
celah pada bibir.
Palpasi
dengan
menggunakan jari :
teraba celah langitlangit saat diperiksa
dengan jari.
Saat menyusu, anak
tampak
kesulitan,
Ketidakmampuan
mengkoordinasi menghisap,
bernapas dan menelan
Gangguan menelan
anak
terlihat
kesusahan saat akan
menelan dan bernafas.
Diagnosa
Ketidakefektifan
Setelah
dilakukan
pemberian
ASI
b.d tindakan keperawatan,
pemberian ASI pada
rekfleks hisap bayi buruk
bayi efektif dengan
kriteria hasil :
- Keberlangsungan
pemberian
ASI
untuk menyediakan
nutrisi bagi bayi
- Diskontinuitas
progresif pemberian
ASI
- Pengetahuan
pemberian ASI :
tingkat pemahaman
yang ditunjukkan
mengenai
laktasi
dan pemberian akan
bayi
melalui
pemberian ASI
Intervensi
dan
kerugian
pemberian ASI
2
Risiko
aspirasi Setelah
dilakukan
berhubungan
dengan tindakan keperawatan,
bayi/anak terhindar dari
gangguan menelan
aspirasi, dengan kriteria
hasil :
Bayi
menunjukkan
peningkatan
kemampuan menelan,
bertoleransi
terhadap
asupan
oral
tanpa
aspirasi
No
1
Diagnosa
Tujuan dan kriteria hasil
Nyeri berhubungan dengan Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
inisiasi pembedahan
nyeri berkurang dengan
kriteria hasil :
Kerusakan
Intervensi
a. Kaji bayi atau anak
untuk
mengetahui
iritabilitas
dan
kegelisahan setiap 2 jam
setelah pembedahan.
b. Berikan
posisi/rasa
nyaman pada bayi
c. Beri obat analgesik,
sesuai program.
d. Lakukan
aktivitas
pengalihan, misalnya,
permainan,
kartu,
videotapes,
dan
membaca buku untuk
anak yang lebih besar.
e. Evaluasi keperawatan
a) Pola pemberian ASI pada bayu efektif
b) Bayi/anak tidak terjadi aspirasi
melembabkan
mulut
dan
mencegah
pemisahan sutura.
- Pantau tanda dan gejala
infeksi.
f. Beri sedikit air setelah
pemberian makan untuk
membersihkan
mulut
dari setiap sisa susu,
yang
dapat
menyebabkan
pertumbuhan bakteri.
g. Pasang restrain lengan,
sesuai program.
h. Setelah
pembedahan
celah bibir, posisikan
bayi atau anak dengan
baik, berbaring miring
atau telentang- jangan
posisikan
telungkuppertahankan
kepala
tempat
tidur
ditinggikan.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Labio Palato skisis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut,
palato skisis (sumbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk menyatu selama
perkembangan embrio. Kelainan ini belum dapat diketahui secara pasti penyebabnya,
kemungkinan disebabkan oleh faktor genetik dan nongenetik seperti defisiensi nutrisi,
konsumsi obat-obatan, rokok, dan alkohol saat masa kehamilan. Labipalatoskisis ini
dapat dicegah dengan mengkonsumsi asam folat, vitamin A dan vitamin B6 saat hamil.
Penatalaksanaan pada kondisi ini dapat dilakukan dengan proses pembedahan dan diikuti
dengan memberikan speech therapy. Diagnosa
Daftar Pustaka
Behrman & Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (edisi 15 , vol 2). Jakarta : EGC
Donna, L. Wong. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. EGC : Jakarta.
Hidayat, Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Irawan, Hendry. 2014. Teknik Operasi Labiopalatoskiziz. CDK-215/vol.41 no. 4. Kalimantan
Selatan.
Pujiastuti, Nurul.2008. Perawatan Celah Bibir dan Langitan Pada Anak Usia 4 Tahun.
Indonesian Journal of Dentistry 2008:15 (3) : 232-238. Jakarta
Sianita, Pricillia Priska. 2011. Kelainan Bibir Serta Langit-Langit dan Permasalahannya
dalam kaitan dengan Interaksi dan Perilaku. Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran
Gigi FKG UPDM. JITEKGI 2011,8(2): 42-46. Jakarta
Oleh:
KELOMPOK 2
AJ1
Agnes Ose Tokan
131511123003
Tri Sulistyawati
131511123005
131511123011
Hardiansyah
131511123021
Agus Saputro
131511123029
Fauzan Rifai
131511123071
131511123075
131511123085