Você está na página 1de 66

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan ludah atau dahak penderita
yang mengandung basil tuberkulosis yang kemudian menyerang seluruh tubuh
terutama paru-paru. Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi hampir 2 miliar
orang atau sepertiga dari total penduduk dunia. Tidak berhenti sampai di situ, WHO
memperkirakan hingga tahun 2020 jumlah orang yang terinfeksi TB paru akan
bertambah 1 miliar orang lagi. Dengan kata lain, terjadi pertambahan jumlah infeksi
lebih dari 56 juta orang setiap tahunnya. Angka ini sangat memprihatinkan karena
berarti ada 2-4 orang yang terinfeksi M.tuberculosis setiap detik dan hampir 4 orang
meninggal setiap menit karena TB paru. (1)
Tuberkulosis di Indonesia menduduki peringkat ke-4 di dunia. Menurut WHO
dalam Global TB Report 2012, prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2011 adalah
244/100.000 penduduk. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan jumlah terbanyak
keempat di dunia yakni 5,8% setelah India 21,1%, Cina 14,3% serta Afrika Selatan.
Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3
wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera dengan angka prevalensi TB adalah 160 per
100.000 penduduk; 2) wilayah Bali dan Jawa dengan angka prevalensi TB tertinggi
yaitu 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur dengan angka
prevalensi tertinggi yaitu 210 per 100.000 penduduk (Departemen Kesehatan RI,
2008). (1)
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 didapatkan data bahwa
prevalensi Tuberkulosis paru klinis yang tersebar di seluruh Indonesia adalah 1,0%.
Tujuh belas provinsi diantaranya mempunyai angka prevalensi di atas angka nasional,
yaitu provinsi NAD, Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Banten, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi
1

Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua.
Secara umum prevalensi yang tertinggi di Papua Barat yaitu 2.5% dan terendah di
provinsi Lampung yaitu 0,3% (Kemenkes RI, 2011). (2)
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sulawesi Selatan, pada
2011, penderita penyakit menular ini mencapai 8.939 kasus. Angka ini meningkat
signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya 7.783 kasus. Kabupaten Takalar
menduduki peringkat pertama dalam jumlah kasus dengan pertumbuhan penderita
TBC di atas 109 %, menyusul Pare-pare 79%,Pinrang 75 %,disusul Makassar 70%
dan terendah Kabupaten Luwu 33 % serta Jeneponto 36 % . (2)
Khusus di Kota Makassar, berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Bina
Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar,
jumlah kasus TB Paru klinis di Puskesmas dan RS sebanyak 900 kasus dan kasus
baru TB BTA (+) yang ditemukan pada tahun 2012 sebanyak 1.819 kasus (puskesmas
dan rumah sakit) meningkat dibandingkan tahun 2011 dimana dilaporkan jumlah
penderita TB Paru Klinis di Puskesmas dan Rumah Sakit sebanyak 511 Jumlah
penderita TB Paru Klinis, TB BTA+ sebanyak 1608 penderita (Puskesmas dan
Rumah Sakit). (2)
Prevalensi penderita TB paru di Puskesmas Jumpandang Baru tahun 2015
dalam 3 bulan terakhir adalah 33 pasien dengan rincian tipe pasien : 30 kasus baru, 3
kasus kambuh, 0 kasus pindahan.
TB paru juga merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit pernapasan akut. Dibandingkan dengan penyakit
menular lainnya seperti HIV/AIDS dan Demam Berdarah Dengue (DBD), TB paru
merupakan pembunuh dengan tingkat kematian tertinggi di Indonesia. (3)
Pengendalian Tuberkulosis Paru kemudian menjadi masalah kesehatan global
dan nasional. Maka tak heran bila salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat
dalam visi Indonesia Sehat adalah angka kesembuhan TB Paru BTA+. Berbagai
program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka penemuan
dan angka kesembuhan dengan berlandaskan pada strategi Directly Observed
2

Treatment Short-course (DOTS) dan penerapan standar pelayanan berdasar


International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) walaupun tercatat angka putus
obat masih tinggi mencapai 50-85 % . Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan
secara nasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terutama
Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. (1)
Menurut George Enggel pendekatan dalam pelayanan medis tidak hanya
berfokus pada aspek biologi (penyakit) tetapi juga dipengaruhi aspek psikososial.
Karena itu interaksi antara komunitas sosial dan keluarga dengan bantuan lingkungan
komunitasnya sangat membantu tidak hanya dalam menyelesaikan masalah klinis saja
tetapi juga masalah psikososial. (3)
Oleh karena itu sejalan dengan program DOTS di layanan primer maka
pendekatan diagnostik holistik pada pasien TB Paru juga dapat menjadi salah satu
penunjang

dalam mendukung

upaya

pencapaian

sasaran

strategi

nasional

pengendalian TB yang mengacu pada Rencana Strategis Kementerian Kesehatan


2009-2014. (2)
1.2. Tujuan dan Manfaat Studi Kasus
Prinsip pelayanan dokter keluarga pada pasien ini adalah menatalaksana
masalah kesehatan dengan memandang pasien sebagai individu yang utuh
terdiri dari unsur biopsikososial, serta penerapan prinsip pencegahan penyakit
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Proses pelayanan dokter keluarga
dapat lebih berkualitas bila didasarkan pada hasil penelitian ilmu kedokteran
terkini (evidence based medicine).
1.2.1. Tujuan Umum:
Tujuan dari penulisan laporan Studi Kasus ini adalah untuk dapat menerapkan
pelayanan dokter keluarga secara paripurna (komprehensif) dan holistik, sesuai
dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), berbasis evidence based
medicine (EBM) pada pasien dengan mengidentifikasi faktor risiko dan

masalah klinis serta prinsip penatalaksanaan pasien berdasarkan kerangka


penyelesaian masalah pasien (problem oriented).
1.2.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui cara penegakan diagnosa klinis dan diagnosa psikososial
tuberkulosis paru di fasilitas pelayanan primer
b. Mengindentifikasi permasalahan yang didapatkan dalam keluarga dan
lingkungan sosial berkaitan dengan penyakit tuberkulosis paru
c. Mengidentifikasi faktor resiko yang berhubungan dengan tuberkulosis paru
d. Mengetahui terapi tuberkulosis paru dengan pendekatan holistik pada
fasilitas pelayanan dokter layanan primer.
1.2.3.
1.2.3.1.

Manfaat Studi Kasus


Bagi Institusi pendidikan.
Diharapkan dapat menjadi salah satu contoh bahan acuan metodologi
penulisan studi kasus untuk kepentingan perbaikan sistem di masa yang
akan datang.

1.2.3.2.

Bagi Penderita (Pasien)


Mendapat informasi tentang penyakit TB Paru yang diderita, mendapatkan
pelayanan kesehatan dalam bentuk promotif, preventif dan kuratif sehingga
semua kekhawatiran dan harapan pasien dapat ditangani secara paripurna.

1.2.3.3.

Bagi Tenaga Kesehatan


Sebagai salah satu bahan rujukan tentang pelayanan kesehatan baik di
tingkat individu maupun masyarakat secara holistik dan komprehensif pada
layanan primer dan pelayanan kesehatan di tingkat selanjutnya

1.2.3.4.

Bagi Pembelajar Studi Kasus (Mahasiswa)


Meningkatkan keterampilan dalam hal pembuatan karya tulis ilmiah,
menambah referensi pengetahuan dalam hal klinis maupun pelayanan
kedokteran keluarga terutama di layanan primer khususnya mengenai
penanganan kasus TB Paru.
4

1.3. Indikator Keberhasilan Tindakan


Indikator keberhasilan tindakan setelah dilakukan penatalaksanaan pasien
dengan prinsip pelayanan dokter keluarga yang holistik dan paripurna, berbasis
evidence based medicine adalah:
1.3.1.Kepatuhan penderita datang berobat di layanan primer (Puskesmas) sudah
teratur.
1.3.2.Perbaikan dapat dievaluasi setelah pengobatan fase intensif selesai dengan
didapatkan berkurangnya BTA pada pemeriksaan mikroskopis sputum.
1.3.3.Gejala batuk yang disertai dengan dahak, keringat dimalam hari sudah
berkurang.
1.3.4.Pemeriksaan fisik pada lapangan paru kanan atas dan suara pernapasannya
terkesan normal, jika dibandingkan dengan pemeriksaan pada waktu pertama
kali datang di layanan primer (Puskesmas) dengan hasil Fremitus mengeras
pada lapangan paru kanan atas, dan suara pernapasan dijumpai bronkial pada
lapangan paru kanan atas.
1.3.5. Adanya perbaikan gizi dari pasien dan keluarga.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan
tindakan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis,
radiologi, dan klinis. Kesembuhan TB paru yang baik akan memperlihatkan
sputum BTA (-), perbaikan hasil foto radiologi dan menghilangnya gejala.

BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS
2.1.

Kerangka Teoritis
Gambaran Penyebab TBC
Faktor Genetik Pemaparan oleh bakteri

Invasi Jaringan

Faktor sosial
PEJAMU
PEKA

TUBERKULOSIS

INFEKSI

Faktor lingkungan Faktor kebiasaan

Faktor resiko Tuberkulosis


2.2.

Mekanisme Tuberkulosis

Penyakit Tuberculosa (TB)

2.2.1. Pengertian
Tuberculosis

(TB)

adalah

penyakit

akibat

infeksi

kuman

Mycobacterium tuberculosis dengan gejala sangat bervariasi. Penyebab


tuberculosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosa, yang merupakan
kuman tahan asam. Penyebab tuberculosis adalah kuman Mycobacterium
tuberculosa, yang merupakan kuman tahan asam. Dikenal ada 2 type kuman
Mycobacterium tuberculosa, yaitu type humanus dan type bovinus. Hampir
semua kasus tuberkulosis disebabkan oleh type humanus, walaupun type
bovinus dapat juga menyebabkan terjadinya tuberkulosis paru, namun hal itu
sangat jarang sekali terjadi. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman tersebut dapat
menyebar dari paru ke bagian tubuh lain, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau penyebaran langsung
6

kebagian tubuh lainnya dan tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling
banyak serta penting. (1) (4)
2.2.2. Patofisiologi Penyakit Tuberculosis
Inhalasi baksil TB

Alveolus

Fagositosis
Fagositosis oleholeh
makrofag
makrofag
Baksil TB berkembang
biak

Destruksi baksil
TB

Destruksi makrofag

Resolusi

Pembentukan
tuberkel

Kalsifikasi

Perkijuan

Kompleks
Ghon

Kelenjar limfe

Penyebaran hematogen

Pecah

Lesi sekunder paru

Lesi di hepar,
lien,ginjal,tulang,
otak dll

Gambar 1: Patogenesis Tuberkulosa


Paru merupakan tempat masuk lebih dari 98% kasus infeksi tuberkulosis,
karena ukurannya sangat kecil, kuman TB dalam percik renik yang terhirup dapat
mencapai alveolus. Tempat Mycobacterium tuberculosis yang terhirup dan masuk ke
paru akan ditelan oleh makrofag alveolar, selanjutnya makrofag akan melakukan 3
fungsi penting, yaitu : (5) (6)
1.

Menghasilkan enzim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek


mikobakterisidal;

2.

Menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon terhadap M. tuberculosis


berupa IL-1, IL-6, TNF (Tumor Necrosis Factor alfa ), TGF (Transforming
Growth Factor beta )

3.

Memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T5.

Kuman tersebut masuk tubuh melalui saluran pernafasan yang masuk ke


dalam paru, kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau penyebaran
langsung ke bagian tubuh yang lain. Saluran limfe akan membawa kuman
tuberkulosis paru ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Tuberkulosis primer terjadi pada individu yang terpapar dengan
kuman tuberkulosis untuk pertama kali, sedangkan tuberkulosis reaktivasi terjadi
karena reaktivasi infeksi tuberkulosis yang terjadi beberapa tahun lalu. Reaksi
imunologi yang berperan terhadap M. tuberculosis adalah reaksi hipersensitivitas dan
respon seluler, karena respon humoral kurang berpengaruh. (3)
Akibat klinis infeksi M.tuberculosis lebih banyak dipengaruhi oleh sistem
imunitas seluler. Orang yang menderita kerusakan imunitas seluler seperti terinfeksi
HIV dan gagal ginjal kronik mempunyai risiko tuberkulosis paru yang lebih tinggi.
Sebaliknya orang yang menderita kerusakan imunitas humoral dan mieloma mutipel
tidak menunjukkan peningkatan predisposisi terhadap tuberkulosis paru. (3)
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Proses infeksi tuberkulosis tidak
langsung memberikan gejala. Paru merupakan lokasi tersering (>95%) masuknya
kuman tuberkulosis pada manusia. Oleh karena itu patogenesis tuberkulosis primer di
paru merupakan model utama dalam kajian patogenesis tuberkulosis. (1)
Kelainan patologi yang terjadi : (1) (3) (4) (7)
1. Tipe Eksudatif
Terdiri dari inflamasi yang akut dengan edema, sel-sel leukosit PMN dan
menyusul kemudian sel-sel monosit yang mengelilingi tuberculosis. Kelainan ini
terutama terlihat pada jaringan paru dan mirip Pneumonia bakteri. Dalam masa
eksudatif ini tuberculin adalah positif.
8

2. Tipe Produktif
Apabila sudah matang prosesnya lesi ini berbentuk granuloma yang kronik,
terdiri dari 3 zona.:
a) Zona Sentral dengan sel raksasa yang berinti banyak dan mengandung
tuberculosis.
b) Zona Tengah yang terdiri dari sel-sel epitel yang tersusun radial
c) Zona yang terdiri dari fibroblast, limfosit, dan monosit. Lambat laun zona luar
akan berubah menjadi fibrotik dan zona sentral akan mengalami perkijuan.
Kelainan seperi ini disebut sebagai tuberkel.
Perjalanan Kuman tuberculosis di dalam tubuh.
Kuman menjalar melalui saluran limfe ke kelenjar getah bening atau ductus
thoracicus atau organ tubuh melalui aliran darah atau dapat juga langsung dari
proses perkijuan masuk ke vena atau pecah ke bronkus atau tersebar ke seluruh
paru-paru atau tertelan ke tractus digastivus.
2.2.3. Etiologi

Gambar 2: Mycobacterium tuberculosis


Penyebab penyakit TB adalah kuman Mycobacterium tuberculosis, yang
berbentuk batang lurus atau agak bengkok, berukuran panjang 1 sampai 5
dan lebar 0.2 sampai 0.8 . dapat ditemukan bentuk sendiri maupun
berkelompok. Kuman ini merupakan bakteri tahan asam (BTA) yang bersifat
tidak bergerak, tidak berspora, dan tidak bersimpai. Micobacterium

tuberculosis yang merupakan basil tahan asam dan dapat dilihat dengan
pewarnaan Ziehl - Neelsen (karbol fuksin). Pada pewarnaannya M.
tuberculosis tampak seperti manik-manik atau tidak terwarnai secara merata.
Mycobacterium tuberculosis pertama kali dideskripsikan pada tanggal 24
Maret 1882 oleh Robert Koch. Bakteri ini juga disebut basilus Koch. (8)
2.2.4. Epidemiologi
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban
TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar
660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru
per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per
tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan
epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan
sebagai

epidemik

erkonsentrasi

(a

concentrated

epidemic),

dengan

perkecualian di provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5%


(generalized epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada
populasi dewasa adalah 0,2%. (2) (3) (7)
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk
intervensi HI dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia
sekitar 190.000- 400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB
baru adalah 2.8%.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru
(lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus
TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR
TB setiap tahunnya. Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi,
Indonesia merupakan negar pertama diantara High Burden Country (HBC) di
wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB
untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada
tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan
10

dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya
terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+
adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka
keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada
kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut
merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang
utama. (2) (9)
Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka
penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian
70% CDR dan 85% kesembuhan.
Tabel 1. Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009

CDR
%Dengan angka nasional proporsi kasus relaps dan gagal pengobatan di bawah 2%,
maka angka resistensi obat TB pada pasien yang diobati di pelayanan kesehatan pada
umumnya masih rendah. Namun demikian, sebagian besar data berasal dari
Puskesmas yang telah menerapkan strategi DOTS dengan baik selama lebih dari 5
tahun terakhir. Probabilitas terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit
dan sektor swasta yang belum terlibat dalam program pengendalian TB nasional
sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan dan tingkat drop out pengobatan karena
tidak diterapkannya strategi DOTS yang tinggi. Data dari penyedia pelayanan swasta
11

belum termasuk dalam data di program pengendalian TB nasional. Sedangkan untuk


rumah sakit, data yang tersedia baru berasal dari sekitar 30% rumah sakit yang telah
melaksanakan strategi DOTS. Proporsi kasus TB dengan BTA negatif sedikit
meningkat dari 56% pada tahun 2008 menjadi 59% pada tahun 2009. Peningkatan
jumlah kasus TB BTA negatif yang terjadi selama beberapa tahun terakhir sangat
mungkin disebabkan oleh karena meningkatnya pelaporan kasus TB dari rumah sakit
yang telah terlibat dalam program TB nasional. Jumlah kasus TB anak pada tahun
2009 mencapai 30.806 termasuk 1,865 kasus BTA positif. Proposi kasus TB anak dari
semua kasus TB mencapai 10.45%. (4) (9)
Angka-angka ini merupakan gambaran parsial dari keseluruhan kasus TB anak
yang sesungguhnya mengingat tingginya kasus overdiagnosis di fasilitas pelayanan
kesehatan yang diiringi dengan rendahnya pelaporan dari fasilitas pelayanan
kesehatan. (1)
2.2.4.1.

Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Trias


Epidemiologi adalah Agent, Host dan Environmentsebagai berikut :
a. Agent
TB disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, bakteri gram
positif, berbentuk batang halus, mempunyai sifat tahan asam dan
aerobic. Karakteristik alami dari agen TB hampir bersifat resisten
terhadap disifektan kimia atau antibiotika dan mampu bertahan hidup
pada dahak yang kering untuk jangka waktu yang lama. Pada Host,
daya infeksi dan kemampuan tinggal sementara Mycobacterium
Tuberculosis sangat tinggi. Pathogenesis hamper rendah dan daya
virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host. Sifat
resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah
penggunaan kemoterapi modern, sehingga menyebabkan keharusan
mengembangkan obat baru. Umumnya sumber infeksinya berasal dari
manusia dan ternak (susu) yang terinfeksi. Untuk transmisinya bisa

12

melalui kontak langsung dan tidak langsung, serta transmisi congenital


yang jarang terjadi . (3) (4) (7)
b. Host
Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TB.
Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian :a).Paling rendah pada awal
anak (bayi) dengan orang tua penderita b) Paling luas pada masa
remaja dan dewasa muda sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan
fisik-mental dan momen kehamilan pada wanita c). Puncak sedang
pada usia lanjut. Dalam perkembangannya, infeksi pertama semakin
tertunda, walau tetap tidak berlaku pada golongan dewasa, terutama
pria dikarenakan penumpukan grup sampel usia ini atau tidak
terlindung dari risiko infeksi. Pria lebih umum terkena, kecuali pada
wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan
kehamilan yang menurunkan resistensi. Penduduk pribumi memiliki
laju lebih tinggi daripada populasi yang mengenal TB sejak lama, yang
disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi. Aspek keturunan dan
distribusi secara familial sulit terinterprestasikan dalam TB, tetapi
mungkin mengacu pada kondisi keluarga secara umum dan sugesti
tentang pewarisan sifat resesif dalam keluarga. Kebiasaan sosial dan
pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TB, sejak timbulnya
ketidakpedulian dan kelalaian Status gizi, kondisi kesehatan secara
umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme
pertahanan umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan
pengobatan infeksi primer memberikan beberapa resistensi, namun
sulit untuk dievaluasi. (3) (7)
c. Environment
Distribusi geografis TB mencakup seluruh dunia dengan
variasi kejadian yang besar dan prevalensi menurut tingkat
perkembangannya.

Penularannya

pun

berpola

sekuler

tanpa
13

dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-ekonomi


merupakan hal penting pada kasus TB. Pembelajaran sosiobiologis
menyebutkan adanya korelasi positif antara TB dengan kelas sosial
yang mencakup pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan,
lapangan pekerjaan dan tekanan ekonomi. Terdapat pula aspek dinamis
berupa kemajuan industrialisasi dan urbanisasi komunitas perdesaan.
Selain itu, gaji rendah, eksploitasi tenaga fisik, pengangguran dan
tidak adanya pengalaman sebelumnya tentang TB dapat juga menjadi
pertimbangan pencetus peningkatan epidemi penyakit ini .Pada
lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan berulangulang dengan hewan ternak yang terinfeksi adalah berbahaya . (3) (7)
2.2.4.2.

Epidemiologi penyakit TB dapat juga digambarkan menurut Variabel


Epidemiologi adalah Person(orang), Place(tempat)dan Time(waktu) sebagai
berikut :

a. Distribusi menurut orang.

Distribusi menurut umur

Distribusi menurut jenis kelamin.

Distribusi menurut etnik

b. Distribusi menurut tempat.


c. Distribusi menurut waktu.
EPIDEMIOLOGI
a. Person / Orang
Umur
Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja tak terkecuali
pria, wanita, tua, muda, anak-anak, kaya dan miskin serta dimana saja.
Sebagian besar penderita TB Paru di Negara berkembang berumur
dibawah 50 tahun. Data WHO menunjukkan bahwa kasus TB di
Negara berkembang banyak terdapat pada umur produktif 15-29 tahun,

14

Sejalan dengan penelitian Rizkiyani (2008) yang menunjukkan jumlah


penderita baru TB Paru positif 87,6% berasal dari usia produktif (1554 tahun) sedangkan 12,4 % terjadi pada usia lanjut ( 55 tahun). (10)
Jenis Kelamin
Penyakit TB Paru menyerang orang dewasa dan anak-anak,
laki-laki dan perempuan. TB Menyerang sebagian besar wanita pada
usia produktif. Serupa dengan WHO yang menunjukkan lebih dari 900
juta wanita di seluruh dunia tertular oleh kuman TB dan satu juta di
antaranya meninggal setiap tahun. (10)
Etnik (Suku Bangsa)
Suku bangsa atau golongan etnik adalah sekelompok manusia
dalam suatu populasi yang memiliki kebiasaan atau sifat biologis yang
sama. Walaupun klasifikasi penyakit berdasarkan suku bangsa sulit
dilakukan baik secara praktis maupun secara konseptual, tetapi karena
terdapat perbedaan yang besar dalam frekuensi dan beratnya penyakit
diantara suku bangsa maka dibuat klasifikasi walaupun kontroversi.
Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku bangsa
berkaitan dengan faktor genetik atau faktor lingkungan, misalnya:
(Penyakit sickle cell anemia, Hemofilia dan Kelainan biokimia sperti
glukosa 6 fosfatase).
b. Place / tempat
Lingkungan
TB paru merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan
yang di tularkan melalui udara.Keadaan berbagai lingkungan yang
dapat

mempengaruhi

penyebaran

TBC

salah

satunya

adalah

lingkungan yang kumuh,kotor .Penderita TB Paru lebih banyak


terdapat pada masyarakat yang menetap pada lingkungan yang kumuh
dan kotor. (10)

15

Kondisi Sosial Ekonomi


Sebagai Penderita TB Paru adalah dari kalangan Miskin.Data
WHO yang menyatakan bahwa angka kematian akibat TB sebagai
besar berada di Negara berkembang yang relative miskin (10)
Wilayah
resiko mendapatkan infeksi dan berkembangnya klinis
penyakit TB Paru bergantung pada keberadaan infeksi dalam
masyarakat misalnya Imigran dari daerah prevalensi tinggi TB, Ras
yang

beresiko

tinggi

dan

kelompok

etnis

minorias(misal

Afrika,Amerika,Amerika Indian,Asli Alaska,Asia,Kepulauan Pasifik


dan Hispanik) (10)
c. Time / Waktu
Penyakit TB Paru dapat menyerang siapa saja,dimana saja dan Kapan
saja tanpa mengenal waktu,Apabila Kuman telah masuk ke dalam tubuh
maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk
terjadinya penyakit TB Paru. (10)
2.2.5. Cara Penularan
Penularan Mikobakteruim tuberkulosis adalah dari orang ke orang,
droplet lendir berinti yang dibawa udara. Penularan jarang terjadi dengan
kontak langsung dengan kotoran cair terinfeksi atau barang-barang yang
terkontaminasi. Peluang penularan bertambah bila penderita mempunyai
ludah dengan basil pewarnaan tahan asam, infiltrat dan kaverna lobus atas
yang luas, produksi sputum encer banyak sekali, dan batuk berat serta kuat.
Faktor lingkungan terutama sirkulasi udara yang buruk, memperbesar
penularan. Kebanyakan orang dewasa tidak menularkan organisme dalam
beberapa hari sampai 2 minggu sesudah kemoterapi yang cukup, tetapi
beberapa penderita tetap infeksius selama beberapa minggu. Anak muda

16

dengan tuberculosis paru jarang menginfeksi anak lain atau orang dewasa.
Tuberkulosis adalah penyakit menular, artinya orang yang tinggal serumah
dengan penderita atau kontak erat dengan penderita mempunyai risiko tinggi
untuk tertular. (1) (3)
Penularan terjadi melalui udara pada waktu percikan dahak yang
mengandung kuman tuberkulosis paru dibatukkan keluar, dihirup oleh orang
sehat melalui jalan napas dan selanjutnya berkembangbiak melalui paru-paru.
Cara lain adalah dahak yang dibatukkan mengandung kuman tuberkulosis
jatuh dulu ke tanah, mengering dan debu yang mengandung kuman
beterbangan kemudian dihirup oleh orang sehat dan masuk ke dalam paruparu. Cara penularan ini disebut sebagai airborne disease. Daya penularan
ditentukan oleh banyaknya kuman Bakteri Tahan Asam (BTA) yang terdapat
dalam paru-paru penderita serta penyebarannya. Pada perjalanan kuman ini
banyak mengalami hambatan, antara lain di hidung (bulu hidung) dan lapisan
lendir yang melapisi seluruh saluran pernafasan dari atas sampai ke kantong
alveoli. Sebagian besar manusia yang terinfeksi (80 90 %) belum tentu
menjadi sakit tuberkulosis , disebabkan adanya kekebalan tubuh. Untuk
menjadi sakit, dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain keadaan sosial
ekonomi, kemiskinan, kekurangan gizi, rendahnya tingkat pendidikan dan
kepadatan penduduk. (1)
2.2.6. Gejala Klinis
Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis bervariasi atau dapat
tanpa keluhan sama sekali. Keluhan dan gejala utama yang dijumpai pada
penderita tuberkulosis paru, adalah: Gejala utama berupa berat batuk terus
menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih sedangkan gejala
tambahannya yang sering dijumpai berupa dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,
berat badan turun, rasa badan kurang enak (malaise), berkeringat malam
17

walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.(17) Gejalagejala tersebut diatas, dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberkulosis,
oleh sebab itu setiap orang yang datang ke Unit Pelaksanaan Kesehatan
(UPK) dengan gejala tersebut diatas, harus dianggap sebagai seorang suspek
tuberkulosis atau tersangka penderita tuberkulosis paru dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. (3) (7)
2.2.7. Diagnosis Tuberkulosis Paru
2.2.7.1.

Definisi pasien TB
Tersangka pasien TB adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau
gejala klinis mendukung TB (sebelumnya dikenal sebagai suspek TB).3
o Pasien TB berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis:
Adalah seorang pasien TB yang hasil pemeriksaan sediaan
biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis, biakan atau
diagnostik cepat yang diakui oleh WHO (misal : GeneXpert ). Semua
pasien yang memenuhi definisi ini harus dicatat tanpa memandang
apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum. Termasuk dalam
tipe pasien tersebut adalah pasien TB paru BTA positif yaitu pasien TB
yang hasil pemeriksaan sediaan dahaknya positif dengan cara
pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik cepat
(misalnya GeneXpert).
o Pasien TB berdasarkan diagnosis klinis :
Adalah seseorang yang memulai pengobatan sebagai pasien TB
namun tidak memenuhi definisi dasar diagnosis berdasarkan
konfirmasi hasil pemeriksaan bakteriologis. Termasuk dalam tipe
pasien ini adalah :
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil foto toraks sangat
mendukung gambaran TB.

18

b. Pasien TB ekstra paru tanpa hasil konfirmasi pemeriksaan


laboratorium
Catatan :
Pasien TB dengan diagnosis klinis apabila kemudian terbukti hasil pemeriksaan
laboratorium BTA positif (sebelum atau setelah menjalani pengobatan) harus
diklasifikasikan kembali sebagai pasien TB dengan konfirmasi hasil pemeriksaan
bakteriologis sebagaimana definisi pasien tersebut diatas. Guna menghindari
terjadinya over diagnosis dan situasi yang merugikan pasien, pemberian pengobatan
TB berdasarkan diagnosis klinis hanya dianjurkan pada pasien dengan dengan
pertimbangan sebagai berikut :

Keluhan, gejala dan kondisi klinis sangat kuat mendukung TB

Kondisi pasien perlu segera diberikan pengobatan misal : pada TB meningen,


TB milier, pasien dengan HIV positif dsb.

Tindakan pengobatan untuk kepentingan pasien dan sebaiknya diberikan atas


persetujuan tertulis dari pasien atau yang diberi kuasa.

Apabila fasilitas memungkinkan, segera diupayakan pemeriksaan penunjang


yang sesuai misal : pemeriksaan biakan, pemeriksaan diagnostik cepat dsb.
untuk memastikan diagnosis.

2.2.7.2.

Definisi Kasus TB Paru


1. Suspek TB (Tuberculosis suspect)
Setiap orang yang datang dengan gejala atau tanda TB. Gejala paling
sering adalah dahak produktif > 2 minggu, bisa disertai gejala lain
(sesak napas, nyeri dada, batuk darah) atau gejala konstitutional
(penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, berkeringat malam,
badan lemas). (1) (3)
2. Kasus TB (Case of tuberculosis)

19

Kasus pasti TB atau seseorang yang sudah didiagnosa menderita TB


oleh dokter dan diputuskan untuk mendapat pengobatan lengkap TB.

(1)

(3)

3. Kasus Pasti TB (Definite case of Tuberculosis)


Seorang pasien dengan positif Mycobacterium tuberculosis berdasarkan
pemeriksaan spesimen ataupun pemeriksaan lainnya yang dapat
mengidentifikasi M.tuberculosis. (1) (3)
2.2.7.3.

Klasifikasi Diagnosis TB
Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat
diklasifikasikan berdasarkan:

Lokasi anatomi penyakit;

Riwayat pengobatan sebelumnya;

Hasil bakteriologis dan uji resistensi OAT; (pada revisi guideline WHO
tahun 2013 hanya tercantum resisten obat)

Status HIV. (1) (3)

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi:

TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau


trakeobronkial.

TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat lesi di paru.


Pasien yang mengalami TB paru dan ekstraparu harus diklasifikasikan
sebagai kasus TB paru.

TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim


paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB
ekstraparu dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah
diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis. (3)

20

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan:

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT


sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.

Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang


pernah mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan
lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut:
1) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir
pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis TB episode rekuren
(baik untuk kasus yang benar-benar kambuh atau episode baru yang
disebabkan reinfeksi).
2) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir
pengobatan.
3) Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT 1
bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan
berturut-turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir
pengobatan. (Pada revisi guideline WHO tahun 2013 klasifikasi ini
direvisi menjadi pasien dengan perjalanan pengobatan tidak dapat
dilacak (loss to follow up) yaitu pasien yang pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan).
4) Klasifikasi berikut ini baru ditambahkan pada revisi guideline WHO
tahun 2013 yaitu: kasus dengan riwayat pengobatan lainnya adalah
pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir
pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
5) Pasien pindah adalah pasien yang dipindah dari register TB (TB 03)
lain untuk melanjutkan pengobatan. (Klasifikasi ini tidak lagi
terdapat dalam revisi guideline WHO tahun 2013).

21

6) Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya adalah


pasien yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di
atas. (3)
Penting diidentifikasi riwayat pengobatan sebelumnya karena terdapatnya
risiko resisten obat. Sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan
pemeriksaan biakan spesimen dan uji resistensi obat atau metode diagnostik
cepat yang telah disetujui WHO (Xpert MTB/RIF) untuk semua pasien dengan
riwayat pemakaian OAT. (3)
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis dan uji resistensi obat
Semua pasien suspek / presumtif TB harus dilakukan pemeriksaan bakteriologis
untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada
pemeriksaan apusan dahak atau spesimen lain atau identifikasi M. tuberculosis
berdasarkan biakan atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat
rekomendasi WHO (Xpert MTB/RIF). Pada wilayah dengan laboratorium
jaminan mutu eksternal, kasus TB paru dikatakan apusan dahak positif
berdasarkan terdapatnya paling sedikit hasil pemeriksaan apusan dahak BTA
positif pada satu spesimen pada saat mulai pengobatan. Pada daerah tanpa
laboratorium dengan jaminan mutu eksternal maka definisi kasus TB apusan
dahak positif bila paling sedikit terdapat dua spesimen pada pemeriksaan apusan
dahak adalah BTA positif. (3)
Kasus TB paru apusan negatif adalah:

Hasil pemeriksaan apusan dahak BTA negatif tetapi biakan positif untuk
M.tuberculosis

Memenuhi kriteria diagnostik berikut ini:


1. Keputusan oleh klinisi untuk mengobati dengan terapi antiTB lengkap;
DAN
2. Temuan radiologis sesuai dengan TB paru aktif DAN:

22

3. Terdapat bukti kuat berdasarkan laboratorium atau manifestasi klinis;


ATAU
4. Bila HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui tetapi tinggal di
daerah dengan prevalens HIV rendah), tidak respons dengan antibiotik
spektrum luas (di luar OAT dan fluorokuinolon dan aminoglikosida).
Kasus TB paru tanpa pemeriksaan apusan dahak tidak diklasifikasikan apusan
negatiftetapi dituliskan sebagai apusan tidak dilakukan. (3)
d. Klasifikasi berdasarkan status HIV

Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau


klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada
saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien
telah terdaftar di register HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi
ARV.

Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau


klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat
ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian
hari harus disesuaikan klasifikasinya.

Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi


bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki
bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui
HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya. (1) (3)

2.2.7.4.

Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapatnya paling sedikit satu

spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi


TB atau bukti klinis sesuai TB. WHO merekomendasi pemeriksaan uji
resistensi rifampisin dan / atau isoniazid terhadap kelompok pasien berikut ini
pada saat mulai pengobatan:

23

Semua pasien dengan riwayat OAT. TB resisten obat banyak didapatkan


pada pasien dengan riwayat gagal terapi

Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif khususnya mereka


yang tinggal di daerah dengan prevalens sedang atau tinggi TB resisten
obat.

Pasien dengan TB aktif setelah terpajan dengan pasien TB resisten obat.

Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resisten obat primer >3%.
Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan terdapat paling sedikit satu

spesimen konfirmasi M. tuberculosis atau sesuai dengan gambaran histologi


TB atau bukti klinis dan radiologis sesuai TB. (1) (3)

Gambar 2. Alur Diagnosis TB Paru


2.2.8. Pengobatan Tuberkulosis Paru

24

Tujuan pengobatan TB adalah:


- Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien
- Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
- Mencegah kekambuhan TB
- Mengurangi penularan TB kepada orang lain
- Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.
World Health Organization merekomendasikan obat kombinasi dosis tetap
(KDT) untuk mengurangi risiko terjadinya TB resisten obat akibat monoterapi.
Dengan KDT pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah butir obat yang
harus diminum lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan ketaatan pasien dan
kesalahan resep oleh dokter juga diperkecil karena berdasarkan berat badan. Dosis
harian KDT di Indonesia distandarisasi menjadi empat kelompok berat badan 30-37
kg BB, 38-54 kg BB, 55-70 kg BB dan lebih dari 70 kg BB. (2)
Obat

Dosis yang direkomendasikan


Harian
Rentang Maksimum

Isoniazid
Rifampicin
Pyrazinamid
Etambutol
Streptomicyn

dosis
5 (4-6)
10 (8-12)
25 (20-30)
15 (15-20)
12 (12-18)

300
600

3 kali seminggu
Rentang
Maksimu
dosis
m
10 (8-12) 900
10 (8-12) 600
35 (30-40)
30 (25-35)
15 (12-18) 1000

Tabel 2. Dosis OAT I Dewasa


*Pasien berusia di atas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700
mg per hari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada
pasien kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak
dapat mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg per hari.
Paduan 2RHZE/6HE didapatkan lebih banyak menyebabkan kasus kambuh dan
kematian

dibandingkan

paduan

2RHZE/4RH.

Berdasarkan

hasil

penelitian

metaanalisis ini maka WHO merekomendasikan paduan 2RHZE/4RH. (1)

25

Pasien yang menerima OAT tiga kali seminggu memiliki angka resistensi obat
yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang menerima pengobatan harian. Oleh
sebab itu WHO merekomendasikan pengobatan dengan paduan harian sepanjang
periode pengobatan OAT (2RHZE/4RH) pada pasien dengan TB paru kasus baru
dengan alternatif paduan 2RHZE/4R3H3 yang harus disertai pengawasan ketat secara
langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). Obat program yang berasal dari
pemerintah Indonesia memilih menggunakan paduan 2RHZE/4R3H3 dengan
pengawasan ketat secara langsung oleh PMO. (1)

TB PARU
TB PARU KASUS

OAT KATEGORI I

TB PARU KASUS PENGOBATAN


ULANG

OAT Kategori II, bila terdapat


hasil biakan sputum M.Tb dan uji
kepekaan obat maka terapi
disesuaikan

Gambar 3. Algoritme Pengobatan TB Paru pada Dewasa


2.2.9. Pengobatan TB pada keadaan khusus
2.2.9.1.Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua
OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak
dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan
dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap
pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil
26

bahwa

keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya

proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan
terhindar dari kemungkinan tertular TB. (6) (11)
2.2.9.2.Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak
berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman
untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus
mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada
bayinya. (6)
Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus
disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi
tersebut sesuai dengan berat badannya. (6; 11)
2.2.9.3.Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan
kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 mcg). (6; 11)
2.2.9.4.Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi
HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada
pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak
disertai HIV/AIDS. (6)
Prinsip

pengobatan

pasien

TB-HIV

mendahulukan

pengobatan

TB.Pengobatan

adalah

dengan

ARV(antiretroviral)

dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar


WHO.Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan prinsip
Universal

Precaution

(Kewaspadaan

Keamanan

Universal)
27

Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi


dalam satu sarana pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan
pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap
infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling
and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV). (6)
2.2.9.5.Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.
Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat
diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan
Isoniasid (H) selama 6 bulan. (6)
2.2.9.6.Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila

ada

kecurigaan

gangguan

faal

hati,

dianjurkan

pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT
meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam
pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3
kali,

pengobatan

dapat

dilaksanakan

atau

diteruskan

dengan

pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak


boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE. (6)
2.2.9.7.Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang
tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada
pasien-pasien dengan gangguan ginjal. Streptomisin dan Etambutol
diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada
pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal
28

ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan


dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman
untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR. (6)
2.2.9.8.Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat
mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga
dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan.Insulin dapat digunakan
untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB,
dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus
sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hatihati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan
tersebut. (6)
2.2.9.9.Pasien

TB

Kortikosteroid

yang
hanya

perlu

mendapat

digunakan

pada

tambahan
keadaan

kortikosteroid
khusus

yang

membahayakan jiwa pasien seperti:


Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan
dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan. (5; 8)
2.2.10. Pemantauan Respons Pengobatan
Semua pasien harus dipantau untuk menilai respons terapi. Pemantauan yang
regular akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata laksana reaksi
obat tidak diinginkan. Semua pasien, PMO dan tenaga kesehatan sebaiknya diminta
untuk melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala efek samping
OAT atau terhentinya pengobatan. (3; 8)
29

Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan
dengan perubahan berat badan. Respons pengobatan TB paru dipantau dengan apusan
dahak BTA. Perlu dibuat rekam medis tertulis yang berisi seluruh obat yang
diberikan, respons bakteriologis, resistensi obat dan reaksi tidak diinginkan untuk
setiap pasien pada Kartu Berobat TB. (3; 8)
WHO merekomendasi pemeriksaan apusan dahak BTA pada akhir fase
intensif pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik kasus
baru dan pengobatan ulang. Apusan dahak BTA dilakukan pada akhir bulan kedua
(2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga (2RHZES/1RHZE/5RHE)
untuk kasus pengobatan ulang. Rekomendasi ini juga berlaku untuk pasien dengan
apusan dahak BTA negatif. (3) (12)
Apusan dahak BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan
beberapa halberikut ini:

Supervisi kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk;

Kualitas OAT yang buruk;

Dosis OAT di bawah kisaran yang direkomendasikan;

Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman yang
banyak;

Terdapatnya komorbid yang mengganggu ketaatan pasien atau respons terapi;

Pasien memiliki M. tuberculosis resisten obat yang tidak memberikan respons


terhadap terapi OAT lini pertama;

Bakteri mati yang terlihat oleh mikroskop.

Foto toraks untuk memantau respons pengobatan tidak diperlukan, tidak dapat
diandalkan. (3)
A. Menilai Respons Pengobatan pada Pasien TB Kasus Baru
Pemeriksaan dahak tambahan (pada akhir bulan ketiga fase intensif
sisipan) diperlukan untuk pasien TB kasus baru dengan apusan dahak BTA
30

positif pada akhir fase intensif. Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dan uji
resistensi obat sebaiknya dilakukan pada pasien TB kasus baru dengan apusan
dahak BTA masih positif pada akhir bulan ketiga. (2) (3)
Tujuan utamanya adalah mendeteksi kuman resisten obat tanpa harus
menunggu bulan kelima untuk mendapatkan terapi yang tepat. Pada daerah yang
tidak memiliki kapasitas laboratorium untuk biakan dan uji resistensi obat maka
pemantauan tambahan dengan apusan dahak BTA positif pada bulan ketiga
adalah pemeriksaan apusan dahak BTA pada satu bulan sebelum akhir
pengobatan dan pada akhir pengobatan (bulan keenam). Bila hasil apusan dahak
BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir pengobatan berarti pengobatan
gagal dan Kartu Berobat TB ditutup dengan hasil gagal dan Kartu Berobat TB
yang baru dibuka dengan tipe pasien pengobatan setelah gagal. Bila seorang
pasien didapatkan TB dengan strain resisten obat maka pengobatan dinyatakan
gagal kapanpun waktunya. (2) (3)
Pada pasien dengan apusan dahak BTA negatif (atau tidak dilakukan)
pada awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan kedua pengobatan maka
tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih lanjut. Pemantauan dilakukan
secara klinis dan berat badan merupakan indikator yang sangat berguna. (2)
Tabel 3. Definisi Hasil Pengobatan
HASIL

DEFINISI
Pasien TB paru dengan konfirmasi bakteriologis pada
awal pengobatan dan apusan dahak BTA negatif atau

Sembuh

biakan negatif pada akhir pengobatan dan / atau


sebelumnya.
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi

Pengobatan Lengkap

tidak memiliki bukti gagal TETAPI tidak memiliki


rekam medis yang menunjukkan apusan dahak BTA atau
biakan negatif pada akhir pengobatan dan satu
kesempatan sebelumnya, baik karena tidak dilakukan

31

atau karena hasilnya tidak ada.


Pasien TB dengan apusan dahak atau biakan positif pada
bulan kelima atau setelahnya selama pengobatan.
Pengobatan Gagal

Termasuk juga dalam definisi ini adalah pasien dengan


strain kuman resisten obat yang didapatkan selama

Meninggal

pengobatan baik apusan dahak BTA negatif atau positif.


Pasien TB yang meninggal dengan alasan apapun

Putus obat

sebelum dan selama pengobatan.


Pasien TB yang tidak memulai pengobatan atau

(tidak dapat dilacak)

menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-turut

Revisi WHO 2013


Dipindahkan

atau lebih.
Pasien yang dipindahkan ke rekam medis atau pelaporan

(Tidak dievaluasi)

lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui

Revisi WHO 2013


Pengobatan Sukses

Jumlah pasien TB dengan status hasil pengobatan


sembuh dan lengkap

Evaluasi penderita yang telah sembuh


Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA
dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12,
24 bulan setelah dinyatakan sembuh. (6; 13; 14)
B. Efek Samping OAT
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukann
selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek

32

samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan. (1)
Tabel 4. EFEK SAMPING OBAT (6)
Efek samping
Jenis obat penyebab
Mayor
Skin rash dengan/tanpa Streptomycin,Isoniazid,
rasa gatal
Tuli
Pusing

Penanganan
Stop OAT

Rifampicin,Pyrazinamide
(

Vertigo

Streptomycin
dan Streptomycin

Nistagmus )
Jaundice/kuning
(penyebab

Isoniazid,

lain

di Rifampicin,Pyrazinamide

Stop Streptomycin
Stop Streptomycin
Stop

Isoniazid,

Rifampicin,Pyrazinamide

ekslusikan)
Bingung
Kelainan penglihatan
Purpura
Penurunan volume urin

Kebanyakan OAT
Etambutol
Rifampicin
Streptomycin

Minor
Anorexia,mual, dan nyeri Pirazinamid,rifampicin,
abdomen
isoniazid

Nyeri sendi
Sensasi

terbakar

Pirazinamide
atau Isoniazid

Stop OAT
Stop Etambutol
Stop Rifampicin
Stop Streptomycin
Lanjutkan pemberian OAT
Berikan dalam dosis kecil
atau sebelum tidur dan
berikan nasehat kepada
pasien untuk menelan obat
dengan air yang sedikit
Berikan aspirion,NSAID
atau paracetamol
Piridoksin 50-75 mg/hari

kesemutan
Mengantuk

Isoniazid

Ubah pola konsumsi obat


sebelum tidur

33

Urin coklat atau jingga

Rifampicin

Pastikan

pasien

paham

bahwa kejadian ini dapat


terjadi

saat

sebelm

pengobatan
Sindrom flu

Dosis

Intermittent Perubahan

Rifampicin

dari

dosis

intermitten rifampicin ke
dosis harian

2.3.Pendekatan Diagnosa Holistik Pada Pelayanan Kedokteran Keluarga di


Layanan Primer
Pengertian holistik adalah

memandang manusia sebagai mahluk

biopsikososio-kultural pada ekosistemnya. Sebagai mahluk biologis manusia


adalah merupakan sistem organ, terbentuk dari jaringan serta sel-sel yang
kompleks fungsionalnya. (15)
Diagnosis

holistik

adalah

kegiatan

untuk

mengidentifikasi

dan

menentukan dasar dan penyebab penyakit (disease), luka (injury) serta


kegawatan yang diperoleh dari alasan kedatangan, keluhan personal, riwayat
penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang, penilaian
risiko internal/individual dan eksternal dalam kehidupan pasien serta
keluarganya. Sesuai dengan arah yang digariskan dalam Sistem Kesehatan
Nasional 2004, maka dokter keluarga secara bertahap akan diperankan sebagai
pelaku pelayanan pertama (layanan primer). (15; 6)
Prinsip pelayanan Kedokteran Keluarga di Layanan Primer adalah:
a. Comprehensive care and holistic approach
b. Continuous care
c. Prevention first
d. Coordinative and collaborative care
e. Personal care as the integral part of his/her family

34

f. Family, community, and environment consideration


g. Ethics and law awareness
h. Cost effective care and quality assurance
i. Can be audited and accountable care
Pendekatan menyeluruh (holistic approach), yaitu peduli bahwa pasien
adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari fisik, mental, sosial dan
spiritual, serta berkehidupan di tengah lingkungan fisik dan sosialnya. (15)
Untuk melakukan pendekatan diagnosis holistik, maka perlu kita melihat
dari beberapa aspek yaitu:
I.
II.

Aspek Personal : Keluhan utama, harapan dan kekhawatiran.


Aspek Klinis : Bila diagnosis klinis belum dapat ditegakkan cukup
dengan diagnosis kerja dan diagnosis banding.

III.

Aspek Internal : Kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku.


Karakteristik pribadi amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi, kultur, etnis, dan lingkungan.

IV.
V.

Aspek Eksternal : Psikososial dan ekonomi keluarga.


Derajat Fungsi Sosial :
o Derajat 1: Tidak ada kesulitan, dimana pasien dapat hidup mandiri
o Derajat 2: Pasien mengalami sedikit kesulitan.
o Derajat 3: Ada beberapa kesulitan, perawatan

diri masih bisa

dilakukan, hanya dapat melakukan kerja ringan.


o Derajat 4: Banyak kesulitan. Tak melakukan aktifitas kerja,
tergantung pada keluarga.
o

Derajat 5: Tak dapat melakukan kegiatan

35

Dasar-dasar dalam pengembangan pelayanan/pendekatan kedokteran


keluarga di layanan primer antara lain :
1. Pelayanan kesehatan menyeluruh (holistik) yang mengutamakan upaya
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
2. Pelayanan kesehatan perorangan yang memandang seseorang sebagai
bagian dari keluarga dan lingkungan komunitasnya
3. Pelayanan yang mempertimbangkan keadaan dan upaya kesehatan secara
terpadu dan paripurna (komprehensif).
4. Pelayanan medis yang bersinambung
5. Pelayanan medis yang terpadu (15)
Pelayanan

komprehensif

yaitu

pelayanan

yang

memasukkan

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (promotive), pencegahan penyakit


dan proteksi khusus (preventive & spesific protection), pemulihan kesehatan
(curative), pencegahan kecacatan (disability limitation)

dan rehabilitasi

setelah sakit (rehabilitation) dengan memperhatikan kemampuan sosial serta


sesuai dengan mediko legal etika kedokteran. (15)
Pelayanan medis yang bersinambung merupakan pelayanan yang
disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan bersinambung, yang
melaksanakan pelayanan kedokteran secara efisien, proaktif dan terus
menerus demi kesehatan pasien. (15)
Pelayanan medis yang terpadu artinya pelayanan yang disediakan dokter
keluarga bersifat terpadu, selain merupakan kemitraan antara dokter dengan
pasien pada saat proses penatalaksanaan medis, juga merupakan kemitraan
lintas program dengan berbagai institusi yang menunjang pelayanan
kedokteran, baik dari formal maupun informal. (15)

36

Gambar 4. Hubungan Pelayanan Kedokteran Holistik dan Kedokteran


Keluarga

BAB III
METODOLOGI DAN LOKASI STUDI KASUS

2.1

Metode Studi Kasus

37

Studi kasus ini menggunakan desain studi Kohort untuk mempelajari hubungan
antara faktor risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan), dengan memilih
kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian mengikuti sepanjang
periode waktu tertentu untuk melihat berapa banyak subjek dalam masing-masing
kelompok yang mengalami efek penyakit atau masalah kesehatan untuk melakukan
penerapan pelayanan dokter layanan primer secara paripurna dan holistik terutama
tentang penatalaksanaan penderita Tuberculosis dengan pendekatan kedokteran
keluarga di Puskesmas Cendrawasih pada tahun 2015.
Cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dan pengamatan
terhadap pasien dan atau keluarganya dengan cara melakukan home visit untuk
mengetahui secara holistik keadaan dari penderita.
3.2

Lokasi dan Waktu melakukan Studi Kasus

3.2.1 Lokasi Studi Kasus


Studi kasus bertempat di Puskesmas Bulurokeng Kota Makassar.
3.2.2

Waktu Studi Kasus

Studi kasus dilakukan pertama kali saat penderita datang berobat di puskesmas
Bulurokeng pada tanggal 4 April 2016. Selanjutnya dilakukan home visit untuk
mengetahui secara holistik keadaan dari penderita.

3.3

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

3.3.1

Keadaan Geografis
Secara umum lokasi Puskesmas Bulurokeng terletak di jalan
Cendrawasih No. 404 Kelurahan Sambung Jawa, Kecamatan Mamajang. Berada
di Kecamatan Mamajang yang terdiri atas 13 kelurahan dimana 7 kelurahan

38

berada pada wilayah kerja Puskesmas Cendrawasih, yaitu :


1. Kelurahan Sambung Jawa
2. Keluarahan Tamparang Keke
3. Kelurahan Karang Anyar
4. Keluarahan Parang
5. Kelurahan Bontolebang
6. Kelurahan Baji Mappakasunggu
7. Kelurahan PaBatang
Sebagian daerah Puskesmas Cendrawasih terletak di pinggir kanal seperti
kelurahan Sambung jawa dan Kelurahan Bontolebang. Luas wilayah kerja
Puskesmas Cendrawasih 1,03 km dengan 35 RW dan 193 RT berada di barat
daya Makassar dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah barat : Kelurahan Maccini Sombala
Sebelah timur : Kelurahan Jongaya
Sebelah utara : Kelurahan Bonto Rannu
Sebelah selatan : Kelurahan Maccini Sawah

3.3.2

Keadaan Demografis
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Cendrawasih adalah
38.574 jiwa, dengan distribusi berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki
sebanyak 18.838 jiwa dan perempuan sebanyak 19.736 jiwa.

39

Kelurahan

Jumlah
Penduduk

Bumil Bulin Bayi

1. Kelurahan Sambung
10424
206
197
Jawa
2. Kelurahan Tamparang
5017
99
95
Keke
3. Kelurahan Karang
4047
80
76
Anyar
4. Kelurahan B.
4329
86
82
Mapakasungu
5. Kelurahan Parang
6351
126
120
6. Kelurahan Bonto
3905
77
74
Lebang
7. Kelurahan Pa'batang
4677
93
88
Tabel 5. Demografi Jumlah penduduk Puskesmas Cendrawasih Tahun 2015.

3.3.3

Balita

188

739

90

365

73

287

78

307

114

450

70

277

84

332

Tingkat Pendidikan dan Mata Pencaharian

Tingkat pendidikan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Bulurokeng bervariasi


mulai dari tingkat Perguruan Tinggi, SLTA, SLTP, tamat SD, tidak tamat SD, hingga
tidak sekolah. Adapun mata pencaharian penduduk sebagian besar berturut-turut
adalah pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta, wiraswasta, TNI, petani dan
buruh.
3.3.4

Upaya Kesehatan
Puskesmas Cendrawasih sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)

Dinas Kesehatan Kota Makassar yang bertanggung jawab terhadap pembangunan


kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas berperan menyelenggarakan upaya
kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal.
Dengan demikian Puskesmas berfungsi sebagai pusat penggerak
pembangunan, berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan keluarga dan
masyarakat serta pelayanan kesehatan strata pertama.

40

Dengan fungsi tersebut maka upaya kesehatan di Puskesmas Bulurokeng


terbagi atas 2 Upaya Kesehatan yaitu :
1. Upaya Kesehatan Wajib meliputi

Upaya Promosi Kesehatan (Promkes)

Upaya Kesehatan Lingkungan (Kesling)

Upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Keluarga Berencana (KB)

Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat

Upaya pencegahan Penyakit Menular (P2M)

Upaya Pengobatan

2. Upaya Kesehatan Pengembangan meliputi

Upaya Kesehatan Sekolah

Upaya Kesehatan Olahraga

Upaya Kesehatan Kerja

Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut

Upaya Kesehatan Usia Lanjut

Pembinaan Pengobatan Tradisional

Perawatan Kesehatan Masyarakat

Secara garis besar ada beberapa macam layanan yang disediakan oleh
Puskesmas Bulurokeng dalam sehari-hari untuk masyarakat meliputi:
1. Layanan Administrasi
2. Poli Umum
3. Poli kesehatan Gigi dan Mulut
4. KIA (kesehatan Ibu dan Anak) dan Imunisasi
5. Layanan Pengobatan
6. Pemeriksaan Laboratorium

41

Dimana kesemua layanan ini dilaksanakan dalam upaya untuk mewujudkan


masyarakat sehat sesuai dengan visi dan misi Puskesmas Cendrawasih itu sendiri

KIA

IMN

POLI

TANGG
A
UGD

DPR

W
C

W
C

TANGG
A

LAB
APT

GIGI

TU

ADM

BDH

LANTAI 1

KP

LANTAI 2
Gambar 5 . Denah Puskesmas Cendrawasih

3.3.5

Visi dan Misi Puskesmas Bulurokeng

3.3.5.1 Visi Puskesmas Bulurokeng


Dalam

menetapkan

visinya

Puskesmas

Bulurokeng

berpedoman

dan

memperhatikan visi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yaitu Masyarakat


Sehat Mandiri dan Berkeadilan serta Visi Dinas Kesahatan Kota Makasar yaitu
Makssar Sehat Menuju Kota Dunia bahwa sebagai upaya penjabaran visi
Kementrian Kesehatan RI dan Visi Dinas Kesehatan Kota Masyarakat, maka visi
Puskesmas Bulurokeng MENJADIKAN MASYARAKAT WILAYAH KERJA
PUSKESMAS CENDRAWASIH HIDUP SEHAT.
3.3.5.2

Misi Puskesmas Cendrawasih


Demi terwujudnya masyarakat dalam wilayah Puskesmas Cendrawasih hidup

sehat yang merupakan bagian dari tercapainya Makassar Sehat Menuju Kota Dunia
harus ditunjang misi Puskesmas yang dapat diukur serta tidak dipisahkan Visi
Puskesmas.

42

Berdasarkan hasil tersebut Puskesmas Cendrawasih mempunyai misi sebagai


berikut :

Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas, merata dan


terjangkau.

Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan


masyarakat beserta lingkungannya.

Mendorong pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan paradigma


sehat serta terciptanya kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.

Peningkatan kerja sama Lintas Sektor dan Lintas Progaram.

Mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.

Mendorong kemandirian Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat


(UKBM)

3.3.5.3 Visi dan misi tersebut dilakukan dengan cara melaksanakan :


a). Enam Upaya Kesehatan Wajib, yaitu :
1.

Upaya Promosi Kesehatan

2.

Upaya Kesehatan Lingkungan

3.

Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencna

4.

Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat

5.

Upaya pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular

6.

Upaya Pengobatan

b). Lima Upaya Kesehatan Pengembangan, yaitu :

3.3.6

1.

Upaya Kesehatan Sekolah

2.

Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat

3.

Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut

4.

Upaya Kesehatan Usia Lanjut

5.

Unit Pembinaan Pengobatan Tradisional


10 Penyakit Utama Untuk Semua Golongan Umur Di Kota Makassar
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas

43

Kesehatan Kota Makassar diperoleh gambaran 10 penyakit utama untuk semua


golongan umur di Kota Makassar sebagai berikut :
1. ISPA
2. Dermatitis atau eksim
3. Batuk
4. Infeksi Saluran napas akut lainnya
5. Hipertensi
6. Demam yang tidak diketahui sebabnya
7. Dyspepsia
8. Infeksi kulit dan jaringan subkutan
9. Sakit kepala
10. Penyakit pulpa jaringan.
3.3.7

Organisasi Puskesmas Cendrawasih

Gambar 6. Organisasi Puskesmas Cendrawasih

a. Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan milik Pemerintah, Swasta dan partisipasi masyarakat
yang terdapat dalam wilayah kerja Puskesmas Cendrawasih turut berperan dalam
peningkatan status derajat kesehatan masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas
Cendrawasih.
44

Jenis sarana kesehatan yang terdapat di wilayah kerja Puskesmas


Cendrawasih terdiri dari:

Puskesmas

: 1 buah

Puskesmas Pembantu

: 1 buah

Pos Kesehatan Keluarahan

: 2 buah

Dokter praktek

: 18 orang

Praktek pengobatan tradisional

: 3 orang

Bidan praktek swasta

: 5 orang

Apotik

: 13 buah

Posyandu

: 40 buah

b. Tenaga dan Struktur Organisasi


1. Tenaga Kesehatan
Tenaga Kesehatan

Dokter umum

: 3 orang

Dokter gigi

: 2 orang

Perawat

: 7 orang

Bidan

: 6 orang

Sanitarian

: 2 orang

Nutrisian

: 1 orang

Pranata laboratorium

: 1 orang

Apoteker

: 1 orang

Asisten apoteker

: 1 orang

Perawat gigi

: 1 orang

Rekam medik

: 3 orang

45

c. Struktur Organisasi
Struktur organisasi Puskesmas Cendrawasih berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar Nomor 800/1682/SK/IV/2010
tanggal 21 April 2010 terdiri atas:

Kepala Puskesmas

Kepala Subag Tata Usaha

Unit Pelayanan Teknis Fungsional Kesehatan

3.3.8

Unit Kesehatan Masyarakat

Unit Kesehatan Perorangan

Unit jaringan Pelayanan Puskesmas


-

Unit Puskesmas Pembantu

Unit Puskesmas Keliling

Unit Bidan Komunikasi/Bidan Penanggung Jawab Keluarahan.

Alur Pelayanan Puskesmas Cendrawasih


Berikut adalah alur pelayanan rawat jalan di Puskesmas Cendrawasih :

46

Gambar 7. Bagan alur pelayanan Puskesmas Cendrawasih

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.

HASIL STUDI KASUS

A. PASIEN
Pasien laki-laki berusia 20 tahun datang ke puskesmas Cendrawasi dengan
keluhan batuk yang dirasakan kurang lebih 3 minggu. Batuk disertai dahak,
dahak berwarna hijau. Pagi hari sebelum ke puskesmas pasien mengeluh
keluar bercak darah berwarna merah segar saat batuk. Riwayat demam ada,
pasien juga mengeluh sering keringat malam. Nafsu makan berkurang
sehingga dirasakan terjadi penurunan berat badan dalam 3 minggu terakhir.
Sebelumnya pasien hanya mengkonsumsi obat demam dan obat batuk namun
demamnya hanya turun untuk sementara kemudian timbul kembali, sedangkan
untuk batuknya tidak menunjukkan ada perubahan. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang didapatkan dari pasien, dokter menganjurkan untuk
melakukan pemeriksaan sputum BTA 3 kali. Setelah pemeriksaan dahak pagi
dan sewaktu, reaksi dari pemeriksaan dahak tersebut hasilnya (+2, +2),
sehingga dokter mendiagnosa pasien menderita TB Paru. Dokter menjelaskan
dan menganjurkan pasien untuk mendapat pengobatan selama 6 bulan dan
harus kontrol setiap bulan untuk melihat perkembangan pengobatannya.

47

Riwayat Penyakit Dahulu :


-

Pasien mengaku belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya

Riwayat asma disangkal

Riwayat DM dan Hipertensi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Ada keluarga yang memiliki riwayat menderita batuk lama, yaitu ayah
penderita sejak sekitar 5 tahun yang lalu.

Tidak ada keluarga yang mempunyai riwayat penyakit asma

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien berada di tingkatan sosial ekonomi menengah ke bawah. Pasien
memiliki pekerjaan sebagai mahasiswa di Politeknik Ujung Pandang jurusan
akuntansi. Pasien tinggal bersama orang tua dan 2 saudara kandung.
Pemeriksaan Fisik
1 Keadaan Umum
2 Vital sign

: sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

GCS

: 15

Tek. Darah

: 120/80 mmHg

Frek. Nadi

: 100 x/menit

Frek Pernapasan

: 20 x/menit

Suhu

: 37,7 C

BB

: 53 kg

Tinggi Badan

: 168 cm

Status Generalis :
-

Kepala
Mata

THT
Leher
Paru-paru

: Normocephal
: Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
Pupil bulat, isokor
: Dalam Batas Normal
: Pembesaran KGB dan tiroid (-)

48

Inspeksi

: pergerakan dinding dada simetris kanan dan

Palpasi

kiri
: fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan

Perkusi
Auskultasi

kiri
: sonor seluruh lapang paru
: bunyi pernapasan vesikuler pada paru kanan
dan kiri, rhonki basah (+/-),wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: iktus kordis tidak terlihat


: iktus kordis teraba di ICS V linea
midklavikula sinistra
: batas jantung kanan ICS IV linea sternalis
dextra

Auskultasi
Abdomen
Inspeksi

batas

jantung

kiri

ICS

linea

midklavikula sinistra
: bunyi jantung I dan II normal, murmur(-)
: simetris, datar, kelainan kulit (-), pelebaran

Auskultasi
Palpasi

vena (-)
: bising usus normal
: nyeri lepas (-), nyeri ketuk (-), hepatomegali

Perkusi

(-), spleenomegali (-)


: timpani di semua lapang abdomen, nyeri
ketuk (-)

- Ekstremitas
Status Lokalis : -

: akral hangat, edema

Informasi hasil pemeriksaan tambahan:

Batuk berdahak sudah sekitar 3 minggu. Batuk berdahak berwarna

hijau

disertai keluarnya darah

TD 120/80 mmHg.

Demam sub febril (+)

Keringat di malam hari (+)

49

Tn. F sering kontak dengan temannya yang batuk lama dan sedang menjalani
pengobatan 6 bulan

Kurang pengetahuan tentang TB paru

Selama batuk pasien hanya konsultasi ke temannya yang batuk lama dan baru
datang ke puskesmas setelah batuk darah.

Tn. F adalah mahasiswa yang sementara menjalani pendidikan di PUP jurusan


akuntansi.

Ayah penderita membuka usaha bengkel las dan rumah penderita sementara
dalam proses perbaikan sehingga rumah dalam keadaan sangat berdebu.

Pada pemeriksaan fisik Tn.F di dapatkan:


- Berat badan 53 kg , tinggi badan 168 cm.
- Pernapasan vesikuler dengan ronkhi basah pada lapangan paru sebelah kanan.
Pada pemeriksaan penunjang di dapatkan:
- Hasil pemeriksaan dahak pasien BTA (+2, +2).

50

B. KELUARGA

Profil Keluarga
1

Karakteristik Keluarga

Tabel 6. Anggota keluarga yang tinggal serumah

No

Nama

1.

Tn. Y

2.

Kedudukan

Gender

Umur

Pendidikan

Pekerjaan

Kepala keluarga

51 th

SMA

Wiraswasta

Ny.A

Isteri

47 th

SMA

3.

Nn.W

Anak

25

SMA

PNS

4.

Tn. F

Anak

20

SMA

Mahasiswa

5.

Nn. F

Anak

15

SMP

Pelajar

dalam keluarga

Ibu Rumah
Tangga

Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup


a

Lingkungan tempat tinggal

Tabel 7 Lingkungan tempat tinggal


Status kepemilikan rumah : milik sendiri
Daerah perumahan : padat penduduk
Karakteristik Rumah dan Lingkungan

Kesimpulan

Luas rumah :

Keluarga

Tn.F

Tingkat 1 : 6 x 4 m2

rumah dengan kepemilikian

Tingkat 2 : 12 x 4 m2

milik sendiri. Tn. F tinggal

Tingkat 3 : 4 x 4 m2
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 5 orang

dalam

rumah

tinggal

yang

di

sangat

berdebu dan pengap dengan

51

lingkungan rumah yang padat

Luas halaman rumah : 6 x 4 m2

dan

Rumah 3 tingkat

ventilasi

yang

kurang

memadai yang dihuni oleh 5

Lantai rumah dari : semen dan kayu

anggota

Dinding rumah dari : batu dan kayu

penerangan listrik 500 watt.

keluarga.

Dengan

Air PAM umum sebagai sarana

Jamban keluarga : ada

air bersih keluarga.

Tempat bermain : tidak ada


Penerangan listrik : 500 watt
Ketersediaan air bersih : ada
Tempat pembuangan sampah : ada

Tingkat 1

Tingkat 2

KM
DAPU
R

KAMAR
TIDUR

Tingkat 3
T
KAMAR TIDUR

RUANG TAMU

BENGEKL
LAS

SEMENTARA
RENOVASI

Kepemilikan barang barang berharga


Tn.F memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya antara lain
yaitu, satu buah televisi besar berwarna yang terletak di tingkat 2, satu

52

kipas angin yang terletak di tingkat 2, satu buah kompor gas yang terletak
di dapur. Tn.F dan ayah dari Tn. F juga masing-masing memiliki satu
buah sepeda motor.
3

Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga


a

Tempat berobat
Apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit, Tn.W selalu
berobat ke puskesmas untuk mendapatkan terapi yang lebih baik untuk
kesembuhan penyakit mereka.

Balita : KMS
Anggota keluarga Tn.F tidak ada yang berusia balita sehingga tidak
memiliki KMS.

Asuransi / JaminanKesehatan
Keluarga Tn.F tergolong keluarga dengan status ekonomi menengah
ke bawah, namun keluarga ini sudah memiliki asuransi jaminan kesehatan

Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)

Tabel 8 Pelayanan Kesehatan


Faktor
Cara

Keterangan
mencapai

pusat Sepeda motor

pelayanan kesehatan

Kesimpulan
Tn.F
berobat
Puskesmas

dengan

mengendarai

sepeda

motor.
kualitas
Tarif pelayanan kesehatan Murah

dinilai
sehingga

Kualitas pelayanan
kesehatan

datang
Memuaskan

ke

Menurutnya
pelayanannya
memuaskan
pasien
kembali

mau
untuk

berobat.

53

Pola Konsumsi Makanan Keluarga


a

Kebiasaan makan :
Keluarga Tn.F makan sebanyak dua sampai tiga kali sehari. Menu
makanan yang diterapkan dalam waktu makan mereka tidak pernah
menentu. Menu makanan mereka paling sering makan nasi dengan lauk
tahu atau tempe, ikan beserta sayuran, dan kadang-kadang makan ayam
dan daging. Adapun makanan yang dimakan oleh keluarga Tn.F dimasak
sendiri. Keluarga Tn.F selalu membiasakan diri untuk mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan serta merapikan dan membersihkan peralatan
makan mereka setelah selesai makan.

Menerapkan pola gizi seimbang :


Keluarga Tn.F sudah menerapkan pola gizi seimbang kepada seluruh
anggota keluarga.

Pola Dukungan Keluarga


1 Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga
Mayoritas anggota keluarga Tn.F sudah cukup peduli terhadap
kesehatan. Untuk Tn.F sendiri selama mengalami keluhan kesehatan dan
telah didiagnosis terjangkit penyakit TB, secara rutin selalu kontrol di
Puskesmas Bulurokeng.
Seluruh anggota keluarga senantiasa memberikan dukungan kepada
Tn.F agar dapat sembuh dari penyakitnya dengan cara

selalu

mengingatkan pasien untuk minum obat secara rutin agar tidak terjadi
putus obat dan kontrol untuk mengambil obat di Puskesmas Pertiwi tiap
bulan. Tn.F memiliki kesadaran yang besar akan penyakitnya, sehingga
Tn.F membatasi diri dengan anggota keluarga yang sehat karena Tn.F
khawatir anggota keluarganya atau teman-teman di tempat kerjanya
tertular. Oleh karena itu, Tn.F selalu menggunakan masker saat di luar

54

rumah, ataupun kadang di dalam rumah dan tidak membuang dahak


2

sembarangan.
Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga
Adapun faktor-faktor yang menghambat dalam kesembuhan Tn.F
antara lain, jumlah ventilasi dan jumlah jendela yang tidak sesuai dengan
ketentuan rumah sehat sehingga siklus udara di dalam rumah yang sangat
minim, rumah penderita yang sementara dalam proses renovasi dari rumah
kayu menjadi rumah batu sehingga sangat berdebu, ditambah lagi
pekerjaan ayah penderita membuka bengkel las di depan rumah dan
kondisi lingkungan sekitar rumah yang berada dalam pemukiman padat
penduduk.

Genogram
1 Bentuk keluarga :
Bentuk keluarga ini merupakan keluarga inti.

55

Gambar 8. Genogram Pasien Penderita TB


Keterangan :
: Kepala keluarga (ayah penderita)
: isteri (ibu penderita)
: Anak ke-1
: Anak ke-2 (penderita TB)
: Anak ke-3

4.2.

PEMBAHASAN

4.2.1. TANGGAL

INTERVENSI,

DIAGNOSTIK

HOLISTIK,

DAN

PENATALAKSANAAN SELANJUTNYA
Pertemuan ke 1 : 4 April 2016
Saat kedatangan yang pertama dilakukan beberapa hal yaitu :
1. Memperkenalkan diri dengan pasien.
2. Menjalin hubungan yang baik dengan pasien.
3. Menjelaskan maksud kedatangan dan meminta persetujuan pasien
4. Menganamnesa pasien, mulai dari identitas sampai riwayat psiko-sosioekonomi dan melakukan pemeriksaan fisik.
5. Menjelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan dan mempersiapkan
alat yang akan dipergunakan.
6. Memastikan pasien telah mengerti tujuan prosedur pemeriksaan.
7. Meminta persetujuan pemeriksaan kepada pihak pasien.
8. Membuat diagnostik holistik pada pasien.
9. Mengevaluasi pemberian penatalaksanaan farmakologis. .
56

4.2.2. Anamnesa

Identifikasi permasalahan yang didapatkan dalam keluarga


Masalah lingkungan
Lingkungan tempat tinggal Tn.F merupakan lingkungan yang padat penduduk
dan letak rumah yang satu dengan rumah yang lainnya saling menempel.
Ventilasi rumah yang tidak terlalu baik dan rumah penderita yang sementara
dalam proses renovasi dari rumah kayu menjadi rumah batu menjadi sangat
berdebu, ditambah lagi pekerjaan ayah penderita membuka bengkel las di
depan rumah sehingga menimbulkan polusi udara.
Diagnosis Holistik
Untuk melakukan diagnostik holistik yang komprehensif maka diperlukan
tinjauan dari beberapa aspek antara lain :
1 Aspek personal
Pasien datang atas kemauan sendiri dan berobat di Puskesmas Pertiwi.
Hal ini dilakukan karena sebelumnya pasien sudah berobat tetapi tidak
kunjung sembuh. Sehingga pasien khawatir bahwa batuk yang diderita
akan semakin memburuk dan anggota keluarga lainnya tertular. Dengan
2

berobat ke puskesmas pasien berharap penyakitnya dapat cepat sembuh.


Aspek klinik
Berdasarkan hasil anamnesa yang didapatkan pasien datang dengan
keluhan batuk yang dirasakan sudah kurang lebih sekitar 1 bulan, dan dari
pemeriksaan fisis didapatkan adanya ronkhi pada apex paru kanan, dan
dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil sputum BTA 3 kali positif 2.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien di diagnosis TB Paru sejak beberapa hari terakhir dan
sementara dalam terapi DOTS.

Aspek risiko internal

57

Penyakit TB Paru dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor internal


antara lain jenis

kelamin, usia, kebiasaan pasien, dan keadaan sosial

ekonomi.
Pada faktor jenis kelamin TB paru memang lebih sering dialami oleh
pria dibandingkan wanita. Hal ini dikarenakan laki-laki sebagian besar
mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB
Paru, begitu pula dengan kebiasaan pasien. Di tambah lagi, TB paru lebih
sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif.
Dilihat dari tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan
terhadap seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat
kesehatan.
4

Aspek psikososial keluarga


Di dalam keluarga terdapat faktor-faktor yang dapat menghambat dan
mendukung kesembuhan pasien. Di antara faktor-faktor yang dapat
menghambat kesembuhan pasien yaitu, kurangnya pengetahuan keluarga
tentang penyakit yang diderita pasien, serta kurangnya kesadaran keluarga
untuk hidup sehat. Sedangkan faktor yang dapat mendukung kesembuhan
pasien yaitu, adanya dukungan dan motivasi dari anggota keluarga baik
secara moral dan materi untuk Tn.F.
Untuk rumah Tn.F disini termasuk rumah yang kurang sehat dimana
jumlah ventilasi kurang baik sehingga siklus udara di dalam rumah yang
sangat minim dan rumah tidak mendapat pencahayaan sinar matahari yang
cukup. Terlebih lagi keadaan rumah yang sangat berdebu karena
sementara sedang dilakukan renovasi rumah dan ayah penderita membuka
bengkel las di halaman rumah.

Aspek fungsional

58

Secara aspek fungsional, pasien tidak ada kesulitan dan masih merasa
mampu dalam hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam
maupun di luar rumah.
Diagnosa klinis : TB paru
Diagnosis psikososial :

pasien merasa khawatir terhadap penyakitnya,

lingkungan rumah yang kurang terawat dan kebiasaan merokok.


4.2.3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara holistik pada pasien ini meliputi pencegahan
primer, pencegahan sekunder ( terapi untuk pasien dan keluarga pasien ).
A. Pencegahan primer diperlukan agar orang sehat tidak terinfeksi
penyakit TB melalui 2 cara yaitu :
1

Tindakan dari orang yang sehat dengan menghindari kontak bicara


dari jarak dekat dengan penderita TB, ada baiknya penderita sehat
memakai masker
Ada baiknya orang sehat di sekitar pasien menjaga daya tahan
tubuh dengan pola hidup sehat serta diberi penyuluhan oleh tenaga
kesehatan.

Pada penderita TB diusahakan untuk tidak membuang ludah atau


batuk di sembarang tempat.

B. Pencegahan sekunder
1

Terapi farmakologis :
Pada pasien ini diketahui menderita TB paru kasus baru
sehingga

terapi

yang

diberikan

adalah

FDC

(Fix-Dose

Combination) pada fase intensif berupa INH 75 mg, Rifampicin 150


mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg. Tablet ini
digunakan untuk pengobatan setiap hari dalam fase intensif. Karena

59

pemberian OAT kategori I diberikan berdasarkan berat badan maka


pasien diberikan 3 tablet 4FDC selama 56 hari.
2

Terapi non-farmakologis :
Penderita TB diharapkan untuk menjaga asupan makanan yang
bergizi dan sehat serta pola hidup teratur serta menghindari stress
yang berlebihan.

Terapi untuk keluarga


Terapi untuk keluarga hanya berupa terapi non - farmakologi terutama
yang berkaitan dengan emosi, psikis dan proses pengobatan pasien.
Dimana anggota keluarga diberikan pemahaman agar bisa memberikan
dukungan dan motivasi kepada pasien untuk berobat secara teratur dan
membantu memantau terapi pasien serta menciptakan suasana yang sehat
terhadap emosi dan psikis pasien. Dikarenakan penyakit dari pasien
menular sehingga dibutuhkan perlindungan terhadap keluarga pasien
berupa pemakaian masker serta menjaga pola hidup sehat agar tidak
mudah terinfeksi.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus TB yang dilakukan di layanan primer
(PUSKESMAS) mengenai penatalaksanaan penderita TB dengan pendekatan
diagnose holistik, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang


pasien didiagnosa menderita TB paru.
60

Diagnosis Holistik (multiaksial) :


a. Aspek personal

: Pasien berharap dengan datang berobat ke

PUSKESMAS maka keluhan yang dideritanya akan sembuh.


b. Aspek klinik

: TB paru

c. Aspek resiko internal

Aspek risiko internal yang didapatkan pada pasien yaitu jenis kelamin,
usia, kebiasaan pasien, dan keadaan sosial.
d. Aspek psikososial keluarga :
Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit yang diderita pasien,
kurangnya kesadaran keluarga untuk hidup sehat, dan keadaan rumah
pasien yang kurang sehat.
e. Aspek Fungsional

Derajat 1 ;Pasien tidak ada kesulitan dan masih merasa mampu dalam
hal fisik dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di luar
rumah.
Diagnosa klinis

: TB paru

Diagnosis psikososial

: pasien merasa khawatir terhadap penyakitnya,

lingkungan rumah yang kurang terawat dan kebiasaan merokok.


2

Permasalahan yang didapat ditinjau dari beberapa fungsi diantaranya :


Lingkungan tempat tinggal Tn.F merupakan lingkungan yang padat
penduduk. Rumah penderita yang sementara dalam proses renovasi dari
rumah kayu menjadi rumah batu menjadi sangat berdebu, ditambah lagi
pekerjaan ayah penderita membuka bengkel las di depan rumah sehingga
menimbukan polusi udara.

Faktor resiko terjadinya tuberkulosis paru pada pasien termasuk faktor


sosial, usia, dan jenis kelamin.

Penatalaksanaan secara holistik pada pasien ini meliputi pencegahan


primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer dari orang yang
61

sehat dengan menghindari kontak jarak dekat dengan penderita TB,


menjaga daya tahan tubuh dengan pola hidup sehat serta diberi
penyuluhan oleh tenaga kesehatan. Pada penderita TB diusahakan untuk
tidak membuang ludah atau batuk di sembarang tempat.
Pencegahan sekunder ada terapi farmakologis dan non farmakologi.
Untuk terapi farmakologis diberikan FDC untuk kasus baru. Terapi nonfarmakologis berupa menjaga asupan makanan yang bergizi serta pola
hidup sehat.
Terapi untuk keluarga hanya berupa terapi non -

farmakologi

terutama yang berkaitan dengan emosi, psikis dan proses pengobatan


pasien. Dikarenakan penyakit dari pasien menular sehingga dibutuhkan
perlindungan terhadap keluarga pasien berupa pemakaian masker serta
menjaga pola hidup sehat agar tidak mudah terinfeksi.

5.2. Saran
1

Penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien dan keluarga pasien adalah


sebagai berikut :
a. Aspek personal

Menganjurkan kepada pasien untuk rajin kontrol dan mengambil obat ke


Puskesmas apabila obat yang tersedia sudah mau habis. Menjelaskan
kepada pasien agar selalu rutin meminum obatnya dan jangan sampai
terjadi putus obat. Hasil yang diharapkan adalah pasien rutin untuk kontrol
ke Puskesmas dan minum obat secara teratur.

62

b. Aspek klinik

Memberikan OAT kategori I kepada pasien. Hasil yang diharapkan adalah


menyembuhkan penyakit yang diderita pasien.
c. Aspek resiko internal

Menganjurkan kepada pasien untuk rutin ke Puskesmas dan berusaha


untuk dapat berhenti merokok dan mengedukasi pasien tentang bahaya
merokok.
d. Aspek psikososial keluarga
Menjelaskan kepada pasien

:
dan keluarganya tentang penyakit yang

diderita pasien, menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang


perilaku hidup sehat. Hasil yang diharapkan adalah pasien dan
keluarganya dapat memahami dengan baik tentang penyakit yang sedang
diderita pasien sehingga dapat mengupayakan pencegahan untuk penyakit
tersebut. Disarankan juga untuk memperbaiki ventilasi rumah agar debu
yang dihasilkan dari renovasi rumah dan bengkel las tidak terlalu
mengganggu sirkulasi udara. Penderita juga di anjurkan untuk tidak terlalu
sering terpapar debu dengan rajin memakai masker.

e. Aspek Fungsional :
Menganjurkan pasien untuk menjaga kondisi fisiknya dengan aktif
melakukan olah raga ringan seperti jalan santai selama 30 menit. Hasil
yang diharapkan adalah kondisi pasien lebih sehat dan prima dan dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
2

Diperlukan kerja sama antara anggota keluarga dengan petugas pelayanan


kesehatan dalam menyelesaikan semua permasalahan yang ditemukan.
Pasien dan keluarganya agar lebih terbuka kepada pemberi pelayanan
kesehatan jika ingin mengetahui tentang penyakitnya.

63

Perlunya pelayanan kesehatan yang lebih menyeluruh, komprehensif,


terpadu dan kesinambungan. Diperlukan suatu rekam medis yang benar
dan teratur, serta terkomputerisasi untuk menunjang pelayanan. Perlunya
mengedukasi

pasien

TB paru untuk

meminum obat teratur hingga

pengobatan tuntas dan kontrol secara rutin tiap bulan.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Sudoyo, Aru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th. Jakarta : PAPDI

Publisher, 2007. pp. 988-995. Vol. 2.


2.

Adhitama,

Chandra

Yoga.

Pedoman

Nasional

Penanggulangan

Tuberculosis. 2nd. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006.

64

3.

M. Yusuf, Wibisono. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : FK-UNAIR,

2011.
4.

Danusantoso, Halim. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. [ed.] Rachma Lanny.

Jakarta : Hipokrates, 2000.


5.

Anonim. Keputusan Menteri Kesehatan No. 364 Tahun 2009 ttg Pedoman

penanggulangan TB. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2009.


6.

Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru. Pedoman Panatalaksanaan TB.

Jakarta : PDPI, 2009.


7.

Alsagaff, Hood and Mukty, Abdul, [ed.]. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.

Surabaya : Airlangga University Press, 2010. Vol. 7th.


8.

Ward, Jeremy P.T,, Ward, Jane and Leach, Richard. At A Glance Sistem

Respirasi. Jakarta : Erlangga Medical Series, 2008.


9.

Guyton, Arthur C. Fisiologi Kedokteran. 11st. Jakarta : EGC, 2008.

10.

Budiman, Chandra. Pengantar Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta :

EGC, 2010.
11.

Sherwood, Laura. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC, 2012.

12.

Djojodirmoto, Darmanto. Respirologi. Jakarta : EGC, 2012.

13.

Antituberculosis Regiments of Chemotherapy. Girling, DJ. 2001, Buletin of

International Union Against Tuberculosis.


14.

Anonim. Kumpulan Kuliah Penyakit Paru. Surabaya : Unair, 2000.

15.

Prasetyawati, Arsita. Kedokteran Keluarga dan Wawasannya. Surakarta :

Universitas Negeri Surakarta, 2010.


65

66

Você também pode gostar