Você está na página 1de 6

ANTARA AKU, IBU, DAN ALOXTRA

Hari Minggu, aku menemani Ibu membeli benang di sebuah toko


perlengkapan jahit. Saat itu, Ibu berkata kepada petugas toko bahwa Ibu
membutuhkan benang berwarna merah seperti warna kain yang ditunjukkannya
kepada petugas toko. Petugas toko kebingungan karena kain yang ditunjukkan oleh
Ibu berwarna biru. Kemudian petugas toko menanyakan kembali tentang warna
benang yang dibutuhkan oleh Ibu. Ibu pun menjawab bahwa Ibu membutuhkan
benang berwarna merah. Saat itu aku hanya memandang heran ke arah Ibu, Ibu
tidak

seperti

biasanya,

biasanya

Ibu

cermat

sekali

dalam

memilih

dan

memadupadankan warna, tetapi rasa heran itu masih aku simpan dalam diam.
Saat menerima benang dari petugas toko, ibu tampak kesal dan berkata
dengan nada tinggi kepada petugas itu bahwa Ibu membutuhkan benang berwarna
merah seperti warna kain yang dibawanya. Petugas toko kembali dibuat bingung
oleh perkataan Ibu. Aku pun menengahi untuk mencegah terjadinya hal-hal yang
tidak diinginkan. Aku meminta petugas toko untuk mengambilkan benang berwarna
biru seperti warna kain yang masih ada dalam genggaman Ibu. Petugas toko pun
mengambil benang berwarna biru dan menyerahkan kepada Ibu. Ibu tersenyum
tanda setuju, kemudian Ibu menuju kasir untuk membayar benang itu. Kami lalu
keluar dari toko itu.
Selanjutnya kita mau kemana, Bu? Tanyaku.
Ke Jalan Adhi..., Adhi..., Adhiyaksa. Ibu menjawab dengan terbata-bata.
Oh, ke kebun anggrek, Ibu ingin melihat perkembangan bunga-bunga itu. Kataku.
Ibu hanya mengangguk sebagai jawaban atas perkataanku tadi. Saat itu, aku heran
melihat sikap Ibu karena biasanya Ibu sangat bersemangat dan antusias terhadap
hal-hal yang berhubungan dengan anggrek. Ibu bisa bercerita panjang lebar begitu
mendengar kata anggrek, tetapi mengapa hari ini Ibu bersikap seperti bukan Ibu
yang aku kenal selama ini.
Sesampainya

di

depan

kebun

anggrek,

Ibu

tampak

seperti

orang

kebingungan.
Mengapa kau bawa ibu ke kebun anggrek ini? Tanya Ibu.
Bukankah Ibu tadi meminta untuk diantarkan ke Jalan Adhiyaksa? Aku pikir Ibu
akan merawat anggrek-anggrek itu. Jawabku, mulai sedikit kesal.

Bukan, Ibu bukan mau ke sini. Ibu minta diantarkan ke toko tekstil Koko Bara, mau
beli kain katun untuk baju Bu Tari agar bisa segera Ibu jahit. Jawab ibu.
Oh, toko tekstil itu ada di Jalan Condrolukito bukan di Jalan Adhiyaksa, tadi Ibu
keliru menyebutkan nama jalan. Sahutku.
Aku pun bergegas memacu kendaraan menuju toko itu. Sesampainya di sana, toko
itu tutup dan Ibu gagal membeli kain pada hari itu. Kami pun segera menuju ke
rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Ibu lebih banyak diam. Ibu menanggapi
obrolanku dengan kata-kata singkat saja. Padahal Ibu bukanlah orang yang
pendiam, Ibu adalah orang yang ceria, bersemangat, dan hobi bercanda. Ketika aku
menanyakan mengapa Ibu lebih banyak diam, Ibu hanya menjawab bahwa beliau
sedang capek. Setibanya di rumah, Ibu kemudian beristirahat di kamarnya.
Ibu tidak menjahit? Tanyaku kepada Ibu.
Ibu sedikit pusing, mau tidur sebentar. Jawab Ibu.
Aku hanya mengangguk dan membiarkan Ibu beristirahat di kamarnya.
***
Keesokan harinya, Ibu masih tampak lesu dan letih. Berbeda dengan pagipagi sebelumnya dimana Ibu selalu terlihat segar dan bersemangat. Aku berpikir
bahwa mungkin Ibu terlalu kecapekan sehingga butuh istirahat beberapa saat. Aku
menyarankan agar ibu beristirahat saja sampai Ibu merasa sehat kembali. Namun
Ibu mengatakan bahwa beliau tidak apa-apa, dan Ibu pun tetap beraktivitas seperti
biasanya. Saat Ibu akan menjahit, tidak seperti biasanya Ibu meminta bantuanku
untuk

memasukkan

benang

ke

dalam

lubang

jarum,

biasanya

Ibu

bisa

melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Selang setengah jam kemudian,
aku melihat Ibu berusaha memasukkan benang ke dalam lubang jarum yang lainnya
tetapi gagal terus. Bagaimana mungkin Ibu yang biasanya handal untuk urusan
memasukkan benang ke dalam lubang jarum, menjadi begitu sangat kesulitan, aku
pun turun tangan untuk membantunya.
Dua hari pun berlalu, Ibu masih sering mengeluh pusing dan sakit kepala.
Selain itu, gaya bahasa beliau berubah, sulit untuk mengatakan sesuatu ataupun
memberikan instruksi, serta sulit untuk menyebutkan nama benda seperti gelas,
piring, dan gunting.

Aku mulai cemas dengan kondisi tersebut.

Akhirnya, aku

membawa Ibu ke dokter terdekat dari rumah, walaupun awalnya Ibu menolak dan
memintaku untuk tidak khawatir dengan pusing yang diderita oleh Ibu tetapi akhirnya
Ibu menuruti juga kemauanku itu.

Dokter

melakukan

pemeriksaan

terhadap

Ibu.

Seusai

melakukan

pemeriksaan, dokter menduga ada penyumbatan di otak Ibu tetapi itu hanya dugaan
saja karena peralatan untuk penegakan diagnosis yang dimiliki dokter tersebut
terbatas. Dokter menyarankan agar aku segera membawa Ibu ke Rumah Sakit untuk
memastikan diagnosis sehingga mendapatkan penanganan medis secepatnya,
supaya penyakit Ibu tidak bertambah fatal. Kami pun patuh pada saran dokter
tersebut.
Sesampainya di Rumah Sakit, Ibu segera mendapatkan penanganan dari
tenaga medis yang ada di Rumah Sakit tersebut. Ibu menjalani pemeriksaan CTScan untuk penegakan diagnosis oleh dokter. Berdasarkan hasil CT - Scan, dokter
menyatakan Ibu menderita Demensia dan lalu dokter memberikan resep obat yaitu
Aloxtra. Menurut dokter, Aloxtra adalah obat yang zat aktifnya adalah donepezil.
Donepezil dapat berfungsi untuk menghambat penurunan fungsi otak, dan
memperpanjang kemampuan penderita demensia untuk melakukan aktivitas sehariharinya secara mandiri. Dokter juga menginformasikan bahwa obat yang termasuk
dalam golongan obat untuk penyakit neuro-degeneratif tersebut hanya dapat
diperoleh dengan resep dokter dan harganya cukup mahal.
Aku sedih sekali mendengar penjelasan dan vonis dari dokter tersebut. Ibu
yang merupakan aset terbesar dalam hidupku, sedang diuji oleh Tuhan dengan
penyakit neuro-degeneratif. Ibu yang berperan besar dalam pengambilan keputusan
di kehidupanku, kini menderita penyakit demensia, sebuah penyakit yang aku
ibaratkan bisa menguburkan semua harapan-harapan ibu di masa depan. Penyakit
demensia merupakan skenario Tuhan yang terdengar sangat menyakitkan bagiku
saat ini. Namun dibalik skenario Tuhan yang saat ini terasa menyakitkan itu, aku
sadar pasti ada rencana baik dari Tuhan. Tuhan tidak pernah menyakiti makhlukNya.
Keterpurukanku karena mendengar vonis dokter tidak berlangsung lama
karena aku sadar bahwa aku harus bangkit dan mandiri agar dapat mendampingi,
men-support, dan merawat Ibu dengan baik. Sampai saat ini, aku tidak tahu sejak
kapan Ibu menunjukkan gejala demensia dan faktor apa yang menyebabkan Ibu
menderita Demensia. Seandainya aku tahu faktor penyebabnya dari awal, aku pasti
sudah melakukan langkah-langkah preventif agar Ibu tidak menjadi seperti sekarang
ini.
Aku harus segera mendapatkan Aloxtra di apotek agar ibu dapat
mengkonsumsi obat dari dokter itu. Aku membawa resep dokter ke sebuah apotek.

Merk ini tidak ada di apotek kami. Kami punya merk lain yang zat aktifnya sama
dengan obat ini tetapi harganya lebih mahal dari merk obat yang tertulis dalam resep
ini. Kata petugas di apotek itu.
Sayangnya, uangku hanya cukup untuk membeli Aloxtra, dan tidak ada uang lebih
untuk membeli obat yang lebih mahal dari itu. Kataku kepada petugas apotek.
Anda dapat membelinya separuh resep terlebih dahulu, yang separuh lagi bisa
dibeli lain kali. Memang terasa sangat mahal jika obat ini dibeli sekaligus untuk satu
bulan. saran petugas apotek kepadaku.
Mohon maaf, aku akan mencoba mencari Aloxtra di tempat lain terlebih dahulu.
kataku sambil beranjak pergi dari apotek itu.
Petugas apotek pun tersenyum ramah dan mempersilahkan kepergianku dari situ.
Aku mencoba mencari Aloxtra ke tempat lain, dan aku mendapatkan jawaban yang
sama dengan apotek sebelumnya. Kemudian aku beralih ke apotek lain, dan
usahaku juga belum membuahkan hasil. Begitu seterusnya, aku bertandang dari
apotek yang satu ke apotek yang lain di kota ini. Pada apotek yang ketujuh, aku
mendapatkan tawaran yang menarik dari petugas apotek.
Merk ini tidak ada di apotek kami, tetapi kami dapat mengusahakan pengadaan
obat ini jika anda mau menunggu selama kurang lebih tiga hari.
Baik, tidak apa-apa. aku menyetujui tawaran tersebut.
Baik, nanti kami akan menghubungi anda jika obat ini sudah tersedia di apotek
kami. Kata petugas apotek setelah menanyakan nama dan nomor ponselku.
Aku bergegas meninggalkan apotek itu, setelah menerima bukti untuk pengambilan
obat
Aku tidak memberikan obat apapun kepada Ibu, selama menunggu
kedatangan obat Aloxtra itu. Sembari menunggu kedatangan obat itu,

aku

membantu Ibu untuk mengingat doa-doa rutin yang terlupa oleh Ibu. Selain itu, aku
mendampingi beliau untuk latihan menulis. Ketika hasil latihan itu dibandingkan
dengan tulisan ibu saat masih normal, aku menemukan beberapa perbedaan, tulisan
Ibu saat ini lebih sulit dibaca sedangkan tulisan sebelumnya rapi dan mudah untuk
dibaca.
Sudah lebih dari tiga hari, tetapi aku belum juga mendapatkan kabar tentang
ketersediaan Aloxtra. Aku mulai khawatir jika Ibu tidak segera mengkonsumsi obat
itu bisa menyebabkan kondisi Ibu semakin menurun. Aku pun berinisiatif untuk
menghubungi apotek tempatku mengorder obat itu. Pihak apotek memberi jawaban

bahwa obat tersebut belum tersedia di apotek, pihak apotek akan menghubungiku
jika obat tersebut sudah ada.
Genap

seminggu

dari

hari

aku

mengorder

Aloxtra,

pihak

apotek

menghubungiku dan mengabarkan bahwa Aloxtra pesananku sudah dapat diambil.


Lega, akhirnya aku bisa mendapatkan Aloxtra untuk Ibu. Saat aku mengambil
pesananku itu, petugas di apotek menawarkan jika membutuhkan Aloxtra lagi bisa
membeli di apotek itu.
Aku memberikan Aloxtra kepada Ibu secara rutin sesuai dengan anjuran
dokter yaitu satu kali sehari satu tablet. Makna dari pemberian obat satu kali sehari
adalah setiap 24 jam sekali, berarti jika hari ini diberikan pada pukul 19.00 WIB
maka hari selanjutnya juga diberikan pada pukul 19.00 WIB. Berdasarkan informasi
yang aku peroleh dari apoteker di apotek, Aloxtra sebaiknya diminum pada malam
hari, sesaat sebelum tidur. Aku patuh terhadap informasi dari apoteker tersebut
sehingga sebelum Ibu tidur di malam hari, aku mengingatkan Ibu untuk
mengkonsumsi Aloxtra terlebih dahulu.
Ibu temasuk orang yang cukup sulit untuk mengkonsumsi obat, sehingga
ketika Ibu harus mengkonsumsi Aloxtra secara rutin, hal itu menjadi tantangan
tersendiri bagiku. Setiap tiba waktu minum obat, aku dengan sabar harus membujuk
Ibu agar mau untuk mengkonsumsi obat. Terkadang ketika dibujuk untuk minum
obat, Ibu bisa mengelak dengan alasan yang terdengar lucu. Salah satu alasan yang
sering diungkapkan adalah Sudah mengantuk, besok saja minum obatnya. Jika
sudah begitu, aku harus ekstra sabar dan meluncurkan kata-kata manis sampai Ibu
bersedia untuk mengkonsumsi obatnya.
Suatu ketika Ibu bertanya tentang nama obat yang setiap hari diminumnya.
Aku menjelaskan bahwa nama merk obat itu adalah Aloxtra. Kemudian Ibu
menanyakan harga obat itu. Aku bimbang beberapa saat, aku harus menjawab jujur
atau aku harus berbohong. Jujur atau bohong keduanya tetap membawa
konsekuensi. Seingatku, sejak aku kecil sampai aku dewasa saat ini aku belum
pernah membohongi Ibu. Kalaupun mencoba berbohong pasti Ibu akan mengetahui
bahwa aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Akhirnya aku memutuskan untuk
menjawab jujur saja. Aku menyebutkan nominal tertentu sesuai dengan jumlah uang
yang aku keluarkan untuk membeli Aloxtra. Mendengar jawabanku, Ibu mengatakan
bahwa obat itu mahal, lebih baik besok Ibu tidak minum obat saja daripada nanti jadi
pemborosan. Reaksi dari Ibu ini cukup membuatku panik, bisa tambah gawat jika Ibu

tidak mau minum obat hanya karena harga obat. Aku segera menjelaskan bahwa Ibu
harus tetap rutin minum obat walaupun harga obat itu mahal, karena jika Ibu tidak
mau minum obat dari sekarang maka bisa jadi penyakit Ibu bertambah parah. Jika
penyakit Ibu bertambah parah maka akan membutuhkan obat yang potensinya lebih
besar dari obat yang sekarang dikonsumsi, dan obat yang potensinya kebih tinggi itu
sudah pasti harganya lebih mahal. Setelah mendengar penjelasanku, Ibu
mengangguk tanda memahami perkataanku.
Hari demi hari berganti, terkadang terselip kesedihan ketika aku merawat dan
mendampingi Ibu. Sosok Ibu yang sekarang berbeda dengan sosok Ibu yang
dahulu.

Sekarang,

setiap

kali

aku

mengajak

Ibu

bercanda,

Ibu

hanya

menanggapinya dengan senyum. Jarang sekali aku mendengar Ibu tertawa


terbahak-bahak seperti dulu saat kita sering bercanda bersama. Sekarang Ibu lebih
banyak diam. Aku pun sering tidak bisa memahami ataupun menafsirkan maksud
perkataan Ibu. Seringkali perkataan Ibu terhenti di tengah jalan karena Ibu tidak
menemukan kata-kata untuk menyelesaikan kalimat itu. Penurunan kemampuan
untuk berkata-kata ini dalam bahasa medis disebut sebagai aphasia. Aphasia
merupakan salah satu dari gejala demensia.
Semenjak Ibu menderita demensia, setiap bulan aku harus rutin menyisihkan
uang untuk membeli obat Aloxtra. Kehilangan uang untuk membeli Aloxtra lebih baik
bagiku daripada Ibu harus kehilangan seluruh memory dari otak beliau. Aku
memahami

bahwa

pengobatan

dengan

Aloxtra

tidak

sepenuhnya

dapat

menyembuhkan Ibu menjadi normal seperti sedia kala. Aku mengetahui bahwa
Aloxtra hanya memperlambat progesivitas dari penyakit yang diderita oleh Ibu.
Namun, setidaknya dengan pengobatan rutin itu, ingatan Ibu yang masih tersisa di
dalam otak beliau masih dapat dipertahankan. Aku masih ingin mengukir kenangan
indah bersama Ibu. Kenangan yang akan menjadi sejarah dan pelajaran berharga
bagi anak cucu nantinya. Aku berharap Ibu dapat melanjutkan sisa-sisa hidupnya
dengan bahagia bersama aku yang mendampinginya dan Aloxtra yang rutin
dikonsumsinya. Hingga suatu saat nanti ketika penyakit itu merenggut nyawa Ibu,
Ibu akan menyambut ajal itu dengan senyuman kebahagiaan bersama orang yang
disayangi dan menyayanginya.
-SELESAI-

Você também pode gostar