Você está na página 1de 81

PRAKTIK PENENTUAN BIAYA PRODUKSI: SURVEY PADA

INDUSTRI KREATIF DI YOGYAKARTA


TAHUN 2013-2014
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Ekonomi
(S1)
Pada Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Disusun oleh:
IGNASIUS SETO LARENO
NPM: 07 04 17045

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
FEBRUARI 2015

ii

iii

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Alam Semesta yang telah membantu
dengan

harmoninya

dalam

menyelesaikan

skripsi

berjudul

"PRAKTIK

PENENTUAN BIAYA PRODUKSI: SURVEY PADA INDUSTRI KREATIF DI


YOGYAKARTA TAHUN 2013-2014".
Penelitian ini disusun sebagai bentuk pengabdian penulis terhadap
perkembangan industri kreatif di Yogyakarta selain sebagai salat satu syarat
kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana Ekonomi pada program Studi Akuntansi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penelitian ini tidak lepas dari pihak pihak yang ikut berkontribusi secara langsung atau tidak langsung sehingga penelitian
ini dapat diselesaikan oleh penulis. Maka pada kesempatan ini, peneliti
menyampaikan ucapa terima kasih kepada:
1. Alam Semesta yang telah memberikan fenomena - fenomena yang harmonis
sebagai pondasi perkembangan ilmu pengetahuan dan acuan dalam berpikir
dan melayani sesama manusia.
2. Yang tercinta Alm. Ibu Serena Reno Warti yang telah memberikan segala
curahan kasih sayang dan menginspirasi penulis dalam penelitian ini.
3. Bapak ( Yohanes Susilo Harto ) dan Adik ( Lucia Benasita) yang senantiasa
memberikan dukungan moril kepada penulis.
4. Keluarga Besar Tarcicius Soekino, Keluarga Bapak Kupol Ketapang, serta
Keluarga Besar Keuskupan Ketapang ( Rm.Benjamin Hammu, Rm. Simon,
Rm. Harimurti, Rm. Stefanus Magut, Rm. Atmo, Rm Agus, dan Rm Joko)
yang selalu mendukung dengan semangat dan dalam doa.

5. Ibu Endang Raino W., S.E., M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam memberikan
bimbingan selama penelitian.
6. Ibu Anna Purwaningsih, S.E., M.Si., selaku business coach dalam aktivitas
kewirausahaan selama di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
7. Responden penelitian yang telah memberikan banyak dukungan berupa
informasi dan diskusi mengenai aktivitas bisnis kreatif di Yogyakarta
8. Sahabat - sahabat peneliti yang selalu memberikan dukungan semangat (
Yodito Nugrahacky, Nadia Handoyo, Ayu Gani, Jacub Vargas, Annete
Kruusmagi, Dion Agasi, Amelia Inez, Calvin Capnary, Henry Ardian, Keut
Ferry, Gregoryo Tattit, Alfon Damas, Victor Pasaribu, Yohana Ika Anindita,
Benedictus Raymond, Carolus Novanda, Reno Barto, Reinaldi Maulana, Ary
Yohana, Dhimas Wijaya, Pandu Triatmaja, Rizal Rachmen, Kartika Hananto,
dan Danna Yuhanming.
9. Teman - teman di Local Tobacco yang merupakan salah satu digital agency di
Yogyakarta ( Bian Pratama, Haris Pranoto, Noe Prasetyo, dan Ahid)
10. Teman - teman Whatever Shop dan Affairs Store yang merupakan penggiat
industri kreatif di Yogyakarta ( Moh Marjuki, Dewi Sharmudyasari, Woro
Agustin, Pandu Nathaniel, Nicholaus Hariojati, Dia Novena, Arrosyi Nilasari,
Dini Yunita Sari, Sukma Wandansari, Samid, Ananda Ditya, Bramanto
Ranggamukti, Acin, Dikna, Ida Ayu Centraseni, Dimas Dhyara, Rangga
Zulkarnaen, Mario Andriyono, Sigit Ari, Ganis Pranendyo, Obby Yudha)
11. Teman - teman Fake Friends dan DAB Magazine ( Afit Albauni, Haris
Muhammad, Kemal Yusuf, Aldy Amali, Darmawan Trihatmojo, Auf, Halim
Budiono, Nanto, dan Bams)

vi

12. Teman - teman penggiat industri kreatif ( Tano Naz, Pepeng, Rio Septiano,
Lulu Lutfi Labibi, Moses Valentino, Navis, Pungkas Riandika, Rakka Cyril
serta banyak penggiat industri kreatif lainnya)
13. Teman - teman Purna Caraka Muda Indonesia ( Happy Hartana, Drajat Sarwo,
Vinia Rizky, Wildan Ramadhani, Nadia Fatmakusumah, Niniek Febrianti,
Fani Atmanti, Andhi Susanto, Fanbul, Dita Nurcahya, dan Adit)
14. Teman - teman negara sahabar yang tergabung dalam Guangxi China Youth
Exchange Program ( Miss Li,Miss Liu, Aoom Manechot, Nokki Tepin, King
Seh Horn, Wawan Ariff, Sakda Jantakru, Erni Siburian, Ade Nuansa, serta
Jakub Pohan)
15. Catharina Rinda untuk supportnya selalu.
16. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah
memberikan dukungan dalam segala bentuk, terimakasih.
Peneliti menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan penelitian
ini. Meskipun demikian, peneliti berharap penelitian ini dapat berguna bagi pihak pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, Februari 2015

Peneliti

vii

"Without order, planning, predictability, central control, accountancu, instruction to


underlings, obedience, discipline - without these things nothing fruitful can happen,
because everything disintegrates.
And yet- without the magnanimity of disorder, the happy banadon, the
entreprenuership venturing into the unkonw and incalculable, without the risk and the
gamble, the creative imagination rushing in where angel fear to tread - without this,
life is a mockery and a disgrace"

E.F. Schumacher, Small is Beautiful

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI..............................................

iii

KATA PENGANTAR..........................................................................

iv

MOTTO.................................................................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................

viii

DAFTAR TABEL.................................................................................

ix

INTISARI.............................................................................................

xiii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................

1.2 Rumusan Masalah..............................................................

1.3 Tujuan Penulisan...............................................................

1.4 Batasan Masalah...............................................................

1.5 Manfaat Penelitian............................................................

1.6 Sistematika Penulisan........................................................

10

ix

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Industri Kreatif sebagai Paradigma Perekonomian
Gelombang Ketiga
2.1.1 Pengertian Industri Kreatif......................................

12

2.1.2 Karakteristik Industri Kreatif..................................

14

2.1.3 Perkembangan Industri Kreatif di Indonesia...........

18

2.1.4 Peran Industri Kreatif di Indonesia..........................

20

2.2 Akuntansi Manajemen sebagai Alat Pengendalian dan Perencanaan


dalam Industri Global
2.2.1 Perencanaan dan Pengendalian Perusahaan............... 22
2.2.2 Perbandingan Akuntansi Keuangan, Akuntansi
Manajemen, dan Akuntansi Biaya............................ 25
2.3 Biaya Produksi dalam Aktivitas Perusahaan Manufaktur dan Jasa
2.3.1 Pengertian Biaya.......................................................

23

2.3.2 Klasifikasi Biaya.......................................................

25

2.3.3 Kemampuan Penelusuran Biaya...............................

33

2.3.4 Pengertian Harga Pokok Produksi............................

35

2.3.5 Manfaat Informasi Harga Pokok Produksi...............

36

2.3.6 Metode Pengumpulan harga Pokok Produksi...........

38

2.4 Kerangka Pemikiran.......................................................

39

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian.........................................

43

3.2 Profil Responden Penelitian..........................................

44

3.3 Metode Pengumpulan Data..........................................

46

3.4 Metode Analisis Data...................................................

47

BAB IV ANALISIS DATA


4.1 Penjelasan Penelitian.....................................................

48

4.2 Analisis Data.................................................................

48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan...................................................................

62

5.2 Saran.............................................................................

63

DAFTAR PUSTAKA....................................................................

65

LAMPIRAN..................................................................................

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 PDB Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku 2010-2013................ 18


Tabel 2.2 NTB Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku 2010-2013............... 19
Tabel 2.3 Tenaga Kerja Indonesia Menurut Sektor Ekonomi 2010-2013... 21
Tabel 2.4 Jumlah Usaha Indonesia Menurut Sektor Ekonomi 2010-2013... 22
Tabel 3.1 Profil Perusahaan Sampel............................................................. 46
Tabel 4.1 Persentase Komponen Biaya Produksi Perusahaan Sampel......... 50
Tabel 4.2 Rekapitulasi hasil Survey Biaya Bahan Baku.............................. 51
Tabel 4.3 Rekapitulasi hasil Survey Biaya Tenaga Kerja Langsung........... 55
Tabel 4.4 Rekapitulasi hasil Survey Biaya Overhead Pabrik....................... 59

xii

PRAKTIK PENENTUAN BIAYA PRODUKSI: SURVEY PADA


INDUSTRI KREATIF DI YOGYAKARTA
TAHUN 2013-2014

Disusun Oleh:
IGNASIUS SETO LARENO
NPM 07 04 17045

Dosen Pembimbing

Endang Raino W., S.E., M.Si.


INTISARI

Penelitian ini dilakukan terhadap 13 perusahaan yang bergerak di Industri


Kreatif bertempat di Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
bagaimana praktik penentuan biaya produksi yang telah dilakukan penggiat industri
kreatif di Yogyakarta dalam rentang waktu tahun 2013 - 2014. Selain itu, peneltian
ini juga ingin menggambarkan apakah praktik poenentuan biaya produksi yang telah
dilakukan sesuai dengan konsep akuntansi biaya.
Data diperolej dengan cara observasi kegiatan produksi pada perusahaan,
wawancara dengan penegelola, serta studi pustaka. Penelitian ini merupakan studi
deskriptif kualitatif. Penelitian dilakukan dengan indikator komponen biaya produksi,
yaitu biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead.
Berdasarkan hasil analisis, maka dapat disimpulkan 50% perusahaan sampel
belum dapat mempraktikkan konsep akuntansi biaya dalam mengklasifikasikan
komponen biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, ataupun biaya overhead
pabrik.

Kata Kunci
Produksi

: Industri Kreatif, Praktik Penentuan Biaya Produksi, Biaya

xiii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


With the advent of digital technology and the internet, the creative
entreprenuer can eliminate the middle man and go directly to market" (John
Howkins)

Dalam

dunia

kontemporer,

terjadi

sebuah

paradigma

baru

yang

menghubungkan ekonomi dan budaya; merangkul perekonomian, aspek budaya,


teknologi, dan aspek sosial dalam

pertumbuhan ekonomi

dalam

skala mikro

maupun makro. Alvin Toffler juga menjabarkan perkembangan paradigma tersebut


melalui pembagian empat gelombang

peradaban

ekonomi. Menurut Toffler,

gelombang pertama merupakan gelombang ekonomi pertanian, gelombang kedua


merupakan gelombang ekonomi industri, dan gelombang ketiga merupakan
gelombang ekonomi informasi. Toffler kemudian memprediksi bahwa gelombang
keempat merupakan gelombang ekonomi kreatif yang berorientasi pada ide dan
gagasan kreatif (Toffler, 1980). Paradigma ekonomi kreatif muncul sejak tahun
2002 dalam

pemahaman sebagai model perekonomian yang memanfaatkan

kreativitas dalam menghasilkan keuntungan ekonomis (Howkins, 2001). Sejak saat


itu pertumbuhan industri kreatif semakin meningkat sangat cepat di dunia. Dalam

rentang tahun 2000-2005, perdagangan internasional yang mencakup produk


kreatif berupa jasa dan barang mencapai pertumbuhan rata- rata 8.7 % per tahun,
memberikan kontribusi sebesar 3.4 % dari seluruh jumlah perdagangan internasional,
serta mencapai angka penjualan ekspor sebesar US$ 424.4 juta pada tahun 2005
dalam perdagangan barang dan jasa (UNCTAD, 2005).

Sebagai negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia
tidak tertinggal dalam merespon fenomena perekonomian global tersebut. Meskipun
saat ini perekonomian Indonesia masih ditopang dari sektor pertanian, industri
manufaktur, dan industri ekstraktif. Pertumbuhan industri kreatif di Indonesia
menunjukkan

kontribusi

yang

signifikan

dalam

perekonomian di Indonesia

dewasa ini. Pada tahun 2013, ekspor produk kreatif mencapai Rp119 triliun (10
miliar dollar AS) yang naik delapan persen dibanding 2012 menurut data
Kementerian Parawisata dan Ekonomi Kreatif

(Kamenparekraf).

Sedangkan

kontribusi industri kreatif terhadap PDB pada 2013, tidak jauh berbeda dengan
2012, di kisaran 6,9 persen atau di posisi ke-tujuh, senilai Rp573 triliun dari sektorsektor ekonomi lainnya. Jumlah tenaga kerja yang diserap mencapai 8,6 juta atau 7,9
persen dari total tenaga kerja di Indonesia.

Ditemukan

pula

kesamaan

perkembangan positif penyerapan tenaga kerja dengan jumlah usaha yang ada di
Indonesia. Di tahun 2013 lalu sektor ekonomi kreatif, terjadi pertumbuhan
sebesar 0,41% dimana dari angka 5.398.162 unit di tahun 2012 meningkat menjadi
5.420.165 unit pada tahun 2013.

Dengan demikian, pemerintah sebagai regulator dan katalisator perekonomian


di Indonesia memberi kesempatan yang sama pada pelaku industri kreatif dalam
mengembangkan usahanya sesuai dengan kapabilitsnya. Sesuai misi Kamenparekraf
masa kerja 2008-2014 sebagai institusi yang menaungi Industri kreatif di Indonesia,
yaitu peningkatan kontribusi industri kreatif terhadap PDB bruto Indonesia sebesar
7%-9%, penyerapan kontribusi ekspor sebesar 11%-12%, serta peningkatan kuantitas
industri kreatif 1,5-2 jumlah perusahaan pada tahun 2006 maka menjadikan industri
kreatif dapat dihandalkan

menjadi salah satu alternatif dalam pembangunan

perekonomian nasional dikemudian hari (Kamenparekraf, 2012). Perusahaan yang


dapat diandalkan untuk bersaing di era globalisasi ini adalah tentunya perusahaan
yang memiliki keunggulan kompetitif dan dapat berkelanjutan. Bentuk nyata
Kamenparekraf selanjutnya adalah mengajukan Yogyakarta sebagai Creative City
Network dibawah naungan UNESCO pada tahun 2013 lalu (Jakarta Post, 2013).
Creative City Network merupakan katalisator pengembangan industri kreatif secara
global sehingga potensi yang ada didalamnya dapat berkompetisi secara kompetitif
dan profesional.
Ditengah prospek industri kreatif yang baik, banyak permasalahan yang
terjadi di lapangan terutama menyangkut kualitas SDM dalam mengelola bisnis
tersebut. Hal ini dapat dicermati dengan banyaknya perusahaan dari luar negeri
berbasis IP (Intellectual Property) yang memberatkan industri lokal untuk bersaing
(Liang, 2013). Oleh karena itu, industri kreatif lokal harus dapat bersaing

mempertahankan usahanya. Untuk tetap bertahan dalam lingkungan kompetisi


tersebut, pelaku bisnis seharusnya mampu menciptakan kondisi bisnis yang fleksibel ,
inovatif, dan pelaku bisnis harus mempertimbangkan faktor eksternal perusahaan
yang semakin sulit diprediksi. Keunggulan daya saing yang dapat diciptakan oleh
perusahaan dapat dicapai dengan salah satu cara, yaitu meningkatkan kinerja
manajerial. Kinerja manajerial dalam organisasi merupakan salah satu indikator dari
berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Sistem akuntansi
manajemen disusun terutama untuk menghasilkan informasi yang berguna bagi
pengambil keputusan oleh manajemen.
Inti dari sistem informasi akuntansi manajemen adalah proses yang
dideskrispsikan oleh aktivitas aktivitas, seperti pengumpulan, pengukuran,
penyimpanan, analisis, pelaporan, dan pengelolaan informasi. Informasi mengenai
segala peristiwa ekonomi diproses untuk menghasilkan keluaran yang memenuhi
sistem tersebut. Keluaran tersebut dapat mencakup laporan khusus, biaya produksi,
biaya pelanggan, anggaran, laporan khusus, biaya produk, ataupun laporan kerja.
Sistem informasi akuntansi manajemen tidak terikat oleh kriteria formal apapun yang
mendefinisikan sifat dari proses, masukan, atau keluarannya. Akuntansi manajemen
ini mempunyai tiga tujuan umum, yaitu:
1)

Menyediakan informasi untuk penghitungan biaya jasa, produk ,


atau obyek lainnya yang ditentukan manajemen.

2)

Menyediakan

informasi

untuk

perencanaan,

pengendalian,

pengevaluasian, dan perbaikan berkelanjutan.


3)

Menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan.

Ketiga tujuan ini menunjukkan manajer dan pengguna lainnya perlu memiliki
kemampuan serta akses menuju informasi manajemen. Informasi manajamen dapat
membantu mengindetifikasi dan menyelesaikan masalah serta mengevaluasi kinerja
bisnis yang sedang berjalan (Hansen, 2007). Manager atau pemilik usaha haruslah
membuat keputusan dalam menentukan strategi dalam persaingan global, akuntansi
biaya merupakan bentuk informasi

nyata yang ditujukan kepada manajer atau

pemilik usaha untuk nantinya diproses menjadi sebuah pengambilan keputusan terkait
inovasi dan efisiensi dalam

kompetisi global (Vanderbeck, 2013). Dalam

menghadapi persaingan global seringkali manajemen menggunakan strategi yang


salah yaitu dengan menggunakan profitabilitas jangka pendek sebagai alat pengukur
sukses dan gagalanya unit organisasi yang dipimpinnya (Supriyono, 2002). Beberapa
contoh keputusan manajemen yang tidak tepat karena hanya menekankan
profitabilitas jangka pendek misalnya: memotong biaya riset dan pengembangan,
memotong biaya promosi, menunda investasi baru pada aktiva berteknologi maju,
memutuskan hubungan kerja lebih awal, mengurangi biaya pemeliharaan aktiva tetap,
serta peningkatan jumlah produksi agar unit cost menjadi rendah. Pendekatan jangka
pendek tersebut berpotensi meningkatkan laba atau aliran kas jangka pendek, namun
dalam jangka panjang hal tersebut merugikan kinerja perusahaan dan semakin
menjauhkan perusahaan dari para pelanggannnya. Untuk memperbaiki strategi
5

produksi barang dan jasa seharusnya perusahaan mempunyai komitmen untuk


melaksanakan perbaikan yang berkesinambungan agar perusahaan mempunyai
keunggulan dan berkembang secara berkelanjutan dalam menghadapi persaingan
global.
Industri kreatif cenderung lebih kompleks daripada industri manufaktur. Hal
tersebut menjadi suatu tantangan bagi setiap pelaku didalamnya untuk terus
berinovasi dan melakukan efisiensi untuk terus bertahan di dalam pasar global.
Penentuan dan penghitungan biaya menjadi hal yang penting. Hal ini mengingat salah
satu manfaat informasi biaya produk adalah untuk penentuan harga jual produk.
Apabila perusahaan tidak tepat dan cermat dalam menentukan biaya produk,
kemungkinan yang dapat terjadi adalah:
1)

Biaya produksi yang diperhitungkan oleh perusahaan terlalu


tinggi, sehingga harga jual perusahaan akan menjadi tinggi. Hal
ini dapat menyebabkan perusahaan akan kalah bersaing dalam
persaingan bisnis. Konsumen akan cenderung memilih perusahaan
yang menghasilkan produk dengan kualitas sama dan harga yang
lebih rendah.

2)

Biaya produksi yang diperhitungkan oleh perusahaan terlalu


rendah. Biaya produksi yang terlalu rendah menyebabkan harga
jual produk tersebut rendah. Harga jual yang rendah dapat

mempengaruhi jumlah laba yang akan diterima oleh suatu


perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji
lebih dalam tentang implementasi penentuan biaya produksi yang dilakukan industri
kreatif di Yogyakarta sebagai salah satu rekomendasi Creative City Networking .
Selain itu, peran akuntansi manajamen akan menjadi penting kedepannya
dikarenakan mulai diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2015 yang
tentunya akan meningkatkan kompetisi bisnis dan menuntut industri domestik untuk
dapat terus berinovasi serta berkembang secara berkelanjutan. Dari fenomena
perkembangan industri kreatif di Indonesia mneyambut MEA 2015 serta bidang
akuntansi manajamen sebagai salah satu aspek penting yang mendukung
keberlanjutannya industri kreatif, peneliti akan melakukan penelitian mengenai
Praktik Penentuan Biaya Produksi: Survey Pada Industri Kreatif di Yogyakarta
tahun 2013-2014.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam bagian latar belakang masalah.
Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana praktek penentuan biaya produksi yang selama ini dilakukan oleh
industri kreatif di Yogyakarta dan apakah praktik penentuan biaya produksi yang

telah dilakukan oleh industry kreatif di Yogyakarta sudah sesuai dengan teori
akuntansi biaya?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini, yaitu:
Untuk menggambarkan praktik-praktik penerapan biaya produksi di perusahaanperusahaan yang bergerak di bidang industri kreatif dan apakah praktik penentuan
biaya produksi yang telah dilakukan oleh industry kreatif sudah sesuai dengan teori
akuntansi biaya. Dengan memperoleh gambaran praktek penerapan biaya produk,
bukti empiris tentang praktek penerapan biaya produk akan dapat diperoleh.

1.4 Batasan Masalah


Batasan masalah dimaksudkan agar pembahasan pada penelitian ini tidak
menyimpang dari masalah yang diteliti. peneliti membatasi permasalahan penelitian
sebagai berikut:
Peneliti melakukan penelitian hanya pada perusahaan dengan kriteria sebagai
berikut:
1) Perusahaan yang termasuk dalam 15 subsektor industri kreatif sesuai dengan
definisi dari Direktorat Jenderal EKMDI (Ekonomi Kreatif Berbasis Media
Desain dan IPTEK).

2) Perusahaan bergerak di bidang industri kreatif yang melangsungkan usahanya


di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta minimum sudah berjalan 1 tahun.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini adalah:
1) Pemerintah atau Direktorat Jenderal EKMDI (Ekonomi Kreatif Berbasis
Media Desain dan IPTEK) dan EKSB (Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan
Budaya), sebagai salah satu bahan penilaian kerja 2012-2014 serta sebagai
bahan referensi dalam rencana kerja selanjutnya dalam pengembangan
ekonomi kreatif di Indonesia.
2) Industri, diharapkan dapat membantu perusahaan/pelaku industri kreatif di
Yogyakarta untuk menyikapi priktik penentuan biaya produksi yang
seharusnya sehingga kinerja perusahaan dapat menjadi lebih efisien,
berkelanjutan, dan berdaya saing global.
3) Peneliti/Pembaca, sebagai bahan referensi dan pembanding studi/penelitian
yang terkait dengan riset industri kreatif dan perkembangannya di Indonesia.

1.6 Sistematika Penulisan


BAB I : PENDAHULUAN
Meliputi latar belakang masalah , rumusan masalah, batasan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II :INDUSTRI KREATIF DAN BIAYA
Bab ini menguraikan tentang uraian teoritis yang digunakan sebagai dasar
teori yang mendukung penelitian ini yaitu mengenai industri kreatif, biaya,
dan kerangka pemikiran.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang metode yang digunakan dalam penelitian ini,
terdiri dari waktu dan lokasi penelitian, metode pengumpulan data, dan
metode analisis data.
BAB IV : ANALISIS DATA
Bab ini mengulas tentang analisis data berdasarkan teori teori yang
diuraikan atas pengamatan yang telah dilakukan. Analisis data digunakan
sebagai dasar penarikan kesimpulan.
BAB V : PENUTUP

10

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian, dan saran bagi
pelaku industri kreatif dan Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal
EKMDI (Ekonomi Kreatif Berbasis Media Desain dan IPTEK) mengenai hal
yang berkaitan dengan penentuan biaya produksi

11

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Industri Kreatif sebagai Paradigma Perekonomian Gelombang Ketiga


2.1.1 Pengertian Industri Kreatif
John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make
Money from Ideas (2001) pertama kali memperkenalkan istilah ekonomi kreatif.
Howkins menyadari lahirnya gelombang ekonomi baru berbasis kreativitas setelah
melihat pada tahun 1997, Amerika Serikat menghasilkan produk-produk Hak
Kekayaan Intelektual (HKI) senilai 414 miliar dolar yang menjadikan HKI sebagai
barang ekspor nomor satu di Amerika Serikat.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)
mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai sebuah konsep yang berkembang
berdasarkan

aset

kreatif

yang

berpotensi

menghasilkan

pertumbuhan

dan

pembangunan ekonomi.
Sedangkan dalam cetak biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 20092015, ekonomi kreatif didefinisikan sebagai "Era baru ekonomi setelah ekonomi

12

pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi, yang mengintensifkan informasi


dan kreatifitas dengan mengandalkan ide dan pengetahuan dari sumber daya manusia
sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonominya (Kamenparekraf, 2009).
Hal ini terkait dengan penjabaran perkembangan perekonomian dunia yang
bertransformasi berorientasi pada ide gagasan kreatif (Toffler, 1980).
Industri kreatif di berbagai negara di dunia saat ini diyakini dapat memberikan
kontribusi bagi perekonomian bangsanya secara signifikan. Banyak studi telah
dilakukan untuk melihat perkembangan serta kiprah sektor industri kreatif dalam
perekonomian di dunia. Indonesia pun mulai melihat bahwa sektor industri kreatif ini
merupakan sektor industri yang potensial untuk dikembangkan, karena jika dilihat
dari sumber daya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, kreatifitas masyarakat
Indonesia dapat disejajarkan dengan bangsa- bangsa lainnya di dunia. Industri kreatif
merupakan industri yang potensial untuk dikembangkan mengingat industri ini
memiliki sumber daya yang sifatnya tidak terbatas, yaitu berbasis pada intelektualitas
SDM (sumber daya manusia) yang dimiliki. Tentunya karakteristik industri ini
sangatlah berbeda dengan karakteristik industri yang sarat akan kebutuhan SDA
(sumber daya alam) sebagai bahan dasar pokok dalam proses produksinya, sehingga
membutuhkan perlakuan/kebijakan yang berbeda dari sektor industri lainnya.

13

2.1.2 Karakteristik Industri Kreatif


Dimulai pada tahun 2006 dimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menginstruksikan untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Indonesia. Proses
pengembangan ini diwujudkan pertama kali dengan pembentukan Indonesian
Design Power oleh Departemen Perdagangan untuk membantu pengembangan
ekonomi kreatif di Indonesia (Kamenparekraf, 2009). Berdasarkan studi literatur dan
diskusi yang telah dilakukan, maka kelompok industri kreatif di Indonesia meliputi:
1) Periklanan: kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan (komunikasi satu
arah dengan menggunakan medium tertentu), yang meliputi proses kreasi,
produksi dan distribusi dari iklan yang dihasilkan, misalnya: riset pasar,
perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan,
promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media cetak (surat kabar,
majalah) dan elektronik (televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan
gambar, penyebaran selebaran, pamflet, edaran, brosur dan reklame sejenis,
distribusi dan delivery advertising materials atau samples, serta penyewaan
kolom untuk iklan.
2) Arsitektur: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa desain bangunan
secara menyeluruh baik dari level makro (town planning, urban design,
landscape architecture) sampai dengan level mikro (detail konstruksi),
misalnya: arsitektur taman, perencanaan kota, perencanaan biaya konstruksi,
konservasi

bangunan

warisan,

pengawasan

14

konstruksi,

perencanaan

kota,konsultasi kegiatan teknik dan rekayasa seperti bangunan sipil dan


rekayasa mekanika dan elektrikal.
3) Pasar seni dan barang antik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan
perdagangan barang - barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai
estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan, dan
internet, meliputi: barang - barang musik, percetakan, kerajinan, automobile
dan film.
4) Kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan
distribusi produk yang dibuat dihasilkan oleh tenaga pengrajin yang berawal
dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya, antara lain
meliputi barang kerajinan yang terbuat dari: batu berharga, serat alam maupun
buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu,
besi) kayu, kaca, porselin, kain, marmer ,tanah liat, dan kapur. Produk
kerajinan pada umumnya hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil
(bukan produksi massal).
5) Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, desain
interior, desain produk, desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan
jasa riset pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan.
6) Fesyen: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas
kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan
aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen.

15

7) Video, Film dan Fotografi: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi
produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video dan
film. Termasuk di dalamnya penulisan naskah, dubbing film, sinematografi,
sinetron, dan eksibisi film.
8) Permainan interaktif: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi,
dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan,
ketangkasan, dan edukasi. Kelompok permainan interaktif bukan didominasi
sebagai hiburan semata - mata tetapi juga sebagai alat bantu pembelajaran
atau edukasi.
9) Musik: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi/komposisi, pertunjukan,
reproduksi, dan distribusi dari rekaman suara.
10) Seni

Pertunjukan:

kegiatan

kreatif

yang

berkaitan

dengan

usaha

pengembangan konten, produksi pertunjukan (misal: pertunjukan balet, tarian


tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera,
termasuk tur musik etnik), desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata
panggung, dan tata pencahayaan.
11) Penerbitan dan Percetakan: kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan
penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan
konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari berita. Kelompok ini
juga mencakup penerbitan perangko, materai, uang kertas, blangko cek, giro,
surat andil, obligasi surat saham, surat berharga lainnya, passport, tiket

16

pesawat terbang, dan terbitan khusus lainnya. Juga mencakup penerbitan foto
-

foto, grafir (engraving) dan kartu pos, formulir, poster, reproduksi,

percetakan lukisan, dan barang cetakan lainnya, termasuk rekaman mikro


film.
12) Layanan Komputer dan piranti lunak: kegiatan kreatif yang terkait dengan
pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer,
pengolahan data, pengembangan database, pengembangan piranti lunak,
integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak,
desain prasarana piranti lunak dan piranti keras, serta desain portal termasuk
perawatannya.
13) Televisi & radio: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi,
produksi dan pengemasan acara televisi (seperti games, kuis, reality show,
infotainment, dan lainnya), penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan
radio, termasuk kegiatan station relay (pemancar kembali) siaran radio dan
televisi.
14) Riset dan Pengembangan: kegiatan kreatif yang terkait dengan usaha inovatif
yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan
pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses
baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat
memenuhi kebutuhan pasar; termasuk yang berkaitan dengan humaniora

17

seperti penelitian dan pengembangan bahasa, sastra, dan seni; serta jasa
konsultasi bisnis dan manajemen.
15) Kuliner: kegiatan kreatif ini termasuk baru, kedepan direncanakan untuk
dimasukkan ke dalam sektor industri kreatif dengan melakukan sebuah studi
terhadap pemetaan produk makanan olahan khas Indonesia yang dapat
ditingkatkan daya saingnya di pasar ritel dan passar internasional.

2.1.3

Perkembangan Industri Kreatif di Indonesia


Perkembangan industri kreatif di Indonesia saat ini mengalami peningkatan

yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Dari data BPS dapat digambarkan bahwa
Industi Kreatif di Indonesia pada tahun 2013 lalu:
Tabel 2.1
PDB Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku, 2010-2013
(Milyar Rupiah)

18

Badan Pusat Statistik juga menjelaskan lebih lanjut tentang Sektor ekonomi kreatif
yang terdiri atas 15 sub-sektor sehingga dapat diperoleh perolehan kontribusi NTB
(Nilai Tambah Bruto) dari kelima belasnya. Melalui detail kontribusi persubsektor,
maka dapat dilakukan analisis lebih lanjut mengenai kontribusi ekonomi kreatif
terhadap PDB di Indonesia 2010-2013.
Subsektor kuliner meraih peringkat pertama dari 15 subsektor dengan capaian
kontribusi mencapai 208.632,75 miliar atau 33%. Di bawah subsektor kuliner,
terdapat subsektor mode (fesyen) yang memberikan pengaruh NTB sebesar 181.570,3
miliar atau 27%. Kedua subsektor ini jauh meninggalkan 13 subsektor lainnya
dimana kondisi serupa juga terjadi pada rentang 2010 sampai dengan 2013.
Berikut ini merupakan detail pencapaian NTB negara Indonesia pada rentang
tahun 2010 - 2013 beserta uraian 15 subsektor ekonomi kreatif.
Tabel 2.2
NTB Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku, 2010-2013
(Milyar Rupiah)

19

2.1.4

Peran Industri kreatif di Indonesia


Peran Industri kreatif sangat penting dalam perekonomian di Indonesia. Hal

ini dikarenakan potensi industri kreatif sangat besar dan padat karya sehingga dapat
menggerakkan perekonomian Indonesia. Industri Kreatif juga menjadi sumber
pendapatan sebagian besar masyarakat dalam meningkatkan kesejahterannya. Industri
Kreatif di Indonesia pada tahun 2013 lalu telah menyerap tenaga kerja sebesar
110.801.648 orang. Nilai ini merupakan penurunan sebesar 0,01% mengingat pada
tahun 2012, serapan tenaga kerja di Indonesia mencapai 110.808.154 orang. Sektor
ekonomi kreatif sendiri pada tahun 2013 mencapai angka 11.872.428 orang. Jumlah
ini apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu 11.799.568 orang, maka
diperoleh indikasi bahwa telah terjadi peningkatan sebesar 0,62%. Lebih lanjut lagi,
data pada tahun 2010 dan 2011 pun menunjukkan bahwa sektor ekonomi kreatif
mampu menunjukkan peningkan progresif dari tahun ke tahun secara stabil hingga
tahun 2013 lalu.

20

Berikut ini merupakan detail kontribusi 10 sektor ekonomi terhadap


penyerapan tenaga kerja di Indonesia pada rentang tahun 2010 - 2013.
Tabel 2.3
Jumlah Tenaga Kerja Indonesia Menurut Sektor Ekonomi 2010-2013

Kemudian, ditemukan pula kesamaan perkembangan positif penyerapan tenaga kerja


dengan jumlah usaha yang ada di Indonesia. Di tahun 2013 lalu, terdapat 56.007.862
unit jumlah usaha di Indonesia. Jumlah unit usaha tersebut meningkat 0,89%
dibandingkan dengan jumlah 55.510.746 unit pada tahun 2012. Khusus sektor
ekonomi kreatif, terjadi pertumbuhan sebesar 0,41% dimana dari angka 5.398.162
unit di tahun 2012 meningkat menjadi 5.420.165 unit pada tahun 2013. Lebih lanjut
lagi apabila ditelusuri pada tahun 2010 dan 2011 dimana masing-masin jumlah unit
usaha di Indonesia mencapai 54.288.006 dan 54.945.820, maka telah terjadi
pertumbuhan yang bersifat progresif dan berkelanjutan.

21

Sektor ekonomi kreatif sendiri pada tahun 2013 mampu memberikan


kontribusi jumlah usaha sebesar 5.420.165 unit. Kontribusi ini merupakan
pertumbuhan sebesar 0,41% dimana di tahun 2012, jumlah unit yang dikontribusikan
oleh sektor ekonomi kreatif mencapai 5.398.162 unit. Berikut ini merupakan detail
kontribusi 10 sektor ekonomi terhadap jumlah usaha di Indonesia pada rentang tahun
2010 s.d. 2013.
Tabel 2.4
Jumlah Usaha di Indonesia Menurut Sektor Ekonomi 2010-2013

2.2 Akuntansi Manajemen Sebagai Alat Pengendalian dan Perencanaan dalam


Industri Global
2.2.1

Perencanaan dan Pengendalian Perusahaan


Manajemen terdiri atas banyak aktivitas, termasuk mengambil keputusan,

memberikan perintah, menetapkan kebijakan, menyediakan tugas dan imbalan. serta


22

memperkerjakan

orang

orang

untuk

melaksanakan

kebijakan.

Manajemen

menetapkan tujuan yang akan dicapai dengan mengintegrasikan pengetahuan dan


keterampilannya dengan kemampuan karyawan. Perencanaan dan pengendalian
merupakan pusat dari pendekatan organisasi atas manajemen (Carter,2006).
Perencanaan merupakan konstruksi dari suatu program operasi terinci,
merupakan proses merasakan kesempatan maupun ancaman eksternal, menentukan
tujuan yang diinginkan, dan menggunakan sumber daya untuk mencapai tujuan
tersebut. Perencanaan menginvestigasi karakteristik bisnis perusahaan, kebijakan
utamanya, dan penentuan waktu dari langkah-langkah tindakan utama. Perencanaan
yang efektif didasarkan pada analisis atas fakta dan membutuhkan cara berpikir yang
reflektif, imajinatif, serta visioner kedepan.
Terdapat tiga jenis rencana yang dapat diidentifikasikan dalam entitas bisnis.
Rencana strategik diformulasikan di tingkat manajemen tertinggi, memerlukan
pandangan luas atas perusahaan dan lingkungannya, dapat diukur, dan diformulasikan
pada interval waktu yang tidak teratur melalui proses yang pada dasarnya tidak
sistematis, yang dimulai dengan pengindetifikasian kesempatan atau ancaman
eksternal. Keputusan perencanaan strategik membentuk karakteristik masa depan
perusahaan, produk produknya, serta pelanggannya, dan memiliki potensi untuk
mengubah lingkungan eksternal.

23

Rencana jangka pendek, seringkali disebut anggaran merupakan rencanan


yang cukup terperinci guna memungkinkan disusunnya laporan keuangan performa
bagi entitas tersebut untuk suatu periode di masa depan. Rencana ini diproses secara
sistematis, sangat terukur, dinyatakan dalam ukuran finansial, terutama fokus pada
perusahaan itu sendiri dengan menganggap bahwa lingkungan eksternal seperti apa
adanya, dan biasanya dipersiapkan untuk periode bulanan, kuartalan atau tahunan.
Selain kedua jenis perencanaan tersebut, juga ada rencana jangka panjang
yang disusun oleh beberapa entitas. Rencana jangka panjang merupakan anggaran
jangka panjang yang biasanya mencakup periode waktu tiga sampai lima tahun
kedepan. Dalam hal tingkat rincian dan keterukuran, rencana jangka panjang berada
diantara rencana jangka pendek dan rencana strategik. Suatu neraca jangka panjang
menghasilkan suatu laporan keuangan secara garis besar atau tujuan terukur lainnya
seperti target rasio finansial untuk periode waktu lima tahun dari sekarang. Suatu
rencana jangka panjang direvisi dan diperbaiki pada masa masa awal dari periode
perencanaannya tersebut, rencana itu berfungsi sebagai titik awal untuk rencana
rencana jangka pendek berikutnya.
Sedangkan pengendalian merupakan usaha sistematis untuk mencapai tujuan.
Aktivitas dimonitor secara berkelanjutan untuk memastikan bahwa kinerja
perusahaan berada dalam batasan yang telah direncanakan pada kerangka
perencanaan perusahaan. Hasil aktual dari setiap aktivitas dibandingkan dengan

24

rencana dan jika terdapat perbedaan yang signifikan, tindakan perbaikan akan segera
diambil.
Selanjutnya,

setelah

aktivitas

manajamen

berupa

perencanaan

dan

pengendalian dilakukan secara berkelanjutan maka diperlukan pertanggungjawaban


dalam bentuk pelaporan sehingga akuntabilitas perusahaan dapat dinilai secara
rasional. Dalam melakukan semua inti kegiatan manajemen, pihak manajerial
membutuhkan data dalam bentuk laporan kinerja perusahaan yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada pihak eksternal ataupun ditujukan sebagai alat
pengukuran kinerja, disini akuntansi keuangan, akuntansi manajemen, serta akuntansi
biaya mempunyai peranan besar dalam setiap pengambilan keputusan manajerial
terkait aktivitas perusahaan terkait.

2.2.2

Perbandingan Akuntansi Keuangan, Akuntansi Manajemen, dan

Akuntansi Biaya
Cecily A. Raiborn dan Michael R. Kinney William Lanen, (Accounting:
Foundation and Evolution 7th Edition,2009) membandingkan dan mendefiniskan jenis
jenis akuntansi yang mempunyai pengaruh dalam kinerja perusahaan secara umum,
yaitu:

25

1) Akuntansi Keuangan
Tujuan dari akuntansi keuangan adalah memberikan informasi yang berguna
bagi oihak pihak eksternal, termasuk investor dan kreditor. Informasi
akuntansi keuangan dapat berupa informasi historis, kuantitaitf, dalam satuan
moneter, dan dapat diverifikasi.
2) Akuntansi Manajemen
Akuntansi manajemen digunakan untuk mengumpulkan informasi yang
bersifat keuangan dan non keuangan yang dibutuhkan oleh pihak pihak
internal. Para manajer befokus pada pemenuhan target perusahaam,
berkomunikasi dalam penerapan strategi, serta berkoordinasi dalam hal design
produk, produksi, dan pemasaran secara simultan menjalankan segmen bisnis
yang nyata. Akuntansi manajemen mempunyai peran penting dalam
persaingan industri global karena penggunaan informasi laporan keuangan
saja tidak cukup untuk mengontrol kinerja dan memberikan data secara
maksimal terkait mengenai pengambilan keputusan dalam perencanaan
manajemen.
3) Akuntansi Biaya
Informasi akuntansi biaya membahas akuntansi keuangan dan akuntansi
manajemen dengan menyediakan informasi biaya dari produk untuk pihak
eksternal ataupun pihak internal untuk melakukan perencanaan, pengendalian,
pengambilan keputusan, serta evaluasi kinerja. Informasi biaya produk
dikembangkan sesuai dengan tujuan GAAP ( Generally Accepted Accounting
26

Principle ) untuk pelaporan keuangan. Karena itu, biaya produk (product cost)
adalah jumlah dari biaya biaya yang dikeluarkan oleh industri terkait untuk
menghasilkan satu unit produk/jasa. Namun, informasi biaya produk dapat
juga dikembangakan diluar kepatuhan GAAP untuk membantu manajemen
dalam kebutuhannya untuk merencanakan dan mengendalikan berbagai
operasinya.

Dengan semakin berkembangnya industri global, penggunaan akuntansi


keuangan saja tidak cukup untuk memberikan kebutuhan informasi manajemen yang
semakin kompleks. Untuk menyiapkan rencana, mengevaluasi kinerja, dan membuat
berbagai keputusan rumit, manajer memerlukan informasi yang akan datang
dibandingkan data yang bersifat lampau (historis) dari laporan keuangan. Biaya hulu
(upstream cost) seperti: riset, pengembangan,dan design produk serta biaya hilir
(downstream cost) seperti: pemasaran, distribusi, dan layanan pelanggan menjadi hal
hal penting dewasa ini dan berakibat pada jumlah biaya yang semakin besar,
berbanding lurus dengan era globalisasi dimana persaingan global semakin ketat.
Dalam membuat keputusan harga, para manajer perlu menambahkan biaya biaya
hulu dan hilir ke dalam GAAP mengenai biaya produk yang telah ditentukan.
Dengan makin meluasnya operasi perusahaan, manajer seharusnya menyadari
bahwa sebuah biaya tunggal tidak dapat dihitung untuk sebuah produk. Hal ini terkait
dengan adanya era globalisasi dan pasar perdagangan bebas. Biaya produk tidak lagi
dapat dengan mudah dibandingkan karena proses produksi setiap perusahaan berbeda.
27

Komplikasi seperti itu mendorong terjadinya perkembangan basis data akuntansi


biaya, yang mencakup lebih dari sekedar pengukuran akuntansi keuangan

2.3 Biaya Produk dalam Aktivitas Perusahaan Manufaktur dan Jasa


2.3.1

Pengertian Biaya
Penentuan biaya selalu menjadi fokus utama bagi para manajer. Dengan

adanya penentuan biaya pada setiap unit produk, para manajer dapat terbantu dalam
penyusunan strategi untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Penentuan biaya
ini digunakan untuk menentukan harga jual produk.
William Lanen, Shannon Anderson, dan Michael Maher (Fundamental of
Cost Accounting 2nd Edition, 2005) mendefiniskan biaya adalah pengorbanan
sejumlah sumber daya untuk mengimplementasikan target/tujuan yang ingin diraih.
Secara umum biaya dapat diartikan sebagai sesuatu pengorbanan ekonomis
guna memperoleh imbalan berupa barang dan jasa yang dapat memberi manfaat
ekonomis. Seringkali pemakaian istilah biaya disamakan dengan beban namun kedua
istilah ini sebenarnya memiliki arti yang berlainan. Merupakan hal yang penting
dimana dalam membedakan biaya dan beban. Beban merupakan sejumlah biaya yang
dibebankan terhadap pendapatan dalam periode akuntansi, maka beban dikurangi dari
pendapatan dalam periode akuntansi tersebut. Selanjutnya, istilah beban digunakan

28

dalam pencatatan akuntansi yang berkaitan dengan pelaporan eksternal perusahaan.


(Lanen et al, 2005).
Firdaus Ahmad Dunia dan Wasilah (2009:22) di dalam buku Akuntansi Biaya
mendefinisikan biaya adalah pengeluaran pengeluaran atau nilai pengorbanan untuk
memperoleh barang atau jasa yang berguna untuk masa yang akan datang. Dalam
pencatatan biaya dimasukkan dalam neraca sebagai asset (assets) bagi perusahaan.
Sedangkan beban didefinisikan sebagai biaya yang telah memberikan suatu manfaat
(expired cost) dan termasuk pula penurunan dalam asset atau kenaikan dalam
kewajiban sehubungan dengan penyerahan barang dan jasa dalam rangka
memperoleh pendapatan, serta pengeluaran- pengeluaran yang hanya memberi
manfaat untuk tahun buku berjalan.
Melalui definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya akan menjadi
beban jika manfaat dari barang atau jasa itu sudah diterima atau dengan kata lain
biaya tersebut habis masa manfaatnya. Sedangkan jika manfaatnya belum habis maka
digolongkan menjadi asset.

2.3.2

Klasifikasi Biaya
Klasifikasi biaya diperlukan untuk menyampaikan dan menyajikan data biaya

agar berguna bagi manajemen dalam mencapai berbagai tujuannya. Sebelum


memutuskan bagaimana mengalokasikan biaya dengan baik, manajemen dapat

29

melakukan pengklasifikasian biaya atas berbagai dasar. Ada beberapa cara


pengklasifikasian biaya yang dikemukan oleh Ceciliy A. Raiborn dan Michael
R.Kinney (2011), antara lain:
1) Pengklasifikasian biaya berdasarkan obyek biaya
Obyek biaya (cost object) adalah segala sesuatu yang diinginkan oleh
manajemen untuk mengumpulkan atau mengakumulasikan biaya. Biaya yang
terkait dengan segala macam obyek biaya dapat diklasifikasikan sesuai
dengan hubungannya dengan obyek biaya. Oleh karena itu, biaya dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu:
a. Biaya Langsung (Direct Cost)
Biaya langsung (direct cost) adalah biaya yang secara tepat dan
ekonomis mudah dilacak ke obyek biaya. Contoh: biaya ban mobil
yang digunakan untuk produksi mobil merupakan biaya bahan
langsung, karena perusahaan dengan mudah dapat mengetahui data
biaya bahan baku ini.
b. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost)
Biaya tidak langsung (indirect cost) merupakan biaya yang tidak
secara ekonomis dapat dilacak ke obyek biaya melainkan harus
dialokasikan ke obyek biaya. Contoh: biaya lem yang digunakan
untuk produksi mobil merupakan biaya tidak langsung, karena
biaya ini tidak secara mudah dilacak oleh perusahaan.

30

3) Pengklasifikasian biaya berdasakan reaksi terhadap perubahan dalam


aktivitas.
a. Biaya Variabel (Variable Cost)
Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang bervariasi dalam
total proporsi yang langsung untuk perubahan dalam sebuah
aktivitas. Biaya variabel ini berjumlah tetap per unitnya, biaya
variabel sangatlah penting untuk total profitabilitas perusahaan
karena setiap saat sebuah produk yang diproduksi atau telah
terjual, atau sebuah jasa yang telah diberikan, jumlah biaya
variabel yang terkait tersebut terjadi.
b. Biaya Tetap (Fixed Cost)
Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang selalu tetap dalam total
di sebuah rentang aktivitas yang relevan. Pada dasarnya, untuk
setiap unit, biaya tetap perubahannya berbanding terbalik dengan
perubahan dalam tingkatan sebuah aktivitas. Biaya tetap per unit
menurun apabila jumlah aktivitas meningkat. Sebaliknya biaya ini
akan meningkat apabila jumlah aktivitasnya menurun.
c. Biaya Campuran (Mixed Cost)
Biaya campuran (mixed cost) adalah biaya lain yang tidak secara
jelas dimasukkan dalam biaya tetap maupun biaya variabel. Pada
dasarnya, biaya campuran untuk setiap unit tidak berubah-ubah
dalam proporsinya yang langsung untuk berubah dalam sebuah
31

aktivitas, ataupun jumlahnya akan tetap apabila aktivitasnya


berubah.
d. Biaya Bertahap (Step Cost)
Biaya bertahap (step cost) merupakan jenis biaya lain yang
berubah menjadi naik dan turun ketika aktivitas berubah dengan
sebuah interval atau tahapan tertentu. Biaya bertahap (step cost)
dapat dikategorikan sebagai biaya variabel ataupun biaya tetap.
Biaya variabel bertahap memiliki tahapan tahapan kecil,
sedangkan biaya tetap bertahap memiliki tahapan-tahapan yang
besar.
4) Pengklasifikasian berdasarkan pada laporan keuangan
a. Biaya belum berakhir (neraca)
b. Biaya yang telah kadaluwarsa/ beban (laporan laba rugi)
c. Biaya Produk (Product Cost)
Biaya produk (product cost) adalah biaya yang berhubungan
dengan pembuatan atau pemerolehan produk atau penyediaan jasa
yang secara langsung menghasilkan pendapatan bagi sebuah
perusahaan. Biaya produk juga disebut sebagai biaya persediaan
(inventoriable cost), yang meliputi biaya langsung (biaya bahan
baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung) serta biaya tidak
langsung (overhead).

Elemen biaya overhead ini meliputi gaji

pengawas pabrik, asuransi, biaya keperluan (utilitas) pada mesin


32

mesin produksi, peralatan dan fasilitas. Jumlah tenaga kerja


langsung dan biaya overhead disebut biaya konversi (conversion
cost). Biaya tersebut terjadi untuk mengubah bahan baku menjadi
sebuah produk. Jumlah dari biaya bahan baku langsung dengan
biaya tenaga kerja langsung disebut dengan biaya primer (prime
cost).
d. Biaya Periode (Period Cost)
Biaya periode (Period Cost) adalah biaya yang lebih berhubungan
dengan fungsi fungsi bisnis daripada produksi, seperti penjualan
dan administrasi.

2.3.3

Kemampuan Penelusuran Biaya ke Obyek Biaya


Pengukuran biaya sangat bergantung pada kemampuan untuk menelusuri

(traceability) biaya ke obyek biaya. Kemampuan untuk menelusuri biaya menentukan


tingkatan obyektifitas, kehandalan, dan ukuran biaya yang dihasilkan. Keakuratan
adalah suatu konsep yang relatif dan harus dilakukan secara wajar dan logis terhadap
penggunaan metode pembebanan biaya. Tujuannya adalah mengukur dan mencatat
biaya dari sumber daya yang dikonsumsi obyek biaya sebaik mungkin
(Hansen,Mowen: 2007).

33

Ketelusuran berarti biaya dapat diukur dengan mudah dan akurat, penelusuran
biaya pada obyek biaya dapat terjadi melalui salah satu dari dua cara berikut ini:
1) Penelusuran Langsung (Direct Tracing)
Penelusuran

langsung

adalah

suatu

proses

pengindentifikasian

dan

pembebanan biaya yang berkaitan secara khusus dan fisik dengan suatu
obyek. Penelusuran ini paling sering dikerjakan melalui pengamatan secara
fisik.
2) Penelusuran Penggerak (Driver Tracing)
Penelusuran penggerak adalah penggunaan penggerak untuk membebankan
biaya pada obyek biaya. Di dalam konteks pembebanan biaya, penggerak
adalah faktor penyebab yang dapat diamati dan faktor penyebab yang
mengukur konsumsi sumber daya obyek biaya. Oleh sebab itu, penggerak
adalah faktor yang menyebabkan perubahan dalam penggunaan sumber daya
dan memiliki hubungan sebab-akibat dengan biaya yang berhubungan dengan
obyek biaya.
Kedua metode yang telah dijabarkan diatas hanya dapat digunakan untuk
penelusuran informasi biaya langsung. Pencatatan biaya tidak langsung pada obyek
biaya disebut alokasi. Karena tidak terdapat hubungan sebab - akibat, pengalokasian
biaya tidak langsung didasarkan pada kemudahan atas asumsi yang berhubungan.

34

2.3.4

Pengertian Harga Pokok Produk dan Jasa


Harga pokok produk pada dasarnya menunjukkan harga pokok produk

(barang dan jasa) yang diproduksi dalam suatu periode akuntansi tertentu. Keluaran
(output) perusahaan merupakan salah satu obyek biaya terpenting. Ada dua jenis
keluaran, yaitu produk berwujud dan jasa. Produk berwujud (tangible product) adalah
barang yang dihasilkan dengan mengubah bahan baku melalui penggunaan tenaga
kerja dari masukan (input) modal, seperti pabrik, lahan, dan mesin. Sedangkan jasa
(service) adalah aktivitas yang dilakukan untuk pelanggan atau aktivitas yang
dijalankan oleh pelanggan dengan menggunakan produk atau fasilitas perusahaan.
Jasa juga diproduksi dengan menggunakan bahan, tenaga kerja, dan masukan modal.
Harga pokok produksi (product cost) adalah penghitungan biaya yang
mendukung tujuan manajerial yang spesifik. Arti harga pokok bergantung pada
tujuan manajerial yang sedang dicapai. Hal ini mengilustrasikan prinsip manajemen
biaya yang fundamental, yaitu biaya yang berbeda untuk tujuan yang berbeda
(Hansen, Mowen :2007) Biaya biaya tersebut merliputi biaya bahan baku langsung,
biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik. Berikut ini definisi harga
pokok produksi menurut beberapa pendapat:
1) Cecily A.Raiborn and Michael R. Kinney mendefiniskan harga pokok
produksi (cost of goods manufactured) yaitu total produksi biaya barang-

35

barang yang telah selesai dikerjakan dan ditransfer dalam persediaan barang
selama sebuah periode.
2) Supriyono (1999:144) berpendapat bahwa biaya-biaya dalam penentuan harga
pokok produksi terdiri dari tiga unsur:
a.

Biaya Bahan Baku


Biaya bahan baku adalah biaya bahan yang dipakai untuk diolah
dan akan menjadi barang jadi. Bahan dari suatu produk merupakan
bagian terbesar yang membentuk suatu produk jadi, sehingga
dapat diklasifikasikan secara langsung dalam harga pokok dari
setiap macam barang tersebut.

b.

Biaya Tenaga Kerja


Biaya tenaga kerja merupakan balas jasa yang diberikan kepada
karyawan produksi baik secara langsung maupun tidak langsung
turut mengerjakan produksi barang atau jasa yang bersangkutan.

c.

Biaya Overhead Pabrik


Biaya Overhead Pabrik merupakan biaya yang tidak dapat
dibebankan secara langsung pada suatu hasil produk. Biaya ini
meliputi selain biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja.

2.3.5

Manfaat Informasi Harga Pokok Produk dan Jasa


Penentuan harga pokok produksi dalam perusahaan merupakan hal penting

yang harus dilakukan. Penentuan harga pokok produk/jasa dibutuhkan untuk

36

menentukan harga jual dari produk/jasa . Selain itu, penentuan harga pokok produksi
juga bermanfaat dalam penentuan strategi perusahaan.
Mulyadi (2007:41) mengemukakan manfaat dari penentuan harga pokok
produksi. Secara garis besar adalah sebagai berikut:
1) Menentukan Harga Jual Produk/Jasa
Biaya produksi dihitung untuk jangka waktu tertentu untuk menghasilkan
informasi biaya produksi per unit produk. Dalam penentuan harga jual
produk, biaya produksi unit ini merupakan data yang menjadi pertimbangan.
2) Memantau Realisasi Biaya Produksi
Manajemen memerlukan informasi biaya produksi yang sesungguhnya
dikeluarkan. Informasi biaya ini akan dibandingkan dengan rencana biaya
produksi yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, akuntansi biaya digunakan
dalam jangka waktu tertentu untuk memantau apakah produksi mengkonsumsi
total biaya produksi sesuai dengan yang diperhitungkan sebelumnya.
3) Menghitung Laba Rugi Periodik
Informasi biaya bermanfaat untuk menggambarkan apakah kegiatan produksi
dan pemasaran perusahaan dalam periode tertentu mampu menghasilkan laba.
Manajemen memerlukan informasi biaya produk yang telah dikeluarkan untuk
memproduksi produk dalam periode tertentu.
4) Menentukan Harga Pokok Persediaan Produk Jadi dan Produk dalam Proses
yang Disajikan dalam Neraca

37

Saat perusahaan dituntut untuk membuat pertanggungjawaban per periode,


perusahaan harus menyajikan laporan keuangan berupa neraca dan laporan
labar rugi, yang menyajikan harga produk jadi dan harga pokok yang pada
tanggal neraca masih dalam proses. Biaya yang melekat pada produk jadi
yang belum terjual pada tanggal neraca disajikan sebagai harga pokok
persediaan produk jadi. Sedangkan, biaya produksi yang melekat pada barang
yang pada tanggal neraca masih dalam proses produksi disajikan dalam neraca
sebagai harga pokok produk dalam proses.

2.3.6

Metode Pengumpulan Harga Pokok Produksi


Secara umum pola pengumpulan data harga pokok produksi dapat

dikelompokkan menjadi dua metode yaitu: Metode Harga Pokok Pesanan dan Metode
Harga Pokok Proses. Penetapan metode tersebut pada suatu perusahaan tergantung
pada sifat atau karakteristik pengolahan bahan baku menjadi produk selesai yang
akan mempengaruhi pengumpulan harga pokok produk yang digunakan (Supriyono,
1992)
1) Metode Harga Pokok Pesanan (Job Order Cost Method)
Metode harga pokok pesanan adalah metode pengumpulan harga pokok
produk dimana biaya dikumpulkan untuk setiap pesanan atau jasa secara
terpisah. Pengolahan produk akan dimulai setelah datangnya pesanan dari

38

langganan/pembeli melalui dokumen pesanan penjualan yang memuat jenis


dan jumlah produk yang dipesan, spesifikasi pesanan, tanggal pesanan
diteruma dahan harus diserahkan
2) Metode Harga Pokok Proses (Process Cost Method)
Metode harga pokok proses adalah metode pengumpulan harga pokok produk
dimana biaya dikumpulkan untuk setiap satuan waktu tertentu, misalnya
bulan, triwulan, semester, dan tahun. Pada metode harga pokok proses
persuahaan menghasilkan produk yang homogen, bentuk produk bersifat
standar, dan tidak tergantung spesifikasi yang diminta oleh pembeli.

2.4

Kerangka Pemikiran
Perkembangan industri kreatif di Indonesia sangat pesat dan akan bersaing

pada skala global sejak akan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
2015 mendatang. Dengan tantangan persaingan industri yang ketat tersebut, Industri
Kreatif

dituntut dapat bersaing dan memberikan kontribusi dalam peningkatan

pendapat bruto (PDB) dan juga menyerap tenaga kerja disamping tidak dapat
dipungkiri masih terhambat oleh berbagai kendala.
Pada gambar dibawah ini, peneliti mencoba untuk menjelaskan dan
mendeskripsikan alur penelitian yang dilakukan ke dalam bentuk kerangka
pemikiran.

39

Industri Kreatif

Kendala kendala yang


dihadapi industri kreatif

Akses Pembiayaan

Lemahnya Pencatatan
Akuntansi

Akses Pasar &


Jaringan

Akses Infrastruktur
& Teknologi

Penetapan Biaya
Produksi

Penetapan Harga Jual


Produk

Praktik Akuntansi pada


Industri Kreatif

Industri Kreatif yang


kompeten

Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Penelitian Impelementasi Penentuan Biaya Produk

40

Dalam perkembangnnya, pelaku industri kreatif ini sering mengalami


berbagai kendala. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2013
memetakan beberapa kendala untuk pengembangan industri kreatif. Kendala itu
sumber daya manusia berketerampilan, akses terhadap infrastruktur dan teknologi,
saluran digital termasuk pita lebar, akses pembiayaan , serta akses ke pasar dan
jaringan para manusia kreatif global. Khusus untuk akses pembiayaan, industri kreatif
belum dijamah oleh perbankan. Hal ini mengingat jaminan atau agunan yang menjadi
syarat perbankan pada industri kreatif tidak kasatmata sehingga sulit diukur apalagi
ekonomi kreatif sering disamakan dengan usaha kecil dan menengah sehingga setiap
kali meminta pembiayaan selalu disyaratkan adanya jaminan. (Kompas, 2014).
Permasalahan permasalah tersebut tidak lepas dari permasalahan akuntansi atau
pencatatannya yang menjadi poin utama karena pencatatan akuntansi menjadi tolak
ukur akuntabilitas sebuah perusahaan, lainnya yang mengakibatkan perkembangan
industri kreatif di Indonesia pada umumnya menjadi kurang maksimal adalah tingkat
efisiensi yang berujung pada kalah bersaing dengan industri kreatif dari negara lain.
Industri kreatif yang relatif masih baru dan sedang berkembang tersebut
memiliki kendala dalam pencatatan akuntansi mengenai biaya produksinya. Apabila
perhitungan biaya produksi tidak benar maka akan menimbulkan harga jual yang
tidak mampu bersaing dengan industri serupa di negara lain, selain juga
mempengaruhi laba perusahaan. Sebaliknya, apabila perhitungan biaya produk
dilakukan dengan dengan baik dan sesuai dengan teori akuntansi maka akan

41

mempengaruhi penetapan harga jual yang baik sehingga praktik akuntansi yang
dilakukan akan menjadi lebih akuntabel dan kinerja perusahaan mampu bersaing di
industri global.

42

BAB III
METODE PENELITIAN

Pada bab tiga ini, peneliti akan memaparkan metode yang digunakan dalam
penelitian ini. Metode penelitian merupakan salah satu elemen penting dalam suatu
penelitian, hal ini berkaitan dengan aspek teknis maupun teoritis mengenai langkah
langkah yang harus dilakukan pada suatu penelitian. Langkah langkah teknis dalam
penelitian yang benar akan berkontribusi pada kualitas hasil penelitian yang baik.
Pada bab tiga ini akan dibahas mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan
metode penelitian antara lain mengenai waktu dan lokasi penelitian, metode
pengumpulan data, dan metode analisis data.
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober Desember 2014. Penelitian ini
dirancang sebagai penelitian survey yang dilakukan terhadap 13 industri kreatif di
Yogyakarta yang termasuk kriteria menurut rumusan Direktorat Jenderal EKMDI
(Ekonomi Kreatif Berbasis Media Desain dan IPTEK) dan EKSB (Ekonomi Kreatif
Berbasis Seni dan Budaya). Pemilihan lokasi di Yogyakarta terkait dengan rencana
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam Kabinet Indonesia Bersatu II

43

untuk mengajukan kota Yogyakarta sebagai katalisator perkembangan ekonomi


kreaitf, Creative City Network naungan UNESCO.

3.2 Profil Responden Penelitian


Terdapat 13 perusahaan di bidang industri kreatif

yang bersedia untuk

disurvey dan melakukan in depth interview dalam penelitian ini seperti yang sudah
dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Dalam penelitian ini berfokus pada perusahaan kecil dan menengah dengan
menggunakan kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) yang mendasarkan pada jumlah
karyawan. Menurut kriteria Badan Pusat Statistik, usaha kecil merupakan entitas
usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5-19 orang, sedangkan usaha menengah
merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga kerja 20-99 orang dan usaha berskala
besar jika mempunyai karyawan lebih dari 99 orang. Penelitian ini menggunakan
dasar klasifikasi skala perusahaan menurut BPS karena alasan kemudahan untuk
mendapatkan informasi jumlah karyawan di setiap perusahaan sampel daripada
informasi omzet penjualan maupun laba setiap perusahaan pada umumunya
mengetahui jumlah karyawannya secara benar dan akurat. Kriteria perusahaan kecil
dan menengah digunakan dalam penelitian karena industri kreatif merupakan bentuk
industri rintisan dimana entitas- entitas didalamnya sedang berkembang dan

44

membutuhkan banyak penelitian untuk membantu perkembangan serta pengelolaan


lebih lanjut.
Peneliti menggunakan purposive sampling dalam penentuan sampel
penelitian. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengambilan sampel agar sesuai
dengan persayaratan sample yang diperlukan.
Dari hasil in depth interview dengan responden, deskripsi perusahaan
dirangkum dalam tabel 3.1
Tabel 3.1 Profil Perusahaan
N=13

Subsektor industri kreatif yang menjadi sampel penelitian


1 Subsektor Kerajinan

46,15%

2 Subsektor Penerbitan dan Percetakan

7,69%

3 Subsektor Kuliner

23,07%

4 Subsektor Fesyen

23,07%

13

100%

1 Kecil ( 5-19)

10

76,92%

2 Menengah (20-99)

23,07%

Total

Skala Perusahaan (Jumlah Karyawan)

Perusahaan dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dan bersedia


secara aktif pada penelitian ini.

45

3.3 Metode Pengumpulan Data


Sumber data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian adalah:
1) Data Primer
Data primer berupa data dan informasi yang terkait dengan penentuan biaya
produk perusahaan. Data diperoleh melalui teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
a. Observasi
Peneliti melakukan penelitian langsung ke obyek penelitian untuk
mengobservasi serta mencatat kegiatan kegiatan produksi yang berkaitan
dengan masalah penelitian.
b. Wawancara
Peneliti melakukan wawancara mendalam (in-depth interview)
terhadap pemilik atau operational manager perusahaan mengenai praktik
penentuan dan komponen biaya produksi

2) Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dengan mempelajari buku buku referensi dan
literatur yang terkait dengan masalah yang diteliti. Selain itu data sekunder
dapat dilihat dari data data yang telah dikumpulkan oleh perusahaan yang
berkaitan dengan penelitian ini.

46

3.4 Metode Analisis Data


Metode analisis data adalah suatu metode yang digunakan untuk mengolah
hasil penelitian guna memperoleh suatu kesimpulan. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatis dan pengolahan data dilakukan dengan content analysis dan
analisis deskriptif. Content analysis dalam penelitian ini digunakan untuk
menentukan konsep ataupun makna dalam kata-kata dan kalimat yang disampkaikan
oleh responden. Peneliti akan mengkuantifikasi dan menganalisis makna dalam
penyajian yang diberikan oleh responden dengan Analisis deskriptif untuk
menginterpretasikan pesan tersebut. Analisis deskriptif merupakan analisis yang
mempelajari alat, teknik, prosedur yang digunakan untuk menggambarkan dan
mendeskripsikan kumpulan data atau hasil pengamatan.
Data yang dikumpulkan tersebut akan disajikan dalam bentuk tabel supaya
mudah dimengerti, komunikatif, dan informatif bagi pihak lain. Peneliti
menggunakan analisis deskriptif untuk menjelaskan dan menggambarkan praktik
penentuan biaya produk dan faktor - faktor yang mempengaruhinya pada Industri
Kreatif di Yogyakarta.

47

BAB IV
ANALISIS DATA

4.1 Penjelasan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan praktik penentuan biaya
produksi yang dilakukan oleh industri kreatif di Yogyakarta. Data penelitian
diperoleh melalui in depth interview terhadap pemilik atau general manager
perusahaan terkait.

4.2 Analisis Data


4.2.1

Praktik Penentuan Biaya Produksi Pada Industri Kreatif


Penelitian mengenai praktik penentuan biaya produksi yang diteliti berkaitan

dengan penentuan komponen - komponen biaya produk. Pada praktik penentuan


biaya produk ini dibahas berdasarkan tiga komponen sesuai dengan konsep akuntansi
biaya, yaitu : Biaya Bahan Baku, Biaya Tenaga Kerja Langsung, dan Biaya Overhead
Pabrik. Dalam setiap perusahaan yang diteliti memiliki komposisi prosentase yang
berbeda terhadap 3 komponen ini dalam menghitung biaya produksinya. Hal ini dapat
terjadi karena produk dan aktivitas-aktivitas produksi tiap perusahaan berbeda-beda.

48

Berikut data persentase komponen biaya produk yang diperoleh dari 13 perusahaan di
bidang industri kreatif di Yogyakarta.
Tabel 4.1
Persentase Komponen Biaya Produksi Industri Kreatif
Biaya Bahan
Baku

Biaya Tenaga Kerja


Langsung

Biaya Overhead
Pabrik

Total Biaya
Produk

Ghollab

40%

40%

20%

100%

Integral Offset

40%

30%

30%

100%

Koki Kayu

50%

20%

30%

100%

Wildside Leather

50%

30%

20%

100%

Vasa Parvida

30%

50%

20%

100%

Bakpiapia

60%

15%

25%

100%

Denial Denim

30%

30%

40%

100%

Affairs

40%

30%

30%

100%

Klinik Kopi

30%

40%

30%

100%

Oak Merchandise

40%

20%

40%

100%

Mahija

10%

40%

50%

100%

Cokelat nDalem

30%

40%

30%

100%

Anteatigra

50%

30%

20%

100%

Nama Perusahaan

Berdasarkan tabel 4.1 dapat digambarkan bahwa hampir semua perusahaan


memiliki komponen bahan baku sama atau kurang dari 50%, berdasarakan data hasil
in depth interview terdapat 12 perusahaan memiliki komposisi bahan baku sama
dengan atau kurang dari 50%. Hanya 1 perusahaan dengan komponen bahan baku

49

diatas 50% yang bergerak di bidang kuliner dengan tingkat

prosentase 60%.

Sedangkan untuk komponen biaya tenaga kerja langsung, terdapat 1 perusahaan yang
bergerak di bidang kerajinan dengan prosentase sama dengan 50%, sedangkan
komponen biaya tenaga kerja langsung perusahaan lainnya dibawah 50% dari total
biaya produksi. Untuk biaya overhead pabrik, terdapat 1 perusahaan yang memiliki
komponen biaya overhead pabrik sama dengan 50% yang bergerak di bidang
kerajinan dengan bentuk produk berupa kerajinan keramik.
1. Biaya Bahan Baku

Berikut ini adalah hasil dari data yang diperoleh peneliti pada 13 perusahaan
obyek penelitian terkait dengan biaya bahan baku:
Tabel 4.2
Rekapitulasi Hasil Survey Biaya Bahan Baku
Perusahaan
Keterangan

Total Total (%)

Indikator
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Y T
Pencatatan data bahan
baku

Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y 13 0 100% 0%

Penetapan kuantitas dan


harga bahan baku dalam
anggaran
T Y Y Y Y Y Y T Y Y T Y T
Pembebanan biaya
Biaya Bahan
angkut kedalam biaya
Baku
bahan baku

9 5 69% 31%

Y Y Y Y Y Y T T Y T T T Y

8 5 62% 38%

Y T T Y Y Y Y T T T T T T

5 8 38% 62%

Pembebanan bahan
penolong kedalam biaya
overhead pabrik
Y T T Y Y Y Y T T T T T T

5 8 38% 62%

Pemisahan bahan baku


dan bahan penolong

Keterangan : Ya= Ya, T= Tidak

50

a. Perusahaan melakukan pencatatan data bahan baku

Berdasarkan tabel 4.2 yang hasil wawancara dengan perusahaan


didapatkan bahwa semua perusahaan melakukan pencatatan
mengenai data bahan bakunya. Hal ini diketahui berdasarkan
pertanyaan mengenai apakah perusahaan melakukan pencatatan
data bahan baku terhadap proses produksinya, semua perusahaan
menjawab ya yang berarti 100% perusahaan melakukan
pencatatan

data

biaya

bahan

bakunya.

Data

tersebut

menggambarkan bahwa obyek penelitian telah memiliki catatan


bahan bakunya secara terperinci.
b. Perusahaan telah menetapkan kuantitas dan harga bahan

baku dalam anggaran


Untuk komponen penetapan kuantitas dan harga bahan baku dalam
anggaran, peneliti menemukan data bahwa 69% atau 9 perusahaan
sampel telah menetapkan kuantitas dan harga bahan baku dalam
anggaran sedangkan 31% atau 4 perusahaan lainnya belum
menetapkan kuantitas dan harga bahan baku dalam anggaran. Hal
ini mengambarkan perusahaan yang menjadi obyek penelitian
kurang menetapkan kuantitas dan harga bahan baku dalam
kaitannya untuk pengendalian biaya produksi. Dalam konsep
anggaran dalam penetapan biaya produksi seharusnya perusahaan
telah menetapkan kuantitas harga bahan bakunya supaya dapat
lebih mudah melakukan pengendalian biaya.
c. Perusahaan membebankan biaya angkut kedalam harga
perolehan bahan baku

51

Dari hasil wawancara selanjutnya terhadap obyek penelitian


dengan pertanyaan apakah perusahaan memasukkan biaya angkut
ke dalam biaya bahan baku diketahui bahwa 62% atau 8
perusahaan telah melakukan pembebanan biaya angkut kedalam
biaya bahan baku dan sisanya 38% atau 5 perusahaan belum
melakukan pembebanan biaya angkut kedalam harga perolehan
bahan baku. Hal ini menggambarkan bahwa masih terdapat
kurangnya pengetahuan perusahaan akan konsep akuntansi biya
terkait biaya angkut yang seharusnya dibebankan kedalam biaya
bahan baku. Jika perusahaan tidak menghitung biaya angkut
kedalam biaya bahan baku, maka biaya bahan baku akan dinilai
lebih rendah dari bahan seharusnya.
d. Perusahaan memisahkan biaya bahan baku dengan biaya
penolong
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden perusahaan, dapat
dijabarkan bahwa 62% atau 8 perusahaan tidak memisahkan biaya
bahan baku dengan bahan penolong dan 38% atau 5 perusahan
telah melakukan pemisahan biaya bahan baku dan bahan penolong.
Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil perusahaan yang
memisahkan biaya bahan baku dan bahan penolong.
e. Perusahaan membebankan biaya bahan penolong sebagai
biaya overhead pabrik
Berdasarkan hasil wawancara yang dirangkum dalam tabel 4.2
dengan pertanyaan apakah perusahaan membebankan biaya bahan
penolong sebagai biaya overhead pabrik dapat diperoleh gambaran
bahwa 62% atau 5 perusahaan membebankan biaya penolong
sebagai biaya bahan baku dan sisanya 32% atau 5 perusahaan
membebankan biaya bahan penolong sebagai biaya overhead
52

pabrik. Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa hanya


sebagian kecil perusahaan yang telah memasukkan biaya penolong
sebagai biaya overhead pabrik dan menggambarkan hanya
sebagian kecil perusahaan yang telah sesuai dengan konsep
akuntansi biaya dalam memperlakukan biaya bahan penolong
tersebut.
Secara keseluruhan diketahui bahwa 100% perusahaan sampel telah
melakukan pembebanan biaya bahan baku, namun hanya 69% perusahaan
yang menetapkan kuantitas dan harga bahan baku dalam anggaran, 62%
perusahaan yang membebankan biaya angkut kedalam harga perolehan bahan
baku, 62% perusahaan yang dapat memisahkan biaya bahan baku dengan
bahan penolong. Dan 62% perusahaan yang melakukan pemisahan bahan
baku dengan bahan penolong telah membebankan biaya penolong sebagai
biaya overhead pabrik. Hal ini menggambarkan belum semua perusahaan
mempraktikkan pembebanan bahan baku sesuai dengan konsep akuntansi
biaya.

53

2. Biaya Tenaga Kerja Langsung

Berikut ini adalah hasil dari penelitian yang bersangkutan terkait dengan biaya
tidak langsung.
Tabel 4.3
Rekapitulasi Hasil Survey Biaya Tenaga Kerja Langsung
Indikator

Perusahaan

Total Total (%)

Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Y T
Pencatatan data biaya
tenaga kerja langsung

Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y 13 0 100% 0%

Penetapan tarif biaya


tenaga kerja berdasarkan
satuan produk
Y Y Y Y Y T T T T T Y Y T

7 6 54% 46%

Pemisahan biaya tenaga


kerja langsung dengan
biaya tenaga kerja tidak
langsung

T Y Y Y T T T T T T T T T

3 10 23% 77%

Pembebanan biaya
tenaga kerja langsung
kedalam biaya overhead
pabrik
T Y Y Y T T T T T T T T T

3 10 23% 77%

Pemberian tunjangan

T T Y Y T Y T T Y Y T Y T

6 7 46% 54%

Pembebanan tunjangan
tenaga kerja sebagai
komponen biaya tenaga
kerja tidak langsung

T T Y Y T T T T T T T T T

2 11 15% 85%

BTKL

Keterangan : Ya= Ya, T= Tidak

54

a. Perusahaan melakukan pencatatan data biaya tenaga kerja

langsung
Berdasarkan dari data yang diperoleh dari pertanyaan kepada
responden mengenai apakah perusahaat melakukan pembebanan
biaya tenaga kerja langsung, semua perusahaan sampel menjawab
ya yang berarti 100% perusahaan responden telah melakukan
pembebaban

biaya

tenaga

kerja

langsung.

Hal

tersebut

mengindikasikan bahwa semua perusahaan telah sadar akan


pentingnya pencatatan terkait biaya tenaga kerja langsung dalam
konteks melakukan penetapan biaya produksi.
b. Perusahaan menentukan tarif biaya tenaga kerja langsung
dengan dasar satuan produk
Peneliti mendapat informasi bahwa 56% perusahaan sampel
menentukan biaya tenaga kerja langsung berdasarkan satuan
produk. Hal ini tergambarkan dari 7 perusahaan atau 54%
responden telah melakukan pembebanan biaya tenaga kerja
langsung berdasar satuan produk sedangkan 6 perusahaan lainnya
atau

46%

menggunakan

metode

lain

dalama

melalukan

pembebanan tenaga kerja langsung.


c. Perusahaan memisahkan biaya tenaga kerja langsung dengan
biaya tenaga kerja tidak langsung
Berdasarkan tabel 4.3 yang diperoleh dari hasil survey peneliti,
ditemukan bahwa hanya 23% perusahaan yang menjadi sampel
yang telah melakukan pemisahan biaya tenaga kerja langsung
dengan biaya tenaga kerja tidak langsung sedangkan 10
perusahaan lainnya atau 77% responden belum melakukan
55

pemisahan biaya tenaga kerja langsung dan tidak langsung


dikarenakan masih bingung dalam mengidentifikasikan klasifikasi
biaya tenaga kerja langsung dan biaya tenaga kerja tidak langsung.
Menurut

konsep

akuntansi

biaya,

perusahaan

seharusnya

memisahkan kedua biaya tersebut karena biaya tenaga kerja tidak


langsung bukan komponen pendukung proses produksi secara
langsung. Komponen biaya tenaga kerja langsung meliputi upah
karyawan yang berhubungan langsung dengan proses produksi
seperti karyawan bagian pemotongan, bagian perakitan, atau
bagian pengepakan. Sedangkan biaya tenaga tidak langsung
meliputi pengawas bagian produksi atau kepala bagian produksi.
d. Perusahaan membebankan biaya tenaga kerja tidak langsung
ke dalam biaya overhead
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, 23%
perusahaan atau 3 perusahaan yang telah melakukan pemisahaan
biaya tenaga kerja langsung dan biaya tenaga kerja langsung sudah
dapat membebankannya ke biaya overhead pabrik. Hal ini
ditunjang oleh SDM yang telah paham akan konsep akuntansi
biaya terkait penentuan harga produksi. Berdasarkan konsep
akuntansi biaya , pembebanan biaya tenaga kerja tidak langsung
tertentu termasuk dalam komponen biaya overhead pabrik karena
biaya tenaga kerja tidak langsung tidak mendukung proses
produksi secara langsung tetapi ikut mempengaruhi terbentuknya
barang yang diproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa industri kretif
di Yogyakarta sebagian besar belum mempraktikkan konsep
akuntansi secara benar .

56

e. Perusahaan memberikan tunjangan


Dari hasil wawancara dengan perusahaan sampel, hanya 46% atau
6 perusahaan yang memberikan tunjangan kepada tenaga kerjanya,
baik tenaga kerja langsung maupun tenaga kerja tidak langsung.
Tunjangan yang diberikan perusahaan tersebut berupa tunjangan
kesehatan berupa asuransi, tunjangan masa lamanya bekerja, serta
tunjangan bonus yang diberikan ketika penjualan produk diatas
target tiap bulannya. 54% responden atau 7 perusahaan diketahui
tidak memberikan tunjangan karena sebagian besar tenaga
kerjanya merupakan tenaga kerja paruh waktu dan skala bisnis
perusahaan tersebut masih kecil.
f. Perusahaan membebankan tunjangan kedalam biaya tenaga
kerja langsung
Berdasarkan hasil wawancara, dari 46% atau 6 perusahaan yang
memberikan tunjangan kepada karyawannya hanya 2 perusahaan
atau 15% yang membebankan tunjangan ke dalam biaya tenaga
kerja

langsung.

Sedangkan

85%

perusahaan

baik

yang

memberikan tunjangan ataupun tidak , membebankan tunjangan


sebagai biaya lain-lain. Menurut konsep akuntansi biaya, tunjangan
seharusnya dibebankan pada biaya tenaga kerja langsung. Maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian perusahaan sampel
belum memperlakukan tunjangan secara benar.
Secara keseluruhan dapat digambarkan bahwa perusahaan sampel
telah melakukan pembebanan tenaga kerja langsung kedalam komponen biaya
produksi. Tetapi pada praktiknya, perusahaan sampel belum secara maksimal
dalam melakukan pembebanan biaya tenaga kerja langsung. Hal ini dapat
dilihat dengan hanya 56% perusahaan sampel yang telah melakukan
pembebanan tariff biaya tenaga kerja langsung berdasar satuan produk, serta
57

hanya 23% perusahaan sampel yang memisahkan biaya tenaga kerja langsung
dan biaya tenaga kerja langsung, dan diketahui hanya 15% perusahaan yang
telah membebankan tunjangan kedalam biaya tenaga kerja langsung dari 6
perusahaan yang memberikan tunjangan kepada karyawannya. Hal ini
menggambarkan bahwa industri kreatif di Yogyakarta belum melakukan
praktik pembebanan biaya produk yang berkaitan dengan biaya tenaga kerja
langsung secara sesuai dengan konsep akuntansi biaya.
3.

Biaya Overhead Pabrik


Berikut ini adalah hasil dari data yang diperoleh peneliti dari 13 perusahaan
sampel terkait dengan biaya overhead pabrik.
Tabel 4.4
Rekapitulasi Hasil Survey Biaya Overhead Pabrik
Perusahaan
Keterangan

Total Total (%)

Indikator
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Y T

BOP

Pencatatan data biaya


overhead pabrik

Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y Y 13 0 100% 0%

Pemisahan biaya
overhead pabrik
variabel dengan biaya
overhead pabrik tetap

T T Y T Y Ya T T T Y Y T T

5 8 38% 62%

Penentuan tarif BOP


dengan dasar satuan
produk

T T T Y Y T

T Y Y T Y T Y

6 7 46% 54%

Pembebanan biaya
depresiasi

Y T Y Y T T

T T T T T T T

3 10 23% 77%

Pembebanan biaya
depresiasi kedalam
biaya overhead

Y T Y Y T T

T T T T T T T

3 10 23% 77%

58

a.

Perusahaan melakukan pencatatan data biaya overhead


pabrik
Berdasarkan pada hasil wawancara yang dirangkum dalam tabel
4.4 dapat diketahui bahwa semua perusahaan yang berjumlah 13
responden atau 100% perusahaan sampel telah melakukan
pencatatan data

biaya overhead pabrik. Hal ini berarti bahwa

perusahaan sampel yang bergerak di Industri Kreatif telah sadar


akan pentingnya pembebanan biaya overhead pabrik dalam proses
produksinya.
b.

Perusahaan memisahkan biaya overhead pabrik variabel


dengan biaya overhead tetap
Dari hasil wawancara yang diperoleh oleh peneliti, 38%
perusahaan atau 5 responden yang menjadi sampel telah
melakukan pemisahan biaya overhead pabrik variabel dan dengan
biaya overhead tetap, sedangkan 72% perusahaan lainnya belum
melakukan . Hal ini mengindikasikan bahwa hanya sebagian kecil
perusahaan paham akan konsep biaya overhead pabrik variabel dan
biaya overhead tetap. Belum adanya tentang penilaian biaya
merupakan faktor utama perusahaan belum melakukan pemisahan
biaya sesuai dengan konsep akuntansi biaya.

c. Perusahan menentukan tarif biaya overhead pabrik dengan


dasar satuan produk
Dalam penelitian yang dilakukan menunjukkan hanya

46%

perusahaan sampel yang melakukan penentuan tarif biaya


overhead pabrik dengan dasar satuan produk, hal tersebut
menunjukkan bahwa hanya sedikit perusahaan sampel telah
mengalokasikan biaya overhead pabrik ke biaya produknya dengan
menggunakan satuan produk. Namun, metode yang digunakan
59

dalam penentuan biaya overhead pabrik ini masih sangat


sederhana, yaitu dengan pembebanan tunggal berdasarkan bahan
baku.
d.

Perusahaan menghitung depresiasi


Berdasarkan survey yang dilakukan, perusahaan yang sudah
memasukkan biaya depresiasi kedalam komponen biaya overhead
pabrik hanya 23% saja. Dari data ditemukan bahwa 77%
perusahaan belum membebankan biaya depresiasi sebagai biaya
overhead, hal ini terkait dengan belum dilakukannya praktik
pembebanan depresiasi dalam proses produksinya Hal ini terjadi
karena banyak perusahaan belum paham akan konsep depresiasi
dan metode depresiasi dalam teori akuntansi. Beberapa perusahaan
bahkan mencampurkan pembebanan biaya depresiasi kedalam
biaya perawatan mesin. Menurut teori akuntansi biaya, biaya
depresiasi harus dibebankan untuk mengetahui biaya produksi
yang seharusnya. Jika biaya depresiasi tidak dibebankan , maka
biaya produksi dinilai lebih rendah dari biaya yang seharusnya.
Hal ini berarti sebagian besar industri kreatif di Yogyakarta belum
sesuai dengan konsep akuntansi biaya.

e. Perusahaan membebankan biaya depresiasi sebagai biaya


overhead
Berdasarkan penelitian yang dilakukan

dapat diketahui bahwa

semua perusahaan yang melakukan pembebanan depresiasi telah


membebankan biaya depresiasi tersebut sebagai biaya overhead
pabrik.
Secara keseluruhan, dapat digambarkan bahwa semua perusahaan
sampel tahu akan pentingnya komponen biaya overhead pabrik dalam
60

pembebanan biaya produksi. Tetapi pada praktiknya, perusahaan mengalami


kesulitan dalam mengidentifikasi komponen-komponen biaya overhead
pabrik. Hal ini dapat digambarkan dengan hasil wawancara yang
menunjukkan 38% perusahaan sampel yang sudah melakukan pemisahan
biaya overhead pabrik variabel dengan biaya overhead tetap, hanya 46%
perusahaan yang menggunakan tarif biaya overhead pabrik dengan dasar
satuan produk, serta hanya 23% perusahaan sampel yang telah melakukan
pembebanan depresiasi sebagai biaya overhead. Secara keseluruham, dapat
digambarkan bahwa lebih dari 50% perusahaan sampel belum melakukan
pembebanan biaya overhead pabrik dengan benar sesuai konsep akuntansi
biaya. Faktor keterbatasan pemahaman dan sulitnya mengidentifikasi
komponen biaya overhead pabrik merupakan alasan yang ditemui peneliti
ketika melakukan wawancara dengan pihak manajemen/keuangan perusahaan.

61

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hasil analisis menunjukkan 13 perusahaan yang bergerak dalam Industri
Kreatif di Yogyakarta telah mengenal praktik penentuan biaya produksi

dalam

kaitannya untuk melakukan efektifitas dan peningkatan laba perusahaan. Namun,


pada praktiknya perusahaan yang bergerak di Industri Kreatif belum dapat
mengklasifikasi komponen komponen baik yang berkaitan dengan pembebanan
biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, serta biaya overhead pabrik.
Praktik penentuan biaya produksi yang dilakukan masih sangat sederhana dan
belum seluruhnya memenuhi konsep akuntansi biaya. Hal ini dapat dibuktikan
melalui hasil penelitian bahwa lebih dari 50% perusahaan sampel belum dapat
mempraktikkan konsep akuntansi biaya dalam mengklasifikasikan komponen biaya
bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, ataupun biaya overhead pabrik.
Terkait pembebanan biaya bahan baku, 62% perusahaan sudah melakukan
penetapan kuantitas dan harga bahan baku dalam anggaran serta pembebanan biaya
angkut kedalam biaya bahan baku , tetapi untuk bagian lainnya perusahaan yang
sudah paham konsep akuntansi masih dibawah 50%.

62

Sedangkan untuk pembebanan biaya tenaga kerja langsung, terdapat 54%


perusahaan melakukan pembebanan tarif biaya tenaga kerja langsung berdasarkan
satuan produk, sedangkan sisanya menggunakan dasar pembebanan yang lain.
Kemudian dalam pembebanan biaya overhead pabrik, lebih dari 50%
perusahaan belum memisahkan biaya tetap dan variabel dalam mengklasifikasikan
komponen biaya overhead pabrik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 23%
perusahaan yang telah membebankan biaya depresiasi kedalam biaya overhead
pabrik. Faktor utama perusahaan belum melakukan pembebanan sesuai dengan biaya
overhead pabrik adalah faktor kurang pahamnya konsep biaya overhead pabrik bagi
manajemen perusahaan.
5.2 Saran
Penelitian ini terbatas dengan jumlah sampel yang sedikit dan tidak dapat
mencakup seluruh subsektor industri kreatif sehingga kurang dapat memberikan
gambaran yang komprehensif tentang praktik akuntansi biaya serta permasalahannya
pada industri kreatif. Berdasarkan hasil penelitian dan keterbatasan dalam penelitian
ini maka penulis memberikan beberapa saran berikut ini:
1) Perlu adanya pembinaan dan pendampingan dari pihak-pihak terkait tentang
pentingya praktik akuntansi manajemen, khususnya akuntansi biaya dengan
memberikan penjabaran praktik nyata dalam industri kreatif. Hal ini penting
karena industri kreatif di Indonesia dan di Yogyakarta secara khusus sedang

63

berkembang . Permasalahan lain yang timbul adalah karena model bisnis


dalam industri kreatif masih berbentuk rintisan, maka perlu banyak
penyesuaian dalam praktiknya di lapangan.
2) Agar penelitian ini dapat lebih mencerminkan praktik akuntansi biaya secara
lengkap atau komprehensif, perlu dilakukan penelitian dengan sampel lebih
banyak beragam.
3) Dengan adanya penelitian rintisan ini, diharapkan para peneliti dan praktisi
akuntansi dapat mengembangkan teori akuntansi biaya yang berkaitan dengan
penetapan biaya produk pada industri kreatif. Hal ini dirasa sangat penting
oleh

peneliti

karena

teori

akuntansi

konvensional

belum

dapat

mengakomodasi semua bentuk biaya dalam proses produksi industri kreatif


karena kompleksitasnya. Diharapakan kemudian hari, para peneliti dan
praktisi akuntansi dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan industri
kreatif .

64

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik., (2014), Produk Domestic Bruto 2014, dikases dari
http://www.bps.go.id pada tanggal 28 Agustus 2014
Hansen, Mowen., (2007), Accounting Managerial 8th, Oklahoma State University,
Cengange Learning, USA
Howkins, John., (2001), Creative Economy: How People Make Money from Ideas,
Allen Lane Publication,University of Michigan, USA
Indonesia Kreatif., (2014), Kontribusi Ekonomi Kreatif terhadap PDB Indonesia,
Indonesia Kreatif, 23 Januari 2014 diakses dari http://gov.indonesiakreatif.net
pada tanggal 24 Agustus 2014

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif., (2012), Rencana Strategis 2012-2014,


Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Jakarta.
Lawson, Raef, CMA , CPA., (2006), How Accurate Are Chinese Costing
Practice?, Journal of Strategic Finance, May, pp 41-46
Liang, Ivan., (2013), Industri Kreatif dan Ekonomi Sosial di Indonesia:
permasalahan dan Usulan Solusi dalam Menghadapi Tantangan Global,
Prosiding The 5th International Conference of Indonesian Studies : Ethnicity
and Globalization, Januari 25, hal. 311-312
Maher, Lanen and Rahan,. (2005), Fundamentals of Cost Accounting, 2nd Edition,
McGraw-Hill, New York.
Sri Susilo et al., (2010), Pedoman Penulisan Usulan Penelitian & Skripsi Fakultas
Ekonomi Univeristas Atma jaya Yogyakarta, UAJY, Yogyakarta
Tim Kompas (2014), Menatap Indonesia 2015, Penerbit Kompas, Jakarta.
Toffler, Alvin., (1980), The Third Wave, Bantam Books, New York.

65

The Jakarta Post., (2013), Four Indonesia Cities vie for UNESCO Recognition,The
Jakarta Post, 5 Agustus 2013 diakses dari http://www.thejakartapost.com pada
tanggal 23 Agustus 2014
Yogiyanto (2007). Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan PengalamanPengalaman, Edisi revisi. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi-UGM.
Yogyakarta
UNCTAD,. (2008), Creative Economy Report 2008: The Challenge of Assesing the
Creative Economy towards Informed Policy Making, United Nation.
Vanderbeck, Edward J., (2012), Principles of Cost Accounting, 16th Edition,
Cengange Learning, Boston.

66

LAMPIRAN

1. Data Perusahaan yang menjadi sampel penelitian Praktik Penentuan Biaya


Produksi: Survey pada Industri Kratif di Yogyakarta tahun 2013-2014

2. Profil Perusahaan dalam kualifikasi subsektor Industri Kreatif di Yogyakarta

N=13

Subsektor industri kreatif yang menjadi sampel penelitian


1 Subsektor Kerajinan

46,15%

2 Subsektor Penerbitan dan Percetakan

7,69%

3 Subsektor Kuliner

23,07%

4 Subsektor Fesyen

23,07%

13

100%

1 Kecil ( 5-19)

10

76,92%

2 Menengah (20-99)

23,07%

Total

Skala Perusahaan (Jumlah Karyawan)

Você também pode gostar