Você está na página 1de 6

Nama: Ricka Vetrisia Sapitri

NPM : 0615103007
Teknik Informatika Reguler B1

Konflik Tolikara-Papua, Mengungkap Motif dan Solusinya


Konflik di Tolikara sangat menyedihkan dan patut dikecam sekeras-jerasnya. Pertama,
umat Nasrani dari Gidi (Gereja Injili di Indonesia) menyerang umat Islam yang sedang
melaksanakan shalat Idul Fitri 1 Syawal 1436 H di Markas Korem 1702-11 di Tolikara. Pada hal
umat Islam dimanapun tidak pernah melakukan tindakan bar-bar yang melarang apalagi mengusir
umat Nasrani yang sedang melaksanakan ibadah.
Kedua, aparat keamanan sama sekali tidak antisipatif. Sejatinya antisipatif, karena
pimpinan Gidi sudah membuat surat yang melarang umat Islam melaksanakan shalat Idul Fitri
dilapangan dan memasang pengeras suara. Selain itu, pada saat yang sama, umat Nasrani dari Gidi
melaksanakan kebaktian rohani sekaligus seminar internasional dengan jarak sekitar 200 meter
dari lapangan tempat diselenggarakannya shalat Idul Fitri, sehingga patut di duga bisa menciptakan
konflik horizontal.
Ketiga, aparat intelejen dapat dikatakan tidak bekerja, sehingga kebobolan dan terjadi
konflik yang nyaris memporak-porandakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Keempat, aparat keamanan sama sekali tidak berdaya menghadapi massa Gidi yang
beringas, sehingga leluasa mengusir umat Islam yang sedang melaksanakan shalat Idul Fitri.
Akibatnya mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari amukan massa Gidi.
Kelima, ekstrimisme yang selama ini disandangkan kepada umat Islam, dan dalam banyak
kasus menjadi sasaran penyerangan dari Densus 88 dalam memerangi terorisme, terbukti pada
agama lain melakukan hal yang sama, tetapi treatmentnya berbeda. Ini bisa menimbulkan perasaan
tidak adil karena tidak equal dalam penanganannya.

Permasalahan di Tolikara

Tolikara sebagai bagian dari Papua dan bangsa Indonesia menyimpan banyak
permasalahan. Saya menduga paling tidak ada 5 (lima) masalah besar yang dihadapi masyarakat
Tolikara.
Pertama, kurang pendidikan. Merujuk pernyataan Anies Baswedan, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI pada saat buka puasa Kahmi di rumah dinasnya di Widya Chandra Jakarta
Selatan beberapa hari menjelang Idul Fitri 1436 H bahwa 76 persen pendidikan masyarakat
Indonesia hanya tamat SMP ke bawah, dan hanya 6 persen yang berpendidikan sarjana, dapat
ditarik kesimpulan bahwa pendidikan masyarakat Tolikara pasti tidak jauh berbeda seperti yang
diungkapkan Menteri Anies Baswedan. Ini masalah besar karena mereka yang berpendidikan
rendah bukan saja mudah disulut untuk konflik, tetapi hampir dipastikan mereka hidup miskin dan
terkebelakang.
Kedua, kesenjangan sosial ekonomi. Konsekuensi logis dari kurang pendidikan, maka
masyarakat asli Tolikara tidak bisa bersaing dalam bidang ekonomi. Akibatnya pendatang yang
pada umumnya Muslim lebih menguasai ekonomi, sehingga terjadi kesenjangan ekonomi yang
kemudian menghadirkan kecemburuan sosial. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu konflik
horizontal di Tolikara.
Ketiga, penjajahan ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di negeri yang kita cintai
masih terjadi penjajahan ekonomi. Masyarakat Tolikara, saya menduga mereka juga merasakan
hal itu. Papua yang kekayaan alamnya luar biasa, tetapi masyarakatnya masih hidup miskin dan
terkebelakang. Jika ada yang memicu, maka mereka segera melampiaskan kemarahan dengan
melakukan konflik seperti konflik Tolikara.
Keempat, ketidak-adilan dalam berbagai bidang. Masyarakat Tolikara, saya fikir mereka
juga merasakan banyaknya ketidakadilan dalam bidang ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya,
sehingga mudah disulut untuk melakukan konflik. Berbagai ketidakadilan merupakan hotspot
yang setiap saat bisa melahirkan konflik horizontal dan vertikal.
Kelima, separatisme. Permasalahan terbesar yang dihadapi di Tolikara dan Papua ialah
adanya agenda memisahkan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masalah ini
tidak kunjung selesai karena pihak asing turut bermain untuk mendorong Papua merdeka seperti
Timor Timur.
Dengan demikian, konflik Tolikara merupakan akumulasi dari berbagai persoalan yang
dihadapi masyarakat yang selama ini terpendam akibat pendekatan represif.

Motif Konflik
Kalau belajar dari konflik Aceh, dan konflik Papua, yang keduanya merupakan konflik
vertikal. Begitu pula konflik Ambon, konflik Poso dan konflik lainnya di Indonesia, yang pada
umumnya merupakan konflik horizontal, saya yakin bahwa konflik Tolikara dipicu tiga faktor.
Pertama, motif ekonomi. Hampir semua konflik di Indonesia baik konflik vertikal maupun
konflik horizontal, penyebab utamanya adalah faktor ekonomi. Oleh karena itu, saya berkeyakinan
bahwa konflik Tolikara, pemicu utamanya adalah faktor sosial ekonomi. Dalam realitas sosial
ekonomi, pendatang dimanapun selalu lebih maju tingkat kehidupan ekonomi mereka ketimbang
penduduk asli. Kesenjangan sosial ekonomi tersebut, saya menduga keras menjadi pemicu konflik
di Tolikara.
Kedua, ketidakadilan dalam berbagai bidang. Di negeri kita masih banyak ketidakadilan.
Rakyat jelata yang pada umumnya kurang pendidikan dan miskin, menjadi sasaran empuk dari
praktik ketidakadilan. Saya yakin seyakin-yakinnya, masyarakat Tolikara juga merasakan
ketidakadilan. Misalnya Papua luar biasanya kekayaan alamnya, tetapi masyarakatnya masih
bodoh, miskin dan terkebelakang. Kondisi demikian mudah dieksploitasi untuk marah dan
mengamuk. Salah satu bentuknya menyerang kaum Muslim yang sedang shalat Idul Fitri di
Tolikara.
Ketiga, separatisme. Sudah bukan rahasia umum bahwa oknum-oknum pemimpin agama
di Papua bukan saja mendukung separatisme, tetapi berdasarkan pengalaman saya sewaktu
menjadi anggota parlemen di awal Orde Reformasi, saya menduga mereka menjadi prime mover
untuk mewujudkan separatisme di Papua. Upaya separatisme terus berkobar karena mendapat
dukungan dari pihak asing yang ingin menguasai Papua yang kekayaan alamnya luar biasa dengan
cara memerdekan Papua.
Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa konflik di Tolikara pemicu utamanya bukan
faktor agama tetapi faktor separatisme, yang ingin memisahkan Papua dari negara kesatuan
republik Indonesia dengan mengobarkan konflik agama sebagai strategi untuk menarik dukungan
internasional jika umat Islam yang diserang di Tolikara mendapat simpati dan bantuan dari
saudara-saudara mereka di daerah lain dan melakukan balas dendam terhadap umat Nasrani di
Papua dan daerah lain di Indonesia.

Solusi
Konflik Tolikara harus diungkap secara tuntas motifnya dan siapa aktor intelektualnya.
Mereka yang terlibat dalam konflik Tolikara dan menjadi aktor intelektualnya harus diseret ke
meja hijau untuk dimintai pertanggungjawaban. Adapun solusi yang ditawarkan untuk mengakhiri
secara permanen konflik Tolikara dan konflik lainnya di Papua.
Pertama, meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan anak-anak Tolikara dan anakanak Papua, tidak hanya memberikan kognitif (kecerdasan) kepada anak didik, tetapi sangat
penting menanamkan dan menumbuhkan afektif kepada anak didik supaya cinta Indonesia, cinta
tanah air, cinta persatuan dan kesatuan, disiplin dan bertanggungjawab. Untuk mewujudkan hal
itu, sangat diperlukan pengiriman tenaga guru sukarela untuk ditugaskan di Tolikara dan Papua
serta daerah-daerah lain diperbatasan Indonesia.
Kedua, dialog, silaturrahim dan social welfare. Untuk menyelesaikan konflik Tolikara dan
Papua, tidak boleh hanya mengedepankan pendekatan hukum, tetapi amat diperlukan dialog,
silaturrahim dan pendekatan social welfare (kesejahteraan sosial) yang memberdayakan dan
memajukan serta memberi martabat kepada penduduk asli dengan pendatang yang difasilitasi
pemerintah setempat. Dialog dan rembukan dalam berbagai persoalan dibutuhkan untuk
menciptakan understanding (saling pengertian) dan kerjasama untuk sama-sama maju dan
sejahtera bersama.
Ketiga, mewujudkan keadilan ekonomi. Kesenjangan sosial ekonomi tidak mungkin bisa
diwujudkan jika tidak ada special treatment dan affirmative action terhadap penduduk asli. Mereka
harus diberi perlakuan istimewa dan aksi pemihakan terhadap penduduk asli dalam upaya
membangun keadilan ekonomi.
Keempat, penjajahan ekonomi harus diakhiri dengan mewujudkan persatuan yang sekuatkuatnya di kalangan bangsa Indonesia agar tidak mudah dipecah belah oleh penjajah ekonomi,
menumbuhkan kesadaran dikalangan bangsa Indonesia, menegakkan Tri Sakti Bung Karno, dan
hukum di bidang ekonomi.
Kelima, melakukan perundingan dengan kelompok-kelompok separatis di Tolikara dan
Papua untuk menemukan solusi permanen terhadap Tolikara dan Papua untuk memastikan bahwa
Papua selamanya berada dalam pangkuan NKRI.
Demikianlah pokok-pokok pikiran singkat ini sebagai narasumber yang disampaikan
dalam rangka urun rembuk dan sumbang saran diskusi Kahmi Nasional bertajuk Dibalik

Kerusuhan Tolikara, Ancaman Keutuhan NKRI, yang dilaksanakan 29 Juli 2015 di Gedung
Kahmi Center, Jakarta Selatan.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/musniumar/konflik-tolikara-papua-mengungkapmotif-dan-solusinya_55b8299f92fdfd2c048b4567

ANALISA KASUS
1. Apa yang menjadi penyebab kasus tersebut terjadi ?
Terdapat beberapa penyebab yang mengakibatkan kasus tolikara terjadi, diantaranya tidak
ada toleransi antara umat beragama, adanya kecemburuan sosial terhadap para pendatang yang
beragama islam, adanya saparatisme dimana mengakibatkan adanya hasutan yang memicu
terjadinya konflik.

2. Upaya apa yang telah dilakukan pada kasus tersebut ?


Upaya yang dilakukan oleh aparat atau pihak terkait berupa tindakan pencegahan dan
percobaan pemisahan ketika konflik berlangsung.

3. Bagaimana menurut Anda penyelesaian kasus tersebut ?


Menurut saya aparat keamanan tidak bekerja secara optimal. Kerusuhan ini sebenarnya
bisa saja dicegah, karena pimpinan gidi telah membuat surat peringatan diawal yang melarang
umat Isalam melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan dengan pengeras suara. Harusnya
pemerintah daerah dan aparat kepolisian setempat bisa melakukan tindakan antisipasi seperti
melakukan diskusi antara kelompok umat nasrani dan umat islam untuk mencari solusi tengah
dari permasalahan ini.
Selain itu, dalam prakteknya pun aparat keamanan tidak bisa melerai umat gereja gidi dan
malah melakukan penembakan secara tidak bertanggung jawab dengan mengatas namakan
pemisahan konflik. Seharusnya ada upaya lebih baik yang bisa dilakukan untuk memisahkan
konflik tersebut.

4. Apakah kasus tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk krisis identitas? Jelaskan !

Ya, tentu saja. Kasus konflik dan kekerasan di Tolikora-Papua ini merupakan kasus krisis
identitas. Rendahnya taraf pendidikan dan kurangnya pendidikan mengenai bangsa dan
persatuan kesatuan Indonesia pada masyarakat Trikora menjadi salah satu pemicu konflik ini.
Jika masyarakat sudah mengerti mengenai identitas bangsa Indonesia yang mengutamakan
kebersamaan, adanya toleransi antara umat beragama, keanekaragaman budaya tetapi tetap
satu tujuan, serta penerapan nilai- nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari, maka
masyarakat Tolikora-Papua tidak akan mudah terhasut oleh para pihak-pihak saparatisme
yang menginginkan perpecahan di Indonesia sehingga mereka bisa menguasai kekayaan alam
di Papua.

Você também pode gostar