Você está na página 1de 24

1

Penguatan Kapasitas Stakeholder untuk Peningkatan Profesionalitas Perempuan Buruh


Migran Indonesia (BMI) di Daerah Pengiriman
Hong Kong dalam Menghadapi Moratorium Tenaga Kerja Domestik 2017

Oleh :
Keppi Sukesi, Hesti R.Wijaya, Henny Rosalinda
Universitas Brawijaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menganalisis kebijakan di tingkat nasional sampai
daerah dalam penyiapan Calon BMI, pengiriman dan penempatan di Hong Kong dan
implementasinya menghadapi moratorium tahun 2017; 2) Merumuskan model dan strategi
penguatan kapasitas kelembagaan stakeholder sesuai kebutuhan BMI perempuan sebagai pekerja
professional dan Hong Kong sebagai negara penerima mengahadapi moratorium tahun 2017; 3)
Merumuskan model pemberdayaan perempuan BMI pasca moratorium 2017. Metode yang
digunakan adalah metode penelitian berperspektif gender dengan pendekatan kualitatif, teknik,
penelitian aksi dan studi mendalam. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Malang dan
Tulungagung Propinsi Jawa Timur. Kegiatan penelitian mencakup Policy Study, diawali dengan
studi dokumentasi dan law study terutama dokumen kebijakan, diskusi terfokus dengan
stakeholder dan BMI purna.
Hasil penelitian menunjukkan masih banyaknya masalah yang dialami perempuan BMI
di Hong Kong karena mereka tidak mendapat pelatihan yang memadai ketika akan berangkat
sehingga daya saing lebih rendah dibanding BMI dari negara lain, bekerja sebagai pekerja
domestic yang dianggap unskill (tidak terlatih), kondisi ini sangat rentan menghadapi
moratorium atau penghentian pengiriman tenaga kerja sektor domestik tahun 2017 yang akan
berdampak terhadap BMI yang sedang bekerja di Hong Kong maupun calon BMI. Dari kajian
kebijakan dan peraturan tentang pengiriman, penempatan dan pengawasan BMI tingkat nasional
diatur dalam Undang Undang nomor 39 tahun 2004. Kabupaten Tulungagung telah memiliki
PERDA tentang pengiriman dan perlindungan BMI yang ditetapkan pada tahun 2014. Kebijakan
tentang keluarga BMI perempuan yang ditinggal dan BMI purna dikeluarkan oleh Kementerian
Pemberdayaan Perempuan, dan dilaksanakan oleh Dinas/Kantor Pemberdayaan Perempuan di
tingkat daerah. DISNAKER memiliki program pemberdayaan BMI purna dengan melibatkan
dalam pelatihan kewirausahaan. Dalam pengiriman BMI melibatkan pihak pemerintah, swasta
dan lembaga masyarakat. Masalah yang dihadapi adalah kapasitas lembaga pengirim belum
berorientasi pada profesionalitas Moratorium sebagai salah satu kebijakan pengendalian
terhadap pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sudah pernah diberlakukan untuk Negara tujuan
Malaysia dan Arab Saudi. Isue moratorium akan kembali diberlakukan pada tahun 2017. Sisi
positif kebijakan ini adalah menghentikan pengiriman tenaga kerja perempuan tidak trampil dan
tidak professional, yang berpotensi memberikan dampak negatif dan menuju pengiriman BMI
professional, sedangkan sisi negatifnya adalah masyarakat belum siap. Penguatan kapasitas
lembaga penempatan dan perlindungan BMI Hong Kong dengan pola pengiriman antar swasta (P
to P) perlu memperhatikan penguatan peran pemerintah terutama SDM, penguatan lembaga
swasta yang tidak hanya berorientasi bisnis, dan partisipasi masyarakat yaitu LSM dan orgaisasi
BMI.

Keywords : Penguatan kapasitas stakeholders, Profesionalitas, Perempuan Buruh Migran


Internasional.
Latar Belakang Penelitian
Banyaknya permasalahan yang dihadapi Buruh Migran Indonesia (BMI) perempuan di
Hong Kong karena mereka tidak mendapat pelatihan yang memadai ketika akan berangkat
sehingga daya saing lebih rendah dibanding BMI dari negara lain. Kondisi ini barakibat sangat
rentan bagi BMI perempuan. Sementara itu penelitian tentang BMI perempuan pasca migrasi
menunjukkan bahwa ketika kembali ke Indonesia belum semuanya siap bekerja mandiri di dalam
negeri. (Sukesi, dkk, 2012; Wijaya, 2012).
Hasil penelitian Sukesi (2012) menunjukkan bahwa perempuan BMI purna tidak
semuanya berkemampuan memanfaatkan uang yang diperoleh dari bekerja di luar negeri sebagai
modal berwirausaha, demikian halnya bagi keluarga yang ditinggalkan tidak semuanya
berkemampuan mengelola remitan sebagai modal berwira usaha, dan bagi calon BMI tidak
semuanya memiliki wawasan kewirausahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BMI yang
ketika berangkat ke luar negeri telah memiliki wawasan kewirausahaan akan mampu mengelola
hasil kerjanya sebagai modal berwirausaha.
Dari grounded research Wijaya dan Sukesi (2012) tentang BMI di Hongkong,
menghasilkan beberapa research question untuk Hong Kong sebagai hosting country adalah
bagaimana peran pemerintah Hong Kong dan lembaga terkait terhadap penerimaan BMI dari
Indonesia.
Pertanyaan penelitian untuk Indonesia sebagai sending country adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi dan profesionalitas BMI menghadapi kebutuhan tenaga kerja terlatih (skill
labor)
2. Kesiapan stakeholder lembaga pengirim dalam menyiapkan Calon BMI professional
mengahadapi moratorium tahun 2017. Belajar dari moratorium tenaga kerja untuk Arab
Saudi dan Malaysia, bagaimana dampaknya terhadap perempuan BMI
3. Law and Policy studies dari peraturan nasional hingga daerah dan bagaimana
implementasinya selama ini.
Hong Kong merupakan salah satu negara dengan populasi Warga Negara Indonesia
(WNI) terbesar dari jumlah warga negara asing di negara tersebut, dengan jumlah mencapai 156
ribu orang atau sekitar dua persen dari jumlah penduduk (Antara news, 2013). Sebagian besar

dari jumlah tersebut berprofesi sebagai pembantu rumahtangga. Jumlah BMI setiap tahunnya
terus bertambah. Pada penempatan tahun 2011, terdapat sekitar 40.847 BMI. Sementara pada
penemparan tahun 2012 mencapai 45.478 jiwa, atau naik 11%, dengan upah kerja di Hong Kong
yang relatif tinggi. Sebelumnya gaji TKI sektor informal Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT),
sekitar 3.740 HKD atau Rp4.723.200 perbulan. Naik menjadi menjadi 3.920 HKD atau
Rp4.950.960, dan berlaku sejak 20 September 2012, tahun 2015 naik menjadi 4120 HKD.
Kenaikan ini diikuti penambahan tunjangan uang makan sebesar 12,90 persen. Sebelumnya 775
HKD atau Rp978.825, naik menjadi 875 HKD atau Rp1.105.125 (Jawa Pos, 2013). Hal ini yang
menjadi faktor pendorong dan menjadikan Hong Kong sebagai negara tujuan bekerja selain
Taiwan.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-12 di Cebu, Filipina ASEAN menyepakati
ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers.
Deklarasi ini memuat kewajiban bagi negara-negara pengirim, penerima, dan negara-negara
ASEAN untuk memberikan perlindungan dan pemajuan hak-hak pekerja migran. Deklarasi
mewajibkan dibentuknya instrumen hukum yang lebih mengikat negara-negara ASEAN dalam
memberikan jaminan dan perlindungan hak-hak pekerja migran sehingga dalam konteks
komunitas ASEAN, maka komunitas buruh migran akan lebih siap dan terlindungi.
Upaya untuk meningkatkan profesionalitas buruh migran juga dilaksanakan oleh
pemerintah Indonesia, dengan rencana kebijakan atau isu pemutusan hubungan kerja dengan
berbagai negara tujuan buruh migran pada tahun 2017. Kebijakan tersebut disiapkan agar BMI
yang bekerja di luar negeri hanya bekerja di sektor formal dan memiliki keahlian yang memadai
sehingga terhindar dari berbagai kasus yang merugikan.
Hong Kong sebagai sebuah negara yang maju juga tidak lepas dari berbagai masalah
dan kasus yang melibatkan BMI. Tetapi dibandingkan negara-negara yang lain, Hong Kong
relatif lebih baik. Hal ini terjadi karena pemerintah Hong Kong yang mewarisi sistem birokrasi
yang demokratis dari Inggris telah menempatkan setiap warga negaranya maupun warga negara
asing yang berada di Hong Kong untuk secara bebas menggunakan hak berbicara, berpendapat,
aktualisasi diri, dan memperoleh perlindungan penuh dari pemerintah. Namun dekikian dalam
hal penempatan tenaga kerja asing khususnya perempuan BMI yang diserahkan pada pihak
swasta yaitu agent menimbulkan posisi BMI yang berada dibawah majikan, sepenuhnya
kekuasaan dipegang oleh majikan.

Permasalahan Penelitian
Secara ringkas masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1.

Kebijakan pemerintah Indonesia dan pemerintah Hong Kong terkait

pemberangkatan,

proses penyiapan dan perlindungan, penempatan dan purna migrasi baik secara regulatori
dan distributip yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia belum menjangkau dan belum
2.

mengantisipasi moratorium 2017.


Kapasitas kelembagaan pengirim perempuan BMI belum professional

3.

berkemampuan mempersiapkan tenaga trampil sesuai standard kebutuhan Negara penerima.


Model pengiriman private to private (P to P) perlindungan BMI di Hong Kong perlu dikritisi

sehingga belum

karena menempatkan posisi BMI di pihak yang lemah.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menganalisis kebijakan di tingkat nasional sampai daerah dalam penyiapan Calon BMI,
pengiriman dan penempatan di Hong Kong menghadapi moratorium tahun 2017;
2) Merumuskan model dan strategi penguatan kapasitas kelembagaan stakeholder sesuai
kebutuhan BMI perempuan sebagai pekerja professional dan Hong Kong sebagai negara
penerima;
3) Merumuskan model pemberdayaan perempuan BMI purna sebagai antisipasi moratorium
2017.

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Informan Penelitian
Penelitian dilakukan di Provinsi Jawa Timur, dipilih 2 (dua) Kabupaten pengirim BMI ke
Hong Kong terbesar. Informan penelitian adalah perempuan Buruh Migran Hong Kong yang
telah pulang (BMI purna) dan lembaga terkait pengiriman BMI terdiri dari PPTKIS,
DISNAKER, Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN), Asosiasi Pengerah Tenaga Kerja
Indonesia (ASPERTI) dan Koperasi Wanita BMI Purna.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk pelaksanaan riset aksi, studi mendalam dan
penyusunan model. Survey digunakan sebagai penunjang terutama untuk meggali persepsi BMI
purna, dampak moratorium dan strategi bertahan perempuan BMI pasca moratorium. Kegiatan
penelitian mencakup Policy Study, diawali dengan studi dokumentasi dan law study terutama
dokumen kebijakan, survey, FGD dengan stakeholder, FGD dengan BMI purna, observasi
partisipasi terhadap stakeholder
4

1. Studi perundangan dan kebijakan (Law and Policy Study).

Peneliti

mengumpulkan peraturan perundangan organik dan peraturan daerah terpilih,

dengan analisa secara textual:


a. Secara Nasional, peraturan perundangan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
b. Peraturan Daerah Pemerintah Propinsi Jawa Timur, dan secara khusus berbagai ketetapan dari
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang membekali warganya yang akan bekerja nafkah di
luar negeri sebagai BMI, dan yang sudah kembali ke Indonesia serta bekerja kembali di dalam
negeri.
c. Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Tulungagung yang secara khusus mengkaji berbagai
ketetapan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten, berkaitan dengan pembekalan
penduduknya yang akan bekerja nafkah di luar negeri sebagai BMI professional dan apabila
ditetapkan moratorium 2017.
d. Peraturan di Hong Kong
e. Studi terhadap BMI di dua lokasi penelitian:Calon BMI dan

TKW

Purna, yang

tergabung dalam organisasi Mantan TKW

HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN


Analisis Kebijakan pada Level Nasional
Permasalahan yang dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia menunjukkan bahwa masih
terdapat sistem yang belum dapat menopang jaminan dan perlindungan terhadap buruh migran.
Secara strategis, masalah utama terletak pada kebijakan yang tidak tegas dalam mengatur
perlindungan tenaga kerja Indonesia.

Undang-Undang Nasional perlindungan tenaga kerja

adalah UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri. Undang-undang adalah acuan tertinggi dari lembaga pengirim BMI dan BMI itu
sendiri
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan diterbitkannya UU No. 39 Tahun 2004, antara
lain:
a.

bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi,dihormati, dan
dijamin penegakannya;

b.

bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar

negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan;


c.

bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia,
termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan
atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia;

d.

bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik
di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan
sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia;

e.

bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk
mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan
dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan
harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan
kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional;

f.

bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu
antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam
suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan di luar
negeri;

g.

bahwa peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang ada belum mengatur


secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja
Indonesia di luar negeri;

h.

bahwa dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan


penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan undang-undang;
Sehubungan dengan pertimbangan tersebut maka UU No.39 Tahun 2004 disahkan

tetapi dalam analisa dan pelaksanaannya, Undang-undang tersebut belum dapat sepenuhnya
memberikan manfaat yang merata bagi tenaga kerja Indonesia, terutama yang bekerja di luar
negeri dan bekerja pada sektor keterampilan rendah, seperti pembantu rumah tangga, buruh
pabrik, buruh bangunan, dan lain sebagainya.
Beberapa pihak memandang bahwa UU No.39 Tahun 2004 menjadi legalitas pemerintah
untuk membagi tanggung jawab atas perlindungan warga negara yaitu dengan pihak swasta.
Salah satu pasal yang mengatur hal ini misalnya terdapat pada pasal 10 sampai pasal 12, tentang
pelaksana penempatan TKI di luar negeri.

Dalam menganalisa ketiga pasal tersebut diatas, bentuk yang paling ideal dalam
perlindungan warga negara hendaknya hanya dilaksanakan oleh negara tanpa ada campur tangan
dari pihak lain. Namun dalam kajian gender dan feminis, masalah teknis tersebut bukan satusatunya prioritas. Artinya siapa yang menjadi pihak yang menangani, baik pemerintah maupun
swasta harus dapat mengimplementasikan keadilan dan kesetaraan gender dalam pelaksanaan
tugasnya. Pola pengiriman perempuan BMI ke Hong Kong pola P to P (Antar Swasta), hal ini
diperbolehkan, sesuai pasal tersebut di atas, namun demikian yang perlu diperhatikan adalah
tidak hanya aspek bisnis akan tetapi aspek pemberian hak sesuai dengan kewajiban yang
dilakukan dan perlindungan di tempat kerja secara berkeadilan dan berkesetaraan gender.
Mayoritas TKI Indonesia adalah perempuan sehingga penting untuk memiliki kepekaan
gender bagi seluruh stakeholder yang terkait dalam penanganan TKI. Mengacu pada konteks
CEDAW harus menjadi refleksi atas kesenjangan dalam undang-undang nasional maupun pelaku
undang-undang tersebut. Seluruh tenaga kerja wanita Indonesia berhak memiliki kesadaran atas
hak-haknya dan hal ini dapat terwujud apabila didukung oleh sosialisasi dan diseminasi semua
pihak yang terkait baik pemerintah maupun swasta yang menangani dari sejak keberangkatan,
masa penempatan, dan pasca migrasi internasional.
Dalam Pasal 78 dijelaskan bahwa:
(1) Perwakilan Republik Indonesia memberikan perlindungan terhadap TKI di luar negeri
sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta hukum dan kebiasaan internasional.
(2) Dalam rangka perlindungan TKI di luar negeri, Pemerintah dapat menetapkan jabatan
Atase
Secara normatif legal formal, tidak ada masalah atas pasal tersebut diatas namun dalam
penelitian yang dilakukan di Konsulat Jendral Republik Indonesia di Hong Kong menunjukkan
data bahwa staff pemerintah yang menjadi ujung tombak dalam mengurus masalah TKI
berjumlah belasan orang padahal jumlah TKI di Hong Kong, khususnya wanita berjumlah 150
000 orang.
Perbandingan antara jumlah personil Perwakilan RI dengan jumlah buruh migran yang tidak
seimbang dapat menjadi masalah dalam penanganan dan perlindungan berbagai kasus buruh
migran di Hong Kong. Jumlah aduan dan masalah yang terus bertambah sedangkan minimnya
staf yang menangani dapat membuat mereka tidak peka atas masalah dan isu perlindungan buruh
migran terutama perempuan.

Dari 109 pasal yang terdapat dalam UU No. 39 Tahun 2004, hanya satu Bab atau delapan
pasal yang membahas perlindungan TKI dan satu pasal tentang pengawasan, selebihnya hanya
berkaitan dengan penempatan BMI ke luar negeri. Pasal-pasal tersebut yaitu: pasal 77 84
mengatur tentang perlindungan TKI luar negeri.
Selain itu, kekosongan pengaturan perlindungan ini juga dapat menjadi peluang yang
harus disikapi oleh Pemerintah Daerah untuk mengeluarkan Peraturan Daerah terkait
perlindungan warga daerahnya. Berkaitan dengan hal tersebut badan legislative yaitu DPR RI
pada tahun 2012 menyusun draft peraturan tentang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar
Negeri (PPILN) yang selama dua tahun ini telah dibahas oleh pemerintah. Undang-undang ini
nantinya dimaksudkan sebagai pengganti UU no 39 tahun 2004. Yang menggembirakan dalam
hal ini adalah peran aktif Kementerian Luar Negeri (KEMLU) dalam mengkoordinir
pembahasan RUU tersebut dengan berbagai pihak, yaitu pemerintah, akademisi, swasta, dan
LSM. Dalam RUU ini pasal-pasal yang tidak proporsional yaitu perlindungan dan pengawasan
BMI di luar negeri akan ditambahkan. Kapasitas lembaga pengirim perlu ditingkatkan, disertai
dengan instrument hukum yang proporsional melindungi perempuan buruh migran.
Analisis Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 24 Tahun 2010
Pada tahun 2010 Kabupaten telah menetapkan PERDA nomor 24 tahun 2010 tentang
Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan TKI Kabupaten Tulungagung di luar negeri. Hal ini
menunjukkan tekad dari Pemkab untuk memberikan perlindungan pada warganya yang selama
ini telah menyumbangkan devisa yang cukup besar, dengan bekerja di luar negeri. Beberapa
pasal yang mengatur TKI dapat dianalisis sebagai berikut:
Dalam hal perekrutan calon BMI, pasal 17 s/d 18 dengan jelas mengemukakan bahwa harus ada
informasi yang jelas untuk merekrut calon BMI/TKI, syarat yang harus dipenuhi, dokumen dan
gaji yang akan diperoleh. Penjelasan diberikan oleh DISNAKER dan PPTKIS. Dalam
prakteknya PPTKIS menugaskan PRCTKIS untuk memberikan sosialisasi, penjelasan kepada
keluarga calon BMI.
Pasal 17 (lowongan kerja); pasal 18-21 tentang PPTKIS; Pasal 22-26 mengatur tentang
seleksi calon TKI; pasal 29-30 mengatur tentang pendidikan dan pelatihan, Ujian dan sertifikat
kompetensi; pasal 31-32 mengatur tentang kesehatan dan psikologi; pasal-pasal berikutnya
megatur tentang dokumen dan penempatan kerja, perjanjian penempatan kerja,

Dalam PERDA jelas disebutkan bahwa seleksi untuk calon BMI, mulai dari seleksi fisik
hingga pskis, untuk didapatkan colon BMI yang sehat jasmani-rohani, trampil bekerja, siap
bekerja dan memiliki motivasi yang kuat untk bekerja di luar negeri. Dalam praktek,
dikemukakan oleh DISNAKER Kabupaten Malang dan Tulungagung bahwa : perempuan BMI
yang ingin berangkat ke luar negeri adalah orang-orang yang bermasalah. Masalah itu bisa dari
dirinya sendiri maupun dari keluarganya. Mereka berangkat dengan membawa beban yang
berat. Hal demikian tidak menjadi kriteria seleksi yang semestinya ditindaklanjuti dalam
penyiapan dan pelatihan ketika mau berangkat.
Bagian Keenam PERDA mengatur tentang Pengurusan Dokumen.
Yang menggembirakan adalah masalah surat ijin keluarga, disebutkan bahwa perlu ijin suami
atau isteri bagi yang sudah berkeluarga, dan ijin orang tua atau wali bagi yang belum
berkeluarga. Dokumen dibantu penyiapannya oleh PRCTKI. Calon BMI menyerahkan
sepenuhnya, pengurusan perorangan ataupun kolektif.
Bagian Ketujuh Perjanjian Penempatan Kerja
Beberapa hal terkait penempatan yang sering menjadi permasalahan adalah :
a.
b.
c.
d.

e.
f.
g.

jabatan dan jenis pekerjaan Calon TKI sesuai dengan permintaan pengguna;
biaya penempatan yang harus ditanggung oleh Calon TKI dan cara pembayarannya;
PPTKIS/Cabang PPTKIS wajib melaporkan setiap perjanjian penempatan TKI
kepada Dinas Kabupaten.
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melampirkan
copy atau salinan perjanjian penempatan TKI.
PPTKIS/Cabang PPTKIS dapat menampung Calon TKI sebelum pemberangkatan.
Lamanya penampungan disesuaikan dengan jabatan dan/atau jenis pekerjaan yang
akan dilakukan di negara tujuan.
Selama masa penampungan, PPTKIS/Cabang PPTKIS wajib memperlakukan Calon
TKI secara wajar dan manusiawi.

Perjanjian penempatan dilakukan sebelum BMI bekerja. Selayaknya calon BMI memahami
rencana kerjanya sejelas-jelasnya. Pasal yang menyebutkan Perjanjian penempatan TKI tidak
dapat ditarik kembali dan/atau diubah kecuali atas persetujuan para pihak. Ini tidak
menguntungkan calon BMI oleh karena itu sebelumnya harus dijelaskan kapada setiap calon
BMI.

10

Bab berikutnya mengatur tentang Perjanjian Kerja


Pasal 40-45 berisi tentang perjanjian kerja antara pekerja dan majikan, disaksikan oleh pihak
yang memberangkatkan, antara lain berisi :
a. Perjanjian kerja sekurang-kurangnya memuat : nama dan alamat pengguna;nama dan
alamat TKI;jabatan dan jenis pekerjaan TKI;hak dan kewajiban para pihak;kondisi dan syarat
kerja, antara lain jam kerja, besarnya upah dan tata cara pembayaran, upah lembur, hak cuti
dan waktu istirahat, aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
1. Perjanjian Kerja ditandatangani Calon TKI setelah lulus seleksi, memiliki dokumen TKI,
sehat jasmani dan rohani, mengikuti dan lulus pelatihan.
2. Perjanjian Kerja ditandatangani Calon TKI pada saat mengikuti PAP di hadapan
pejabat Dinas Kabupaten.
3. Majikan berkewajiban Menyediakan tiket pulang pergi bagi TKI yang bekerja pada
pengguna perseorangan dan pengguna berbadan hukum sesuai Perjanjian Kerja.
4. Perjanjian Kerja tidak dapat diubah tanpa persetujuan para pihak.
5. Dalam hal terjadi perubahan Perjanjian Kerja, maka perubahan Perjanjian Kerja wajib
disetujui oleh Pewakilan Republik Indonesia di negara penempatan.
Sebagaimana perjanjian penempatan, perjanjian kerja antara BMI dan Calon Majikan,
disaksikan leh PPTKIS atau agen yang menerima di

Hong Kong adalah sangat penting

dipahami dan dipraktekan oleh calon BMI. Pada kenyataannya masih banyak BMI yang
berangkat tidak memahami hukum yang berlaku di Hong Kong Bahwa hukum yang berlaku
tidak sama dengan hukum di Indonesia.
Isue Moratorium 2017
Dalam hal kebijakan moratorium BMI, banyak pihak terlibat diantaranya Presiden, DPR,
Kemlu, Kemenakertras, BNP2TKI, Disnaker, dan beberapa LSM-LSM seperti Migrant Care, dan
lain-lain. Setiap Target atau sasaran khusus yang menjadi alasan atau latar belakang kebijakan
tersebut adalah pemerintah melakukan upaya menyelesaikan

permasalahan yang banyak

menimpa para BMI yang bekerja di luar negeri. Pemerintah memberlakukan moratorium untuk
melindungi para BMI dari segala hal yang mengancam keamanan dan hak asasi dari para BMI.
Selain itu, banyaknya diplomasi, kerjasama, maupun MoU (perjanjian) yang selama ini ditempuh
oleh pemerintah, adalah bertujuan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan kerja dari para
BMI. Jadi diharapkan dengan adanya kebijakan moratorium BMI kedepannya para calon BMI

10

11

yang ingin bekerja di luar negeri agar lebih selektif dalam memilih instansi pengiriman dan
penempatan BMI, dan lebih bijaksana dalam mengambil keputusan untuk bekerja sebagai BMI,
sehingga kejadian-kejadian buruk yang selama ini menimpa para BMI tidak lagi terjadi di masa
depan, dan mereka berangkat sebagai pekerja profesional.
Langkah-Langkah Strategis Pemerintah Dalam Mencapai Moratorium 2017 tertuang
dalam Roadmap Kebijakan Moratorium 2017 adalah sebagai berikut:
A.

Jangka Pendek
1) Review secara menyeluruh kebijakan dan peraturan perundangundangan serta
mekanisme penempatan dan perlindungan TKI PLRT di luar negeri termasuk evaluasi
terhadap PPBMIS, proses administrasi dan rekrutmen serta pelatihan CTKI
2) Review secara menyeluruh negara tujuan penempatan dan memastikan TKI PLRT hanya
dikirim ke negara yang memiliki sistem hukum yang dapat melindungi TKI PLRT
3) Moratorium pengiriman TKI PLRT ke negaranegara yang tidak dapat menjamin hakhak
TKI, terutama ke negaranegara di Timur Tengah yang memiliki sistem Kafalah dan
melakukan perundingan untuk memperbaiki kerja sama bidang ketenagakerjaan
4) Memperbaiki kondisi ekonomi dan pendidikan di daerah kantung TKI dalam rangka
menekan keinginan untuk bekerja di luar negeri sebagai PLRT[1]

B.

Jangka Menengah
1)

Meningkatkan pengiriman TKI formal ke luar negeri

2)

Mencari pasar tenaga kerja formal di negaranegara baru

3)

Menyelaraskan program pendidikan dengan pasar kerja formal

Budie, Tatang Utama R., Bahan Kemlu : Penguatan Peranan Tugas dan Fungsi Kementerian
Luar Negeri RI dalam Rangka Meningkatkan Penempatan dan Perlindunagn TKI di Luar
Negeri, Dalam Seminar Revisi UU No. 39/2004 Sebagai Upaya Optimalisasi Perlindungan TKI
di Luar Negeri, Pdf, Jakarta, 29 Februari 2012

11

12
4)

Memfokuskan pengiriman TKI PLRT ke negaranegara yang secara pasti dapat menjamin
hakhak BMI dan perlindungan secara nyata

5)

Menghentikan secara permanen pengiriman BMI PLRT ke negaranegara yang idak dapat
menjamin hakhak BMI PLRT[2]

C.

Jangka Panjang
1) Menghentikan secara menyeluruh dan permanen pengiriman BMI PLRT ke luar negeri.
Dalam wawancara dengan Kantor Imigrasi kelas 1 Malang dan Kantor Tenaga Kerja

Singosari Malang beberapa penjelasan yang dapat dianalisis adalah sebagai berikut:
1) Dalam mengatasi masalah tenaga kerja, perlu dikaitkan dengan minimnya lapangan kerja
yang ada di Indonesia. Jika benar kebijakan Moratorium tahun 2017 akan direalisasikan
maka akan semakin banyak tingkat pengangguran di Indonesia setiap tahunnya. Kebijakan
daerah memiliki multi persepsi dalam kebijakan ini. Dalam konteks ini, moratorium
dipandang dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat karena banyak sekali masyarakat
yang menggantungkan nasibnya atau rejekinya untuk menjadi BMI ke luar negeri. akan
banyak sekali masyarakat Indonesia yang menganggur diakibatkan oleh kebijakan
Moratorium ini.
Oleh karena itu perlu adanya campur tangan pemerintah untuk penanganan penurunan
jumlah pengangguran di Indonesia melalui alternatif kebijakan untuk mendorong pendapatannya.
Pemerintah juga harus mengerti keadaan negara tujuan yang akan dikirim BMI asal Indonesia
ataupun negara yang memang sudah memiliki kerjasama bilateral dalam bidang ketenagakerjaan
atau bisa disebut sebagai G to G ini seperti Jepang dan Indonesia yang telah disepakati dalam
MoU.
Pemerintah harus serius memberantas praktik-praktik yang merugikan buruh migran,
seperti kartu tanda kerja luar negeri (KTKLN), paspor, pelatihan, dan penempatan yang berujung
pembengkakan biaya yang harus ditanggung BMI dan masih berjalannya praktik-praktik
pungutan liar berkaitan dengan pelayanan bagi BMI. Kebijakan pemerintah tentang
2

12

13

Moratorium Indonesia 2017 terkait Penghentian Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik
jika akan diterapkan sekitar tiga tahun mendatang, hal ini bukan merupakan waktu yang lama
untuk sebuah kebijakan yang menyangkut hidup orang banyak, karena TKI merupakan sektor
pekerjaan yang memiliki jumlah pekerja yang sangat banyak yaitu sekitar 512.816 orang dan
TKI informal yaitu 236.196 orang dengan rata-rata peningkatan jumlah pertahunnya sekitar 3,5
persen3. Hal tersebut menunjukan bahwa BMI sektor domestik memiliki jumlah pekerja yang
sangat banyak dan dibutuhkan kesiapan khusus untuk menerapkan kebijakan tersebut, antara
lain:
1) Pemerintah harus memperhatikan kesiapan mental para calon BMI dengan cara memberi
pelatihan formal terhadap calon BMI, mempertegas konsekuensi logis yang akan dihadapi
dan bekerjasama dengan para agen untuk membantu mempersiapkan mental para BMI.
Pemerintah Indonesia dapat bekerja sama dengan agen pelatihan untuk para calon BMI atau
bekerjasama dengan Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) untuk memberikan pelatihan
keahlian professional untuk para calon BMI yang akan dikirimkan untuk bekerja di luar
negeri, sehingga Indonesia tidak lagi mengirimkan BMI pada sektor informal melainkan
tenaga professional.
2) Perlu adanya penyediaan lapangan kerja baru di dalam negeri. Dalam membuat sebuah
kebijakan yang mengganti atau menghentikan suatu pekerjaan, pemerintah harus
memikirkan sebuah solusi yang bersifat sebagai pengganti. Dalam hal ini pemerintah harus
mampu menyediakan lapangan kerja baru untuk para BMI yang tidak memiliki kemampuan
spesifik.Pemerintah wajib menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi para BMI informal
dengan upah yang layak walaupun tidak sebesar upah di luar negeri. Pemerintah dapat
bekerjasama dengan lembaga dan perusahaan yang bergerak dalam bidang pelatihan, agar
para BMI yang dulunya bekerja sebagai BMI informal maka akan menjadi BMI yang
memiliki keahlian professional dan dapat kembali ke luar negeri dan bekerja sebagai BMI
Professional.
3) Kerjasama antar instansi baik dalam maupun luar pemerintahan di tingkat pusat dan daerah.
Pemerintah dalam hal ini adalah kementrian ketenagakerjaan juga perlu bekerjasama dengan
instansi-instansi pemerintah yang berkaitan dengan urusan luar negeri seperti Kementrian
3

http://finance.detik.com/read/2014/03/20/162956/2531944/4/jumlah-pekerja-indonesiayang-kerja-ke-luar-negeri-meningkat-35

13

14

Luar Negeri, Imigrasi, Bea dan Cukai, Kepolisian dan lain-lainya. Kerjasama harus dibentuk
dengan instansi-instansi tersebut agar dapat memudahkan jalannya kebijakan Moratorium
Indonesia 2017 terkait Penghentian Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik, karena
instansi-instansi tersebut memiliki tugas dan peran yang lebih spesifik dalam urusan luar
negeri. Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan dengan instansi-instansi tersebut adalah
dengan kerjasama yang bersifat spesifik sesuai dengan wewenang instansi-instansi tersebut
yang tidak dimiliki oleh Kementrian Ketenagakerjaan. Kerjasama yang dapat dilakukan
dengan Imigrasi adalah meminta agar Imigrasi memperketat proses pembuatan Paspor atau
Visa kerja dengan cara screening bagi calon BMI yang mengajukan Paspor dan Visa untuk
bekerja di luar negeri, hal ini merupakan bentuk perlindungan terhadap BMI yang akan
bekerja di luar negeri yang dapat dilakukan oleh Imigrasi. Kementrian Ketenagakerjaan juga
dapat meminta Imigrasi untuk tidak melayani pembuatan paspor yang dilakukan oleh calo
pembuatan paspor, pembuatan paspor yang dilakukan bukan oleh pihak yang bersangkutan,
dan pembuatan paspor yang dilakukan secara masal. Hal ini dapat dilakukan untuk
meminimalisir pemberangkatan BMI illegal yang selama ini banyak memunculkan masalah
bagi pemerintah Indonesia.
Kementrian luar negeri dapat membantu proses negosiasi terkait kepentingan negara dan
kebutuhan yang di bawa oleh para BMI. Kemenlu juga dapat membantu menyelesaikan masalah
yang terjadi pada BMI di luar negeri melaui proses negosiasi dan lobiying dan salah satu hal
penting yang dapat dilakukan oleh Kemenlu adalah melakukan kontrol kepada BMI maupun
Agen BMI yang berada di luar negeri.
4) Memperhatikan pendapat masyarakat dan organisasi masa dalam sebuah rencana penerapan
sebuah kebijakan, karena pendapat-pendapat tersebut merupakan hasil dari pemahaman dan
pengalaman yang dialami oleh para BMI. Organisasi masa merupakan salah satu golongan
yang sering berpendapat dalam menanggapi suatu isu, kondisi, bahkan kebijakan yang akan
diterapkan pemerintah, organisasi masa juga memiliki kepedulian social terhadap kondisi
masyarakat dan organisasi masa juga memiliki pengaruh dalam suatu masyarakat. Oleh
karena itu pendapat dan sikap yang dikeluarkan harus menjadi pertimbangan oleh
pemerintah dalam membuat dan menjalankan suatu kebijakan.

14

15

Dalam implementasi moratorium di tingkat daerah ternyata terdapat perbedaan antar


kabupaten/kota.

Di

Jawa

Timur,

salah

satu

kabupaten/kota

yang

cukup

berhasil

mengejawantahkan kebijakan terkait pelaksanaan moratorium adalah Tulungagung. Pemerintah


Kabupaten Tulungagung melalui Peraturan Daerah Kabupaten Tulungagung Nomor 24 Tahun
2010 tentang Pelayanan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Kabupaten Tulungagung di
Luar Negeri memiliki 77 pasal yang secara terperinci dan mendetail menjabarkan perihal
pengaturan dan perlindungan BMI. Hal ini merupakan sebuah implementasi positif yang
seharusnya dijalankan oleh semua Kabupaten/Kota di Indonesia terutama yang menjadi daerah
basis pengirim buruh migran.
Menghadapi issue moratorium, kembali diperlukan lambaga pemerintah yang kapabel
dalam menangani BMI purna, terutama dalam penyediaan lapangan kerja di Indonesia, melalui
pendampingan wirausaha dan/atau mengakses pekerjaan di dalam negeri secara professional.
Pengalaman dalam hal moratorium tenaga kerja luar negeri adalah :
1. Moratorium TKI di Arab Saudi
2. Moratorium TKI di Suriah
3. Moratorium TKI di Yordania
4. Moratorium TKI di Kuwait
Respon Masyarakat terhadap Kebijakan Moratorium BMI ke Luar Negeri
Kebijakan moratorium atau penghentian pengiriman BMI ke luar negeri yang banyak
diketahui oleh masyarakat di daerah pengirim BMI yaitu kabupaten Malang dan Tulungagung
adalah penghentian ke Arab Saudi dan Malaysia. Masyarakat mengetahui dari pemberitaan di
televisi atau surat khabar. Masyarakat juga memahami alasannya adalah karena permasalahan
yang dihadapi BMI terutama yang terancam hukuman mati di kedua Negara tersebut.
Respon keluarga BMI di daerah Tulungagung dan Malang pada umumnya menyayangkan
pemberhentian karena merasa mendapat manfaat dan pendapatan yang cukup besar dari
pengiriman BMI ke luar negeri, sebagian mengemukakan setuju dengan pemberhentian
pengiriman yang menimbulkan masalah. Contoh kasus Arab Saudi yaitu hukum pancung
menimbulkan respon persetujuan penghentian pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi. Akan
tetapi dalam praktek sulit menghentikan pemberangkatan illegal melalui paspor umroh atau

15

16

undangan langsung dari majikan. Demikian halnya pemberangkatan BMI ke Malaysia yang
berbatasan langsung dengan wilayah Indonesia, pemberangkatan BMI terus saja berlangsung
dengan paspor kunjungan wisata, undangan keluarga, bahkan dengan dokumen bodong melalui
daerah perbatasan. Dikemukakan oleh DISNAKERTRANS dan ASPERTI bahwa jika harus
moratorium maka tepat kalau diberlakukan di daerah-daerah yang tidak memiliki perjanjian
ketenaga kerjaan.

Model dan Strategi Penguatan Kelembagaan Stakeholder Pengiriman BMI ke Luar Negeri
Di tingkat lokal hingga tingkat nasional dan di negara tujuan dapat diidentifikasi pihak-pihak
terkait pengiriman BMI ke luar negeri yaitu:
-

Pemerintah Desa/Kelurahan: adalah pintu keluar pertama bagi BMI, untuk mengurus
administrasi ketika akan bekerja di luar negeri dengan persayaratan yang harus dipenuhi.
Bagi BMI perempuan perlu surat ijin orang tua, atau surat ijin suami. Semua surat-surat

atau berkas yang diperlukan untuk bekerja ke luar negeri harus diketahui oleh desa.
PPTKIS (Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta) : sebagai lembaga
pengirim, memberikan pelatihan, mendampingi hingga airport, mengadakan kontak
dengan agen di luar negeri, memberikan tempat penampungan sebelum berangkat dan
mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan BMI.
PPTKIS ada yang tergolong besar, memiliki BLK dan membuka cabang di kota lain. Tipe
ini ada di kota Malang, dengan pasokan tenaga kerja mayoritas dari kabupaten Malang
dan kabupaten disekitar Malang seperti Blitar dan Tulungagung. Di kabupaten
Tulungagung tidak ada PPTKIS yang besar, yang ada adalah cabang-cabang PPTKIS
Surabaya dan Malang, mereka merekrut calon BMI untuk dilatih di Surabaya atau
Malang. Diketemukan juga pencari calon BMI skala kecil yang pelatihannya dititipkan
pada BLK LN. Lembaga ini mengirim BMI dalam skala kecil atau perorangan

dan

sesampai di Hong Kong langsung ditempatkan oleh agent.


PPTKIS besar mengirim BMI sesuai dengan kebutuhan yang ditawarkan oleh agent di
-

Hong Kong. Semua dokumen disiapkan oleh PPTKIS.


Petugas Recrutmen Calon TKI (PRCTKI), adalah petugas atau mitra dari PPTKIS yang
tugasnya kedesa-desa mencari orang-orang yang mau bekerja ke luar negeri. Merekalah
yang memberikan sosialisasi tentang bekerja di Hong Kong, gaji yang diterima dan daya
tarik lainnya. PRCTKI membantu mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan.

16

17

PRCTKI menyerahkan calon BMI kepada PPTKIS, diproses administrasinya di


DISNAKER, diseleksi dan apabila memenuhi syarat Calon BMI ditampung oleh PPTKIS
-

untuk mendapat pelatihan pra penempatan. PRCTKI mendapat upah kerja per kepala.
Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK LN). Dalam UU 39/2004 jelas disebutkan bahwa
PPTKIS harus memiliki BLK, namun dalam praktek tidak semua PPTKIS memiliki BLK.
Pelaksanaan pelatihan diikutkan pada PPTKIS lain yang memiliki BLK dengan membayar
biaya pelatihan.Ada standard nasional kompetensi yang diberlakukan (SNKI) dan BMI
harus lulus atau memenuhi persyaratan ini. Di BLK diajarkan mata pelajaran, antara lain
kepribadian, bahasa, tata boga, perawatan bayi dan perawatan lansia. Rata-rata calon BMI
mengikuti pelatihan selama tiga bulan, kemudian profil masing-masing divideokan, untuk
ditawarkan ke Hong Kong sebagai BMI siap kerja. Dalam video kaset itu seorang BMI
memperkenalkan diri dalam bahasa Kanton. Selanjutnya agen di Hong Kong menawarkan
calon BMI kepada pengguna dan sesudah ada kecocokan diproseslah dokumen-dokumen

pengiriman dan kontrak kerja.


Lembaga kursus bahasa. Sejak berkembangnya pengiriman TKI ke luar negeri, muai
dirasakan perlunya para calon BMI dibekai dengan bahasa Kanton. Lembaga kursus ini
bermunculan di daerah Tulungagung dan Malang terutama di dekat desa-desa pengirim
TKI. Sebagai missal di desa Junjung, seorang warga, laki-laki yang pernah bekerja selama
bertahun-tahun dan memiliki pengalaman sebagai guru, ketika pulang ke desanya lalu
mendirikan kursus bahasa Kanton gratis kepada para tetangga yang berkeinginan bekerja
di luar negeri. Dia sendiri bertindak sebagai guru, berdasar pengalamannya di luar negeri.
Lama-lama para siswa mengkoordinir untuk memberikan uang lelah secara sukarela.
Paling tidak lembaga memberikan pengenalan bahasa Kanton pada calon BMI yang

pertama kali bekerja di Hong Kong.


LSM/Koperasi Wanita, muncul di tingkat desa yang dimotori oleh para BMI purna. Di
Kabupaten Tulungagung, sebagai contoh kasus dalam studi ini adalah koperasi wanita
Sumber Rejeki di desa Pojok, dengan seluruh pengurus adalah BMI Purna dari Negara
Arab, Malaysia, Brunei, Hong Kong dan Korea. Mereka yang sudah tidak ingin kembali
bekerja di luar negeri kemudian bergabung dengan Koperasi Sumber Rejeki, membuat
emping mlinjo dan kue kering yang dipasarkan oleh koperasi.
Di Sumberpucung kabupaen Malang terdapat Koperasi Pasar Citra Kartini yang didirikan
oleh para perempuan, aktivitasnya antara lain simpan pinjam, toko,warnet, rental mobil

17

18

dan PAUD. Usaha simpan pinjam beranggotakan para BMI masa (yang sedang bekerja di
luar negeri), mereka mengirim remitannya ke nomor rekeningnya yang ada di koperasi
Citra Kartini,untuk disimpan, sebagian boleh diambil keluarganya untuk kebutuhan hidup
sehari-hari atau untuk membeli barang-barang besar seperti motor, TV, dan lain-lain.
Dengan disimpan di koperasi maka BMI mendapat bunga dari uangnya dan penghasilan
tidak langsung habis atau disalah gunakan. Uang ini kelak dapat menjadi modal kerja atau
modal usaha. Bagi koperasi, remitan dari BMI dapat diputar sebagai modal simpan
-

pinjam.
Penukaran Uang Asing dan Pedagang emas skala kecil dpinggir jalan
Lembaga-lembaga tersebut muncul sebagai komponen yang diperlukan BMI. Di
kabupaten Malang dan kabupaten Tulungagung lembaga-lembaga yang marak
diketemukan di sepanjang jalan raya di Kota Tulungagung dan Kepanjen. Di sepanjang
jalan utama terdapat beberapa penukaran uang asing, jual beli emas, yang biasanya
digunakan oleh BMI untuk menukar uang asing yang dibawa secara cash dari tempat
bekerja. Semua uang asing yang dibawa ditukarkan seluruhnya sesuai kurs yang berlaku.
Bagi BMI yang masih ingin kembeli ke Hong Kong, mereka menyisakan uang asing
sedikit untuk uang saku ktika mereka kembali ke Hog Kong.
Di tingkat Provinsi terdapat lembaga UPT P3TKI yang dapat dikatakan sebagai pintu keluar

BMI menuju Hong Kong, mempersiapkan KTKLN dan pembekalan akhir. Kantor Imigrasi yang
mempersiapkan passport, dan Visa.
Di tingkat nasional pihak-pihak yang terlibat dalam pengiriman BMI ke luar negeri dan
kebijakan moratorium yang akan diberlakukan, adalah:
1) Presiden berperan sebagai aktor utama dalam pembuatan kebijakan. Presiden
mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) moratorium yang diajukan oleh DPR
sebagai pengusung rencana kebijakan. Dalam sejarah panjang pengiriman tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri yang dimulai sejak tahun 1970-an, pada pertengahan tahun 2011
tepatnya pada 1 Agustus 2011 pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium BMI
yang saat itu diberlakukan terhadap pengiriman BMI ke Arab Saudi. Menurut Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, langkah ini diambil pemerintah menyusul semakin
banyaknya kekerasan yang menimpa para BMI di luar negeri. Namun sebagian besar
kebijakan moratorium yang disahkan pemerintah hanya berlaku terhadap pengiriman
BMI ke Arab Saudi dan Malaysia. Presiden berperan sebagai aktor utama yang
18

19

mengesahkan kebijakan moratorium dengan mempertimbangkan segala hal termasuk sisi


politis berupa tekanan dari pihak koalisi pemerintah, tekanan dari kelompok kepentingan
dan juga tekanan dari masyarakat.
2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku badan legislativeberperan sebagai pihak yang
mengusulkan RUU tentang moratorium dan merumuskannya untuk kemudian disahkan
oleh Presiden. Dalam penyusunan RUU maupun perumusan undang-undangnya, DPR
juga dipengaruhi banyak pihak, termasuk kelompok kepentingan dan LSM-LSM terkait
isu BMI. Dalam pembuatan kebijakan moratorium maupun segala hal terkait moratorium,
Presiden harus sepakat dengan DPR agar kebijakan moratoriumnya dapat segera tercapai.
3) Kementerian Luar Negeri (KEMLU) berperan sebagai lembaga atau institusi pengawas
segala kegiatan terkait kegiatan pengiriman BMI maupun perlindungan terhadap BMI.
Kemlu juga berperan sebagai lembaga perlindungan BMI dan juga membentuk komite
untuk mengawasi maupun menyelidiki segala kasus yang menimpa para BMI di luar
negeri.
4) Kemenakertrans tingkat pusat maupun daerah memiliki peran yang hampir sama, yaitu
sebagai lembaga pemerintah yang juga mengawasi dan mengusut segala bentuk
permasalahan terkait BMI. Juga memiliki fungsi dan peran mengawasi dan
mengantisipasi segala kemungkinan pengiriman BMI ilegal maupun mengantisipasi
pengiriman BMI saat kebijakan moratorium masih berlaku. Lembaga-lembaga ini
biasanya bekerja dibawah pengawasan Presiden, dan turut serta dalam proses perumusan
kebijakan moratorium BMI ini.
5) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)
yang sebelumnya bernama BKPBMI (Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia), melalui Undang-Undang No 39 tahun 2004 lembaga ini diperbarui menjadi
BNP2TKI yang koordinasinya dibawah Menakertrans namun tanggung jawab tugasnya
kepada Presiden.BNP2TKI merupakan salah satu lembaga yang berada dibawah naungan
pemerintah sebagai lembaga perpanjangan tangan dalam pengurusan BMI di berbagai
manca negara. Lembaga ini dipercaya langsung oleh pemerintah dalam menangani,
mengatasi, mengirimkan para BMI ke luar negeri, bahkan sebagai lembaga resmi yang
melakukan komunikasi politik ke luar negeri yang bekerja sama dengan lembaga terkait

19

20

misalnya lembaga tenaga kerja, Menteri Tenaga Kerja, yang ditunjuk langsung oleh
pemerintah. Segala urusan kegiatan penempatan dan perlindungan tenaga kerja domestik
berada dalam otoritas lembaga ini. BNP2TKI membantu pemerintah dalam
mempertimbangkan keputusan pengambilan kebijakan moratorium BMI berdasarkan
data-data di lapangan yang sudah didapatkan oleh lembaga ini.
6) Migrant Care merupakan lembaga sosial masyarakat (LSM) independen yang bekerja
untuk mengawasi segala proses pengiriman, penempatan, dan perlindungan maupun
berbagai permasalahan terkait BMI di luar negeri. LSM ini seringkali muncul sebagai
pihak pengkritik tindakan pemerintah yang dinilai lambat dalam menangani masalah
BMI. LSM ini juga seringkali memberikan tekanan terhadap pemerintah untuk sesegera
mungkin mengesahkan kebijakan moratorium BMI. LSM ini juga sering turun tangan
langsung dengan mengajak masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan BMI yang
ada. Migrant Care ini merupakan salah satu LSM yang kemudian sangat diperhatikan
oleh pemerintah karena fokusnya dalam penyelesaian permasalahan BMI yang sangat
besar.
Lembaga di Hong Kong
Di Negara tujuan yaitu Hong Kong, BMI yang dikirim langsung diterima oleh:
-

Agent penempatan kerja


Agent menjemput perempuan BMI yang baru dating di bandara Hong Kong, mereka
mendapatkan pengarahan, diberikan buku pedoman kerja di Hong Kong, namun ironisnya
buku ini sebagian besar tidak sampai ke tangan BMI untuk dibaca karena dikumpulkan

kembali oleh agen, bahkan ada yang dibuang ke tempat sampah.


KONJEN RI, BMI yang baru datang mendapat pengarahan dari. , secara umum bagaimana
bekerja di Hong Kong dan menunjukkan bahwa KONJEN adalah perwakilan Negara di
luar negeri , hal-hal yang dapat diakukan konjen dalam pengawasan dan perlindungan
BMI. Secara hukum yang dapat dilakukan Konjen adalah memberikan perlindungan
konsuler dan diplomatic. Hong Kong dengan pola pengiriman P to P memungkinkan
terjadinya kasus-kasus antar perorangan, kasus pidana maupun perdata antara buruh dan
majikan. Begitu BMI meninggalkan Indonesia dan menjejakkan kakinya di Hong Kong
maka peraturan perundangan Indonesia tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah peraturan

20

21

perundangan Hong Kong. Bagi Konjen serta merta harus memperhatikan yurisdiksi Hong
-

Kong SAR.
Diantar agent ke tempat kerja, atau ditampung sementara di tempat agent
Agent yang baik di Hong Kong, sebelum BMI dating telah melakukan wawancara
terhadap calon majikan,melalukan survey ke rumah majikan dan menjelaskan hak dan
kewajiban mempekerjakan

tenaga kerja asing, menyediakan fasilitas sebagaimana

disebutkan dalam kontrak kerja, membayar upahkerja sesuai ketentuan.


Lembaga terkait yang tidak secara langsung berhubungan dengan BMI tetapi diperlukan,
yaitu LSM peduli BMI, Organisasi Pekerja Migran, Shelter.
Lembaga stakeholder sangat penting bagi BMI oleh karena itu dalam mempersiapkan

BMI professional, model pemberdayaan perlu berbasis institusi yang kuat dan professional.
Profesional diartikan sebagai orang yang ahli menjalankan tugasnya di profesi tertentu.
Lembaga professional adalah badan atau organisasi yang bertujuan melakukan suatu usaha dan
ahli dalam bidang usaha tersebut.
Dengan demikian penguatan kelembagaan stakeholders perlu diperdalam dengan mengutamaka
aspek-aspek:
-

Sumberdaya Manusia (SDM)


Penegakan hukum dan peraturan perundangan yang berlaku
Penguasaan dan peahaman hukum dan perundangan bagi BMI
Profesionalitas
Gambar Model 1 dari monev

Model Pemberdayaan Perempuan Pasca Moratorium


Dengan mempehatikan komponen Wirausaha, Jiwa, Lingkungan keluarga dan masyarakat
serta budaya model pemberdayaan BMI purna digambarkan sebagai berikut.
Model 2 dari monev

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil kajian disimpulkan bahwa kebijakan dan peraturan perundangan tentang
pengiriman, penempatan dan pengawasan BMI yang diatur dalam Undang Undang nomor 39
tahun 2008 belum sepenuhnya dilaksanakan secara konsekuen. Undang-undang ini lebih banyak
mengatur tentang penempatan BMI tetapi sedikit sekali yang mengatur perlindungan dan

21

22

pengawasan di Negara tempat bekerja. Di lain pihak, BMI justru sangat membutuhkan
perlindungan di tempat kerja. Tempat kerja di lingkungan rumahtangga yang sering dianggap
sebagai sector private tidak menguntungkan bagi BMI apabila terjadi konflik antara pekerja dan
majikan. Ketika di Hong Kong tentu saja UU 39/2008 tidak berlaku dan yang berlaku adalah
peraturan perundangan Hong Kong serta konvensi ILO yang diratifikasi oleh Hong Kong. Oleh
karena itu sangat penting membekali calon BMI dengan peraturan perundangan di Negara tujuan
dan konvensi ILO yang telah diratifikasi Hong Kong SAR.
Kabupaten Malang belum memiliki PERDA secara khusus tentang BMI sehingga
masih mengacu UU 39 sebagai dasar hukum formal pengiriman BMI perempuan. Kabupaten
Tulungagung telah mengeluarkan PERDA tentang TKI luar negeri tahun 2012. PERDA tersebut
mengacu pada UU 39/2008. Sebagau peraturan yang masih baru ditetapkan tentunya
membutuhkan proses sosialisasi kepada calon BMI. Kebijakan tentang keluarga BMI perempuan
yang ditinggal dan BMI purna dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dan
dilaksanakan oleh Dinas/Kantor Pemberdayaan Perempuan di tingkat daerah. Dalam pengiriman
BMI melibatkan pihak pemerintah, swasta dan lembaga masyarakat, sehingga kapasitas mereka
juga harus ditingkatkan untuk profesionalitas lembaga dan ke depan profesionalitas BMI yang
dikirim ke Hong Kong. Peran pemerintah dan swasta (PPTKIS) hendaknya berimbang. Di Hong
Kong dengan pola pengiriman G to G masih tetap diperlukan peran pemerintah terutama dalam
perlindungan BMI. KEMENAKER sebagai lembaga pemerintah yang melepas BMI dan
KEMLU sebagai pemerintah di Negara tujuan BMI. Konjen Hong Kong dengan 1600 000 orang
BMI dari Indonesia yang mayoritas perempuan, SDM konjen harus ditingkatkan kapasitasnya
secara dan professional dalam penanganan masalah BMI da perlindungannya.
Moratorium sebagai salah satu rencana kebijakan pengendalian terhadap pengiriman
tenaga kerja ke luar negeri sudah pernah diberlakukan untuk Negara tujuan Malaysia dan Arab
Saudi sebagai dampak permasalahan yang dihadapi BMI di Negara tersebut. Isue moratorium
kembali akan diberlakukan pada tahun 2017. Sisi positif kebijakan ini adalah menuju pengiriman
BMI professional, sedangkan sisi negatifnya sudahkah pemerintah dan masyarakat Indonesia
siap memberikan peluang kerja dan peluang berusaha untuk ratusan ribu tenaga kerja perempuan
BMI yang harus kembali pulang ke daerahnya karena pemberhentian pengiriman untuk bekerja
di luar negeri. BMI pasrah menerima kebijakan pemerintah, sedangkan pemerintah sendiri juga
masih was-was terhadap dampak yang ditimbulkan. PPTKIS besar sudah bersiap-siap dengan

22

23

alih sasaran dan program. Mereka mulai mengalihkan usahanya kearah pengiriman tenaga kerja
professional dan formal. Bagi BMI purna perlu penanganan kearah wirausaha mandiri dengan
remitan yang diperolehnya ketika bekerja di Hong Kong sebagai modal awal.
Ucapan terimakasih
disampaikan kepada DP2M DIKTI yang telah mensoponsori penelitian ini melalui skim Hibah
Kompetensi 2014 - 2015
Kepustakaan
Adams, Richard H. and John Page. 2005. Do international migration and remittances reduce
poverty in developing countries? World Development, Vol. 33, No. 10, pp. 16451669.
Anggraeni, Dewi, 2006, Dreamseekers: Indonesian Women as Domestic Workers in Asia,
Equinox Publishing, Jakarta
Arm, 2007. TKI Purna Produktif. Jurnal Suara Metro. Edisi 22 Tahun 1. Hal 5-12. Jakarta.
Bohning, W.R. 1984, Studies in International Labor Migration, Macmillan Press, London
Buchori, Chitrawati, Farida Sondakh, and Tita Naovalitha, 2003, TKWs Vulnerability: Searching
for Solutions, World Bank, Jakarta
Constable, Nicole, 2007, Maid to Order in Hong Kong: Stories of Migrant Workers, Cornell
University Press, Ithaca
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Malang (Disnaker), 2010, Pemberdayaan
Buruh Migran Melalui Remitansi dan Perluasan Kerja untuk Memperkuat Pembangunan
Ekonomi Daerah
------, 2010, Profil Tenaga Kerja Indonesia Kabupaten Malang Tahun 2010
Erwan Baharudin, 2007. Perlindungan Hukum terhadap TKI di Luar Negeri Pra
Pemberangkatan, Penempatan, dan Purna Penempatan. Lex Jurnalica Vol. 4, Agustus 2007
Diasporas How governments and development agencies can support diaspora involvement in
the development of origin countries Oxford, International Migration Institute (IMI)
------, 2010, Migration and Development: A Theoretical Perspective, International Migration
Review
Hofstede,Geert, Gert Jan Hofstede, and Michael Minkov, Cultures and Organizations: Software
of the Mind, Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill .2010
International Organization for Migration, 2000, Myhts Rhetoriv and Realities
Irianto, Sulistyowati, 2011, Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan Indonesia
Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta
Levitt, Peggy, 2001, The Transnational Villagers, University of California
Morrison, Andrew R, Mauric Schiff, & Mirja Sjoblom, 2008, The International Migration of
Women, Palgrave Macmillan, New York
23

24
Rosalinda, Henny, 2012. Social Remittance as impact of International Migigration : The Retrun
Migrant Women in East Java, Inonesia, GSID Nagoya University.
Sukesi, Keppi, 2005. Dampak Migrasi Internasional terhadap keluarga. Laporan Penelitian,
tidak diterbitkan.
Sukesi, Keppi, 2007. Penelitian Aksi untuk TKW melalui Kegiatan Koperasi dan Pencegahan
Kekerasan dalam Rumahtangga (KDRT). Laporan Penelitian, tidak diterbitkan.
Sukesi, Keppi, 2008. Kajian dan Pelatihan Kewirausahaan bagi TKW Purna. Laporan
Penelitian, tidak diterbitkan.
Sukesi, Keppi, Alfrina Hany, Kuswantoro, 2012. Survey of HIV AIDS and Sexually Transmittes
Disease in Indonesia Migrant Workers Arrived at Juanda International Airport Surabaya. Journal
of Basic and Applied scientific Research. Vol 2 No.6
Safaat, Rahmat, dkk. 2002. Menggagas Kebijakan Pro TKI : Model Kebijakan Perlindungan TKI
ke Luar Negeri. Di Kabupaten Blitar. Kerjasama BAPPEDA Kabupaten Blitar dengan Pusat
Penelitian Hukum dan Gender, FH UB.
Wijaya, Hesti. R., Pandriono, Sugiyanto dan Heru Santoso. 1999. Liku-liku Perjalanan TKI-TKI
Tak Berdokumen ke Malaysia. Gama Press. Yogyakarta.
_____ , Wijaya, Hesti R, Keppi Sukesi, 2012. Model Perekayasaan IPTEKS SosialL Bagi
Wanita Pekerja Kontrakan Luar Negeridi Tempat Kerja: Kebijakan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Hongkong. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Melalui DIPA Universitas Brawijaya

Endnotes
Budie, Tatang Utama R., Bahan Kemlu : Penguatan Peranan Tugas dan Fungsi Kementerian Luar
Negeri RI dalam Rangka Meningkatkan Penempatan dan Perlindunagn TKI di Luar Negeri, Dalam
Seminar Revisi UU No. 39/2004 Sebagai Upaya Optimalisasi Perlindungan TKI di Luar Negeri, Pdf,
Jakarta, 29 Februari 2012
http://finance.detik.com/read/2014/03/20/162956/2531944/4/jumlah-pekerja-indonesia-yang-kerja-keluar-negeri-meningkat-35

24

Você também pode gostar