Você está na página 1de 5

Ada Apa dengan Islamisasi Ilmu?

Happy Susanto
Judul ini mirip dengan judul film Ada Apa dengan Cinta? Yang pernah rame di
dunia perfilman nasional. Gagasan Islamisasi ilmu masih menjadi pembicaraan
yang hangat sehingga kita kemudian bertanya lagi mengenai gagasan ini.
Islamisasi (Islamization) secara peristilahan mungkin hampir mirip dengan kata
sakralisasi (sacralization): upaya untuk menjadikan hal-hal yang profan masuk
pada wilayah sakral, dari yang relatif menjadi mutlak dan absolut --begitulah kirakira jika ilmu itu kemudian mau diislamkan. Tapi, apakah memang demikian?
Padahal, ilmu itu masuk pada wilayah profan, seperti halnya politik dan berbagai
hal duniawi lainnya. Apakah agama layak memasukkan hal-hal yang profan ke
dalam dirinya yang sakral? Pertanyaan yang perlu diajukan kemudian: apakah
selama ini ilmu-ilmu (sains) modern atau kontemporer sudah diperlukan untuk
diislamisasikan? Atau jangan-jangan hanya karena suatu bentuk apologetika lalu
kita ingin mengklaim bahwa ilmu itu adalah milik Islam?
Dalam dunia Islam, pemikiran yang menggunakan paradigma positivisme dan
empirisme tidak mendapat tempat secara proporsional karena alur pemikiran
selama ini masih berpusat pada pemikiran teologikal klasik. Pemikiran positivisempiris sering dianggap berkonotasi negatif bagi kaum agamawan
(Abdullah:1995). Kaum cendekiawan muslim yang berfikiran dengan pendekatan
positivis selalu dicurigai sebagai agen orientalis atau bagian dari Barat yang
berupaya melakukan sekularisasi dan atau werternisasi. Bagaimana mungkin
kaum cendekiawan Muslim mampu membangkitkan gairah intelektual jika tanpa
mau beranjak dari pendekatan yang positivis-empiris dan juga rasional?
Walaupun, kita pun berhak untuk mengkritisi dua pendekatan itu. Bukankah
dalam Epistemologi Islam, dengan trilogi sumber pengetahuannya, Bayani-IrfaniBurhani juga memasukkan pendekatan rasional dan empiris ke dalam salah satu
sumber pemikiran Islam?
Apapun yang selama ini selalu kita banggakan sebagai bentuk romantisme
sejarah, gerak laju perubahan dan perkembangan pemikiran dalam Islam belum
bisa mencapai proses renaisans dan aufklarung. Apa penyebabnya? Yang pasti,
kita (umat Islam) belum membudayakan tradisi kritik epistemologis
(epistemological critique) dalam menalar keilmuan secara filosofis-rasional. Kaum
teolog dan fuqaha Islam klasik yang masih mendominasi pemikiran Islam dengan
memenangkan atas pemikiran yang filosofis menyebabkan hilangnya gairah
intelektual kritis dan konstruktif. Hal ini menyebabkan umat Islam tidak mampu
membedakan mana aspek yang dianggap normatif dan mana saja yang dianggap
sebagai pemikiran manusia biasa yang sebenarnya masih bersifat relatif, dan
perlu pengujian historis.
Tradisi Kritik Epistemologis
Tradisi kritik epistemologis adalah model yang pada gilirannya telah membuka
landscape pemikiran baru dalam perkembangan pemikiran yang bercorak empiris
dan historis dalam hubungannya dengan realitas masyarakat. Upaya ini lebih

mendamaikan polarisasi antara sains modern yang didominasi dan dikuasai Barat
dengan wacana keislaman yang masih berada pada titik inferioritas peradaban
global. Kritik epistemologis, dalam asumsi penulis, adalah berangkat dari proses
obyektivikasi Islam yang pernah digagas oleh Pak Kuntowijoyo. Upaya
obyektivikasi Islam merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju
pada ilmu yang kemudian terjadi dialektika antara agama dengan sains modern.
Sebenarnya, langkah dan strategi Islamisasi ilmu lebih mengarah pada
dehegemoni pengetahuan Barat. Dalam wilayah ilmu-ilmu sosial, hal demikian
sangat memungkinkan karena sesungguhnya ilmu-ilmu Barat yang selama ini
sudah mapan adalah upaya Barat sendiri untuk menguasai pengetahuan yang
lain. Dengan klaim universalitas dan obyektivitas Barat ingin meniadakan
ruang-ruang bagi kemungkinan kebenaran ilmu dari yang di luar Barat. Ada
campuran kepentingan antara pengetahuan, ideologi, dan kekuasaan yang
nerupakan bagian dari kolonialisme Barat. Bagi Michael Foucault, konspirasi
pengetahuan-kekuasaan ini harus dibongkar.
Pada dasarnya epistemologi adalah cara untuk mendapatkan yang benar. Nilai
kebenaran akan lebih baik dan lebih tepat apabila dilandasi dengan upaya
pemahaman kritis. Krititisme adalah sebuah pendekatan kritik epistemologis yang
merupakan pemikiran dari Immanuel Kant (1724-1804 M). Krititisme apa yang
dimaksud Kant? Ia menganggap aufklarung adalah sebagai jalan keluar untuk
membebaskan manusia yang masih menggantungkan diri pada otoritas di luar
dirinya. Kant menyatakan bahwa harus ada upaya untuk menentukan batas-batas
kemampuan dan syarat kemampuan rasio agar kita bisa menentukan apa yang
mungkin kita ketahui, kita kerjakan, dan kita gantungi harapan. Inilah krititisme
yang dimaksud Kant (Rabinow:1984,32-52). Pemahaman Islam layak untuk
dikritisi agar maknanya bisa didekati secara rasional menurut kebutuhan masa
kini.
Jenis pengetahuan ada tiga macam jika ditelisik menurut tahapannya, yaitu :
ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Keterkaitan
itu akan saling memberikan makna. Ontologi akan menentukan epistemologi;
epistemologi juga menentukan aksiologi. Epistemologi adalah proses utamanya
(Suriasumantri:1990,105). Epistemologi kemudian terbagi menjadi tiga, yaitu :
empiris, rasional, dan intuitif. Pendekatan empiris menekankan pada pencapaian
ilmu melalui data dan fakta yang ada dalam wilayah empirik. Sedangkan
pendekatan rasional mengambil ilmu melalui akal budi dan rasio manusia bahwa
sesuatu itu bisa dinalar dan dipahami. Nah, yang intuitif itu lebih melihat pada
kemampuan rasa diri manusia atau melalui wahyu dan intuisi di luar dirinya.
Dalam Islam, epistemologi seperti ini dirangkum oleh para cendekiawan muslim,
yang kemudian dikembangkan oleh M. Abed Al-Jabiry, menjadi: Bayani, Irfani,
dan Burhani. Bayani (deskriptif) itu mirip dengan empirik, Irfani itu mirip dengan
intuitif, dan Burhani itu bisa disamakan dengan rasional.
Kaitannya dengan Gagasan Islamisasi Ilmu
Upaya Islamisasi ilmu bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh
dalam peradaban dunia modern, memiliki dilema tersendiri. Apakah kita akan
membungkus sains Barat dengan label Islami atau Islam? Ataukah kita

berupaya keras mentransformasikan normativitas agama, melalui rujukan


utamanya Al-Quran dan Hadits, ke dalam realitas kesejarahannya secara
empirik? Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan
berangkat dari dasar kritik epistemologis.
Mari kita bicara tentang ide Islamisasi ilmu. Dari sebagian banyak cendikiawan
muslim yang pernah memperdebatkan tentang Islamisasi ilmu, dia antaranya
bisa disebut adalah : Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide Islamisasi ilmu tidak lepas
dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan
antara sains dan agama. Sekularisme telah membuat sains sangat jauh dari
kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang
mengusung ide Islamisasi ilmu masih terkesan sporadis, dan belum terpadu
menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H
telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.
Ada tiga tanggapan ilmuwan muslim terhadap sains modern. Yang kemudian
masing-masing pendapat ini akan menentukan bagaimana pandangan mereka
pula terhadap ide Islamisasi ilmu. Ziauddin Sardar mecatat, sebagaimana dikutip
M. Damhuri (Republika, 26/5/2000), ada tiga kelompok yang memandang sains
modern kini. Pertama, kelompok muslim apologetik : kelompok ini menganggap
sains modern bersifat netral dan universal. Mereka berusaha melegitimasi hasilhasil penemuan sains dengan mencari padanan ayat-ayatnya yang sesuai dengan
teori dalam sains tersebut. Karena hanya sebagai bentuk apologia saja maka
pandangan kelompok ini hanya sebagai penyembuh luka bagi umat Islam secara
psikologis, bahwa umat Islam tidak ketinggalan zaman. Kedua, kelompok yang
mengakui sains Barat, tetapi berusaha mempelajari sejarah dan filsafat ilmuan
agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak islami. Dan yang ketiga,
kelompok yang percaya dengan adanya sains Islam dan berusaha membangun
islamisasi di seluruh elemen sains.
Kelompol pertama, kalau tidak salah, diwakili oleh Fazlur Rahman. Pemikir neomodernis ini pernah tidak setuju dengan gagasan Islamisasi ilmu. Baginya, yang
perlu dilakukan adalah menciptakan dan menghasilkan para pemikir yang
memiliki kapasitas berfikir konstruktif dan positif. Kelompok kedua diwakili oleh
Naquib Al-Attas. Pada konferensi dunia tentang pendidikan muslim di Mekkah
1977, Al-Attas menngemukakan gagasan tentang perlunya upaya Islamisasi ilmu.
Menurutnya, desekularisasi ilmu yang dilandasi dengan epistemologi Islam,
adalah strategi untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu. Desekularisasi, berarti
kita perlu membersihkan unsur-unsur yang menyimpang sehingga ilmu
pengetahuan yang ada bisa benar-benar islami. Dan kelompok ketiga diwakili
oleh Ismail Raji Al-Faruqi, dengan gagasan primernya islamization of knowledge.
Menurutnya, pengetahuan-pengetahuan modern telah menyebabkan adanya
pertentangan antara wahyu dan akal dalam diri umat Islam, yang memisahkan
pemikiran dari aksi, serta adanya dualisme kultural dan religius. Bagi Faruqi
(1984:xii), islamisasi ilmu harus beranjak dari tauhid, dan selalu menekankan
adanya kesatuan pengetahuan, yaitu disiplin untuk mencari obyektif yang
rasional dan pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran; kesatuan hidup,
segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan; dan

kesatuan sejarah, segaladisiplin akan menerima yang ummatis atau


kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi pada tujuan-tujuan
ummah di dalam sejarah.
Menurut Al-Faruqi (1984:99-115), jalur-jalur mekanisme islamisasi sains adalah :
(1) penguasaan disiplin ilmu modern; (2) survai disiplin ilmu pengetahuan; (3)
penguasaan khasanah Islam, sebuah ontologis; (4) penguasaan khasanah ilmiah
islami, tahap analisis; (5) penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplindisiplin ilmu pengetahuan; (6) penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern; (7)
penilaian kritis terhadap khasanah Islam; (8) Survai permasalahan yang dihadapi
umat manusia; (10) analisis kritis dan sintesis; (11) penuangan kembali disiplin
ilmu modern ke dalam kerangka Islam, dan (12) penyebaran ilmu-ilmu yang telah
diislamisasikan. Jika dicermati secara mendalam, sebenarnya Al-Faruqi juga
mencoba bersikap moderat terhadap ilmu-ilmu modern. Hanya saja, dia terkesan
apologetik dengan berangkat dari universalisme Islam (tauhid) yang dimaknai
secara literal dan terkesan agak memaksakan lewat internalisasi nilai-nilai Islam.
Al-Faruqi tidak secara pasti mengatakan bahwa titik pijaknya adalah
epistemologi Islam. Ia agak berbeda dengan Sardar dan Naquib Al-Attas, yang
memandang perlunya untuk membangun konsep epistemologi Islam sebagai
pandangan dunia (world view) Islam. Sardar (1989:44-45) memandang bahwa
ciri utama epistemologi Islam adalah: (1) didasarkan atas suatu pedoman mutlak;
(2) epistemologi Islam bersifat aktif dan bukan pasif; (3) memandang objektivitas
sebagai masalah umum; (4) sebagian besar bersifat deduktif; (5) memaduka
pengetahuan dengan nilai-nilai Islam; (6) memandang pengetahuan bersifat
inklusif; (7) menyusun pengalaman subyektif; (8) perpaduan konsep tingkat
kesadaran dengan tingkat pengalaman subyektif; (9) tidak bertentangan dengan
pandangan holistik. Dengan demikian epistemologi sesuai dengan pandangan
yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.
Agenda Islamisasi ilmu yang akan kita (IIIT Indonesia) garap jangan sampai
berangkat dari asumsi-asumsi ideologis bahwa Islam meliputi segalanya
(universalisme semu), sehingga semuanya harus mengikuti apa yang terkandung
dalam ajaran-ajaran Islam. Persoalannya, makna yang terkandung dalam Islam
tidak lantas kita anggap final dan absolut. Sisi historisitas agama harus dieksplor
lebih dalam lagi agar bisa didialogkan dengan realitas kekinian. Tradisi kritik
epistemologis akan membuka ruang kritisisme terhadap pengetahuan yang
sudah mapan, termasuk pula pemahaman mengenai agama. Menarik sekali jika
kita baca bukunya Ali Harb terbitan LKIS Kritik Nalar Al-Quran (2003), yang
menyatakan bahwa pengetahuan yang menghasilkan kebenaran tidak bisa bebas
dari kritik. Kritik atas kritik kebenaran terus berlangsung karena memang tidak
ada kebenaran yang absolut, termasuk kebenaran mengenai pengetahuan dan
agama.
Langkah yang sangat strategis adalah dengan membuat konsep yang utuh
mengenai epistemologi Islamisasi ilmu, dan itu bisa dibuka melalui wacana kritik
epistemologis. Pengetahuan Barat yang selama ini masih mendominasi harus
selayaknya dibongkar agar bisa setara dengan pengetahuan di luarnya. Di

tengah memudarnya pesona modernitas dan hancurnya sendi-sendi moralitas,


gerakan Islamisasi ilmu bisa menjadi salah satu alternatif bagi upaya
penyembuhan bagi kelemahan pengetahuan dunia selama ini. (IIIT Indonesia,
Kamis, 5 Juni 2003).
Happy Susanto, Peneliti bidang Sosiologi di IIIT

Você também pode gostar