Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa sehingga mengalami
kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan
layanan pendidikan khusus.
6. Lamban belajar (slow learner) :
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal
tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan
berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan
yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama
dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan
karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam
tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau
matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena factor
inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca
(disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia),
sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan (berarti)
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi;
Anak yang mengalami gangguan komunikasi adalah anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi
(pengucapan), atau kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi
bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak yang
mengalami gangguan komunikasi ini tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan.
9. Tunalaras/anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Tunalaras adalah anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada
umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan
pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.
f.
Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan sikap tubuh tidak normal
j.
m. Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang
diminati,
n. Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
o. Senang mencoba hal-hal baru,
p. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi,
q. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah,
r.
diskalkulia); (8) Anak yang mengalami gangguan komunikasi; dan (9) Tunalaras/anak yang
mengalami gangguan emosi dan perilaku.
Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan
(secara kasar) apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Maka
biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat (sering berhubungan/bergaul)
dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang terkait dengannya.
Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen, bila diperlukan dapat dilakukan oleh
tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog, orthopedagog, therapis, dan lain-lain.
Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering disebut dengan istilah penjaringan, sedangkan asesmen
disebut dengan istilah penyaringan.
D. Tujuan Identifikasi
Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak
mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional, dan/atau sensoris
neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya
(anak-anak normal), yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran
sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.
Dalam rangka pendidikan inklusi, kegiatan identifikasi anak dengan kebutuhan khusus dilakukan
untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referal), (3)
klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5) pemantauan kemajuan belajar.
1. Penjaringan (screening)
Penjaringan dilakukan terhadap semua anak di kelas dengan Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan
Khusus (AI AKB) terlampir.
Pada tahap ini identifiksi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukkan gejala-gejala
tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami kelainan/penyimpangan tertentu,
sehingga tergolong anak dengan kebutuhan khusus.
Dengan AI ALB guru, orang tua, maupun tenaga professional terkait, dapat melakukan kegiatan ini
secara baik dan hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan lebih lanjut.
2. Pengalihtanganan (referral)
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak yang tidak perlu dirujuk ke ahli lain
(tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan
pembelajaran yang sesuai.
Kedua, ada anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter,
orthopedagog (ahli PLB), dan/atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru.
Proses perujukan anak oleh guru ke tenaga professional lain untuk membantu mengatasi masalah anak
yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika tenaga professional tersebut tidak
tersedia dapat dimintakan bantuan ke tenaga lain yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus (Guru
PLB) atau Konselor.
3. Klasifikasi
Pada tahap klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah
dirujuk ke tenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat
diberi pelayanan pendidikan khusus.Apabila berdasar pemeriksaan tenaga professional ditemukan
masalah yang perlu penanganan lebih lanjut (misalnya pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus,
dan sebagainya) maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan.
Jadi guru tidak mengobati dan/atau memberi therapy, melainkan sekedar meneruskan kepada orang
tua tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam hal pemberian
pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup
kuat bahwa anak yang bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat
dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus.
Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana anak dengan kebutuhan khusus yang memerlukan
penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di
kelas reguler.
4. Perencanaan pembelajaran
Pada tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan program pembelajaran
yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi. Setiap jenis dan gradasi
(tingkat kelainan) anak dengan kebutuhan khusus memerlukan program pembelajaran yang berbeda
satu sama lain. Mengenai program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) akan dibahas secara
khusus dalam buku yang lain tentang pembelajaran dalam pendidikan inklusi.
5. Pemantauan kemajuan belajar
Kemajuan belajar perlu dipantau untuk mengetahui apakah program pembelajaran khusus yang
diberikan berhasil atau tidak. Apabila dalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan
yang signifikan (berarti), maka perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang berkaitan. Misalnya apakah
diagnosis yang kita buat tepat atau tidak, Program Pembelajaran Individual (PPI) yang kita susun
sesuai atau tidak, bimbingan belajar khusus yang kita berikan sesuai atau tidak, dan seterusnya.
Sebaliknya, apabila dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami kemajuan yang cukup
signifikan maka program tersebut perlu diteruskan sambil memperbaiki/menyempurnakan
kekurangan-kekurangan yang ada.
Dengan lima tujuan khusus di atas, identifikasi perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan
jika perlu dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan tenaga professional terkait.
III. PELAKSANAAN IDENTIFIKASI
A. Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus adalah seluruh anak usia prasekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan secara khusus (operasional), sasaran identifikasi anak
dengan kebutuhan khusus adalah:
1. Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
2. Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
3. Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya tergolong anak
dengan kebutuhan khusus sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu,
semula SD terdekat belum/tidak mau menerimanya;
4. Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor akademik.
B. Petugas Identifikasi
Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan,
dapat dilakukan oleh:
1. Guru kelas;
2. Orang tua anak; dan/atau
3. Tenaga professional terkait.
C. TINDAK LANJUT KEGIATAN IDENTIFIKASI
Sebagai tindak lanjut dari kegiatan identifikasi anak berkelainan untuk dapat memberikan pelayanan
pendidikan yang sesuai, maka dilakukan tindak lanjut sebagai berikut:
1. Perencaanaan pembelajaran dan pengorganisasian siswa
Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan bidang-bidang atau aspek problema belajar yang akan ditangani: Apakah seluruh
mata pelajaran, sebagian mata pelajaran, atau hanya bagian tertentu dari suatu mata pelajaran.
b. Menetapkan pendekatan pembelajaran yang akan dipilih termasuk rencana pengorganisasian
siswa, apakah bentuknya berupa pelajaran remedial, penambahan latihan-latihan di dalam
kelas atau luar kelas, pendekatan kooperatif, atau kompetitif, dan lain- lain.
c. Menyusun program pembelajaran individual.
2. Pelaksanaan pembelajaran
Pada tahap ini guru melaksanakan program pembelajaran serta pengorganisasian siswa berkelainan
dalam kelas reguler sesuai dengan rancangan yang telah disusun dan ditetapkan pada tahap
sebelumnya. Sudah tentu pelaksanaan pembelajaran harus senantiasa disesuaikan dengan
perkembangan dan kemampuan anak, tidak dapat dipaksakan sesuai dengan target yang akan dicapai
oleh guru. Program tersebut bersifat fleksibel.
3. Pemantauan kemajuan belajar dan evaluasi
Untuk mengetahui keberhasilan guru dalam membantu mengatasi kesulitan belajar anak, perlu
dilakukan pemantauan secara terus menerus terhadap kemajuan dan/atau bahkan kemunduran belajar
anak. Jika anak mengalami kemajuan dalam belajar, pendekatan yang dipilih guru perlu terus
dimantapkan, tetapi jika tidak terdapat kemajuan, perlu diadakan peninjauan kembali, baik mengenai
isi dan pendekatan program, maupun motivasi anak yang bersangkutan untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian diharapkan pada akhirnya semua problema belajar
anak, secara bertahap dapat diperbaiki sehingga anak terhindar dari kemungkinan tidak naik kelas
atau bahkan putus sekolah.
4. Anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa (gifted and talented)
a.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Cerdas istimewa (gifted IQ 140-179 and genius IQ 180 ke atas) anak dengan IQ di atas ratarata.
Gifted, yang termasuk dalam golongan ini yaitu mereka yang tidak jenius, tetapi menonjol dan
terkenal. Anak cerdas istimewa memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Membaca pada usia lebih muda, lebih cepat, dan memiliki perbendaharaan kata yang luas.
Memiliki rasa ingin tahu yang kuat, minat yang cukup tinggi.
Berinisiatif, kreatif, dan original dalam menunjukkan gagasan.
Mampu memberikan jawaban-jawaban atau alasan yang logisi, sistematis dan kritis.
Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu yang panjang, terutama terhadap tugas atau bidang
yang diminati.
Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi.
Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah.
Genius, pada kelompok ini bakat dan keistimewaannya telah tampak sejak kecil. Misalnya,
umur 2 tahun mulai belajar membaca dan pada umur empat tahun belajar bahasa asing.
Kelompok ini mempunyai kecerdasan yang sangat luar biasa. Walaupun tidak sekolah, mereka
mampu menemukan dan memecahkan masalah. Jumlahnya sangat sedikit, namun terdapat semua
ras dan bangsa, semua jenis kelamin, serta dalam semua tingkatan ekonomi. Contoh orang yang
jenius, antara lain: John Stuart Mill (IQ 200), Francis Galton (IQ 200), dan Goethe (IQ 185).
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
b.