Você está na página 1de 8

Umar dan Imam Syafii Berbicara tentang Bidah

Hasanah

Kata-kata yang sudah sangat masyhur dan telah dianggap berasal dari Umar bin Khottob dan
Imam Asy Syafii. Sebagaian orang lantas menyangka selama bidah itu baik, maka tidaklah
masalah diamalkan. Karena bidah menurutnya ada yang baik (bidah hasanah) dan ada
bidah yan jelek (bidah sayyiah). Lantas segala amalan pun yang tanpa tuntunan cuma
sekedar dibangun atas landasan niat baik menjadi legal.
Khalifah Umar dan Imam Syafii Berbicara Mengenai Bidah Hasanah
Umar bin Al Khottob radhiyallahu anhu ketika menghidupkan shalat tarawih secara
berjamaah, beliau berkata,


Sebaik-baik bidah adalah ini.[1]
Imam Syafii rahimahullah berkata,

:
Bidah itu ada dua macam yaitu bidah mahmudah (yang terpuji) dan bidah madzmumah
(yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan
terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela[2]
Memahami Perkataan Umar bin Khottob tentang Shalat Tarawih
Mengenai kisah keluarnya ucapan Umar sebaik-baik bidah adalah ini dapat kita saksikan
pada hadits berikut ini.



: .



,

: . ,
,
, : ,


Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin Khatthab di bulan
Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di sana, ternyata orang-orang sedang
shalat secara terpencar; ada orang yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam
bagi sejumlah orang. Maka Umar berkata: Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu
imam akan lebih baik maka ia pun mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dengan
diimami oleh Ubay bin Kaab. Kemudian aku keluar lagi bersamanya di malam yang lain,

dan ketika itu orang-orang sedang shalat bersama imam mereka, maka Umar berkata,
Sebaik-baik bidah adalah ini, akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada
saat dimana mereka shalat, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena saat itu
mereka shalatnya di awal malam.[3]
Perkataan Umar di atas disikapi oleh Ibnu Rajab dengan pernyataan berikut,
Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap adanya bidah yang baik, maka yang
dimaksudkan adalah bidah lughowi (bidah secara bahasa) dan bukan menurut istilah syari.
Contoh perkataan yang dimaksud adalah perkataan Umar bin Khottob ketika beliau
mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) bersama
dengan satu imam di masjid. Lantas Umar keluar dan melihat mereka shalat (dengan satu
imam), lalu ia pun berkata, Sebaik-baik bidah adalah ini. Diriwayatkan bahwa Kaab bin
Malik berkata pada Umar, Ini sebelumnya tidak ada. Aku tahu. Akan tetapi perbuatan ini
baik (hasan), jawab Umar. Yang dimaksudkan oleh Umar bahwa shalat tarawih
sebelumnya tidak dilakukan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, ada landasan dalam syariat
mengenai hal ini di mana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendorong dan memotivasi
untuk melaksanakan qiyam Ramadhan. Dahulu di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
orang-orang melaksanakan shalat tarawih secara jamaah namun terpisah-pisah atau
berkelompok-kelompok. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat bersama para
sahabat di bulan Ramadhan lebih dari semalam. Kemudian beliau enggan melaksanakannya
lagi karena khawatir shalat tarawih itu wajib. Beliau pun tidak merutinkannya setelah itu.
Namun setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam kekhawatiran tersebut sudah tidak ada.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendirikan shalat
tarawih bersama para sahabatnya di malam ganjil di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan.[4]
Ibnu Rajab setelah itu mengatakan bahwa shalat tarawih yang dihidupkan kembali oleh
Umar tetap sah dan bukan bidah karena itu adalah bagian dari sunnah[5] (ajaran) khulafaur
rosyidin al mahdiyyin[6] yang kita juga diperintahkan untuk mengikutinya. Ibnu Rajab
rahimahullah berkata, Alasan lain bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
mengikuti sunnah (ajaran) khulafaur rosyidin. Bahkan shalat tarawih telah menjadi sunnah
(ajaran) khulafaur rosyidin. Manausia di masa Umar, Utsman dan Ali juga
menghidupkannya secara berjamaah.[7]
Dalil bahwasanya kita diperintahkan mengikuti ajaran khulafaur rosyidin,



Berpegang teguhlah dengan ajaranku dan ajaran kholifah yang diberi petunjuk dalam ilmu
dan amal, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah (kuat-kuat) dengan gigi geraham
kalian.[8]
Ibnu Taimiyah berkata, Perlu dipahami bahwa istilah bidah hasanah yang disebutkan Umar
hanyalah penyebutan bidah secara bahasa dan bukan istilah syariat. Karena bidah secara
bahasa berarti setiap perbuatan yang diawali tanpa ada contoh sebelumnya.[9]
Perkataan bidah dengan artian bahasa -yaitu sesuatu yang baru- dikatakan pula oleh anak
Umar bin Khottob, Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma. Yang namanya adzan
pertama pada shalat Jumat baru dilakukan di masa Utsman karena kebutuhan manusia akan
hal itu. Dan amalan ini diteruskan pula oleh Ali bin Abi Tholib. Namun Ibnu Umar lantas

berkata, Huwa bidah (ini adalah bidah). Ibnu Rajab menerangkan maksud Ibnu Umar,
Sepertinya Ibnu Umar ingin berkata seperti maksud ayahnya dalam masalah qiyam
Ramadhan (shalat tarawih).[10]
Bagaimana bisa hadits dipertentangkan dengan perkataan sahabat?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa setiap bidah adalah sesat
sebagaimana sabdanya,


Setiap bidah adalah sesat?[11] Asy Syathibi mengatakan, Para ulama memaknai hadits
di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh
karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bidah hasanah.[12]
Artinya setiap bidah itu tercela, tidak ada yang hasanah.
Lalu bagaimana kita menyikapi perkataan Umar?
Taruhlah kita setuju dengan perkataan Umar bahwa ada bidah hasanah karena beliau telah
berkata, Sebaik-baik bidah adalah ini. Maka cukup disanggah seperti kata Ibnu Taimiyah,
Perkataan sahabat bukanlah argumen. Bagaimana perkataan sahabat bisa sebagai alasan di
saat bertentangan dengan sabda Rasululah shallallahu alaihi wa sallam?[13]
Jika dengan perkataan sahabat saja tidak bisa dipertentangkan dengan sabda Rasul
shallallahu alaihi wa sallam-, lantas bagaimana lagi dengan perkataan ulama yang berada
di bawah sahabat?
Memahami Perkataan Imam Syafii
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatawanya menjelaskan maksud perkataan Imam Asy
Syafii di atas seraya berkata, Apa saja yang menyelisihi dalil, maka itu adalah bidah
berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin. Dan apa yang tidak diketahui
menyelisihi dalil, maka tidak disebut bidah. Imam Syafii rahimahullah menuturkan,
Bidah itu ada dua macam, yaitu bidah yang menyelisihi Al Quran, As Sunnah, ijma dan
atsar dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bidah seperti ini
termasuk bidah dholalah (sesat). Sedangkan jika tidak menyelisihi dalil-dalil tadi, maka ia
termasuk bidah hasanah. Karena Umar berkata, Sebaik-baik bidah adalah ini.
Perkataan semacam ini dan semisalnya dikeluarkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang
shahih.[14]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafii
mengenai bidah hasanah (mahmudah) dan bidah madzmumah, Yang dimaksudkan oleh
Imam Syafii rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bidah
madzmumah (yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syariat yang
mendukungnya. Inilah bidah yang dimutlakkan dalam syariat. Sedangkan bidah yang
terpuji (bidah hasanah, pen) adalah bidah yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran Rasul),
yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam sebagai pendukung. Namun
yang dimaksudkan dengan bidah hasanah di sini adalah bidah secara bahasa dan bukan
bidah menurut istilah syari karena bidah kedua ini bersesuaian dengan ajaran Rasul
shallallahu alaihi wa sallam-.[15]

Ibnu Rajab rahimahullah juga menambahkan, Telah diriwayatkan dari Imam Asy Syafii
perkataan beliau yang menafsirkan perkataan beliau di atas. Imam Syafii berkata,

:

Perkara yang muhdats (yang baru) itu ada dua macam, yaitu pertaka yang dibuat-buat dan
menyelisihi Al Quran, As Sunnah, atsar (sahabat) dan ijma, maka ini termasuk bidah
dholalah (yang sesat). Sedangkan perkara yang masih dalam kebaikan yang tidak menyelisihi
dalil-dalil tadi, maka itu bukanlah perkara baru (bidah) yang tercela.[16]
Intinya di sini, sahabat mulia seperti Umar bin Khottob dan Imam Syafii bukanlah orang
yang begitu mudahnya melegalkan bidah. Dengan perkataan mereka berdua, orang-orang
beralasan adanya bidah yang hasanah sehingga acara bidah maulid, selamatan kematian,
yasinan, dan tahlilan sah-sah saja untuk dilegalkan. Karena perbuatan-perbuatan tadi jelas
baik menurut mereka. Sebagai penutup, kami ulas sanggahan terakhir berikut ini bagi siapa
saja yang beralasan dengan dua orang terkemuka di atas.
Pertama: Secara jelas Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa
setiap bidah adalah sesat tanpa ada pengecualian. Maka tidak bisa sabda Nabi shallallahu
alaihi wa sallam ini dipertentangkan dengan perkataan sahabat atau perkataan imam
madzhab. Sebagaimana kata Ibnu Abbas dan Mujahid, lalu perkataan ini masyhur diucapkan
oleh Imam Malik, juga diucapkan oleh Imam Ahmad,


Pendapat seseorang bisa diambil atau ditinggalkan selain Nabi shallallahu alaihi wa
sallam
Kedua: Jika seseorang merenungkan kembali perkataan Imam Syafii, Bidah itu ada dua
macam yaitu bidah mahmudah (yang terpuji) dan bidah madzmumah (yang tercela). Jika
suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika
menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela. Maksud beliau di sini adalah jika suatu
amalan tidak menyelisihi Al Quran dan As Sunnah, maka itulah bidah hasanah (mahmudah)
karena dalam perkataan beliau dikaitkan dengan demikian. Jika tidak demikian maksudnya,
apalah gunanya beliau membuatkan kaitan setelah perkataannya. Setiap bidah yang
menyelisihi syariat bertentangan dengan ayat yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna,


Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu (QS. Al Maidah: 3). Begitu
pula bidah yang tercela bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,


Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya,
maka perkara tersebut tertolak (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718).

Ibnu Taimiyah berkata, Setiap bidah bukan wajib dan bukan sunnah, maka ia termasuk
bidah sayyiah dan termasuk bidah dholalah (yang menyesatkan) menurut sepakat para
ulama. Siapa yang menyatakan bahwa sebagian bidah dengan bidah hasanah, maka itu jika
telah ada dalil syari yang mendukungnya yang menyatakan bahwa amalan tersebut sunnah
(dianjurkan). Jika bukan wajib dan bukan pula sunnah (anjuran), maka tidak ada seorang
ulama pun mengatakan amalan tersebut sebagai hasanah (kebaikan) yang mendekatkan diri
kepada Allah.[17]
Ketiga: Sudah sangat maruf bahwa Imam Syafii adalah orang yang paling semangat dalam
ittiba atau mengikuti petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Dan beliau juga adalah
orang yang sangat keras pada orang yang membantah sabda Nabi shallallahu alaihi wa
sallam. Lihat saja perkataan beliau pada orang yang menentang ajaran Rasul shallallahu
alaihi wa sallam-.
Ar Rabie (murid Imam Syafii) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Syafii
tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu bertanya, Lalu bagaimana
pendapatmu?, maka gemetar dan beranglah Imam Syafii. Beliau berkata kepadanya,



Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai
kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat
lain!?[18]
Jika Imam Syafii bersikap keras dalam hal semacam ini, bagaimana mungkin kita pahami
bahwa perkataan beliau berseberangan dengan sabda Rasul shallallahu alaihi wa sallam-,
Kullu bidatin dholalah (setiap bidah adalah sesat). Seharusnya kita memposisikan dengan
benar perkataan Imam SyafiI, yaitu kita pahami dengan pemahaman yang tidak bertentangan
dengan sabda Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Jadinya kita pahami bahwa maksud Imam
Syafii adalah bidah secara bahasa. Hal yang membuat kita seharusnya semakin husnuzhon
kepada Imam Syafii karena beliau pernah mengeluarkan perkataan-perkataan seperti berikut
ini,


- -


Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah
pendapatku dan dalam riwayat lain Imam Syafii mengatakan maka ikutilah sunnah tadi
dan jangan pedulikan ucapan orang.[19]


Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, maka itulah
pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.[20]

Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu
alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid
kepadaku.[21]





Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits
tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari
pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku.[22]





Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka
campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.[23]


Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan
sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.[24]
Setelah kita mengetahui pernyataan Imam Syafii bahwa perkataan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik
sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bidah tadi sebagai
bidah secara bahasa, yaitu setiap hal baru yang tidak ada kaitannya dengan agama.
Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafii; Bidah mahmudah dan madzmumah dan
sabda Rasulullah; setiap bidah sesat tidak akan bertabrakan.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 14 Jumadats Tsaniyah 1433 H
www.rumaysho.com

[1] HR. Bukhari no. 2010.


[2] Dikeluarkan oleh Abu Nuaim dalam Al Hilyah, 9: 113.
[3] HR. Malik dalam Al Muwaththa bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan.
[4] Jaamiul Ulum wal Hikam, 2: 128.

[5] Sunnah adalah jalan yang ditempuh. Sunnah di sini bukan hanya dari Nabi shallallahu
alaihi wa sallam saja, termasuk pula ajaran para kholifah rosyidin berupa itiqod, keyakinan,
amalan dan perkataan. Inilah pengertian sunnah yang sempurna dan yang dipegang oleh para
ulama salaf, mereka tidaklah memaksudkan kecuali demikian. Inilah yang diriwayatkan dari
Al Hasan Al Bashri, Al Auzai dan Al Fudhail bin Iyadh.
Namun kebanyakan ulama belakangan memahami sunnah dengan maksud itiqod
(keyakinan) karena itiqod itulah yang disebut ushulud diin (pokok ajaran Islam). Sehingga
yang menyelisihi sunnah ini, ia berarti telah berada dalam bahaya yang besar (Jaamiul
Ulum wal Hikam, 2: 120).
[6] Rusydu adalah mengenal kebenaran dan mengikutinya (mengamalkannya). Ghowi adalah
mengenal kebenaran tetapi tidak mengikutinya. Sedangkan dholal adalah tidaklah mengenal
dan mengamalkan kebenaran. Setiap orang yang rosyid, maka dia disebut muhtad (mendapat
petunjuk). Setiap yang mendapati petunjuk secara sempurna dialah rosyid. Yang namanya
hidayah adalah dengan mengenal dan mengamalkan kebenaran sekaligus (Jaamiul Ulum
wal Hikam, 2: 126).
[7] Jaamiul Ulum wal Hikam, 2: 129.
[8] HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42. Abu Isa At Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Begitu pula hal yang sama dinyatakan oleh Syaikh Al
Albani.
[9] Iqtidho Shirothil Mustaqim, 1: 95.
[10] Jaamiul Ulum wal Hikam, 2: 129.
[11] HR. Muslim no. 867, Abu Daud no. 4607, An Nasai no. 1578.
[12] Disebutkan oleh Asy Syatibi dalam fatawanya hal. 180-181. Dinukil dari Ilmu Ushul
Bida, hal. 91.
[13] Iqtidho Shirothil Mustaqim, 1: 95.
[14] Majmu Al Fatawa, 20: 163.
[15] Jaamiul Ulum wal Hikam, 2: 131.
[16] Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy SyafiI (1: 468-469). Riwayat ini
shahih sebagaimana kata Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Jaamiul
Ulum wal Hikam, 2: 131.
[17] Majmu Al Fatawa, 1: 162.
[18] Hilyatul Auliya, 9: 107.
[19] Al Majmu syarh Al Muhadzdzab, 1: 63.
[20] Tarikh Dimasyq, 51: 389.

[21] Tarikh Dimasyq, Ibnu Asakir, 2: 9: 15.


[22] Hilyatul Auliya, 9: 107.
[23] Siyar Alaamin Nubala, 3: 3284-3285.
[24] Ilamul Muwaqiin, 2: 282.

Você também pode gostar