Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
1.2.2
Apa yang terjadi pada anak jika kekerasan yang dilakukan sangat
menyiksa ?
1.2.4
Terhadap Anak ?
1.2.5
1.3.2
1.3.3
1.3.4
Bagi penulis
Untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian kekerasan terhadap anak
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak adalah hal
yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari
mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan,
peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang
anaknya. Keluarga adalah tempat pertama kali anak belajar mengenal
aturan yang berlaku di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sudah barang
tentu dalam proses belajar ini, anak cenderung melakukan kesalahan.
Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak akan lebih mengetahui
tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat, patut atau tidak
patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang salah ini
dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu
dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu
melanggar sehingga perlu dikontrol dan dihukum.
Wikipedia Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan
merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan,
pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan
penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi
kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak. Kekerasan
terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi nya
untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez,
2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa
mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka
fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan
anak Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk
tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk
hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk
eksploitasi seksual, serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse
adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka
yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang
memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya,
misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
2.2 Sebab terjadinya kekerasan pada anak
Banyak orang sukar memahami mengapa seseorang melukai anaknya.
Masyarakat sering beranggapan bahwa orang yang menganiaya anaknya
mengalami kelainan jiwa. Tetapi banyak pelaku penganiayaan sebenarnya
menyayangi anak-anaknya namun cenderung bersikap kurang sabar dan
kurang dewasa secara pribadi. Karakter seperti ini membuatnya sulit
memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan meningkatkan kemungkinan tindak
kekerasan secara fisik atau emosional. Namun, tidak ada penjelasan yang
menyeluruh tentang penganiayaan pada anak. Hal itu terjadi sebagai akibat
kombinasi faktor dari kepribadian, sosial dan budaya. Menurut Richard J.
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui
bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap
perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu
kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih
tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik
anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak
kekerasan.
tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad,
Aminah . 2006 : 1).
berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik
ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil
nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau
akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan
terhadap anak seperti contoh kasus di atas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik
maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak.
Macam-macam kekerasan terhadap anak:
1 . Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).
2. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse).
3.PelecehanSeksual(SexualAbuse).
4. Pengabaian (Child Neglect).
Adapun faktor penyebab terjadinya kekerasan:
1. Lingkaran kekerasan
2. Stres dan kurangnya dukungan
3. Pecandu alkohol atau narkoba
4.. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga
5. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi dan sosial saat
masa-masa krisis.
6. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan sekitar mereka.
Dan dampak dari kekerasan tersebut ialah:
1) Kerusakan fisik atau luka fisik;
2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri, pendendam dan
agresif
3) Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri dari lingkungan,
penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan bunuh
diri;
4) Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan trauma
mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri.
3.2 Saran
Dokter sebagai klinisi yang bertugas di lapangan harus mempunyai
kemampuan dalam mengenali segala kemungkinan bentuk penyiksaan dan
penelantaran anak, terutama sekali dari kunjungan pasien ke tempat
prakteknya. Manifestasi klinis yang didapatkan pada korban penyiksaan dan
penelantaran anak jelas berbeda dengan manifestasi klinis pada kasus
kecelakaan biasa. Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli dalam
mengenalinya.
Dokter mempunyai kewajiban untuk mendata bentuk penyiksaan itu
dan kemudian bekerjasama dengan pihak lain seperti pekerja sosial dan
penegak hukum dalam penindaklanjutan kasus penyiksaan dan penelantaran
anak.
Orangtua juga mempunyai kewajiban mendidik anaknya dengan baik
tidak berupah dengan kekerasan fisik atau mental.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah. (2006). Kekerasan Terhadap Anak Jakarta :Penerbit
Nuansa,Emmy
Soekresno S. Pd.(2007). Mengenali Dan Mencegah Terjadinya TindakKekerasan
Terhadap Anak.
keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau
situasi tertentu. Tindak kekerasan terhadap anak merupakan permasalahan yang cukup kompleks,
karena mempunyai dampak negatif yang serius, baik bagi korban maupun lingkungan sosialnya.
Pembahasan
Kekerasan pada anak melanggaran HAM berat yang dapat mengakibatkan :
1. Mengabaikan hak asasi orang.
2. Mengakibatkan penderitaan fisik, mental dan sosial.
3. Mengganggu tumbuh kembang anak.
4. Menghambat masa depan.
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi, salah satu di
antaranya teori yang berhubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam
keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua, atau situasi tertentu.
Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat
berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis
atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.
Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan jiwa (psikosis atau
neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua
terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan
sikap disiplin.
Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau
pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Dengan adanya stres dalam
keluarga dan faktor social budaya yang kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan
kesempatan, sikap permisif terhadap hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka
para pelaku makin merasa sahlah untuk mendera anak. Dengan sedikit factor pemicu, biasanya
berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku, terjadilah penganiayaan
pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya.
Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, gegar otak, atau
perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat kelamin, mulai dari luka lecet,
luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar, patah tulang. Perlukaan organ dalam (visceral
injury) tidak dapat dideteksi dari luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan
melakukan otopsi. Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk yang khas
menyerupai benda yang digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu lidi, setrika,
atau sundutan rokok. Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang maka perlukaan yang
ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang berbeda-beda, ada yang masih baru ada
pula yang hamper menyembuh atau sudah meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi
perlukaan dijumpai pada tempat yang tidak umum sepertihalnya luka-luka akibat jatuh atau
kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas
sebelah dalam, punggung, telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya.
Pada saat ditanyakan tentang bagaimana kejadiannya sampai perlukaan tersebut bisa terjadi,
biasanya orang tua atau wali yang mengantar anak itu akan memberikan jawaban yang tidak
konsisten dan tidak klop antara kedua orang tua dengan kata lain jawabannya ngarang. Untuk
anak yang berusia diatas 3 tahun kita dapat menanyakan kejadiannya pada korban, tapi ini
dilakukan di ruang terpisah dari tersangka pelaku (private setting). Juga,anak yang menjadi
korban ini di bawa untuk mendapatkan perawatan tidak dengan segera atau ada jarak waktu
antara kejadian dengan upaya melakukan pertolongan .
Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatanitu, pelaku tidak sadar bahkan mungkin
tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan pidana penjata atau denda yang tidak
sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang
tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertigany ( pasal 80 Undang-Undang Republik
Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, sebagai berikut: (1). Setiap orang yang
melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp.
72.000.000.00. (2). Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, makapelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
100.000.000.00. (3). Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara
paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP.200.000.000.004. Pidana dapat ditambah
sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila yang
melakukan penganiayaan
tersebut orang tuanya).[2]
Bentuk bentuk tindak kekerasan terhadap anak :
1. Fisik (dianiaya di luar batas : dipukul, dijambak, ditendang, diinjak, dicubit, dicekik, dicakar,
dijewer, disetrika, disiram air panas, dsb).
2. Psikis (dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki,
dibentak, dimarahi, dihardik, diancam, dsb).
3. Seksual (diperkosa, disodomi, diraba-raba alat kelaminnya, diremas-remas payudaranya,
dicolek pantatnya, diraba- raba pahanya, dipaksa melakukan oral sex, dijual pada mucikari,
dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang dan pelecehan seksual
lainnya).
4. Ekonomi (dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu
rumah tangga, dipaksa mengemis, dsb).
Dampak dari tindak kekerasa terhadap anak yang paling dirasakan yaitu pengalaman traumatis
yang susah dihilangkan pada diri anak, yang berlanjut pada permasalahan- permasalahan lain,
baik fisik, psikologis maupun sosial. Dampak tindakan kekerasan terhadap anak stikma yang
melekat pada korban :
Stigma Internal
Kecenderungan korban menyalahkan diri.
Menutup diri.
Menghukum diri.
Menganggap dirinya aib, dsb.
Stigma Eksternal
Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.
Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami secara terbuka dan tidak
mengiraukan privasi korban
Dampak tindak kekerasan terhadap anak (Faktor faktor kausalitas yang signifikan) :
1. Masalah kemiskinan.
2. Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas.
3. Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial.
4. Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum.
5. Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu.
6. Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus.
Faktor penyebab dan upaya reduksi :
Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang demikian berat dalam diri
para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya langkah penanganan yang holistik dan
komprehensif melalui pendekatan interdisipliner,interinstitusional
dan intersektoral dengan dukungan optimal dari berbagai sumber dan potensi dalam masyarakat.
Komitmen pemerintah :
Secara operasional pemerintah menindaklanjuti kebijakan dalam kesepakatan bersama antara :
Menteri Sosial RI No.: 75/HUK/2002, Menteri Kesehatan No. :1329/Menkes/SKB/X/2002,
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI No.: 14/Men PP/Dep.V/X/2002, dan
Kepala Kepolisian Negara RI No.: B/3048/X2002 Tentang Pelayanan Terpadu korban kekerasan
terhadap perempuan dan anak.
Upaya pencegahan
Mengingat sedemikian kompleks kekerasan pada anak ini maka usaha pencegahan kekerasan
pada anak tidak hanya tergantung pada program dan layanan yang telah disediakan oleh
pemerintah melainkan juga sangat tergantung pada bagaimana masyarakat memaknai issu
kekerasan ini.
Beberapa indikator bahwa pemerintah atau Negara menempatkan anak sebagai prioritas utama di
antaranya adalah sebagai berikut:
Kemarahan warga termotivasi dan mereka akan bertindak saat mendengar ada anak yang
mengalami kekerasan.
Perumahan yang memadai tersedia bagi seluruh keluarga, layanan kesehatan dapat terjangkau
seluruh keluarga.
Sistim layanan sosial dapat dijangkau keluarga saat
mereka membutuhkan bantuan sebelum kekerasan pada anak terjadi.
Materi umum mengenai bimbangan dan perawatan anak serta materi komunikasi
interpersonal, penyelesaian konflik tanpa kekerasan, dijumpai dalam kurikulum sekolah mulai
taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan dan diteruskan untuk pendidikan bagi orang dewasa.
Program pendidikan dan latihan kerja tersedia bagi pekerja dalam rangka memperoleh
pekerjaan dan upah yang memadai.
Kebijakan tempat kerja yang mendukung keluarga seperti perjanjian kerja yang memungkinkan
karyawan memilih waktu kerjanya sendiri.
Setiap orang tua memiliki akses untuk menolong dirinya dan kelompok pendukung ,
Model-model kampanye anti kekerasan jelas terlihat,
Sistem hukum, pidana atau perdata, memiliki dana, staf
terlatih yang cukup untuk menyelesaikan kasus kekerasaan dengan tepat dan adil,
Program pendidikian bagi orang tua berbasis budaya dan etnis tersedia bagi seluruh orang tua
Pola penanganan kasus kekerasan anak (Prinsip penanganan kasus kekerasan anak sesuai KHA
yaitu ) :
1. Non diskriminasi
2. Kepentingan terbaik anak
3. Menghormati pendapat anak
4. Mengutamakan hak anak demi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang
Pendekatan penanganan
Metode pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan
kesejahteraan sosial, yang dilakukan secara terencana,
terorganisasi dan berkelanjutan :
1. Pendekatan Katalis
2. Pendekatan Informatif
3. Pendekatan Konsultatif
4. Pendekatan Partisipatif
Penyelenggara penaganan kasus kekerasan anak (Departemen / Instansi pemerintah yang terkait
di Pusat dan Daerah :
1. Departemen Sosial
2. Departemen Kesehatan
3. Departemen Pendidikan Nasional
4. Departemen Agama
5. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
6. Kementerian Pemberdayaan Perempuan
7. Kepolisian
8. Kejaksaan
9. Pengadilan
10.Lembaga Legislatif
11.Instansi/Dinas Terkait di Daerah
Lembaga dan Organisasi Masyarakat :
1. Komnas PA (Komisi Nasional Perlindungan Anak)
2. KPAI (Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia)
3. LPA (Lembaga Perlindungan Anak)
4. Orsos (DNIKS, BKKKS, LKKK)
5. LSM/NGO
6. Perguruan Tinggi
7. Dunia Usaha
8. Pramuka
9. Karang Taruna
Indikator Keberhasilan :
Bagi Anak :
Sembuhnya trauma anak, baik fisik maupun psikis.
Penempatan anak dalam keluarga sendiri, keluarga asuh, keluarga angkat atau panti sosial asuhan
Dalam hal ini respon anak ditujukan terhadap Layanan Penerimaan Pengaduan, program
Layanan Hukum, Konseling, Pemeriksaan Kesehatan dan Monitoring.
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa anak korban tindak kekerasan
dampingan Lembaga Pusat Kajian dan Perlindungan Anak memberikan respon yang sangat baik
pada seluruh pelayanan sosial PKPA. Setiap korban dapat mengerti dan memahami tentang
tujuan dari tiap-tiap layanan PKPA dan dapat mengikuti prosedur pelayanan sosial oleh PKPA.
Korban terlibat dengan aktif dalam menjalani tahapan bantuan pelayanan sosial, mulai dari
layanan pengaduan sampai layanan monitoring. Melalui serangkaian kegiatan yang dirancang
oleh PKPA, Korban dan keluarganya dapat merasakan manfaat yang positif dari Pelayanan
Sosial oleh PKPA dalam menangani kasus kekerasan dan memberikan penilaian yang baik
terhadap pelaksanaan Program Pelayanan Sosial oleh PKPA.
Kata Kunci: Respon Anak dan Pelayanan Sosial
Abstract
Abuse is a word commonly translated as violence, persecution, torture or mistreatment. Child
Abuse can be defined as an event of physical injury, mental, or sexual abuse which usually done
by people who have a responsibility for the welfare of the child. Which is indicated by losses and
threats to the health and welfare of children.
This study aims to determine how the respond of child victims of physcal, psycilogical, sexual
and social violence of social service programs by PKPA. Response mean that a behavior or
attitude either pre tangible detailed understanding, assessment, or impact resistance, like it or not
and the use of a phenomenon certain. In this case the child response directed against Revenue
Service complaints, the Legal Services program, counseling, Monitoring Health Condition and
Monitoring Of Case.
Based of analysis of case it can be concluded that the child victims of violence assistance PKPA
give excellent response in all social services. Each victim can know and
2
understand about the purpose of social service and to follow procedures. Victims actively
involved in following stages help since the reception service complaints to the monitoring
service. Through a series of social service activities designed by teh PKPA, Victims and families
can be feel positive benefit from social service by PKPA in resolve cases of violence being faced
and give best value against the implementation of social service program by PKPA.
Keyword : Child Response and Social Service
Pendahuluan
Setiap harinya media menayangkan berita mengenai anak-anak yang disiksa dan dianiaya hingga
ada yang terbunuh, baik yang dilakukan keluarganya maupun masyarakat. Anak-anak yang
disekap, diculik, ditelantarkan, dianiaya, diperkosa, dilacurkan atau anak-anak yang
diperdagangkan. Hingga saat ini mereka belum mendapatkan pelayanan bantuan yang memadai,
baik yang dilakukan negara, maupun masyarakat.
Permasalahan anak di Indonesia belum dapat di tangani secara serius dan komprehensif.
Penanggulangan masalah anak menjadi ter-marjinalkan di tengah hiruk pikuk persoalan politik
dan hegemoni kekuasaan. Ironisnya, di satu sisi permasalahan anak dianggap sesuatu yang
penting hingga membutuhkan perhatian dan kepedulian yang sungguh-sungguh, tapi disisi lain
dalam realitasnya permasalahan anak, tindak kekerasan dan penelantaran anak masih belum
dapat di tangani dengan baik. Masih terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.1
Setiap tahunnya di perkirakan ada 100.000 anak dan perempuan yang di perdagangkan di
Indonesia. 40.000-70.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual. Institute
perempuan melaporkan bahwa sekitar 43,5 % korban trafficking masih berusia 14 tahun
walaupun sebagian besar perdaganagan anak melibatkan anakanak usia 17 tahun. 450.000 orang
(70 % adalah perempuan) dikirim ke luar negeri setiap tahunnya dan hampir 60 % dari mereka
dikirim secara illegal.Dalam laporannya, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mencatat
telah memulangkan sebanyak 3.943 orang yang diperdagangkan. 90,26% adalah perempuan,
23,41% adalah anak perempuan dan 0,15 % adalah bayi. 40-70 ribu diperkirakan menjadi korban
eksploitasi seksual, sementara di Jawa saja terdapat 21.000 anak terlibat prostitusi Jumlah anakanak yang terlibat di dalam wisata seksual terus meningkat, terutama di Bali, Batam, di tempat
hiburan seperti panti pijat, karaoke dll. Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah
pelecehan terhadap anak terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau
daerah bekas bencana, lebih dari 2.000 anak tidak mempunyai orangtua. Seperti halnya anakanak di belahan
3
dunia lain, anak-anak di Indonesia pun mengalami kekerasan dalam rumah tangga, baik di
jalanan, di sekolah dan diantara teman sebaya mereka.2
Komisi Perlindungan Anak Indonesia menetapkan peringkat pertama kekerasan anak untuk
Sumatera Utara berada di Medan dan disusul Siantar-Simalungun. Kasus kekerasan tersebut
terdiri dari dua macam yakni kekerasan seksual dan kekerasan fisik seperti pemukulan,
penganiayaan, kekerasan psikis. Untuk Siantar-Simalungun ada 476 kasus kekerasan anak yang
tercatat hingga November 2012. 476 kasus tersebut masih merupakan data yang tercatat di
Komisi Nasional Perlindungan Anak dan berbeda lagi dengan kasus kekerasan yang tidak
terlaporkan, 62 % dari kasus yang terlapor di Siantar-Simalungun merupakan kekerasan seksual
dan sisanya adalah kekerasan fisik.3
Dalam upaya melindungi anak-anak Indonesia, kita sudah memiliki beberapa instrumen hukum
yang bertujuan meberikan perlindungan. Ada ratifikasi Konvensi Hak Anak PBB melalui
Keppres 39/1990 dan sebagai bentuk implementasinya juga ada UU 23/2002 tentang
Perlindungan Anak. Namun demikian, perlindungan terhadap anak tidak bisa hanya di pandang
sebagai persoalan politik dan legislasi. Perlindungan terhadap kesejahteraan anak juga
merupakan bagian dari tanggung jawab orangtua, dan kepedulian masyarakat. Semua pihak
harusnya menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah hal yang sederhana. Penanggulangan
permasalahan anak sangat menuntut banyak pihak. Tanpa partisipasi masyarakat, pendekatan
legal formal saja tidak cukup efektif melindungi anak. Komunitas lokal memiliki peran penting
dalam merancang kebijakan dan program aksi perlindungan anak. Kekuatannya terletak pada
prosesnya yang partisipatoris sehingga mampu merespon kebutuhan masyarakat setempat lebih
tepat. Oleh karena itu optimalisasi peran orangtua, negara dan pemerintah, serta masyarakat
terutama melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam upaya mensejahterakan anak
perlu diupayakan.4
PKPA Medan hadir sebagai salah satu lembaga non pemerintah yang berkomitmen untuk
melindungi anak-anak indonesia. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) beserta divisi
sebagai penanggung jawab yaitu Pusat Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) adalah salah
satu lembaga swadaya masyakat yang aktif berperan dalam memberikan bantuan dan pelayanan
sosial terhadap anak. PKPA sejak tahun 2001 sampai saat ini berhasil menangani dan
mendampingi kasus anak baik secara litigasi dan nonlitigasi. Pelayanan-pelayanan tersebut
diantaranya: (1)Layanan penerimaan pengaduan, (2) Layanan bantuan hukum, (3) Layanan
konseling, (4) Layanan pemeriksaan kesehatan, (5) Layanan monitoring.
4
Keberadaan pelayanan sosial ini tentunya diharapkan bisa membantu anak-anak mencapai
kebebasannya kembali. Dengan itu Pelayanan sosial ini dapat menjalankan fungsi-fungsinya
sebagai pelayanan untuk sosialisasi dan pengembangan, pelayanan untuk terapi, pertolongan dan
rehabilitasi, termasuk perlindungan sosial, perawatan pengganti, dan mendapatkan akses,
informasi, dan nasihat. Tapi sejauh ini, tidak ada jaminan apakah layanan ini benar- benar sesuai
dengan hal yang di butuhkan anak-anak, atau sudahkah layanan ini menjawab kebutuhan anakanak korban kekerasan. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respon atau
sikap balasan anak-anak terhadap pelayanan sosial yang di lakukan PKPA.
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk mengetahui
bagaimana respon anak korban kekerasan terhadap program pelayanan sosial. Respon dikatakan
Darly Beum sebagai tingkah laku balas atau sikap yang menjadi tingkah laku adekuat, yang
dilihat dari tiga indikator yaitu persepsi, sikap dan partisipasi. Dengan melihat respon dapat
diketahui bagaimana sebenarnya tanggapan dan sikap anak tersebut terhadap program pelayanan
sosial. Karena perbedaan respon dapat memunculkan perbedaan yang tajam pada pemanfaatan
suatu program. Penelitian ini dirangkum dalam sebuah penelitian dengan judul : Respon Anak
Korban Kekerasan terhadap Program Pelayanan Sosial oleh PKPA. Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana respon
anak Korban Kekerasan terhadap Program Pelayanan Sosial oleh Pusat Kajian dan Perlindungan
Anak (PKPA) ?. adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon
anak korban Kekerasan terhadap Program Pelayanan Sosial oleh Pusat Kajian dan Perlindungan
Anak (PKPA). Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi LSM
PKPA dalam menyusun dan memberikan pelayanan sosial terbaik bagi anak korban kekerasan
dan diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan penambah wawasan bagi kalangan
yang tertarik dengan permasalahan anak dan kekerasan.
Pelayanan sosial dapat di tafsirkan dalam konteks kelembagaan sebagai terdiri dari atas programprogram yang disediakan berdasarkan kriteria selain kriteria pasar untuk menjamin tingkatan
dasar dan penyediaan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, untuk meningkatkan kehidupan
masyarakan dan keberfungsian individual, untuk memudahkan akses pada pelayanan-pelayanan
dan lembaga-lembaga pada umumnya, dan untuk membantu mereka yang berada dalam kesulitan
dan kebutuhan. Seperti Kahn membedakan pelayanan sosial secara luas kedalam dua bagian,
yaitu :
5
1
2
1. Pelayanan sosial yang menjadi sedemikian terperinci dan luasnya sehingga mencapai
identitas mendiri,
2. Pelayanan-pelayanan sosial lainnya yang mencakup bidang dengan batas-batas yang
berubah dan meliputi program-program yang berdiri sendiri, misalnya lembaga-lembaga
kesejahteraan anak atau pelayanan keluarga. Dan beberapa lembaga yang berada dalam
lembaga-lembaga lain, misalnya pekerja sosial di sekolah, pelayana sosial medis,
pelayanan sosial di perumahan publik, program-program kesejahteraan industri dan
sebagainya. Pelayanan sosial jenis kedua ini di sebut sebagai pelayanan sosial personal
atau pelayanan sosial umum (general service).
Pelayanan sosial personal adalah program yang melindungi atau mengembalikan kehidupan
keluarga, membantu individu mengatasi masalah yang berasal dari luar maupun dari dalam diri,
meningkatkan pekembangan dan memudahkan akses melalui pemberian informasi, bimbingan,
advokasi dan beberapa jenis bantuan konkret.5
Metode Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang di
lakukan dengan tujuan menggambarkan atau mendeskripsikan obyek dan fenomena yang ingin
di teliti. Termasuk di dalamnya bagaimana unsur-unsur yang ada di dalam variabel penelitian itu
berinteraksi satu sama lain dan apa pula produk interaksi yang berlangsung. Dengan populasi
berjumlah 20 orang merupakan seluruh anak-anak yang menjadi korban kekerasan yang di
tangani PKPA pada sepanjang tahun 2013, dan telah mendapatkan seluruh pelayanan sosial dari
PKPA. Maka seluruh populasi akan diambil datanya. 6
Penelitian ini dilakukan di salah satu lembaga non pemerintah yang memiliki konsentrasi penuh
pada pelayanan untuk anak yaitu Pusat Kajian dan Perlindungan Anak pada Divisi Pusat
Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) di Jl. Abdul Hakim No.5A. Adapun alasan peneliti
memilih tempat ini sebagai lokasi penelitian karena Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Divisi
Pusat Informasi dan Pengaduan Anak (PUSPA) merupakan lembaga yang memberikan
pelayanan sosial kepada anak-anak korban kekerasan baik layanan Litigasi maupun non Litigasi
sejak tahun 2001.
Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sehingga
nantinya penulis dapat mendeskripsikan informasi dan data yang diperoleh dalam penelitian,
dimana pengolahan data dilakukan dengan manual, data
6
dikumpulkan dari hasil kuesioner (angket) dan wawancara. Kemudian ditabulasikan dalam
bentuk distribusi frekuensi dan kemudian dianalisa
Temuan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Peneliti
berhasil mengumpulkan 20 responden, responden perempuan sebanyak 70% dan laki-laki
sebanyak 30% yang keseluruhan responden merupakan anak-anak yang menjadi korban tindak
kekerasan, yaitu korban penganiayaan, pencabulan, persetubuhan anak dibawah umur,
perkosaan, penculikan, penelantaran, perdagangan manusia dan anak yang dilacurkan.
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak memberikan serangkaian pelayanan sosial bagi anak korban
tindak kekerasan. Pertama PKPA akan menerima pengaduan kasus dari korban yang diwakili
oleh keluarga korban. Kasus yang diadukan akan ditindak lanjuti dengan langkah utamanya
adalah melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan untuk tindakan hukum. Berkas surat yang
harus dilengkapi diantarana adalah surat kuasa dari orang tua selaku wali dari anak yang masih
dibawah 18 tahun, surat pengaduan ke Kepolisian, surat Visum, dan kartu identitas keluarga.
Tidak ada pungutan biaya dalam setiap pelayanan sosial yang diberikan oleh PKPA.
Pelayanan selanjutnya yang didapat oleh korban adalah layanan Litigasi berupa pendampingan
hukum yang dilakukan oleh PKPA. Dengan menindaklanjuti pengaduan yang diterima PUSPA
berkordinasi dengan staf litigasi lainnya dan Tim Pengacara pada setiap tingkatan hingga putusan
hakim berkekuatan hukum tetap. Dalam proses hukum PKPA mendampingi korban dan keluarga
untuk memperoleh keadilan, misalnya dengan menuntut pelaku tindak kekerasan agar di hukum
setimpal dengan perbuatannya, sebagian korban lainnya datang untuk meminta perlindungan dari
ancaman-ancaman pelaku tindak kekerasan, dan sebagian lainnya datang untuk meminta PKPA
sebagai mediator untuk penyelesaian kasus secara kekeluargaan dengan pihak terkait. Apapun
jalan yang ditempuh untuk menyelsaikan kasus kekerasan yang dialami korban tetap prinsipnya
adalah semata-mata demi kepentingan dan kebaikan anak.
Korban yang mengadukan kasusnya ke PKPA juga mendapatkan layanan non Litigasi yaitu
layanan konseling, layanan pemeriksaan kesehatan, dan layanan monitoring. Pada layanan
konseling, setiap anak yang mengalami trauma akan di konseling oleh staff konseling PKPA
berupa Layanan Konseling Perorangan yaitu layanan yang memungkinan
7
peserta mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan
permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling
perorangan adalah agar peserta konseling dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya.
Konseling biasanya akan dilakukan antara 1 sampai 3 kali pertemuan sesuai dengan kebutuhan
korban dan tingkat trauma yang dialami. Dalam pengamatan yang dilakukan peneliti, konseling
lebih sering dilakukan di PKPA, konselor melakukan konseling juga berdasarkan umur dari
korban, jika korban adalah remaja maka konseling dilakukan secara tatap muka hanya antara
konselor dengan korban dan menggunakan bahasa verbal, sedangkan pada korban yang masih
berusia anak-anak maka konselor melibatkan orang tua sebagai pendamping dan konselor akan
melibatkan alat bantu seperti mainan, atau benda-benda lain ang akan menarik perhatian korban.
Layanan non Litigasi lainnya yang didapatkan oleh korban adalah layanan Pemeriksaan
Kesehatan. Layanan ini bertujuan untuk mendapatkan hasil kondisi kesehatan korban pasca
mendapatkan tindakan kekerasan. Pusat Kajian dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan
Dinas Kesehatan Kota Medan untuk menyediakan layanan kesehatan dengan klinik Bestari di
kecamatan Medan Petisah untuk pemeriksaan kesehatan gratis bagi korban tindak kekerasan
dampingan PKPA. Layanan ini dimanfaatkan korban untuk memeriksakan kondisi kesehatan
mereka sebagai upaya pencegahan dini dari resiko penularan penyakit seksual, mengingat
sebagian dari korban adalah korban eksploitasi seksual yang diantaranya adalah anak yang
dilacurkan, dan anak korban trafficking. Layanan ini tidak dibatasi, setiap korban dapat
memeriksakan kondisi kesehatannya sesuai kebutuhan.
Layanan terakhir yang diperoleh oleh korban adalah layanan monitoring. Layanan ini bertujuan
untuk memantau perkembangan kasus korban dan memastikan korban untuk tidak kembali
menjadi korban tindak kekerasan. Monitoring dilakukan dengan menghubungi dan menjenguk
korban dan pihak keluarga. Proses monitoring ini merupakan pemantauan yang dilakukan secara
reguler terhadap klien guna mengetahui kegiatan positif yang telah dilakukan oleh klien setelah
kembali kepada keluarga. Monitoring ini pada umumnya wajib dilakukan lembaga terhadap klien
guna mengetahui perkembangan dari klien tersebut dan akan berhenti secara otomatis ketika
pihak lembaga yakin bahwa klien mereka sudah terbebas dari tindak kekerasan.
Berdasarkan pengakuan dari responden dan keluarganya, layanan sosial yang diberikan oleh
Pusat Kajian dan Perlinungan Anak sangat bermanfaat bagi perkembangan
8
kasus dan perkembangan anak pasca menjadi korban tindak kekerasan, terlebih saat layanan ini
dapat dinikmati oleh korban tanpa harus mengeluarkan biaya.
Pembahasan
Memberikan Pelayanan sosial kepada anak-anak korban tindak kekerasan merupakan salah satu
kewajiban Negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak berdasarkan Kepres Nomor 36 Tanggal
25 Agustus 1990. Salah satu materi hukumnya mewajibkan Negara yang meratifikasi KHA untuk
memberikan Hak perlindungan (proctection right), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang
meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang
tidak mempunyai keluarga dan anak-anak pengungsi dan Hak untuk tumbuh kembang
(development right), yaitu hak-hak anak dalam KHA yang meliputi segala bentuk pendidikan
(formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standart hidup yang layak bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak.7
Pelayanan sosial yang diberikan berupa pelayanan sosial personal, yaitu program yang
melindungi atau mengembalikan kehidupan keluarga, membantu individu mengatasi masalah
yang berasal dari luar maupun dari dalam diri, meningkatkan pekembangan dan memudahkan
akses melalui pemberian informasi, bimbingan, advokasi dan beberapa jenis bantuan konkret.
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak telah memberikan pelayanan sosial yang baik pada anak
korban tindak kekerasan. hal ini dapat dilihat pada saat menerima layanan Litigasi yaitu layanan
penerimaan pengaduan dan layanan pendampingan hukum, responden dan keluarga memberikan
respon yang baik karena mereka dengan mudah mendapat informasi mengenai Program Layanan
Sosial dari penjelasan yang dilakukan oleh staff PKPA saat mereka mengadukan kasus pertama
kali. Dengan bekal informasi yang baik maka Korban dan keluarga dapat bersikap koperatif
dalam mengikuti tahap-tahap pelayanan. hal ini terlihat saat korban maupun keluarga mengikuti
prosedur pelayanan dengan baik, mulai dari pelaporan atau pengaduan sampai pendampingan
hukum. Misalnya dengan memberikan keterangan dan kesaksian dalam proses pengaduan kasus,
mengikuti secara aktif upaya perdamaian hingga proses peradilan berlangsung. Ini membuktikan
bahwa ada kesadaran dari diri korban maupun keluarga untuk bersama-sama dengan PKPA
dalam menempuh upaya hukum. Yang masih menjadi persoalan dalam layanan ini adalah
penanganan beberapa kasus yang cukup lama terhenti tanpa perkembangan di Kepolisian
9
akibat kerumitan kasus yang menulitkan penuntasan perkara peradilan, sehingga membuat
keluarga korban kurang puas dan merasa resah. Dengan itu keluarga korban mengharapkan
PKPA untuk lebih giat mendorong pihak kepolisian dalam upaya penuntasan kasus.
Layanan non litigasi yaitu layanan konseling, layanan pemeriksaan kesehatan, dan layanan
monitoring juga mendapatkan respon yang positif dari responden. Layanan konseling yang
diberikan memungkinkan korban untuk memiliki pilihan atau mengubah atau mengurangi
kebingungan serta mendapatkan keterangan tentang kelakuan yang dialami oleh korban yang
telah dirahasiakan. Konselor tidak bersikap menghakimi atau mengeksploitasi korban. Dalam
sesisesi konseling klien dapat mengeksplorasi berbagai aspek kehidupan dan perasaan mereka,
berbicara tentang mereka dengan bebas dan terbuka dalam suatu cara yang jarang mungkin
dengan teman atau keluarga.
Layanan pemeriksaan kesehatan juga sangat bermanfaat dirasakan oleh korban. responden
berpendapat bahwa layanan ini bisa menjadi alat pembuktian telah dilakukannya tindak
kekerasan kepada anak melalui hasil visum yang diperoleh, selain itu responden lainnya
mengaku dengan mengikuti layanan pemeriksaan kesehatan ia menjadi merasa lebih lega dan
puas karena akhirnya mengetahui kondisi kesehatan dirinya, terutama bagi anak-anak yang
dilacurkan, mereka mengikuti pemeriksaan kesehatan lebih dari 2 kali untuk memastikan bahwa
mereka terbebas dari resiko terinfeksi penyakit menular seksual.
Layanan Monitoring yang dilakukan oleh lembaga PKPA sifatnya tidak memaksa, bahkan
dengan adanya progam monitoring ini responden juga menjadi merasa lebih aman karena setelah
penanganan kasus responden menjadi merasa tetap dilindungi. Seluruh pelayanan sosial yang
diberikan PKPA sangat bermanfaat bagi korban dan keluarganya, karena sangat membantu dalam
proses-proses penanganan kasus, dan pemulihan korban. Hal ini sudah memenuhi fungsi
pelayanan sosial sebagai program yang melindungi atau mengembalikan kehidupan keluarga,
membantu individu mengatasi masalah yang berasal dari luar maupun dari dalam diri,
meningkatkan pekembangan dan memudahkan akses melalui pemberian informasi, bimbingan,
advokasi dan beberapa jenis bantuan konkret.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data, dapat dirumuskan hasil penelitian dalam bentuk kesimpulan sebagai
berikut :
1 1. Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa korban memiliki persepsi yang
baik tentang Pelayanan Sosial oleh PKPA. Hal ini terlihat ketika mengikuti tahap demi
10
1
2
tahap pelayanan sosial, baik korban maupun keluarga merasa mudah mengerti dan
memahami tentang tujuan dari tiap-tiap layanan PKPA dan dapat mengikuti prosedur
pelayanan sosial oleh PKPA.
2. Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa korban dan keluarganya
memberikan sikap yang positif. Korban dan keluarganya memberikan penilaian yang baik
terhadap pelaksanaan Program Pelayanan Sosial oleh PKPA dan korban beserta keluarga
dapat menerima dan merasakan manfaat yang positif dari Pelayanan Sosial oleh PKPA
dalam menangani kasus kekerasan yang dialami.
3. Berdasarkan hasil analisis data menunjukan bahwa korban dan keluarga memberikan
partisipasi yang positif. Dilihat dari keterlibatan dan keaktifan korban dan keluarganya
dalam setiap kegiatan dalam pelayanan sosial dan mengikuti tahapan bantuan pelayanan
sosial yang diberikan PKPA dengan cukup baik.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah disajikan sebelumnya, penulis mengajukan
rekomendasi sebagai berikut :
1 1. Sebaiknya PKPA lebih giat mensosialisasikan layanan sosial di media cetak maupun
elektronik agar lebih banyak masyarakat yang mengetahui bahwa ada lembaga yang
secara konsisten melindungi hak-hak anak. Dan bersedia mendampingi anak-anak korban
kekerasan
2 2. Sebaiknya PKPA bisa menjalin kerjasama yang lebih baik dan lebih dekat dengan
lembaga partner seperti Kepolisian, agar kasus yang terhambat atau terkendala bisa
diselesaikan dengan lebih cepat
3 3. Lembaga sebaiknya juga memberikan pendidikan informasi kepada keluarga korban
agar korban tentang bahaya kekerasan terhadap anak, agar anak dan keluarga tidak lagi
menjadi korban kekerasan
4 4. Sebaiknya lembaga tetap mempertahankan kualitas pelayanan-pelayanan agar tetap
bisa dinikmati oleh anak korban kekerasan
Daftar Pustaka
1Manik, Sulaiman Zuhdi. 1999. Kekerasan Terhadap Anak dalam Wacana dan Realita, Medan.
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak.
2ECPAT. 2008. Memerangi Pariwisata Sex Anak, Jakarta. ECPAT Indonesia
11
3(http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/09/mjdxor-2013kekerasanseksual
19
20
basis jender yang meng-akibatkan 1.804 perempuan
menjadi korban, 31 meninggal dan 1.773
menderita luka fisik dan trauma psikis. Kekerasan
tersebut meliputi: kasus perkosaan
yang menempati tempat tertinggi, kemudian
kekerasan dalam rumahtangga, disusul kekerasan
dalam masa pacaran, kekerasan terhadap
pekerja seks, kekerasan terhadap buruh migran,
pelecehan seksual dan setelah itu
perdagangan manusia.
Satu bentuk kekerasan (seksual) yang
menimpa perempuan/anak perempuan dalam
kehidupan rumahtangga adalah incest. Incest,
sebagai kasus domestik yaitu hubungan seksual
yang terjadi antara anggota keluarga atau
dengan seseorang yang dianggap keluarga, yang
dilakukan laki-laki atau perempuan serta
korbannya laki-laki atau perempuan merupakan
kasus yang seringkali hanya dilaporkan bila
dalam keadaan terpaksa baik oleh korban atau
keluarganya.
Tabel 1
21
diinginkan dan 4 kasus sodomi. Dari 84 kasus
tersebut, 27 kasus adalah incest 4
Di Eks Karesidenan Banyumas, yang terdiri
dari empat Kabupaten yaitu Kabupaten
Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten
Cilacap serta Banjarnegara, kasus incest ini
diyakini lebih banyak yang tidak tercatat secara
resmi di Kepolisian. Misalnya, dari kasus yang
sudah ditangani oleh Pengadilan Negeri Banyumas
sampai dengan tahun 2006, menunjukkan
bahwa kasus incest (berupa perkosaan)
korbannya 90 persen adalah anak perempuan.
Pelakunya keseluruhan (100 persen), adalah
laki-laki yang merupakan orang dekat korban
(ayah, paman, kakak). Hampir semua pelaku
adalah orang-orang yang tingkat ekonomi serta
pendidikannya rendah. Angka ini diyakini tidak
menunjukkan jumlah sebenarnya, karena banyak
kasus incest yang tidak dilaporkan kepada
aparat penegak hukum.
Alasan korban/keluarga tidak melapor
antara lain karena takut ancaman pelaku serta
malu apabila orang lain tahu karena menganggap
sebagai aib keluarga yang tidak boleh
dibeberkan. Sebagai korban incest, secara
psikologis dan sosial perempuan mengalami
masalah yang sangat kompleks, serta
membutuhkan perhatian dari semua pihak dan
perlindungan hukum. Upaya penanggulangan
terhadap merebaknya tindak kekerasan ini
perlu segara dilakukan agar korban tidak
semakin banyak jumlahnya.
Oleh karena itu, tulisan ini akan membahas
tentang perlindungan hukum terhadap
perempuan korban incest, serta upaya penanggulangan
guna mencegah dan mengatasi
terjadinya incest pada perempuan.
B. Pembahasan
1. Perlindungan hukum terhadap perempuan
korban incest
Rumah seharusnya adalah tempat berlindung
yang aman bagi seluruh anggota keluarga.
Akan tetapi pada kenyataannya justru banyak
rumah menjadi tempat penderitaan dan penyikSulaiman Zuhdi Manik dkk, 2002, Pendampingan &
Penanganan Anak Perempuan Korban Incest, Medan:
Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak (PKPA), hlm.2
4
22
Dibandingkan laki-laki, bentuk dan kualitas
ketidakadilan yang dialami perempuan jauh
lebih banyak dan kompleks yaitu sub-ordinasi,
marginalisasi, stereotype, beban ganda, dan
kekerasan terhadap perempuan. Dominasi lakilaki
merupakan praktik ke-seharian yang sulit
dihapuskan, dan ini sering berakhir pada
pelanggaran terhadap hak asasi manusia anak
dan perempuan secara sistematis. Status sebagai
perempuan pada satu sisi dan anak disisi
Tabel 2
Perbedaan seks dan gender 6
No. Karakteristik Seks Gender
1 Sumber Pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)
2 Visi,misi Kesetaraan Kebiasaan
3 Unsur Pembeda Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku)
4 Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat di
pertukarkan
Harkat,martabat, dapat dipertukarkan
5 Dampak Terciptanya nilai-nilai: kesempurnaan,
kenikmatan ke-damaian,
menguntung-kan keduabelah pihak
Terciptanya norma-norma/ ketentuan
ttg pantas atau tidak
pantas
6 Keberlakuan Sepanjang masa, dimana saja,
tidak mengenal pembeda-an kelas
Dapat berubah, musiman, berbeda
antara kelas.
Incest Sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan Terhadap Perempuan
23
24
tisipasi penuh dalam kegiatan sosial, menganggu
kesehatan, mengurangi otonomi perempuan
baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan
budaya.
Pada 1993, Sidang Umum PBB mengadopsi
deklarasi yang menentang kekerasan terhadap
perempuan, yang dirumuskan pada tahun 1992
oleh Komisi Status Perempuan PBB. Pada Pasal
1 dirumuskan bahwa kekerasan terhadap perempuan
mencakup: setiap perbuatan kekerasan
atas dasar perbedaan kelamin yang mengakibatkan
atau dapat mengakibatkan kerugian
atau penderitaan terhadap perempuan baik
fisik, seksual, psikis, termasuk ancaman perbuatan
tersebut; dan paksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik
yang terjadi dalam kehidupan yang bersifat
publik maupun privat. Ketentuan ini kemudian
diadopsi ke dalam Pasal 1 UU No 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan KDRT. Kekerasan rumah
tangga menurut Undang-undang No 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumahtangga, adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
penelantaran rumahtangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumahtangga (Pasal 1 ayat
(1)).
Lingkup rumahtangga dalam Undang-undang
ini meliputi (Pasal 2 ayat (1)):
a. Suami, istri, dan anak (termasuk anak angkat
dan anak tiri)
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam huruf
a karena hu-bungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumahtangga (mertua,
menantu, ipar, dan besan); dan/ atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut (pekerja rumah tangga).
Mengapa korban perlu mendapatkan perlindungan
hukum? Ada beberapa alasan yang
mendorong perlunya perlindungan hukum yang
diberikan kepada korban. Menurut Bambang
Dwi Kuncoro, yang dikutip dari ceramah J.E.
Sahetapy dan Muladi, ada beberapa alasan,
yaitu sebagai berikut :
a. Dengan terjadinya tindak pidana ter-hadap
dirinya, korban akan kehilang-an rasa kepercayaan
terhadap kehidupan sosial sehingga
dapat menghancurkan sistem kepercayaan
yang ada dalam kehidupan sosial.
b. Adanya argumen kontrak sosial (social contract
argumen) yang berarti negara memegang
25
jatuhkan pidana bagi pelaku. Upaya preventif
dilakukan antara lain dengan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan dan upaya represif
dengan menindak pelaku/menjatuhkan
sanksi pidana.
Kelalaian negara dalam memberi perlindungan
hukum, menyelesaikan atau menangani
berbagai bentuk kekerasan dan kerusuhan
telah menanbah deretan viktimisasi oleh Negara
terhadap warganya. Adanya fear of crime
atau fear of violence secara sosial juga mencerminkan
adanya pembiaran dan ketidakseriusan
negara dalam melindungi warganya
dari berbagai tindak viktimisasi.18
Masalah perlindungan korban pada hakikatnya
sama dengan perlindungan hak asasi
manusia. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang
yang sama. Angka-angka yang tercatat di lembagalembaga formal (Polisi, Kejaksaan, Pengadilan),
26
Dari skema di atas terlihat bahwa upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh
dengan:
1. Penetapan hukum pidana (criminal law
application)
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention
without punishment) dan
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai
kejahatan dan pemidanaan lewat
media massa (influencing views of society
on crime and punishment through mass
media).
Dengan demikian upaya penanggulangan
kejahatan secara garis besar dapat
dibagi dua yaitu jalur penal (hukum pidana)
dan lewat jalur non penal (bukan/diluar hukum
pidana). Dalam pembagian Hoefnagels di atas,
upaya-upaya yang disebut dalam butir (b), dan
(c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya
nonpenal.
Secara kasar dapatlah dibedakan,
bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat
jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat
repressive (penindasan/pem-berantasan/penumpasan)
sesudah kejahatan terjadi, sedangkan
jalur non penal lebih menitikberatkan pada
sifat preventive (pencegahan/penangkalan/
pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Dikatakan sebagai perbedaan kasar, karena
tindakan represif pada hakikatnya juga dapat
dilihat sebagai preventif dalam arti luas. Salah
satu faktor/unsur dalam penegakan hukum
adalah aparat penegak hukum.
Ragaan
Ruang Lingkung Criminal Policy menurut G. Peter Hoefnagels
- mental
health
Criminal Policy
Influencing view of
society on crime and
punishment through
mass media
Crim law application
practical criminonology
Work
Welfare
Administrative
Law
- adm. of crim. justice
in narrow sense :
- Crim Legislation
- crim Jurisprudence
Planning health
- crime. Process in wide
sense
- sentencing
- forensic psychiartry
and psychology
- forensic social work
- crime. Sentence
- execution and policy
statistic
Preventin without
punishment
- soc. police
Community mental
- nat. mental health
soc
child
and civil
Incest Sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan Terhadap Perempuan
27
28
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);
The Beijing Rules
The Declaration of Basic Principles of Justice
for Victim of Crime and Abuse of Power
1985;
Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT;
Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Korban.
Incest Sebagai Bentuk Manifestasi Kekerasan Terhadap Perempuan
29
influencing factors of law enforcement, and also its role in creating the law inforcement for child
protection in Indonesia, and rule applying for child protection in Indonesia. Code of Child
Protection in the reality have given a social effect in law enforcement. If we look from society
growth of these days, hence a lot of opinion expressing that law to the child protection still not
yet effective, this could be happen because theres a lot of hardness at child, the increasing of
child commerce, trafficing and others. Basically the law inforcement of child protection law will
be existed and its rule will be effective if its legal substance are suitable with society culture,
mentality and behavioral of good law enforcer, and also the existence of awareness and
compliance punish in the society.
Key words: law enforcement, child protection.
1. PENDAHULUAN
Eksploitasi anak, perdagangan anak, kekerasan pada anak dan berbagai tindakan pelanggaran
hak asasi terhadap anak-anak Indonesia selalu saja mewarnai potret kehidupan bangsa kita.
Hampir di setiap ruas jalan kita jumpai anak-anak jalanan yang berusaha memperoleh uang
dengan cara apapun seperti mengamen, mengemis, menjadi joki jalanan, menjual koran,
pedagang asongan dan bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta anak-anak banyak melakukan
kriminalitas. Sayangnya isu mengenai perlindungan anak belum sepenuhnya menjadi perhatian
utama bagi para pemegang kekuasaan negara kita. Persoalan-persoalan politik, hukum dan
ekonomi dipandang lebih penting untuk diperhatikan dibanding persoalan pendidikan anak dan
perlindungan anak. Padahal masa depan anak Indonesia adalah masa depan bagi bangsa
Indonesia sendiri.
Fenomena seperti tersebut diatas tentunya muncul karena kurangnya penegakan hukum terhadap
perlindungan anak di Indonesia. Meskipun pemerintah telah memfasilitasi sebuah badan
independent seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta dituangkannya ketentuan
mengenai perlindungan anak dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002, namun perlakuan
diskriminasi dan kekerasan terhadap anak selalu saja mewarnai kehidupan bangsa ini.
Berbicara mengenai penegakan hukum (law enforcement) tentunya tidak terlepas dari kondisi
masyarakat dalam negara tersebut, karena masalah
ISSN 1412 - 8683
penegakan hukum merupakan hal yang bersifat universal, dimana setiap negara akan
mengalaminya dan dengan caranya masing-masing akan berusaha untuk mewujudkan
tercapainya penegakan hukum di dalam masyarakat.
Penegakan hukum dalam suatu negara juga memiliki kaitan erat terhadap sistem hukum negara
tersebut. Menurut Lawrence Meir Friedman (Sirtha, 2008), sistem hukum terdiri atas: Struktur
Hukum (termasuk didalamnya struktur institusi penegak hukum), Substansi Hukum (aturan dan
norma baik living law maupun aturan perundang-undangan), dan Budaya Hukum (sikap manusia
terhadap hukum, nilai, pemikiran, serta harapan). Ketiga hal tersebut tentunya harus terpenuhi
sehingga nantinya hukum akan mampu bekerja secara efektif dalam masyarakat.
Secara konsepsional inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada penyerasian hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap untuk menciptakan, memelihara
dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soerjono, 2002), demikian pula dalam
menegakkan hak-hak anak melalui jaminan terhadap perlindungan anak itu sendiri sangat
diperlukan adanya keserasian dalam substansi perundang-undangannya dengan para penegak
hukumnya dan juga kesadaran masyarakat dalam menerapkan aturan tersebut.
Berdasarkan analisis konseptual diatas maka terdapat beberapa hal yang menjadi fokus
permasalahan dalam menciptakan suatu penegakan hukum terhadap perlindungan anak
khususnya di Indonesia sebagai berikut: faktor-faktor apakah yang mempengaruhi penegakan
hukum, serta peranannya dalam menciptakan penegakan hukum terhadap perlindungan anak di
Indonesia?, bagaimanakah penerapan ketentuan hukum tentang perlindungan anak di Indonesia
bila dikorelasikan dengan bekerjanya hukum di masyarakat?
2. PEMBAHASAN
ISSN 1412 - 8683
penegakan hukum seperti substansi hukumnya, aparat penegaknya, dan lain sebagainya.
Untuk lebih mempermudah pemahaman atas uraian tersebut maka dapat dilihat pada
bagan Model Bekerjanya Sistem Hukum (R.Siedman) dibawah ini.
Faktor Sosial lain
Lembaga Pembuat Peraturan
Lembaga Penerap Peraturan
Pemegang Peran
Faktor Sosial lain
Faktor Sosial lain
Selanjutnya Soerjono Soekanto (2002) menyebutkan bahwa, masalah pokok dari
penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya
sehingga akan memunculkan berbagai dampak baik yang bersifat positif ataupun negatif.
Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1 1. faktor hukumnya sendiri;
2 2. faktor penegak hukum;
3 3. faktor sarana atau fasilitas;
4 4. faktor masyarakat;
5 5. faktor kebudayaan.
Faktor-faktor tersebut diatas akan saling berhubungan secara erat antara yang satu
dengan yang lain karena merupakan esensi dari penegakan
ISSN 1412 - 8683
hukum serta juga merupakan tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum di Indonesia.
Pengaruh berbagai faktor penegakan hukum tersebut diatas dalam penerapan hukum
terkait perlindungan anak di Indonesia dapat kita kaji sebagaimana berikut ini.
1. Faktor hukum atau substansi
Dalam upaya penegakan hukum diperlukan adanya keserasian antara berbagai peraturan
perundang-undangan yang berbeda derajatnya. Ketidakcocokan itu bisa terjadi misalnya
antara peraturan yang tertulis dengan yang tidak tertulis, antara undang-undang yang
derajatnya lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah, antara undang-undang yang
bersifat khusus dengan yang bersifat umum, dan antara undang-undang yang berlaku
belakangan dengan yang berlaku terdahulu. Semuanya ini dapat mempengaruhi masalah
penegakan hukum karena tujuan dibentuknya suatu peraturan adalah untuk memberikan
kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Untuk itu maka demi menghindari agar
jangan sampai terjadi suatu peraturan tidak berlaku secara efektif di masyarakat maka
perlu diperhatikan asas dan tujuan dari undang-undang itu sendiri.
Terkait perlindungan anak di Indonesia, kita telah memiliki beberapa terobosan seperti
meratifikasi konvensi hak anak yang dideklarasikan pada tanggal 20 November 1989
melalui Sidang Majelis Umum PBB (Suyono, 1994), Undang-Undang Perlindungan Anak
No.23 Tahun 2002 dan dibentuknya suatu badan independen yaitu Komisi Perlindungan
Anak. Dari segi substansi atau perundang-undangannya memang ada beberapa polemik
terutama mengenai kebebasan anak dalam memilih agama sesuai bunyi pasal 86 UU
Perlindungan Anak dengan pasal 28 UUD 1945 yang pernah diajukan ke Mahkamah
Konstitusi untuk di judicial review, namun berdasarkan Putusan MK No.018/ PUU-III/
2005 Mahkamah Konstitusi sebagaimana dipublikasikan dalam Jurnal Konstitusi (2006),
menyatakan permohonan uji materiil pasal 86 tersebut tidak dapat diterima. Bila kita
ISSN 1412 - 8683
cermati baik dari segi yuridis maupun sosiologis memang tidak ada pertentangan dari
faktor substansi hukumnya baik terhadap perundang-undangan diatasnya maupun
ketentuan terkait perlindungan anak yang telah ada sebelumnya.
2. Faktor penegak hukum atau struktur
Sistem penegakan hukum sanagt dipengaruhi pula oleh para penegak hukumnya yang
menurut undang-undang kita kenal sebagai aparat penegak hukum adalah Polisi, Jaksa,
Hakim. Selain ketiga aparatur tersebut secara informal seorang Pengacara juga dapat
dipandang sebagai aparat penegak hukum karena tugas-tugasnya mendampingi ataupun
menjadi kuasa dari seseorang dalam rangka memperoleh pelayanan hukum.
Secara sosiologis setiap penegak hukum akan memiliki kedudukan dan peranan didalam
masyarakat dan kedudukan sosial tersebut merupakan posisi tertentu didalam struktur
kemasyarakatan yang ada. Dengan kedudukannya tersebut setiap aparat penegak hukum
dituntut memiliki sikap dan perilaku yang tidak tercela. Jika mental para penegak hukum
tidak baik dan tidak berorientasi pada kebenaran substansial serta tidak berpihak pada
keadilan masyarakat, maka kepercayaan masyarakat terhadapnya akan hilang.
Salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam penegakan hukum terhadap
perlindungan anak adalah faktor penegak hukumnya sendiri. Secara ideal bangsa
Indonesia telah memiliki beberapa ketentuan pokok terkait peranan penegak hukum
dalam menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat seperti Undang-Undang Kepolisian
Negara, Undang-Undang Pokok Kejaksaan dan juga tentang kekuasaan Kehakiman.
Sayangnya sebagian besar kasus yang diangkat terkait kekerasan terhadap anak hanyalah
kasus-kasus yang sebelumnya telah diekspos besar-besaran oleh media cetak dan
elektronik, dimana pengaruh interest groups dan juga public opinion sangat kuat
disini. Realitas yang ada di negeri kita ini sebenarnya masih ribuan bahkan jutaan kasus
ISSN 1412 - 8683
menyangkut kekerasan dan diskriminasi terhadap anak yang sama sekali tak tersentuh
oleh hukum. Untuk itu sangat diperlukan adanya peran aktif tidak hanya dari masyarakat
tapi juga yang utama adalah perhatian ekstra dari para aparat penegak hukumnya,
sehingga akan tercipta kondisi aman khususnya bagi anak-anak penerus bangsa ini.
3. Faktor sarana atau fasilitas
Dalam kerangka pelaksanaan hukum, sarana maupun fasilitasnya haruslah memadai
sebab sering kali hukum sulit ditegakkan karena terbentur pada faktor fasilitas yang tidak
memadai atau bahkan sama sekali tidak ada. Dengan kurangnya fasilitas mapun sarana
pendukung maka penegakan hukum akan menjadi terhambat dan tentunya para aparat
penegak hukum tidak dapat memaksimalkan perannya secara aktual. Sarana atau fasilitas
yang cukup ampuh di dalam penegakan hukum bisa dalam bentuk kepastian dalam
penanganan perkara maupun kecepatan memproses perkara tersebut, karena dampaknya
disini akan lebih nyata apabila dibanding dengan peningkatan sanksi negatif belaka.
Apabila tingkat kepastian dan kecepatan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksisanksi negatif akan mempunyai efek menakutkan sehingga akan dapat mencegah
peningkatan kejahatan maupun residivisme.
Untuk sarana dan fasilitas terkait kehidupan sosial, sayangnya pemerintah kita cenderung
mengabaikannya. Bila saja pemerintah memberikan fasilitas yang cukup memadai bagi
anak-anak jalanan, anak-anak yang memiliki keterbatasan ekonomi dan keterbelakangan
mental tentunya akan meminimalisir angka diskriminasi anak dan kriminalitas yang
dilakukan oleh anak-anak tersebut. Pembangunan sekolah bebas biaya bagi anak-anak
tidak mampu, pembangunan rumah penampungan dan perlindungan bagi anak-anak
terlantar serta anak jalanan, dan juga pemberian fasilitas kesehatan yang memadai seolah
hanya menjadi utophia semata, karena realisasi selama ini jauh dari angan-angan tersebut
diatas.
ISSN 1412 - 8683
Budaya hukum yang baik akan menciptakan suatu tatanan masyarakat yang baik pula.
Seringkali paradigma seperti ini tidak dipahami dan diresapi oleh masyarakat, apalagi
yang memiliki latar belakang pendidikan rendah. Pengabaian hak-hak anak terutama hak
untuk memperoleh perlindungan seringkali muncul dari budaya ketidak tahuan akan
hukum dan budaya kekerasan yang timbul sebagai akibat dari pemahaman sempit
masyarakat dan lingkungan yang menganggap bahwa anak adalah seseorang yang tidak
mampu bertindak sendiri sehingga dalam prakteknya hak-hak anak sering terabaikan dan
bahkan dimanfaatkan sebagai akibat berbedanya kemauan atau keinginan dari orang tua
maupun lingkungan masyarakat terhadap anak tersebut.
2.2 Penerapan Ketentuan Hukum Tentang Perlindungan Anak di Indonesia dan
Korelasinya Terhadap Bekerjanya Hukum di Masyarakat
Berdasarkan pemberitaan media elektronik disebutkan bahwa saat ini terdapat lebih dari 3 juta
anak yang memiliki pekerjaan berbahaya (Nursiah, 2007). Di Indonesia fenomena pekerja anak
menunjukkan angka yang meningkat, sekalipun ada pelarangan untuk tidak mempekerjakan
anak-anak, akan tetapi karena faktor ekonomi keluarga, kultural, sosial, budaya, lemahnya
lembaga perangkat hukum, pengawasan dan pelaksanaannya, bahkan ada permintaan (demand)
pekerja anak, dan juga karena faktor politik mempengaruhi insiden keberadaan pekerja anak.
Diperkirakan terdapat 100.000 perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan setiap tahunnya,
kebanyakan sebagai pekerja seks komersial di Indonesia dan luar negeri. Sekitar 4.000-5.000
anak berada di lembaga pemasyarakatan, lembaga rehabilitasi dan penjara. Sebanyak 84 persen
dari anak-anak yang dihukum ini, ditahan bersama para penjahat dewasa.
Dari aspek pendidikan, 1,8 juta anak SD berusia 7-12 tahun, dan 4,8 juta anak usia 13-15 tahun
tidak bersekolah. Sebanyak 26 juta anak usia SD putus sekolah. Jumlah anak usia di atas 10
tahun yang tergolong buta huruf saat ini masih berjumlah 16 juta anak. Bahkan berdasarkan
laporan organisasi kesehatan
ISSN 1412 - 8683
sedunia WHO, konon ada 10 juta anak-anak per tahun di seluruh dunia meninggal dunia sebelum
mencapai usia lima tahun.
Kondisi itu mendorong lahirnya Konvensi Hak Anak Dewan Umum PBB tanggal 20 November
1989. Aktor di belakang konvensi ini tentu saja para pengemban sekularisme-liberal yang
mengklaim sebagai pejuang hak anak. Pada 1990, perwakilan Indonesia turut menandatangani
ratifikasi Konvensi Hak Anak berisi pengaturan perlindungan anak. Dengan demikian, Indonesia
mau tidak mau, berkewajiban melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tindak lanjut dan
memenuhi hak-hak anak sesuai butir-butir konvensi. Sebagai implementasinya, pemerintah
kemudian mensahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 1 Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang
berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang nasional yang berlaku bagi anak
ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Walaupun usia 18 tahun telah digunakan oleh
komunitas LSM hak-hak anak internasional untuk menentukan masa kanak-kanak, tetapi masih
banyak negara yang mengganggap bahwa anak-anak sudah dianggap dewasa sebelum mereka
mencapai usia 18 tahun atau ketika upaya-upaya perlindungan tidak berlaku sampai usia 18
tahun (Koalisi Nasional, 2009).
Efektivitas Undang-Undang Perlindungan Anak hingga saat ini masih dipertanyakan, hal ini
terlihat dari adanya laporan Komnas Perlindungan Anak (KPA) yang menunjukkan tren
peningkatan kasus kekerasan terhadap anak. Bahkan di tahun 2006 angkanya tercatat hingga
mencapai 13,5 juta kasus ((Lilik, 2006). Peningkatan kasus kekerasan dari tahun ke tahun ini
menunjukkan sejauh mana tingkat efektivitas Undang-Undang Perlindungan Anak. Secara
logikanya kan kalau undang-undang itu efektif, maka seharusnya kasus kekerasan terhadap anak
makin berkurang. Meskipun sejumlah lembaga perlindungan anak telah dibentuk untuk menekan
angka kekerasan anak, namun kinerja mereka dirasakan belum memuaskan.
Oleh karena itu, maka Implementasi UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari semua elemen
ISSN 1412 - 8683
bangsa ini. Selain telaah isu internasional, persoalan anak kini semakin sensitif seiring dengan
canggihnya pola dan modus operandi kejahatan terhadap anak. Belum lagi fakta bahwa
kekerasan terhadap anak dengan semakin mudah dijumpai di sekitar kita. Lingkungan keluarga
maupun sekolahan yang seharusnya menjadi tempat anak untuk bertumbuh kembang, kini mulai
berubah menjadi lahan subur aksi kekerasan terhadap anak. Singkatnya, anak kini makin sering
menjadi obyek penderita kejahatan dan kekerasan.
Salah satu bentuk pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak adalah eksploitasi seksual
komersial anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan
pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau
orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai sebuah objek seksual dan sebagai objek
komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan
kekerasan terhadap anak, dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan
modern.
Selain itu, eksploitasi seksual komersial anak juga mencakup praktek-praktek kriminal yang
merendahkan dan mengancam integritas fisik dan psikososial anak. Bentuk-bentuk eksploitasi
seksual komersial anak yang utama yang saling berkaitan dan sering disebut ESKA adalah
pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Bentuk-bentuk
eksploitasi seksual anak lainnya adalah pariwisata seks anak dan dalam beberapa kasus adalah
perkawinan anak. Anak-anak juga dapat dieksploitasi secara seksual dan komersial dalam caracara yang kurang jelas melalui perbudakan di dalam rumah atau kerja ijon. Dalam kasus ini,
seorang anak dikontrak untuk memberi pekerjaan tetapi majikan percaya bahwa anak tersebut
juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan seksual.
Pada umumnya eksploitasi seksual komersial anak terjadi karena adanya permintaan.
Pencegahan dan hukuman kriminal memang penting, tetapi setiap usaha-usaha untuk
menghapuskan eksploitasi seksual komersial anak juga harus mengakui pentingnya untuk
menentang dan mengutuk tingkah laku, keyakinan dan sikap-sikap yang mendukung dan
membenarkan permintaan ini.
ISSN 1412 - 8683
Antara eksploitasi seksual komersial anak dan kekerasan seksual terhadap anak dalam
prakteknya keduanya memanfaatkan anak sebagai sebuah objek seks. Dalam praktek kekerasan
seksual terhadap anak, belum tentu terdapat aspek komersialisasi, namun dalam praktek
eksploitasi seksual komersial anak, kekerasan seks pasti dialami anak.
Kekerasan seksual terhadap anak dapat didefinisikan sebagai kontak atau interaksi antara
seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing, saudara
kandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah objek pemuas bagi
kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan,
ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Ironisnya, para pelaku sering kali orang yang memiliki
tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak tersebut.
Melalui ekploitasi seksual komersial, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah objek seks tetapi
juga sebuah komoditas dimana anak dimanfaatkan secara seksual untuk mendapatkan uang,
barang atau kebaikan bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang
mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual terhadap anak tersebut.
Eksploitasi seksual komersial dalam bentuk apapun sangat membahayakan hak seorang anak
untuk menikmati masa remaja mereka dan kemampuan mereka kearah kehidupan yang
produktif, bermanfaat dan bermartabat. Eksploitasi seksual komersial dapat mengakibatkan
dampak-dampak yang serius, seumur hidup, bahkan mengancam nyawa untuk perkembanganperkembangan fisik, psikologis, spiritual, emosional dan sosial serta kesejahteraan seorang anak.
Anak-anak yang mengalami eksploitasi secara seksual dan komersial sangat beresiko terjangkit
HIV/AIDS dan mereka sepertinya tidak mendapatkan perawatan medis yang layak. Anak-anak
juga sangat rentan terhadap kekerasan fisik. Anak-anak yang berusaha untuk melarikan diri atau
melawan kekerasan tersebut bisa mengalami luka berat atau bahkan dibunuh. Dampak-dampak
psikologis dari eksploitasi seksual dan ancaman-ancaman yang dipergunakan biasanya akan
mengganggu anak-anak sepanjang sisa hidup mereka.
ISSN 1412 - 8683
Eksploitasi seksual komersial anak seperti praktek-praktek tradisional yang sering berurat-akar
dalam keyakinan-keyakinan budaya, globalisasi dan teknologi-teknologi baru mendorong
sejumlah tantangan-tantangan yang berbeda. Pada akhirnya, permintaan akan anak-anak sebagai
pasangan seks untuk tujuan apapun mengarah pada eksploitasi seksual komersial anak. Faktorfaktor yang kompleks muncul dan membuat anak menjadi rentan dan membentuk kekuatankekuatan dan keadaan-keadaan yang memungkinkan anak-anak untuk dieksploitasi secara
komersial maupun seksual adalah: penerimaan masyarakat, diskriminasi/kesukuan, tingkah laku
seksual dan mitos yang tidak bertanggung jawab, kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga
terhadap anak dan penelantaran, situasi-situasi emergensi atau bencana, situasi-situasi konflik,
tinggal dan bekerja di jalanan, konsumerisme, adopsi, hukum yang tidak layak dan korupsi, serta
pesatnya teknologi-teknologi informasi & komunikasi yang memberi dampak negatif.
Kerentanan anak-anak terhadap manipulasi dan eksploitasi. Trauma sosial, psikologis dan fisik
yang berbeda-beda yang terjadi pada anak-anak dalam tahap awal perkembangan mereka dapat
mengakibatkan dampak yang lebih serius pada perkembangan jangka panjang seorang anak dan
proses penyembuhan anak tersebut. Tanggung jawab hukum negara untuk menjamin
perlindungan terhadap hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak dan juga UU No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, para tokoh agama, tokoh adat, dan ormas
diharap-kan juga dapat menjadi mitra kerja KPAI dalam mensosialisasikan UU Perlindungan
Anak dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak kepada
masyarakat. Sebab, mereka merupakan salah satu tokoh kunci keberhasilan dalam meningkatkan
efektivitas perlindungan anak kepada masyarakat luas.
3. PENUTUP
Dalam penegakan hukum terhadap perlindungan anak perlu diperhatikan berbagai faktor yang
mempengaruhinya, terutama terkait faktor penegak hukumnya dan juga faktor budaya
masyarakat Indonesia. Disamping itu,
ISSN 1412 - 8683
dikeluarkannya peraturan seperti Konvensi Hak Anak dan juga UU No.23 Tahun 2002 yang
didalamnya mengatur tentang landasan perlindungan anak merupakan payung hukum bagi
perlindungan atas hak-hak anak dalam bentuk.
1 Non-diskriminasi : Semua anak mempunyai hak yang sama dan harus diperlakukan
sama oleh peraturan/perundangan dan kebijakan Negara.
2 Kepentingan terbaik anak : Setiap tindakan oleh kewenangan publik harus
mempertimbangkan kepentingan terbaik anak.
3 Hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan: anak mempunyai hak- hak
sipil, hak-hak ekonomi, sosial & budaya.
4 Partisipasi anak: anak mempunyai hak untuk menyatakan pendapat sesuai tingkat
usia dan perkembangannya & dipertimbangkan pendapatnya.
KPAI yang di desain sebagai lembaga tempat pengaduan dan analisis kasus perihal perlindungan
anak berhak memberikan saran kepada kepala negara perihal isu seputar anak. Disamping itu,
Stake holder masyarakat baik instansi pemerintah maupun swasta juga mutlak secara bersama
merumuskan dan menyelesaikan setiap kasus yang terjadi terhadap anak Indonesia.
Banyaknya lembaga yang peduli terhadap nasib anak ini dalam kinerjanya dirasa kurang mampu
berkoordinasi secara optimal. Seharusnya lembaga atau instansi yang berdiri baik di daerah
maupun di pusat berkoordinasi untuk bersama-sama melindungi anak Indonesia. Selain itu,
lembaga pemerintahan seperti Departemen Sosial, sebagai pelaksana dalam persoalan
perlindungan khusus (sosial), Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan yang menangani
persoalan perempuan dan anak, dan aparat kepolisian yang bertugas menegakkan hukum kepada
pelaku pelanggaran terhadap hak-hak anak harus lebih mampu bekerjasama dan berkoordinasi
dalam kinerjanya sehingga dapat secara maksimal melakukan perlindungan terhadap anak
Indonesia.
Tidak hanya itu seluruh elemen masyarakat seperti orangtua, sekolahan, dan masyarakat,
seharusnya juga menjadi jaringan pengaman untuk memenuhi hak-hak anak dan melindungi
anak-anak dari kekerasan baik psikis maupun fisik, karena praktek pengabaian atas perlindungan
anak sebenarnya sering terjadi disekeliling kita, namun tidak dapat dihentikan karena rendahnya
kepedulian kita.
ISSN 1412 - 8683
Maka perlu dilakukan kampanye secara terus-menerus untuk membangun kesadaran dan
kepedulian serta mendidik masyarakat dengan informasi terkait usaha perlindungan terhadap
anak demi masa depan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1980. Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung:
Penerbit Alumni.
HS, Lilik, 2006. Perlindungan Terhadap Hak Asasi Anak: Dalam Jurnal Konstitusi Vol.3 No.2,
Mei 2006, Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI.
Rahardjo, Satjipto, 1983. Permasalahan Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni.
_______________, 2010. Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta: Genta Publishing.
Sirtha, I Nyoman, 2008. Materi Perkuliahan Sosiologi Hukum, Program Magister Ilmu Hukum,
Universitas Udayana, Bali.
Soekamto, Soerjono, 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
www.eska.or.id, Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, 2009.
Yahya, Suyono, 1994. Konveksi Hak Anak, Jakarta: Bina Yustitia, Mahkamah Agung RI.
ataupun
potensial
terhadap
perkembangan,
kesehatan,
dan
kekerasan
psikis,
seperti
diskriminasi
terhadap
murid
yang
melakukan
tindakan
yang
menyebabkan
siswa
lain
terkucilkan
bersangkutan
atau
menjadi
menjadi
bahan
rendah
diri,
olok-olok
takut
dan
sehingga
siswa
sebagainya.
yang
Penelitian
Untuk
mengetahui
upaya
pihak-pihak
terkait
dalam
mencegah
dan
BAB II
PEMBAHASAN
1.
juga
sekolah
dipengaruhi
mencegah
dan
keterbukaan
menyelesaikan
sekolah
yang
kekerasan
bersangkutan
terhadap isu kekerasan ini. Selain itu pihak sekolah bisa melibatkan peran
orang tua siswa untuk menyelesaikan kekerasan ini. Harus ada ketegasan
pihak sekolah dan kejelasan sanksi yang diterapkan kepada pelaku agar
pelaku berfikir ulang untuk melakukan kekerasan.
Kekerasan bisa menimbulkan cedera, seperti memar atau patah tulang
yang bisa menyebabkan korban meninggal dan menyeret pelakunya ke
penjara. Memukul murid juga tidak akan mempengaruhi perilaku mereka,
bahkan kekerasan bisa menciptakan anak menjadi pemberontak, pemalu,
tidak tenang, dan tidak secara ikhlas memenuhi permintahan atau perintah
orang yang sudah berlaku keras kepadanya. Bahkan menurut Eizabeth
Gersholff, dalam studi meta-analitis tahun 2003, yang menggabungkan riset
selama enam puluh tahun tentang hukuman fisik, menemukan bahwa satusatunya hasil positif dari kekerasan adalah kepatuhan sesaat.[4]
Penyebab anak melakukan bullying :
2.
c)
Keluarga disfungsional
Keluarga yang salah satu anggotanya sering memukul, atau menyiksa fisik
atau emosi, intimidasi anggota keluarga lain atau keluarga yang sering
konflik terbuka tanpa ada resolusi, atau masalah berkepanjangan yang
dialami oleh keluarga hingga menyita energy psikis dan fisik, hingga
mempengaruhi interaksi, komunikasi dan bahkan kemampuan belajar si
anak.
4.
Dari Lingkungan, Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan yang terjadi
selama ini juga terjadi karena adanya faktor lingkungan, yaitu:
Pidana
(KUHP).
Ketentuan
pidana
dalam
Undang-Undang
Pasal 1366 KUH Perdata ; setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaian, atau kurang hati-hatinya.
Bagi Sekolah
mengembangkan
kreativitas
mereka.
Guru
juga
membutuhkan
aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb. Guru juga
senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas dan
mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar
dari prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa
memberikan
pendidikan
psikologi
pada
para
guru
untuk
memahami
Konseling. Bukan hanya siswa yang membutuhkan konseling, tapi guru pun
mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau
pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.
Menjalin komunikasi yang efektif dengan guru dan sesama orang tua murid
untuk memantau perkembangan anaknya.
c.
yakni
dalam
Undang-Undang
No.22
Tahun
2002
tentang
UNICEF; 2002
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2009 hal 142
[3] Departemen Character Building Universitas Bina Nusantara, 2007
[4] Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak, 2007,
Kekerasan Di Sekolah, Jakarta : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan Dan Anak (P2TP2A) Hal 32
[5] ibid
[6] http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan_detail.asp?id=499 diakses
27 Desember 2011 pukul 22.30 wib
[7] J.C Tukiman Taruna, 2007, Dalam Rika Saraswati, Dkk, 2007. Safe
School Dan Kekerasan Berbasis Jender : Studi Eksploratif Di Sekolah
Menengah Di Kota Semarang, Laporan Penelitian, Tidak Dipublikasikan,
Semarang : Pusat Studi Wanita Unika Soegijapranata.
[8] Www.Blog.Ac.Id/Fenomena-Tawuran-Antar-Pelajar Diakses Pada Tanggal
4 Januari 2012 Pukul 15.00 Wib
[1]
[2]
This research used explanatory method that is to correlate and examine two variables. This
research used quantitative technique through path analysis. The data coolection was used by
quetionares, library research, observation, and interview.
The result of hiphotesis examination showed that both partially and simultaneously there were
positive and potential influence of governmental policy implementation on the Children
Protection towards the effectivity of Children Handling of Domestic Violence Victims in
Department of Social Bandung City.
Key Words: Influence, Policy Implementation, Effektivity, Children Protection.
I. PENDAHULUAN
Kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga akhir- akhir ini semakin banyak diberitakan baik
itu di media cetak atau media elektronik. Kasus kekerasan yang dialami
oleh anak dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan keluarga dengan si anak seperti ayah,
ibu atau anggota keluarga lain yang tinggal serumah dengan anak. Tindakan kekerasan dalam
rumah tangga khususnya tindakan kekerasan yang menimpa anak- anak sampai saat ini belum
bisa diketahui secara pasti berapa jumlahnya, hal ini dikarenakan banyak dari anak-anak korban
tindakan kekerasan ataupun anggota keluarga yang lain tidak melaporkan tindakan kekerasan
yang dialaminya.
Berbagai alasan menyebabkan anak atau anggota keluarga yang lain tidak melaporkan tindakan
kekerasan yang dialaminya, diantaranya dikarenakan kekerasan dalam keluarga yang menimpa
anak atau anggota keluarga yang lain dianggap sebagai hak privasi keluarga tersebut. Kekerasan
dalam keluarga juga dianggap sebagai aib keluarga sehingga anggota keluarga yang lain tidak
berani melaporkan tindakan kekerasan yang terjadi.
Meningkatnya kekerasan terhadap anak yang pelakunya adalah orang-orang terdekat
memerlukan penanganan yang secepatnya, karena orang- orang terdekat atau keluarga akan
sangat dominan dalam pembentukan kepribadian anak. Karena itu peranan pemerintah sangat
diharapkan dalam menciptakan peraturan atau perundang-undangan yang berkaitan dengan
penanganan dan penanggulangan kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga ini.
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Bab IV Pasal 21 sampai dengan
24 menyatakan tentang kewajiban dan tanggungjawab negara dan pemerintah dalam
perlindungan anak sebagai berikut:
1. Negara dan pemerintah berkewajiban dan betanggungjawab menghormati hak asasi setiap
anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan atau mental.
2. Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab memberikan dukungan saranan
dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
3. Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang secara hukum
bertanggungjawab terhadap anak.
4. Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.
5. Negara dan pemerintah menjamin anak untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.
Penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002
bertujuan untuk memberikan perlindungan anak sehingga dapat menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak yang berkualitas.
Dalam konteks Pemerintah Kota Bandung, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
diimplementasikan ke dalam Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2007. Ini merupakan salah satu
kebijakan teknis bidang sosial yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Kota Bandung. Pasal 2
Peraturan Daerah No, 8 Tahun 2007 menjelaskan bahwa penyelenggaraan penanganan
kesejahteraan sosial meliputi; anak terlantar, anak yatim dan yatim piatu, anak yang menjadi
korban tindak kekerasan, pengemis, gelandangan, pemulung, wanita tuna susila, bekas
narapidana, penyandang cacat, dan sebagainya. Dengan demikian secara hukum tidak diragukan
lagi peranan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, termasuk penanganan anak
korban kekerasan dalam
rumah tangga, tinggal bagaimana para pelaku di bidang ini mewujudkannya dalam masyarakat
secara konkrit.
Lebih lanjut peran masyarakat dalam usaha penanganan kesejahteraan sosial diperkuat oleh
Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok kesejahteraan Sosial.
Pasal 8 UU No. 6 tahun 1974 menyatakan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan seluasluasnya untuk mengadakan usaha kesejahteraan sosial dengan mengindahkan kebijaksanaan dan
ketentuan-ketentuan sebagaimana ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian usaha kesejahteraan sosial dilaksanakan oleh seluruh pemerintah dan masyarakat
secara bersama-sama.
Karena itu penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dapat ditemui di
hampir semua kota di Indonesia, termasuk di Kota Bandung. Dinas Sosial Kota Bandung
mempunyai fokus terhadap perlindungan, penyembuhan serta pemberdayaan peran serta
masyarakat guna memberikan dukungan terhadap korban tindakan kekerasan.
Berdasarkan pengamatan awal peneliti bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Daerah Kota Bandung terutama Dinas Sosial Kota Bandung adalah menunjukkan:
1. Belum optimalnya informasi kepada para pihak yang berkepentingan tentang penanganan anak
korban kekerasan dalam rumah tangga.
2. Sarana dan prasaranan dalam melaksanakan kebijakan belum dipersiapkan secara menyeluruh.
3. Belum banyaknya tenaga ahli yang mendukung penanganan anak korban kekerasan dalam
rumah tangga.
Berdasarkan gambaran tersebut di atas peneliti berasumsi bahwa upaya-upaya yang dilakukan
Dinas Sosial Kota Bandung belum optimal, sehingga tujuan dari kebijakan belum dapat terwujud
sesuai dengan harapan dan hal tersebut dapat menyebabkan kurang lancarnya penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
Di dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mengananalisis permasalahan tersebut dengan
menghubungkan salah satu variabel pengaruh yaitu pelaksanaan (implementasi) kebijakan
Pemerintah Daerah Kota bandung yang dilakukan melalui Dinas Sosial Kota Bandung tentang
perlindungan anak di Kota Bandung. Aspek kebijakan merupakan serangkaian keputusan yang
dapat digunakan sebagai landasan dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah Kota Bandung.
1.1. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang penelitian, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
Seberapa besar pengaruh implementasi kebijakan pemerintah tentang perlindungan anak
terhadap efektivitas penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga di Dinas Sosial
Kota Bandung.
1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.2.1. Maksud Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka maksud penelitian yang akan
dicapai adalah untuk menganalisis bagaimana implementasi kebijakan pemerintah tentang
perlindungan anak terhadap efektivitas penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga
di Dinas Sosial Kota Bandung.
1.2.2. Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh implementasi kebijakan
pemerintah tentang perlindungan anak terhadap efektivitas penanganan anak korban kekerasan
dalam rumah tangga di Dinas Sosial Kota Bandung.
II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Implementasi Kebijakan
Lester dan Stewart Jr (2000; 104) menyatakan bahwa implementasi merupakan suatu proses
sekaligus hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat
dari proses pencapain tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapainya atau tidaknya tujuan-tujuan
yang ingin dicapai. Penegasan lebih lanjut tentang ukuran keberhasilan implementasi kebijakan
dikemukakan oleh Grindle (1980; 19) bahwa pengukuran keberhasilan implementasi dapat
dilihat dari prosesnya dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang
telah ditentukan yakni melihat pada action program dari individual project dan yang kedua
apakah program tersebut tercapai.
Berpijak pada uraian-uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan
mempunyai syarat-syarat yang meliputi:
1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan.
2. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian dan tujuan.
3. Adanya pelaksana kegiatan.
4. Adanya landasan dalam bentuk normatif atau bentuk keputusan kebijakan.
5. Adanya hasil kegiatan.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan
suatu proses yang dinamis dalam upaya mewujudkan keputusan kebijakan yang telah ditetapkan,
dimana pelaksana kebijakan melaksanakan aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya akan
mendapatkan hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Berkaitan dengan keberhasilan implementasi kebijakan, menurut Edward III terdapat empat
faktor kritis dalam implementasi kebijakan publik, yaitu: komunikasi, sumber daya,
sikap/kecenderungan, dan struktur birokrasi, sebagaimana yang dinyatakan dalam Edwards III
(1980:10) yang menyebutkan four critical factors or variables in implementing public
policy: communication, resources, dispositions or attitudes, and bureaucratic structure.
Adapun penjelasan hubungan antar faktor-faktor yang menentukan implementasi kebijakan
tersebut, diterangkan di bawah ini.
1. Komunikasi (communication)
Dalam proses komunikasi kebijakan, Edward III (1980: 37) menyebutkan bahwa transmisi,
konsistensi dan kejelasan, memberikan pengaruh terhadap implementasi kebijakan. Para
penerima informasi (target audience) baik sebagai pengirim (sender) maupun penerima
(receiver) perlu mengetahui apa yang harus dilakukan terhadap kebijakan.
2. Sumberdaya (resources)
Faktor kedua yang mempengaruhi implementasi kebijakan adalah sumberdaya. Edward III (1980
: 87) menyebutkan bahwa walaupun ketiga faktor dalam dalam proses
komunikasi terpenuhi, namun tanpa dukungan sumberdaya (manusia dan fasilitas) yang handal
dan memadai, implementasi kebijakan tidak akan efektif.
Sumberdaya kebijakan yang secara garis besar terdiri dari sumberdaya manusia yakni
sumberdaya komunikator (dalam hal ini aparatur pemerintah) dan sumberdaya produksi dan
distribusi; di samping sumberdaya alam baik berupa potensi alam, ketersediaan waktu,
ketersediaan tempat, serta sumberdaya buatan yang terdiri dari ketersediaan sumberdana yang
stabil, serta fasilitas - fasilitas berupa sarana dan prasarana implementasi.
3. Disposisi atau Sikap dan Perilaku terhadap Kebijakan (Disposition)
Ketanggapan yang dimanifestasikan sebagai sikap dan perilaku sumberdaya manusia aparatur
implementasi kebijakan sebagai implementator kebijakan dan sumberdaya optimalisasi hasil
implementasi kebijakan bersangkutan, serta dampaknya dalam pelayanan sebagai konsumen
(obyek) atas implementasi kebijakan. Edward III (1980 : 90) menelaah faktor disposisi ini ke
dalam tiga dimensi: (1) Pengaruh Disposisi (Effects of Dispositions) yaitu kepentingan
implementator secara pribadi dan atau organisasional yang ditujukkan oleh sikapnya terhadap
kebijakan pada kenyataannya sangat besar pengaruhnya pada implementasi kebijakan yang
efektif, (2) Penataan Staf Birokrasi (Staffing the Bereaucratic), dan (3) Insentif (Incentives)
merupakan salah satu faktor pembangkit motivasi staf implementator pada setiap tingkatan perlu
diperhatikan dan dipenuhi. (Edward III, 1980 : 93-94).
4. Struktur Birokrasi (bureaucracy structure)
Struktur kelembagaan birokrasi pemerintahan di pusat dan di daerah sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan implementasi kebijakan pemerintahan. Prosedur
Operasional Baku (SOP) dan fragmentasi struktur birokrasi ini dapat menjadi penghambat
implementasi dalam bentuk pemborosan sumberdaya, perintangan koordinasi, pengacauan
yurisdiksi implementator lapis bawah, serta pembangkitan tindakan - tindakan yang tidak
dikehendaki sehingga harus mendapatkan tambahan atensi (Edward III, 1980 : 127).
Berpijak pada keseluruhan paparan menurut Edward III di atas, implementasi kebijakan dapat
terlaksana dengan baik jika keempat faktor kritis (komunikasi, sumber daya, disposisi dan
struktur birokrasi) dapat bekerja dengan baik, karena tidak mungkin setiap faktor berdiri sendiri,
melainkan akan bekerja bersama-sama dan satu sama lain saling mempengaruhi.
Kelemahan pada satu faktor, akan berpengaruh pada proses implementasi yang pada akhirnya
mempengaruhi kinerja implementasi itu sendiri. Kiranya dapat diartikan bahwa; (i) komunikasi
merupakan suatu bentuk kanalisasi penerapan kebijakan dan strategi suatu kegiatan tertentu
kepada implementator kebijakan, (ii) sumber daya menceminkan adanya suatu sarana-prasarana
pendukung utama implementasi kebijakan, misalnya; aparatur, infrastruktur, dana, keterampilan
dan sebagainya, (iii) disposisi mencerminkan arus deliveri bagaimana kebijakan itu harus
diimplementasikan melalui agregasi kemampuan sumber daya, sedangkan (iv) struktur birokrasi
mencerminkan adanya keharusan bahwa berjalannya implementasi kebijakan itu melalui lini
organisasi dan struktur birokrasi.
2.1.2. Efektivitas
Setiap organisasi memiliki tujuan yang akan dicapai melalui kegiatan atau pekerjaan orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Menurut Handoko (1997; 7) dalam bukunya
Manajemen, dikatakan bahwa untuk mengukur prestasi kerja manajemen adalah efisiensi dan
efektivitas.
Sedarmayanti (1995; 61) menyatakan sebagai berikut:
Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa jauh target dapat
tercapai. Pengertian efektivitas ini lebih berorientasi pada keluaran sedangkan masalah
penggunaan masukan (efisiensi) kurang menjadi perhatian utama. Karena itu walaupun terjadi
peningkatan efektivitas belum tentu efisiensi meningkat.
Pengertian efektiviytas dikemukakan oleh Gibson et.al. yang dikutip oleh Barnard (1994; 27),
sebagai berikut:
Efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati sebagai usaha bersama. Tingkat
pencapaian sasaran itu menunjukkan tingkat efektivitas.
Pengertian efektivitas menurut Hidayat (1998; 7) adalah sebagai berikut:
Efektivitas merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (waktu, kuantitas,
dan kualitas) yang telah dicapai. Semakin besar target yang dicapai, maka semakin tinggi tingkat
efektivitas.
Sedangkan efektivitas di dalam pekerjaan pemerintahan menurut Handayaningrat (1996; 16)
adalah sebagai berikut:
Efektivitas di dalam suatu tujuan atau sasaran yang telah dicapai sesuai dengan rencana adalah
efektif, tetapi belum tentu efisien. Suatu pekerjaan pemerintah sekalipun tidak efisien dalam arti
input dan output, tetapi tercapainya tujuan adalah efektif sebab mempunyai efektivitas atau
pengaruh yang besar terhadap kepentingan masyarakat banyak baik politik, ekonomi, social, dan
sebagainya.
Efektivitas secara sederhana diartikan sebagai penyelesain pekerjaan yang dilaksanakan tepat
waktu yang telah ditentukan. Dalam kaitan dengan organisasi, Robbins dalam Sumartinie (2004;
40) mengemukakan bahwa:
Efektivitas adalah tingkat kemempuan organisasi untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Karena
itu efektivitas dapat dinilai melalui ketepatan waktu penylesaian suatu pekerjaan dan kualitas
pekerjaan.
Berdasarkan pengertian tersebut, efektivitas kerja merupakan suatu keberhasilan organisasi yang
dijalankan oleh pimpinan dalam menyelsaikan pekerjaan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Selain itu efektivitas kerja merupakan pengukuran dalam arti sejauhmana organisasi
melksanakan tugas sesuai sasarannya dengan melihat jumlah kualitas dari jasa yang telah
dihasilkan berdasarkan target yang telah ditentukan.
Penyelesaian kerja tepat pada waktunya merupakan suatu hal yang penting, sebab tujuan
organisasi tidak akan tercapai apabila tidak ditunjang oleh pelaksanaan pekerjaan yang efektif.
Steers dalam Jamin (1985; 45) menyatakan bahwa efektivitas dapat dilihat dari tiga aspek utama
yaitu ketepatan waktu, ketepatan kuantitas, dan ketepatan kualitas.
2.2. Kerangka Pemikiran
Fokus utama penelitian ini adalah persoalan yang erat kaitannya dengan implementasi kebijakan.
Anderson (1978; 25) mengemukakan bahwa policy implementation is the application of the
policy by the governments administrative machinery to the problem.
Grindle (1980; 6) mengemukakan bahwa implementation is a general process of administration
action that can be investigated at specific program level.
Kemudian Marshall dalam Edi Suharto (2005; 10) mendefinisikan kebijakan pemerintah
merupakan kebijakan dan upaya pemerintah yang berkaitan dengan tindakan-tindakan yang
memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan sosial warga negara melalui penyediaan
pelayanan sosial.
Birokrasi pemerintahan menginterpretasikan kebijakan pemerintah tersebut menjadi suatu
program. Jadi program dipandang sebagai kebijakan birokrasi karena dirumuskan oleh
birokrasi. Program lebih bersifat operasional dan khusus, dari suatu rencana umum pemerintah
dengan tujuan dan saranan yang lebih terperinci dan jelas (Wahab, 1991; 17).
Steers dalam Jamin (1985; 45) menyatakan bahwa efektivitas kerja dapat dilihat dari tiga aspek
utama yaitu (1) Ketepatan Waktu, (2) Ketepatan Kuantitas, dan (3) Ketepatan Kualitas.
Berdasarkan teori, konsep dan definisi di atas peneliti berasumsi bahwa efektivitas kerja menjadi
salah satu syarat yang harus diperhatikan oleh organisasi atau lembaga pemerintahan. Hal itu
dikarenakan tercapainya efektivitas kerja akan terlihat dari adanya peningkatan kualitas,
kuantitas, dan ketepatan waktu di dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan.
Berdasarkan keseluruhan paparan di atas maka peneliti mengajukan kerangka penelitian ini
sebagai berikut:
Gambar 2: Kerangka Pemikiran
Efektivitas Penanganan Anak
Korban KDRT di Dinas Sosial Kota Bandung (Y)
1. Ketepatan Waktu
2. Ketepatan Kuantitas
3. Ketepatan Kualitas
Implementasi Kebijakan
Pemerintah Tentang Perlindungan Anak (X)
1. Komunikasi
2. Sumberdaya
3. Disposisi
4. Struktur Birokrasi
2.3. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, peneliti mengajukan hipotesis penelitian sebagai
berikut: Besarnya pengaruh implementasi kebijakan pemerintah tentang perlindungan anak
terhadap efektivitas penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga di Dinas Sosial
Kota Bandung ditentukan oleh komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini didesain menggunakan metode penelitian kuantitatif. Tipe penelitian ini adalah
kausalitas, yaitu akan menguji pengaruh implementasi kebijakan pemerintah tentang
perlindungan anak terhadap penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga di Dinas
Sosial Kota Bandung.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu melalui studi kepustakaan,
studi lapangan melalui observasi, wawancara, serta penyebaran angket (kuesioner).
Teknik analisis data dalam penelitian ini akan dilaksanakan dengan dua teknik, yaitu teknik
analisis kualitatif dan teknik analisis kuantitatif. Analisis kualitatif pada dasarnya ingin
menggambarkan hasil jawaban responden dengan membuat pembobotan pada setiap alternatif
jawaban yang kemudian ditabulasikan dalam bentuk tabel. Hasil tabulasi tersebut akan
digunakan dalam pengkategorian setiap dimensi dari hasil jawaban responden dengan langkahlangkah sebagai berikut:
a. Nilai indeks minimum adalah skor minimum dikali jumlah pertanyaan dikali jumlah
responden.
b. Nilai indeks maksimum adalah skor tertinggi dikali jumlah pertanyaan dikali jumlah
responden.
c. Interval adalah selisih antara nilai indeks maksimum dengan nilai indeks minimum.
d. Jarak interval adalah interval ini dibagi jumlah jenjang yang diinginkan.
Penentuan kategori dalam ukuran prosentase dilakukan dengan penghitungan sebagai berikut:
* Skor minimum dalam persentase %100xMaksimumSkorMinimumSkor
%10051x
= 20%
* Skor maksimum dalam persentase x100%
Maksimum Skor
Minimum Skor
%10055x
= 100%
* Interval dalam persentase = Skor maksimum Skor minimum
= 100% - 20%
= 80%
* Panjang interval dalam persentase %100xJenjangInterval
= 16%
Kategori skor jawaban responden untuk masing-masing item penelitian adalah sebagai berikut:
Interval Tingkat Intensitas
Kriteria
20% - < 36%
Sangat Rendah, Sangat Tidak Baik
36% - < 52%
Rendah, Tidak Baik
52% - < 68%
Cukup Tinggi, Cukup Baik
68% - < 84%
Tinggi, Baik
84% - 100%
Sangat Tinggi, Sangat Baik
5%80
Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menguji hipotesis penelitian dengan
menggunakan uji statistic yang relevan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat
analisis jalur (Path Analysis). Analisis jalur digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor
komunikasi, sumberdaya, sikap para pelaksana, dan factor struktur birokrasi (X) terhadap
Efektivitas Penanganan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Y). Dengan
menggunakan teknik analisis tersebut diharapkan akan diperoleh generalisasi yang bersifat
terpadu.
Karena data yang diperoleh dari kuesioner merupakan data ordinal, maka data tersebut diubah
skala pengukurannya menjadi skala interval dengan menggunakan method of successive interval.
Adapun langkah-langkah untuk melakukan transformasi data adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan jawaban responden, untuk setiap pernyataan, hitung frekuensi setiap jawaban.
b. Berdasarkan frekuensi yang diperoleh, untuk setiap pernyataan, hitung proporsi setiap
jawaban.
c. Berdasarkan proporsi tersebut, untuk setiap pernyataan, hitung proporsi kumulatif untuk setiap
pilihan jawaban.
d. Untuk setiap pernyataan, tentukan nilai batas untuk Z pada setiap pilihan jawaban.
e. Hitung nilai numeric penskalaan untuk setiap pilihan jawaban melalui rumus sebagai berikut:
LimitLowerBelowatAreaLimitUpperBelowatAreaLimitUpperatDensityLimitLoweratDensityValu
eScala
Keterangan:
rrrXRP211...1
d. Hitung R y(x1,x2, x3, x4) yang merupakan koefisien determinasi total X1, X2, X3, X4
terhadap Y.
YXkYXYXYXkYXYXXkYXrrrXPPPR21212...1
e. Hitung Py yang merupakan koefisien jalur dari variable lain yang tidak termasuk dalam model
dengan rumus:
2)...21(1XkXXYYRP
f. Menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung.
Pengaruh Langsung:
Y Xi Y : (Pyxi) (Pyxi) x 100%
Pengaruh Tidak Langsung:
Y Xi Xj Y : (Pyxi) (rxjxi) (Pyxi) x 100%
Total pengaruh dari masing-masing variable X terhadap variable Y diperoleh dengan
menjumlahkan pengaruh langsung dengan pengaruh tidak langsung.
Atau: Total Pengaruh = Pengaruh Langsung + Pengaruh Tidak Langsung
YXkYXYXXkXYXi
Dari perhitungan di atas akan diperoleh masing-masing nilai dalam paradigma penelitian di
bawah ini:
X1
X2
X3
X4
Y
prasarana yang memadai. Hal ini sesuai dengan pendapat Edward III (1980; 17) bahwa sumbersumber penting dalam mendukung pelaksanaan implementasi kebijakan pemerintah antara lain
staf, kewenangan, dan fasilitas.
Dari hasil pengujian statistik pada pembahasan sebelumnya terkaji bahwa dimensi sikap
pelaksana (disposisi) dari variabel implementasi kebijakan pemerintah tentang perlindungan
anak mempunyai pengatuh positif terhadap efektivitas penanganan anak korban kekerasan dalam
rumah tangga di Dinas Sosial Kota Bandung. Hal ini berarti bahwa peningkatan efektivitas
penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga salah satunya ditentukan oleh sikap
pelaksana (disposisi) implementasi kebijakan. Dengan demikian untuk lebih meningkatkan
efektivitas penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga, hendaknya implementasi
kebijakan pemerintah didukung oleh motivasi dan kemauan dari aparat pemerintah itu sendiri.
Penerapan kebijakan dilaksanakan secara efektif apabila aparat pelaksana selain mengetahui apa
yang akan dikerjakan, juga memiliki kemampuan untuk menerapkannya. Tuntutan kemampuan
dalam melaksanakan kebijakan didukung dengan adanya kemauan untuk menerapkan kebijakan
tersebut. Dalam pelaksanaannya aparat sangat penting dalam implementasi kebijakan pemerintah
tentang perlindungan anak karena sumber informasi yang dibuthkan pihak-pihak terkait dalam
penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga, yang utama adalah dari aparat
pemerintah yang langsung terjun ke lapangan.
Peranan aparat pemerintah tentunya perlu didukung oleh kesediaan sarana dan prasarana dalam
menyampaikan kebijakan pemerintah tersebut kepada pihak-pihak terkait dalam penanganan
anak korban kekerasan dalam rumah tangga, didukung oleh pendanaan yang memadai serta
kewenangan yang jelas dalam penyampaian informasi tersebut. Kemudian untuk mengatasi
tindakan penyelewengan dan pelanggaran yang dilakukan aparat pelaksana kebijakan, salah
satunya dengan memberikan insentif dalam berbagai bentuk yang diperkirakan dapat mendorong
ke arah perilaku yang positif. Hal
ini sesuai dengan pendapat Edward III (1980;107) dimana pemberian insentif dapat berupa
materi, regulasi-regulasi kebijakan atau bahkan pemberian sanksi, akan mengurangi
kecenderungan perilaku penyimpangan pelaksanaan tugas dan mendorong para pelaksana
kebijakan untuk berperilaku positif dalam melaksanakan tugasnya.
Dari hasil pengujian statistik pada pembahasan sebelumnya terkaji bahwa dimensi struktur
birokrasi dari variabel implementasi kebijakan pemerintah tentang perlindungan anak
mempunyai pengaruh positif terhadap efektivitas penanganan anak korban kekerasan dalam
rumah tangga di Dinas Sosial Kota Bandung. Hal ini berarti bahwa peningkatan efektivitas
penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga salah satunya ditentukan oleh struktur
birokrasi pada implementasi kebijakan pemerintah tentang perlindungan anak.
Dengan demikian untuk lebih meningkatkan efektivitas penanganan anak korban kekerasan
dalam rumah tangga di Dinas Sosial Kota Bandung, prosedur yang jelas dalam penanganan anak
korban kekerasan dalam rumah tangga dapat menyeragamkan tindakan-tindakan dari para
pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas yang pada gilirannya dapat
menimbulkan fleksibilitas dan kesamaam yang selaras dalam menerapkan peraturan-peraturan.
Pada pelaksanaannya terkadang implementasi kebijakan pemerintah tentang perlindungan anak
tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini dikarenakan banyak kepentingan-kepentingan
adari aparat pemerintah sendiri sehinga aturan dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut
tidak dapat dikoordinasikan dengan pihak terkait yang berhubungan dalam pelaksanaan program
pemerintah tersebut. Perbedaan ini akan berpengaruh pada implementasi kebijakan pemerintah
tentang perlindungan
anak, khususnya pada efektivitas penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dapat disimpulkan bahwa minimal satu diantara Dimensi
Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi atau Sikap Pelaksana dan Struktur Birokrasi berpengaruh
terhadap Efektivitas Penanganan Anak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Dinas Sosial
Kota Bandung, atau dengan kata lain implementasi kebijakan pemerintah mempengaruhi
efektivitas penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga di Dinas Sosial Kota
Bandung.
Itu berarti pula bahwa semakin baik pelaksanaan implementasi kebijakan pemerintah tentang
perlindungan anak, maka semakin efektif penanganan anak korban kekerasan dalam rumah
tangga di Dinas Sosial Kota Bandung.
5.2. Saran
5.2.1. Saran Akademik
1. Berpijak pada kesimpulan di atas, peneliti mengajukan konsep koordinasi yang sinergis dan
terintegrasi di kalangan para pemangku kepentingan perlindungan anak, khususnya dalam
penanganan anak korban kekerasan dalam rumah tangga.
5.2.2. Saran Praktis
1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam pelaksanaan implementasi kebijakan
pemerintah tentang perlindungan anak di Dinas
Sosial Kota Bandung dengan mengadakan pelatihan-pelatihan secar intensif dan berkala.
2. Sarana dan prasarana dalam implementasi kebijakan pemerintah tentang perlindungan anak
agar dilengkapi dan dipenuhi sesuai kebutuhan.
3. Lebih mengintensifkan komunikasi/sosialisasi kebijakan pemerintah tentang perlindungan
anak kepada pihak-pihak yang terkait.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Achlis. 1982. Pekerjaan Sosial Sebagai Profesi dan Proses Pertolongan. Bandung: STKS.
Barker, Robert L. 1978. The Social Work Dictionary, National Association of Social Workers,
Maryland. Silver Spring.
Dubois, Brenda and Miley, K.K. 1992. Social Work an Empowering Profession. USA. Allyn and
Bacon.
Dunn, Willian N. 1998. Pengantar Analisis kebijakan Publik, terjemahan Muhadjir Darwin.
Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Dwi Heru Sukoco. 1991. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya. Bandung:
KOPMA STKS.
Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington D.C.: Congressional
Quarterly Press.
Edward III, George C. and Sarkansky. 1980. The Policy Predicament. San Francisco: W.H.
Freeman and Company.
Grindle, Merilee S. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World. New York:
Princeton University Press.
Handayaningrat, Soewarno. 1996. Pengantar Studi Administrasi dan Manajemen. Jakarta:
Gunung Agung.
Heise L. Ellsberg. 1999. Ending Violence Against Women Population Report. University School
of Public Health. Population Health Program.
Perlindungan Hukum Hak-Hak Anak Dan Implementasinya Di Indonesia Pada Era Otonomi Daerah,
(Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008) hlm.14 2 KPAI-RWI, RWI-KPAI,
Ringkasan Acara dan Sumber Buku Pegangan Lokakarya Konsultatif Sistem Peradilan Anak 2009 (Jakarta, 2010),
hlm.21
Dalam kenyataannya anak yang merupakan aset bangsa tersebut sering menghadapi
masalah hukum, kurang lebih sekitar 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan
setiap tahunnya atas kejahatan seperti pencurian, pemerasan, dan lain-lain. (sumber
data diperoleh dari Ditjen Pas, dikutip dari Analisis Situasi Anak yang Berhadapan
dengan Hukum di Indonesia, UNICEF/UI, 2009).2
2
Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum
(children in conflict with the law),3 yang dalam praktik hukum di negara Indonesia
digunakan istilah Anak yang Berhadapan dengan Hukum, adapun anak yang
berhadapan dengan hukum tersebut adalah mereka yang berhubungan dengan proses
peradilan, dengan klasifikasi:
3 Yayasan
Pemantau Anak, Bahan Masukan Draft Laporan Alternatif (Inisiatif) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik
(Pasal 10):Praktek-Praktek Penanganan Anak Berkonflik Dengan Hukum Dalam Kerangka Sistem Peradilan
Pidana Anak (Juvenile Justice System) Di Indonesia : Perspektif Hak Sipil Dan Hak Politik
(www.hukumonline.com) diunduh 20 Oktober 2011)
Dalam UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, istilah mengenai ABH
baru saja diperkenalkan, sedangkan istilah restorative justice sudah lebih sering
dipergunakan. Penggunaan istilah restorative justice telah ada sejak dibuatnya Surat
Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan
Hukum tanggal 22 Desember 2009, yang dikeluarkan bersama-sama oleh instansi
terkait, yaitu:
1 1) Mahkamah Agung R.I. Nomor: 166 A/KMA/SKB/XII/2009
2 2) Jaksa Agung R.I. Nomor: 148 A/A/JA/12/2009
3 3) Kepala Kepolisian Negara R.I. Nomor: B/45/XII/2009
4 4) Menteri Hukum dan HAM R.I. Nomor: M.HH-08 HM.03.02 Tahun 2009
5 5) Menteri Sosial R.I. Nomor: 10/PRS-2/KPTS/2009
6 6) Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor:
02/Men.PP dan PA/XII/2009
3
Dengan adanya SKB tersebut kemudian istilah Restorative Justice resmi berlaku
secara yuridis, namun dengan menggunakan terjemahan bahasa Indonesia yaitu
keadilan restoratif.4 Lembaga restorative justice secara formal belum termuat dalam
UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sebagai hukum positif yang berlaku
saat ini (ius constitutum). Dengan telah disahkannya Convention on the rights of the
child atau Konvensi Hak Anak melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 seharusnya
ajaran restorative justice terhadap anak sudah dapat diberlakukan di dalam UU Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, namun kenyataannya belum ada dan baru
diformulasikan dalam RUU Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan diberlakukan di
masa datang. Berdasarkan RPJMN tahun 2010 sampai dengan tahun 2014, kebijakan
perlindungan anak diarahkan pada hal-hal sebagai berikut:
4 Day
A.J., S.H, Catatan materi kuliah Restorative Justice dan Diversi dalam penanganan ABH, (Jakarta: Pusdiklat
Kejaksaan Agung R.I, Diklat ABH tanggal 1 s/d 14 Maret 2011).
Dalam kaitannya dengan kapasitas anak sebagai pelaku pada umumnya mereka tidak
mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial, maka tidaklah
mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau
rumah tahanan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa 90 % dari anak yang
berhadapan dengan proses peradilan dijatuhi vonis berupa pemidanaan (penjara). 5
Tingginya tingkat penjatuhan pidana penjara terhadap anak dalam penegakkan hukum
dibandingkan dengan penjatuhan alternatif pemidanaan lainnya, mencerminkan
mengenai bagaimana penegakkan hukum anak dilaksanakan dalam praktek peradilan.
Kondisi dan fakta tersebut sangat memprihatinkan, karena banyak anak yang harus
atau terpaksa menghadapi proses peradilan, banyak anak di tempat penahanan dan
pemenjaraan seringkali ditempatkan bersama dengan orang-orang dewasa. Kondisi
tersebut dikarenakan belum adanya fasilitas penahanan khusus anak yang disediakan
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang di dalam daerahnya terdapat
Rutan/Lapas dan baru ada di beberapa kota besar saja, seperti: LP anak Tanggerang,
LP anak Kutoarjo, LP anak Balikpapan, dan beberapa kota lainnya, namun demikian
itupun dengan fasilitas yang kurang memadai dan minim.
5 Op.Cit,
hlm 24
korban berbagai tindak kekerasan oleh para pelaku kejahatan dewasa ketika mereka
menjalani masa pemidanaan.
Dalam praktiknya penyelesaian perkara anak berhadapan dengan hukum dan sistem
peradilan memiliki konsekuensi merugikan bagi anak dan masyarakat, diantaranya
adalah:
1 1) Pengalaman kekerasan dan perlakuan salah selama proses peradilan (pelaku,
korban atau saksi);
2 2) Stigmatisasi/labelisasi kriminal
3 3) Pengulangan perbuatan/recidive
Seiring dengan perkembangan zaman, dan dengan mendasarkan pada konvenan
internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden R.I Nomor 36 tahun 1990 tentang Konvensi Anak. Dengan mendasarkan pada
kepentingan terbaik bagi anak kemudian muncullah istilah Restorative Justice (RJ)
yang merupakan hal baru dan akhir-akhir ini dikenal dalam sistem peradilan pidana
Indonesia. khususnya dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum atau
yang biasa diistilahkan dengan ABH. Penyelesaian model restorative justice tersebut
belum dapat di terapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, karena belum ada
acuan/legal standing/pedomannya.
Restorative Justice merupakan salah satu cara (alternatif) penyelesaian perkara pidana
anak di luar jalur konvensional (peradilan). Dengan adanya Restorative Justice, maka
penyelesaian perkara pidana
6
anak yang berkonflik dengan hukum tidak melulu harus melalui jalur peradilan. Dalam
perkembangannya kemudian disusun RUU Sistem Peradilan Pidana Anak, yang
didalamnya menyebutkan mengenai istilah keadilan restoratif yang diartikan sebagai
suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan
pihak lain yang terkait secara bersama sama mencari penyelesaian terhadap tindak
pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada
keadaan semula bukan pembalasan.
Penyelesaian dengan model keadilan restoratif di New Zealand disebut Family
Conference. Di New Zealand penerapan model Restoratif Justice ini telah berjalan
sejak lama dan berhasil dengan baik. Sedangkan di Indonesia ajaran tentang
restorative justice di Indonesia baru mulai diperhatikan semenjak dirancangnya UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terutama dalam ruang lingkup sistem
peradilan pidana anak atau dalam istilah asing dikenal dengan istilah Juvenile Justice
System (JJS). Pada saat itu timbullah ide untuk secara expresis verbis
memasukkannya ke dalam perundang-undangan kita dengan merevisi UU tentang
Pengadilan Anak dalam bentuk RUU Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang
saat ini masih menjadi bahan pembahasan di DPR. 6
Ide keadilan restoratif ini semata-mata bukan merupakan perubahan terhadap model
peradilan retributive, sistem ini merupakan
7
perubahan paradigma yang signifikan dengan serangkaian tujuan dan sasaran yang
sama sekali berbeda.7
7 RWI-KPAI,
Loc.cit hal.12 8 KPAI-Raoul Wallenberg Institut of Human Rights and Humanitarian Law (RWI),
Ringkasan Acara dan Sumber Buku Pegangan, Lokakarya Konsultatif Sistem Peradilan Anak 2009 (Jakarta: 2010),
hlm.13
Lahirnya pemikiran tentang model restorative justice diharapkan anak akan mendapat
hak yang semestinya. Dalam keadilan restoratif ini fokusnya adalah pada penyelesaian
masalah, tanggungjawab, kewajiban dan masa depan apa yang harus dilakukan,
dengan melakukan dialog dan negosiasi normal, sebagai cara untuk memberikan
pemulihan kepada dua belah pihak rekonsiliasi/restorasi sebagai tujuan akhir.8
Penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap anak-anak yang selama ini diterapkan
dalam praktek peradilan, telah menjadi fenomena nyata dalam dunia penegakkan
hukum di Indonesia. Dengan alasan bahwa penjatuhan pidana penjara tersebut pada
akhirnya dijadikan alasan sebagai salah satu tujuan pemidanaan yaitu untuk membuat
jera pelaku tindak pidana yang notabene masih anak-anak. Penjatuhan pidana berupa
pidana penjara terhadap anak nakal dalam prakteknya selama ini dirasa belum cukup
efektif untuk memberikan efek jera (sebagai pembalasan) untuk mencegah terjadinya
pidana yang dilakukan oleh anak-anak (sebagai upaya preventif) dan belum cukup
efektif dalam mencegah anak untuk tidak mengulangi lagi perbuatan jahat yang pernah
dilakukannya.
8
Penjatuhan pidana penjara terhadap anak nakal tersebut disinyalir justru meningkatkan
kemampuan kriminal anak (criminal action) setelah mereka selesai menjalani pidananya
dan kembali ke dalam lingkungan masyarakat (resosialiasasi).
Salah satu faktor paling berpengaruh adalah fasilitas penjara layak anak di Indonesia
masih terbatas dan dinilai belum layak, sehingga dalam pelaksanaan pidana penjara,
tahanan anak tersebut ada yang dicampur dengan tahanan dewasa, sehingga
dimungkinkan si anak pada saat menjalani proses pemidanaannya
dipengaruhi/terpengaruh oleh tahanan dewasa. 9 Berdasarkan uraian di atas, maka
diperlukan adanya suatu pemahaman baru yang dapat menjadi jalan keluar bagi
masalah delinkuensi anak Indonesia. Ide restorative justice sebagai penyelesaian non
pemenjaraan (non custodial) diharapkan mampu menjadi alternatif penanganan anak
delinkuen, dengan tujuan utama penghindaran stigmatisasi buruk terhadap anak
delinkuen. Sehingga akhirnya penulis tertarik untuk mengambil judul: RESTORATIVE
JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA ANAK DELINKUEN.
9 Suara
Melani, Setop Penayangan & Hindari Pemenjaraan Anak (diunduh 14 Oktober 2011)
www.pikiranrakyat.com/cetak/0603/16/teropong
1 b. Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan dan tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas,
maka dapat dikemukakan bahwa manfaat penelitian penulisan hukum dalam karya
ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1 1) Manfaat praktis bagi penentu kebijakan atau pelaksana kebijakan adalah agar
para praktisi hukum dapat memahami dan mempedomani setiap peraturan dan
teori serta pemikiran para pemerhati anak dalam fenomena sosial. Sehingga
dapat saling bekerjasama mengentaskan atau menyelesaikan permasalahan
anak delinkuen dengan mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak,
sebagaimana diamanatkan oleh konvensi internasional yang telah diratifikasi
oleh pmerintah Indonesia dengan Keppres nomor 36 tahun 1990.
2 2) Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu
hukum, diharapkan akan menghasilkan suatu sumbangan pemikiran baru yang
dapat membuat suatu terobosan pemikiran dalam bidang keilmuan yang pada
akhirnya akan berimplikasi ke arah pembentukan suatu peraturan yang
diberlakukan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sebagai cita-cita
hukum di masa yang akan datang (ius constituendum), yang dapat menjadi
pedoman bagi para aparat
11
Sistem Peradilan Pidana dapat digambarakan sebagai suatu sistem yang bertujuan
untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan
terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang diterimanya 10.
Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan keluhan
masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu kejahatan, dapat
diselesaikan dengan diajukannya pelaku ke muka sidang pengadilan dan menerima
pidana.11 Dalam sistem peradilan pidana didalamnya lembaga-lembaga yang bekerja
sama dalam sistem ini adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Dalam sistem ini terdapat sub sistem yaitu Polisi sebagai penyidik,
Jaksa sebagai penuntut umum, Hakim sebagai pemutus dan lembaga pemasyrakatan
yang kesemuanya harus bekerja sama secara erat.
10 Mardjono
Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengbdian
Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm.140 11 Ibid
dapat mengharapkan sistem yang bekerja dengan baik itu, apabila tidak ada
keterpaduan dalam kegiatan unsur-unsur tersebut serta dalam kebhinekaan fungsi
masing-masing unsur sistem, maka penghayatan yang sama tentang tujuan sistem
peradilan pidana inilah yang akan membuktikan keterpaduan dari berbagai unsur
tersebut.12
12 Ibid,
Dalam sistem peradilan pidana merupakan sistem yang berorientasi pada tujuan
bersama, menurut Mardjono Reksodiputro cakupan dalam sistem peradilan pidana ini
meliputi:13
1 a) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2 b) Menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana.
3 c) Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi perbuatannya.
Demikian juga halnya dalam penanganan perkara anak delinkuen, dalam prakteknya
terkait erat dengan sistem yang didalamnya terdiri dari kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga eksekusi (lembaga pemasyarakatan). Penegakan hukum
tersebut terkait erat dengan kebijakan criminal (criminal policy) atau
13
Hukum dan hukum Pidana, (Bandung: Alumni Bandung, 1981), hlm.38 15 Barda Nawawi Arief, Bunga
Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2010), hlm.4
dalam hubungannya anak sebagai pelaku tindak pidana (anak delinkuen) dapat
diselesaikan melalui 2 (dua) cara yaitu penal dan non penal. Penanggulangan
delinkuensi anak erat kaitannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan
kriminal sebagai usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, di dalam
gerak operasionalnya terarah pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non
penal.
Dalam bukunya yang berjudul Delinkuensi Anak (Pemahaman dan Penanggulanya),
Paulus Hadisuprapto mengatakan bahwa
14
penggunaan sarana penal atau jalur hukum pidana cenderung merugikan masa depan
anak karena membekaskan stigma pada anak. Delinquency adalah perilaku
kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau
pelanggaran hukum.
Namun demikian dalam kaitannya dengan penyelesaian perkara anak delinkuen melalui
jalur penal, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, ada dua masalah
sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal, yaitu mengenai
masalah penentuan :
1 1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
2 2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.
Dengan adanya 2 (dua) permasalahan pokok dalam penggunaan sarana penal
tersebut, terlebih dalam kaitannya dengan masalah penegakkan hukum terhadap anak
delinkuen tentunya harus menjadi bahan renungan untuk mengupayakan suatu cara
terbaik bagi anak dengan mendasarkan pada prinsip kepentingan terbaik bagi anak,
sebagaimana diamanatkan oleh konvenan hak-hak anak.
Dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana terhadap anak telah diatur secara
khusus yaitu dalam UU nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Namun
pengaturan tersebut hanya terbatas pada aturan dan tata cara dalam beracara di
persidangan
15
yang tentunya terkait erat dengan praktek dalam penegakan hukum pidana dengan
pelaku tindak pidana yang masih masuk dalam kategori anak menurut undang-undang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak yang dimaksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah
mencapai umur 8 delapan) tahun akan tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun dan belum pernah kawin 16. Penyelesaian perkara anak yang saat ini sedang
berjalan adalah penyelesaian dengan menggunakan sarana penal, dengan mengacu
atau berpedoman pada aturan yang berlaku (ius constitutum) dan peraturan
pelaksananya.
16 Undang-undang
tentang Pengadilan Anak, Undang-undang Nomor 3 tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia, Nomor 3668. 17 Paulus Hadisuprapto, Teori Kriminologi (Latar belakang intelektual dan
parameternya) (Malang: Selaras, 2011), hlm.62
Dalam bukunya sebagaimana dikutip oleh Paulus Hadi Suprapto, Albert Cohen dalam
teori subkulturnya mengemukakan bahwa semua anak-anak (semua individu)
cenderung mencari status. Walaupun tak semua anak-anak dapat mencapai status itu
secara terbuka. Hal ini dikarenakan keberadaan atau posisinya dalam struktur sosial,
anak-anak kelas bawah yang cenderung tak memiliki kecukupan materi dan
keuntungan simbolis.17
16
Berdasarkan teori subkultur yang dikemukakan oleh Albert Cohen, maka banyak hal
yang harus dipelajari dari perilaku anak delinkuen dengan menggunakan ilmu
kriminologi. Hal ini dikarenakan banyak faktor penyebab dilakukannya perbuatan
menyimpang oleh anak delinkuen.
Dengan demikian tidak semua anak delinkuen yang kemudian berlanjut dalam keadaan
berkonflik dengan hukum dan terpaksa berhadapan dengan proses hukum, perkaranya
harus diselesaikan dengan sarana penal, yang tentunya penyelesaian dengan
menggunakan sarana penal ini dapat menimbulkan masalah baru bagi si anak.
Dalam penyelesaian perkara anak delinkuen, diperlukan adanya suatu kebijakan yang
lebih baik dalam upaya melahirkan suatu ketentuan atau peraturan perundangundangan yang dapat dijadikan landasan yuridis bagi para penegak hukum untuk
menyelesaikan perkara anak delinkuen dengan mendasarkan pada ide Restorative
Justice, yang berkembang belakangan ini.
Maksud dan tujuan penerapan restorative justice diantaranya adalah untuk menghindari
stigmatisasi buruk terhadap anak yang terlanjur berkonflik dengan hukum, sehingga
diperlukan adanya suatu sarana non penal (non pemidanaan) sebagai alternatif
penyelesaian perkara pidana di luar sarana penal.
17
Dadang Hawari & CM. Marianti Soewandi, Remaja dan permasalahannya, Badan Pelaksana Penanggulangan Narkotika
dan Kenakalan Anak-Anak Remaja Jawa Timur (Surabaya: tanpa tahun) hlm.21
18
1 2. Restorative Justice
Menurut Fruin J.A sebagaimana dikutip oleh Paulus Hadisuprapto, peradilan anak
restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap pelaku
delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan dari
korban, pelaku dan masyarakat.
Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap
pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses
peradilan dan memperoleh
19
keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.20
Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya, (Malang, Bayumedia Publishing,
2008), hlm.53 5 Ibid, hlm.53 22 Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-undang
20
nomor 30 tahun 1999 23 Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Diluar Pengadilan, (Semarang: Pustaka
Magister, 2010), hlm.2
hlm.3 25 Yudi Kristiana, Rangkuman Materi kuliah Anak Berhadapan Dengan Hukum dan Diversi, (Jakarta:
Pusdiklat Kejaksaan R.I, Diklat ABH tanggal 1 s/d 14 Maret 2011)
Yudi Kristiana dalam bahan perkuliahan Diklat ABH di Pusdiklat Kejaksaan Agung R.I,
mengemukakan bahwa dalam penerapan peradilan restoratif harus memenuhi syarat,
sebagai berikut:25
Pemikiran baru mengenai penanganan anak delinkuen melalui proses hukum dalam
sistem peradilan formil dilakukan oleh alat penegak hukum, seperti Kepolisian,
Kejaksaan, Hakim, Departemen Hukum dan HAM (RUTAN, LAPAS, BAPAS), yang
dimungkinkan proses hukum tersebut dapat dialihkan dengan penanganan dan
pembinaan alternatif dengan cara mencari solusi penyelesaian yang terbaik bagi anak
sebagai pelaku. Dengan sistem ini penyelesaian (proses hukum) masalah anak
delinkuen dilibatkan juga korban, masyarakat serta orang tua pelaku dan orang tua
korban dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan rasa adil serta puas
bagi semua pihak.
1 3. Juvenile Justice System
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem
peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak.
Sedangkan lembaga penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana itu sendiri terdiri
dari 4 (empat) komponen yaitu kepolisian, kejaksaan pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan) yang diharapkan dapat bekerjasama dan membentuk suatu
Integrated Criminal Justice System.26
26 Nyoman
Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana Criminal Justice System), (Semarang:
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2010), hlm.15
22
1 a) Kepolisian sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan
dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses lebih lanjut.
2 b) Kejaksaan dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan
apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
3 c) Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan,
mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman.
4 d) Institusi penghukuman, atau yang sering disebut dengan istilah lembaga
eksekusi atau pelaksanaan pidana (Lembaga Pemasyarakatan).
Dengan mengacu pada ketentuan tersebut bahwa pada setiap tingkatan pemeriksaan
dalam sistem peradilan kecuali institusi penghukuman (lembaga eksekusi),
kesemuanya memiliki alternatif pembebasan bagi anak nakal yang terlanjur terlibat
dalam masalah hukum.
Perkembangan mengenai pradigma baru dalam suatu kerangka penyelesaian konflik
anak delinkuen ini dirasa sangat baik sekali, karena dalam model restorative justice
pihak-pihak yang terlibat didalamnya adalah mereka yang berkonflik atau terlibat
permasalahan hukum, sehingga diharapkan dengan penerapan restorative justice
dalam penyelesaian perkara anak yang terlanjur berkonflik dengan hukum, akan dapat
diimplementasikan secara baik dalam praktek
23
Deklarasi Hak-Hak Anak tahun 1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan
terbaik untuk anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati
perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum
maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik,
24
mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan
anak.29
29 Ibid 30 Soerjono
Soekanto. Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.24
1 V. Metode Penelitian
2 a. Metode pendekatan
Penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum kepustakaan, yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder.
Dengan adanya data sekunder tersebut, maka peneliti tidak perlu mengadakan
penelitian sendiri dan secara langsung terhadap faktor-faktor yang menjadi latar
belakang penelitiannya sendiri.30
1 b. Spesifikasi penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian
deskriptif, adalah penelitian dengan melukiskan suatu keadaan atau peristiwa.
Dikatakan sebagai penelitian deskriptif, karena penelitian ini adalah penelitian yang
memberikan gambaran berkaitan dengan penegakkan hukum terhadap anak delikuen,
keadaan, serta gejala-gejala lainnya. Penelitian ini
25
1 c. Jenis data
Data sekunder yang disajikan dalam penulisan ini diperoleh melalui 2 (dua) bahan
hukum, baik berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer, yaitu bahan yang mengikat 32 terdiri dari: a) Undang-undang, yaitu: UU
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak; UU Nomor 48 Tahun 2009 tetang Pokok-pokok Kekuasan
Kehakiman; UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan lain-lain b) Keputusan
Presiden, yaitu Keppres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak, sedangkan
26
bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer yang terdiri dari: a) Buku-buku yang membahas tentang delikuensi
anak dan restorative justice serta b) Artikel-artikel dan tulisan-tulisan yang berkaitan
dengan masalah delikuensi anak dan restorative justice.
Dalam hal ini peneliti mengambil beberapa pendapat atau teori dari para ahli hukum
pidana yang menyangkut penyelesaian perkara anak delinkuen.
1 d. Metode pengumpulan data
Data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan teknik Studi Kepustakaan dan Studi
Dokumenter dengan mencari dan menginventarisasi dokumen perundang-undangan
dan dokumen lain dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang
berhubungan dengan masalah delinkuensi anak dan restorative justice (bisa berupa
jurnal, artikel, majalah dan sebagainya)
1 e. Metode analisis data
Data yang telah terkumpul kemudian dinalisis dengan menggunakan metode analisis
kuantitatif dan analisis kualitatif, meliputi data yang bersifat kajian-kajian teoritis dalam
bentuk konsepsi-konsepsi, pandangan-pandangan, dokumen hukum atau undangundang dan dilengkapi dengan putusan pengadilan, dan
27
data dari Balai Pemasyarakatan yang diperoleh melalui data tertulis yang kemudian
akan diolah penulis agar bisa dianalisis.
1 VI. Sistematika Penulisan
Secara sistematis penelitian ini akan dibagi ke dalam empat bab, yang mana pada tiap
bab berisi hal-hal yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bab I, merupakan bab pendahuluan, menjelaskan mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode
penelitian, dan juga sistematika penelitian.
Bab II, merupakan bab yang berisi tinjauan pustaka dalam bab ini akan memaparkan
beberapa hal sehubungan dengan teori-teori yang digunakan dalam menganalisis
permasalahan yang disajikan oleh penulis, yaitu mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan ketentuan yang mengatur mengenai anak delinkuen melalui penyelesaian
model restorative justice, yaitu mulai dari pengertian anak, pengertian delinkuen,
juvenile deliquency, Diversi, model peradilan pidana, kebijakan kriminal dalam
penyelesaian perkara anak delinkuen, tujuan dan pedoman pemidanaan, asas-asas
dalam penanganan pidana anak, restoratif justice.
Bab III, merupakan bab yang akan menguraikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan yang merupakan hasil penelitian baik normatif terhadap objek
permasalahan dalam penulisan ini. Hasil penelitian
28
Majelis Umum
A/61
Perserikatan BangsaBangsa
Distr.: Umum
23 Agustus 2006
Versi Asli: Bahasa
Inggris
Hak-Hak Anak
Laporan pakar independen untuk Studi
mengenai kekerasan terhadap anak PBB. **
Rangkuman
Laporan ini, yang berdasarkan pada Studi mendalam oleh Paulo Srgio
Pinheiro, pakar independen yang ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal sesuai
dengan resolusi Majelis Umum no. 57/90 tahun 2002, yang memberikan
gambaran global mengenai kekerasan terhadap anak dan mengusulkan
rekomendasi untuk mencegah dan merespons masalah ini. Resolusi ini
memberikan informasi mengenai insidensi berbagai jenis kekerasan dan
terhadap anak di dalam lingkungan keluarga, sekolah, lembaga-lembaga
perawatan alternatif, pusat-pusat penahanan, tempat-tempat di mana anak
bekerja dan di lingkungan masyarakat. Laporan ini disertai dengan sebuah
buku yang memberikan laporan yang lebih rinci mengenai Studi tersebut.
Pakar independen sangat berterima kasih atas dukungan yang luas untuk
pekerjaan yang diberikan oleh badan-badan regional dan lembaga-lembaga
antar pemerintah, serta badan-badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa,
organisasi masyarakat sipil dan anak-anak.
Isi
Paragr
af
123
710
B. Proses Studi
1123
2437
28
2935
D. Berbagai dampak
3637
6468
8189
V. KESIMPULAN
9093
VI. REKOMENDASI
94123
A. Rekomendasi Umum
96109
100
5. Meningkatkan kapasitas semua pihak yang telah bekerja untuk dan dengan
101
6. Memberikan pelayanan pemulihan dan reintegrasi sosial
102
105
106
108
109
113
115
1. Tak ada satu pun kekerasan terhadap anak yang dapat dibenarkan dan
segala bentuk kekerasan terhadap anak dapat dicegah. Kendatipun demikian,
Studi mendalam mengenai kekerasan terhadap anak ini membuktikan
kebenaran bahwa kekerasan semacam itu ada di setiap negara di dunia,
melintasi budaya, kelas, pendidikan, tingkat pendapatan dan asal-usul etnis.
Di setiap daerah, bertentangan dengan kewajiban hak-hak asasi manusia dan
kebutuhan perkembangan anak, kekerasan terhadap anak secara sosial
mendapat persetujuan, dan sering bersifat legal dan dibenarkan oleh Negara.
asasi manusia, kesehatan masyarakat, dan perlindungan anak, dan para pakar
di berbagai bidang yang berbeda ini telah bekerja sama untuk mendukung
pelaksanaan dan persiapannya. Studi ini juga telah diuntungkan dengan
bertumbuhnya Studi Studi ilmiah yang telah meneliti penyebab, akibat yang
timbul, dan daya cegah kekerasan terhadap anak.
11 E. G. Krug et al. (eds.), World Report on Violence and Health (Geneva, World Health
Organization, 2002), p. 5.
10. Laporan ini disertai sebuah buku yang berisi liputan yang mendalam dari
temuan-temuan Studi dan rekomendasi, serta versi laporan yang ramah anak.
B. Proses Studi
12. Antara Maret dan Juli 2005, sembilan konsultasi regional, untuk Karibia,
Asia Selatan, Afrika Tengah dan Barat, Amerika Selatan, Amerika Utara, Asia
Timur dan Pasifik, Timur Tengah dan Afrika Utara, Eropa dan Asia Tengah,
Afrika Timur dan Selatan, diselenggarakan. Masing-masing konsultasi diikuti
sekitar 350 peserta, termasuk pejabat dan para menteri, anggota parlemen,
perwakilan dari organisasi non-pemerintah regional dan organisasi antar
pemerintah dan badan-badan PBB, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
lembaga-lembaga hak asasi nasional, dan bagian-bagian masyarakat sipil,
termasuk di antaranya media dan organisasi berbasis keagamaan dan anak.
Anak berpartisipasi dalam masing-masing konsultasi regional, yang
kesemuanya didahului dengan pertemuan pertemuan di mana mereka
mengembangkan masukan dan rekomendasi untuk Studi tersebut. Laporan
untuk masing-masing konsultasi regional, termasuk rekomendasinya, tersedia.
Sejumlah konsultasi nasional dan sub-regional juga diselenggarakan.
22 Sejak 31 Juli 2006, 132 Negara-negara anggota dan seorang pengamat telah
menyerahkan respons. Semua respons yang telah diserahkan tersedia dalam OHCHR
website: http://www.ohchr.org/english/bodies/crc/ study.htm.
13. Pemerintah yang menjadi tuan rumah konsultasi tersebut juga secara
aktif terlibat dalam mempromosikan Studi ini. Organisasi-organisasi regional
yang meliputi Uni Afrika (African Union), Liga Arab (the Arab League),
Masyarakat Karibia (the Caribbean Community -CARICOM), Dewan Eropa (the
Council of Europe), Uni Eropa (the European Union), Komisi Hak Asasi Manusia
Antar-Amerika untuk Organisasi Negara-negara Amerika ( the Inter-American
Commission on Human Rights of the Organization of American States) dan
Asosiasi Kerja sama Regional Asia Selatan (the South Asian Association for
Regional Cooperation) memainkan peranan yang sangat penting dalam
penyelenggaraan konsultasi.
Organisasi-organisasi regional dan nasional
telah berkomitmen untuk terus terlibat dalam secara berkelanjutan dalam
tindak lanjut Studi ini
16. Studi dan sekretariat Studi di Jenewa telah didukung oleh tiga badan di
bawah Perserikan Bangsa Bangsa : the Office of the United Nations High
Commissioner for Human Rights (OHCHR), the United Nations Childrens Fund
(UNICEF) dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization -WHO),
bersama dengan Dewan Editor Pakar multidisipliner.
22. Penyiapan Studi juga telah mengundang aksi nasional dan regional. Di
beberapa negara, penyiapan respons membangkitkan perdebatan nasional,
memberikan inspirasi untuk aksi, dan telah membangkitkan kegiatankegiatan tindak-lanjut. Di Timur Tengah dan Afrika Utara, Panitia Pengarah
untuk Studi ini telah ditransformasikan menjadi mekanisme tindak lanjut,
mengembangkan
keanggotaannya
dengan
memasukkan
perwakilanperwakilan dari pemerintah setempat, serta menekankan peranan Liga Arab.
Forum Asia Selatan untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Anak (The South
Asian Forum for Ending Violence against Children), sebuah badan antarpemerintah, telah dibentuk di tingkat kementrian dengan perwakilan dari
semua negara, dengan Pakistan sebagai tuan rumah sekretariat untuk dua
tahun pertama. Setelah komitmen-komitmen yang disuarakan dalam
konsultasi di Ljubljana, Dewan Eropa meluncurkan program Membangun
Eropa untuk dan Bersama Anak ( Building a Europe for and with Children)
pada bulan April 2006, yang berfokus pada pemberian dukungan teknis dan
kebijakan bagi negara-negara anggota untuk mengakhiri kekerasan terhadap
anak dan akan berfungsi sebagai mekanisme tindak lanjut bagi Studi ini. Pada
bukan Mei 2006, anak-anak yang telah berpartisipasi dalam konsultasi
regional bertemu di New York untuk mengonsolidasikan rekomendasi untuk
tindakan lebih lanjut yang diadopsi pada konsultasi-konsultasi dan pertemuanpertemuan lainnya.
26. Kekerasan yang secara sosial diterima juga merupakan faktor penting:
baik anak maupun pelaku mungkin menerima kekerasan fisik, seksual dan
psikologis sebagai hal yang tak terelakkan dan normal saja. Disiplin melalui
hukuman fisik dan mempermalukan, menakut-nakuti / menggertak dan
pelecehan seksual sering dipandang sebagai normal, khususnya ketika tidak
ada akibat yang kasat mata dan cedera fisik yang berlangsung lama.
Kurangnya pelarangan hukuman badan secara hukum dan tegas
mencerminkan hal ini. Menurut Prakarsa Global untuk Mengakhiri Segala
Bentuk Hukuman Fisik pada Anak (Global Initiative to End All Corporal
Punishment of Children), setidaknya 106 negara tidak melarang penggunaan
hukuman badan di sekolah, 147 negara tidak melarang hal tersebut dalam
lingkungan perawatan alternatif , dan hanya 16 negara yang telah melarang
penggunaan hukuman tersebut di rumah.6
27. Kekerasan juga tidak diketahui karena tidak ada cara yang aman dan
tepercaya bagi anak atau orang dewasa untuk melaporkannya. Di beberapa
belahan dunia, orang tidak mempercayai polisi, pekerja sosial atau orang lain
dalam kekuasaan; di sisi lain, khususnya di daerah-daerah pedesaan, tidak
ada instansi yang dapat diakses, di mana seseorang dapat melapor. 7 Di mana
data terkumpul, data tidak selalu dicatat secara lengkap, konsisten atau
transparan. Khususnya sedikit data dapat diperoleh mengenai kekerasan
dalam institusi atau panti pengasuhan/ perawatan di sebagian besar bagian
66 Global Initiative to End all Corporal Punishment of Children, Global Summary of the
Legal Status of Corporal Punishment of Children (28 June 2006).
99 Analisis yang diberikan untuk Study by the Global School-based Health Survey: The
World Health Organization (http://www.cdc.gov/gshs or
http://www.who.int/school_youth_health/gshs) dengan menggunakan data-data survei
yang diselenggarakan pada tahun 2003-2005 untuk, Cile (metropolitan areas), Cina
(Beijing), Guyana, Jordania, Kenya, Lebanon, Namibia, Oman, Filipina, Swaziland,
Uganda, the United Arab Emirates, Venezuela (Lara), Zambia dan Zimbabwe (Harare).
Baru-baru ini, perkiraan ILO mengindikasikan bahwa, pada tahun 2004, 218
juta anak-anak terlibat dalam perburuhan anak, 126 juta di antaranya bekerja
di lingkungan kerja yang membahayakan. 14 Perkiraan dari tahun 2000
menunjukkan bahwa 5,7 juta dipaksa pekerja dalam pekerjaan ijon, 1,8 juta
dalam pelacuran dan pornografi, dan 1,2 juta menjadi korban perdagangan
manusia..15
Kendatipun demikian, dibandingkan dengan perkiraan yang
dipublikasikan pada tahun 2002, insidensi pekerja anak telah turun 11 persen,
International report from the 2001/2002 survey. Health Policy for Children and
Adolescents, No. 4 (Geneva, World Health Organization, 2004).
1111 Global Estimates of Health Consequences due to Violence against Children, op.
cit. at footnote 8, berdasarkan perkiraan oleh G. Andrews et al., Child sexual abuse,
bab 23, dalam Ezzati et al., Comparative Quantification of Health Risks: Global and
regional burden of disease attributable to selected major risk factors (Geneva, World
Health Organization, 2004), vol. 2, pp. 18511940, dan dengan menggunakan data dari
Population Division of the United Nations Department of Economic and Social Affairs
untuk penduduk berusia di bawah 18 tahun.
1212 Female genital mutilation, World Health Organization, Fact Sheet No. 241
(Geneva, 2000).
1414 The End of Child Labour Within Reach: Global Report (Geneva, International
Labour Office, 2006).
1515 A Future Without Child Labour: Global Report (Geneva, International Labour
Office, 2002).
29. Perkembangan ekonomi, status, umur, jenis kelamin kelamin dan jender,
adalah beberapa faktor yang dikaitkan dengan risiko kekerasan yang
mematikan.
Perkiraan WHO menunjukkan bahwa tingkat pembunuhan
(homisida) anak di negara berpendapatan rendah pada tahun 2000 dua kali
lebih tinggi dibanding dengan hal yang sama di negara berkembang (2.58 v.
1.21 per 100,000 penduduk). Tingkat pembunuhan anak yang tertinggi terjadi
pada remaja, khususnya anak yang berusia 15-17 tahun (3.28 untuk anak
perempuan, 9.06 anak laki-laki) dan di kalangan anak usia 0-4 tahun (1.99
anak perempuan dan 2.09 anak laki-laki).17
dan mereka yang berkonflik dengan hukum, dan pengungsi serta anak
telantar lainnya.
33. Dengan cara yang sama bahwa beberapa faktor meningkatkan kerentanan
anak terhadap kekerasan, ada juga faktor-faktor yang dapat mencegah atau
mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan. Walaupun lebih banyak
penelitian diperlukan untuk faktor-faktor yang memberikan perlindungan,
adalah jelas bahwa unit keluarga yang stabil dapat menjadi sumber yang kuat
bagi perlindungan dari kekerasan terhadap anak di semua lingkungan.
36. Walaupun akibat kekerasan bagi anak mungkin bervariasi menurut sifat
dan seberapa parah kekerasan itu, dampak jangka pendek dan jangka
panjang sering sangat parah dan merusak. Kekerasan mungkin
mengakibatkan kerentanan yang lebih besar untuk mengalami gangguan
kemampuan sosial, emosi dan kognitif selama hidupnya, serta perilaku
berisiko kesehatan, 20 seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan
perilaku seksual yang lebih dini datangnya. 21 Kesehatan mental dan masalahmasalah sosial yang meliputi gangguan kecemasan dan depresi, halusinasi,
dan terhambatnya kinerja yang terkait dengan pekerjaan, gangguan memori,
serta perilaku agresif. Paparan dini terhadap kekerasan dikaitkan dengan
penyakit paru-paru, hati, jantung, penyakit menular seksual dan kematian
janin selama kehamilan di kemudian hari serta kekerasan pasangan intim dan
upaya-upaya bunuh diri.22
37. Ada sedikit informasi mengenai biaya ekonomi global kekerasan terhadap
anak, khususnya di dunia berkembang. Kendatipun demikian, berbagai akibat
jangka pendek dan jangka panjang yang dikaitkan dengan kekerasan dan
penelantaran anak mengesankan bahwa biaya ekonomi yang ditanggung
masyarakat sungguh signifikan. Biaya finansial yang dikaitkan dengan
kekerasan anak dan penelantaran termasuk hilangnya pendapatan di masa
depan dan perawatan kesehatan mental di Amerika Serikat pada tahun 2001
diperkirakan mencapai US$ 94 miliar.23
2121 Centers for Disease Control and Prevention, Adverse Childhood Experiences Study
(Atlanta, National Centers for Injury Prevention and Control, Centers for Disease Control
and Prevention, 2006). Tersedia pada:`http://www.cdc.gov/NCCDPHP/ACE.
2222 Periksa catatan kaki sebelumnya. Juga periksa Panel on Research on Child
Abuse and Neglect, Commission on Behavioral and Social Sciences and
Education, National Research Council, Understanding Child Abuse and Neglect
(Washington, D. C., National Academy Press, 1999).
2323 S. Fromm, Total estimates cost of child abuse and neglect in the United States--statistical evidence. Prevent Child Abuse America; (Chicago, PCAA, 2001).
39. Prevalensi kekerasan terhadap anak oleh orang tua dan anggota keluarga
dekat lainnyaberupa kekerasan fisik, mental dan seksual, serta penelantaran
yang disengaja telah diakui dan didokumentasikan dalam dekade dekade
terakhir ini. Dari masa bayi usia dini sampai usia 18 tahun, anak rentan
terhadap berbagai bentuk kekerasan di dalam rumah. Pelakunya bervariasi
menurut usia dan kematangan korban, dan mencakup orang tua, orangtua tiri,
orangtua asuh, saudara kandung, anggota keluarga lainnya, serta pengasuh.
40. Kekerasan terhadap anak dalam keluarga tidak fatal dan tidak
menyebabkan cedera yang serius atau luka fisik nampak yang serius.
Kendatipun demikian, beberapa bentuk kekerasan terhadap anak yang masih
sangat muda dalam keluarga dapat menyebabkan kerusakan permanen dan
2424 Misalnya periksa, pasal 8 Convention for the Protection of Human Rights and
41. Kekerasan terhadap anak dalam keluarga dapat terjadi dalam konteks
disiplin dan berbentuk hukuman yang kejam, fisik, dan mempermalukan. 26
Perlakuan dan hukuman yang keras dalam keluarga banyak dijumpai di
negara industri dan negara berkembang. Anak, sebagaimana dilaporkan
dalam Studi dan ketika berbicara untuk kepentingan diri mereka dalam
konsultasi regional Studi ini, menyinggung luka-luka fisik dan psikis yang
mereka derita sebagai akibat dari bentuk-bentuk perlakuan dan mengusulkan
bentuk-bentuk disiplin yang efektif dan positif.27
44. Kejadian kekerasan seksual dalam rumah semakin diketahui dan diakui.
Sebuah tinjauan penelitian di dua puluh satu negara (kebanyakan negara
maju) menemukan bahwa 7-36 persen perempuan dan 3-29 persen laki-laki
melaporkan viktimisasi seksual selama masa kanak-kanak dan sebagian besar
Studi menemukan bahwa tingkat kekerasan (abuse) yang dialami anak
perempuan 1.5-3 kali lebih tinggi dari pada laki-laki. Sebagian besar
kekerasan (abuse) terjadi dalam lingkaran keluarga.29 Mirip dengan itu, Studi
WHO di lebih dari satu negara, yang meliputi negara-negara berkembang dan
negara maju, menunjukkan bahwa antara satu sampai 21 persen perempuan
melaporkan telah menjadi korban kekerasan (abuse) secara seksual sebelum
usia 15 tahun, sebagian besar oleh anggota keluarga laki-laki yang bukan
ayah ataupun ayah tiri.30
2929 D. Finkelhor, The international epidemiology of child sexual abuse, Child Abuse
& Neglect, vol. 18, No. 5 (2005), pp. 409417.
3030 Multi-Country Study on Women's Health and Domestic Violence, op. cit at
footnote 7.
3131 J. Bruce, Married adolescents girls; human rights, health and development needs
of a neglected majority, paper presented by the Population Council at the Supporting
Event: Early Marriage in a Human Rights Context, United Nations Special Session on
Children, 810 May 2002.
46. Praktek-praktek tradisi yang merugikan memberi imbas pada anak secara
tidak proporsional dan pada umumnya dikenakan pada mereka pada usia
yang sangat dini oleh orangtua atau pemuka masyarakat. Menurut pelapor
khusus (Special Rapporteur) mengenai praktek-praktek tradisional yang
merugikan kesehatan anak perempuan dan perempuan dewasa, mutilasi
genital, yang menurut WHO, dilakukan di pada anak anak-anak perempuan
muda, banyak dijumpai di Afrika, dan juga terjadi di beberapa bagian kawasan
Asia dan di kalangan masyarakat imigran di Eropa, Australia. Kanada dan
Amerika Serikat.32 Praktek-praktek tradisional lain yang merugikan anak
termasuk pengikatan (binding), penorehan (scarring), pembakaran (burning),
branding, dan ritus-ritus perploncoan (inisiasi) yang menggunakan kekerasan,
penggemukan (fattening), perkawinan paksa (forced marriage) kejahatan
demi kehormatan (honor crime) dan kekerasan terkait mahar, perdukunan,
atau sihir.
47. Antara 133 sampai 275 juta anak di seluruh dunia diperkirakan menjadi
saksi kekerasan rumah tangga setiap tahunnya.. 33 Anak yang sering terpapar
kekerasan dalam rumahnya, biasanya melalui pertengkaran antara orangtua
atau antara ibu dengan pasangannya, dapat secara serius mempengaruhi
kesejahteraan anak, perkembangan pribadi, dan interaksi sosial di masa
kanak-kanak dan dewasa.34 Kekerasan pasangan dekat juga meningkatkan
3232 The Subcommission on the Promotion and Protection of Human Rights, badan
utama di bawah bekas Commission on Human Rights, telah mengkaji isu-isu tematis
yang berkaitan dengan pertanyaan mengenai kekerasan terhadap anak dalam
beberapa tahun terakhir ini. Pelapor khusus mengenai praktek-praktek tradisional yang
memperngaruhi kesehatan perempuan dan anak-gadis, Halima Embarek Warzazi,
secara khusus memusatkan pada penghilangan mutilasi genital perempuan (FGM).
Periksa, misalnya laporan ke sembilan dan laporan final mengenai situasi yang
berkenaan dengan penghapusan praktek-praktek yang mempengaruhi kesehatan
perempuan dan anak-anakgadis. (E/CN.4/Sub.2/2005/36).
3333 Perkiraan didasarkan pada data United Nations Population Division untuk data
penduduk global yang berusia di bawah 18 tahun untuk tahun 2000, dan kajian
kekerasan rumah tangga dari tahun 1987 sampai 2005. Behind Closed Doors: The
Impact of DomesticViolence on Children (London, UNICEF and The Body Shop
International Plc., 2006).
Dengan dua tangan ini, ibuku memeluk aku, merawat aku, ini yang aku suka
..Dengan dua tangan ini, ibuku memukul aku ini yang aku benci .
Gadis
Timur.
kecil,
Asia
37
3636 W. M. Hunter et al., Risk factors for severe child discipline practices in
rural India, Journal ofPaediatric Psychology, vol. 25 (2000), pp. 435447.
3737 International Save the Children Alliance, Ending Physical and Humiliating
Punishment of Children Making it Happen, Part 1. Submission to the United Nations
Secretary-Generals Study on Violence against Children (Stockholm, Save the Children
Sweden, 2005).
serius dan kematian akibat kekerasan lebih kecil kemungkinannya terjadi pada
anak anak di lingkungan sekolah di banding dengan di rumah atau
lingkungan masyarakat yang lebih luas.
50. Kekerasan yang dilakukan oleh guru dan staf sekolah lainnya, dengan atau
tanpa persetujuan yang secara diam -diam ataupun tertulis dari kementrian
pendidikan dan otoritas lain yang mengawasi sekolah, mencakup hukuman
fisik, bentuk-bentuk hukuman psikologis yang kejam dan merendahkan
martabat, kekerasan berbasis jender dan seksual, dan penggertakan.
Hukuman badan seperti pemukulan dan penggunaan rotan dalam hukuman
merupakan praktek standar di sekolah pada sejumlah besar negara. Konvensi
Hak-hak Anak memperrsyaratkan negara-negara pihak untuk mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk menjamin bahwa disiplin sekolah
dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan konvensi itu. The Global
Initiative to End All Corporal Punishment of Children melaporkan bahwa 102
negara telah melarang hukuman fisik di sekolah, namun penegakan aturan itu
masih belum nyata.38
3939 D. Olweus, Bullying at School: What We Know and What We Can Do (Oxford,
Blackwell, 1993).
52. Kekerasan berbasis jender dan seks juga terjadi dalam lingkungan
pendidikan. Banyak diantaranya yang tertuju pada anak perempuan, dan
dilakukan oleh guru laki-laki dan teman sekelas. Kekerasan juga semakin
diarahkan pada lesbian, kaum gay, biseks, dan waria muda usia di banyak
negara dan kawasan. Kekerasan berbasis jender dan seks ditunjang oleh
kegagalan pemerintah untuk memberlakukan dan menerapkan undangundang yang memberikan perlindungan jelas dan tegas bagi siswa terhadap
diskriminasi.
53. Jutaan anak, khususnya anak laki-laki, menghabiskan waktu yang cukup
banyak dari masa hidupnya di bawah kendali dan pengawasan sistem
peradilan atau pihak-pihak yang berwenang dalam pengasuhan, atau institusi
seperti panti asuhan, rumah piatu, rumah asuh, kurungan polisi, penjara,
tahanan anak, dan sekolah anak nakal; (reform school). 41 Anak-anak ini
berada dalam risiko kekerasan, dari staf dan pegawai yang bertanggung jawab
atas kesejahteraan mereka. Hukuman badan dalam institusi tidak secara
eksplisit dilarang di sebagian besar negara.
54. Keadaan yang penuh sesak dan kumuh, diskriminasi dan stigmatisasi oleh
masyarakat, dan staf yang kurang terlatih mempertinggi risiko kekerasan.
Mekanisme penyampaian, pemantauan dan pemeriksaan yang efektif dan
peraturan pemerintah yang memadai sering tidak ada. Tidak semua pelaku
dijatuhi hukuman, yang menciptakan budaya impunitas dan toleransi terhadap
terjadinya kekerasan terhadap anak. Dampak dari institusionalisasi muncul di
kemudian hari yang mungkin
akibat dari kekerasan yang dialaminya
sekarang. Efek jangka panjang itu meliputi lambatnya perkembangan,
ketidakmampuan, kerusakan psikologis yang tidak tersembuhkan, dan
meningkatnya tingkat bunuh diri dan residivisme.
4141 Mohon dicatat bahwa keadaan anak lainnya dalam tahanan negara, termasuk
pengungsi dan buruh migran anak, serta keadaan anak-anak di masa damai dibahas
secara rinci dalam kajian mendalam mengenai kekerasan.
56. Kekerasan yang dilakukan oleh staf dalam institusi, untuk keperluan
mendisiplinkan anak, termasuk pemukulan dengan tangan telanjang,
tongkat dan pipa, dan memukulkan kepala anak ke tembok, mengikat anak
dalam karung kain, mengikat anak ke perabot rumah, mengunci mereka
dalam kamar yang sangat dingin selama berhari-hari dan mendudukan /
membaringkan mereka di atas kotorannya sendiri.43
4242 D. Tolfree, Roofs and Roots: The care of separated children in the developing
world. (London, Save the Children UK, 1995) cited in International Save the Children
Alliance, A Last Resort: The Growing Concernabout Children in Residential Care
(London, Save the Children UK, 2003), p. 15.
Desk Review: Middle East and North Africa Region (2005), p. 19; Mental Disability
Rights International, Hidden Suffering: Romanias Segregation and Abuse of Infants
and Children with Disabilities. (Washington, D. C., Mental Disability Rights International,
2006).
4444 Mental Disability Rights International, Behind Closed Doors: Human Rights Abuses
in the Psychiatric Facilities, Orphanages and Rehabilitation Centres of Turkey
(Washington, D. C., Mental Disability Rights International, 2005).
60. Walaupun dilarang oleh Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik, dan Konvensi Hak-hak Anak, beberapa negara masih menjatuhkan
hukuman mati bagi kejahatan yang dilaksanakan oleh anak yang berusia di
bawah 18 tahun. Saat ini, setidaknya ada 31 negara yang memperbolehkan
hukuman fisik dalam menghukum anak karena tindak kejahatan yang
dilakukannya,46 yang di beberapa negara termasuk pemukulan dengan rotan,
hukuman cambuk, di hukum lempar batu, atau di hukum potong.
4646 Global Summary of the Legal Status of Corporal Punishment of Children, op. cit. at
footnote 6.
62. Anak-anak yang berada dalam tahanan sering menjadi korban kekerasan
oleh staf, termasuk sebagai bentuk pengendalian atau hukuman, sering untuk
pelanggaran kecil. Di sedikitnya 77 negara, hukuman badan dan hukuman
yang mengandung kekerasan diterima sebagai upaya pendisiplinan yang sah
menurut hukum dalam lembaga-lembaga pemasyarakatan.49 Anak mungkin
dipukul, dirotan, atau dikerangkeng, dan menjadi sasaran penistaan seperti
ditelanjangi dan dirotan di depan tahanan lainnya. Anak dalam berbagai
fasilitas penahanan secara khusus berisiko terhadap kekerasan (abuse)
seksual dan kekerasan fisik, terutama ketika pengawasan adalah staf pria. 50
4848 F. Martin and J. Parry-Williams, The Right Not to Lose Hope (London, Save the
Children UK, 2005).
4949 Global Summary of the Legal Status of Corporal Punishment of Children, op. cit. at
footnote 6.
5050 Report of the Special Rapporteur on violence against women on the mission to the
United States of America on the issue of violence against women in State and federal
prisons (E/CN.4/1999/68/Add.2), paras. 55 and 58.
5151 M. Grndal, One Day in Prison Feels like a Year: Palestinian Children Tell their
Own Stories (Save the Children, Stockholm, 2003).
5353 Child Labour: Targeting the Intolerable. Report submitted to the 86th Session of
the International Labour Conference (Geneva, International Labour Office, 1998).
5454 Abuses Against Child Domestic Workers in El Salvador, Human Rights Watch, vol.
16, No. 1(B) (2004), Always on call: Abuse and Exploitation of Child Domestic Workers
in Indonesia, Human Rights Watch, vol. 17, No. 7(C) (2005); Human Rights Watch,
Inside the Home, Outside the Law: Abuse of child domestic workers in Morocco,
Human Rights Watch, vol. 17, No. 12(E) (2005); and T. Blanchet, Lost Innocence, Stolen
Childhood (Dhaka, University Press Limited, 1998).
67. Eksploitasi anak di bawah usia 18 tahun dalam pelacuran, pornografi anak
dan kegiatan-kegiatan sejenis merupakan kekerasan. 58 Diperkirakan bahwa
satu juta anak memasuki sektor ini setiap tahunnya. 59 Banyak di antaranya
yang dipaksa, diculik, atau dijual dan diperangkap masuk ke dalam kegiatankegiatan semacam ini, atau menjadi korban perdagangan manusia. Selain
kekerasan seksual yang kentara dan nyata menimpa pelacur anak, anak
perempuan dan anak laki-laki dalam pelacuran dan bidang-bidang terkait
sering mengalami kekerasan fisik dan psikologis, serta penelantaran. Mereka
sering tidak mampu mencari bantuan,60 dan ketika mereka melakukan hal
5555 55 Helping Hands or Shackled Lives? Understanding Child Domestic Labour and
5858 58 For a full definition of the commercial sexual exploitation of children, see the
5959 59 Profiting from Abuse. Report into children in commercial sexual exploitation
(New York, UNICEF, 2001), p. 20.
6060 60 International Save the Children Alliance, 10 Essential Learning Points: Listen
and Speak out against Sexual Abuse of Girls and Boys. Global Submission to the U.N.
Study on Violence against Children (Oslo, Save the Children Norway, 2005), p. 58.
68. Pekerjaan ijon anak merupakan hal yang dapat dilihat di banyak bagian
dunia. Anak dipaksa dan diijonkan jarang dapat melindungi diri dari majikan
dan pekerja lainnya dan berbagai Studi dan kesaksian anak-anak memberi
kesan bahwa segala bentuk kekerasan bersifat endemik di semua dalam kerja
paksa dan kerja ijon. Kekerasan juga menimpa pulihan ribu anak-anak dalam
bentuk-bentuk perbudakan tradisional, yang masih ada di beberapa bagian
dunia.
70. Bagi beberapa anak perjalanan menuju dan dari sekolah mungkin
merupakan untuk pertama kalinya mereka terpapar secara mandiri
ke
masyarakat; hal itu juga merupakan paparan terhadap risiko kekerasan untuk
pertama kalinya. Yang lain terpapar kekerasan ketika melaksanakan tugas
tugas rumah tangga seperti mengambil air, membeli bahan / kayu bakar
makanan, dan menggembalakan binatang. Tugas-tugas ini, yang mungkin juga
melibatkan kegiatan berjalan kaki untuk jarak yang cukup jauh, biasanya
ditugaskan ke anak perempuan di daerah pedesaan di negara berkembang. 61
71. Peningkatan yang tiba-tiba dan tajam nampak jelas terjadi pada tingkat
kekerasan (baik viktimisasi atau perlakuan) khususnya di kalangan anak-anak
yang berusia sekitar 15 tahun, yang menunjukkan bahwa sejumlah faktor
menyatu pada saat remaja, dan menjadikan kekerasan di antara kawan
6161 Every Girl Counts. Development, Justice and Gender. Girl Child Report (Ontario,
World Vision Canada, 2001), p. 17; UNICEF Somalia, From perception to reality: A study
on child protection in Somalia (Nairobi, UNICEF, 2003).
sebaya menjadi lebih umum terjadi. Data yang tersedia menunjukkan bahwa
di sebagian besar wilayah di dunia, tingkat pembunuhan di kalangan anak
laki-laki yang berusia antara 15dan 17 tahun sekurang-kurangnya 3 kali lebih
besar di banding pada anak-anak yang berusia antara 10-14 tahun.
Peningkatan yang tiba-tiba dalam kekerasan di kalangan anak yang berusia di
atas 15 tahun bahkan terjadi di kawasan-kawasan yang secara keseluruhan
tingkat pembunuhannya rendah dan menyiratkan bahwa upaya-upaya untuk
menurunkan perilaku kekerasan lebih genting dibanding sebelum dan pada
awal dan pertengahan usia belasan.62
72. Kekerasan fisik antara teman sebaya cenderung lebih banyak dijumpai di
kawasan perkotaan yang ditandai dengan buruknya lapangan kerja,
pendidikan dan sarana sosial dan standar perumahan yang rendah, di mana
populasi remaja dan yang bertumbuh dengan cepat menyatakan rasa
frustrasi, kemarahan, dan ketegangan yang tersalurkan dalam perilaku anti
sosial atau perkelahian. Banyak kekerasan yang melibatkan sengketa pribadi
antara teman dan kenalan, dan secara kuat dikaitkan dengan penggunaan
alkohol dan Narkoba. Ketika senjata api dan senjata jenis lainnya dapat
diperoleh, perkelahian akan menyebabkan cedera serius dan kematian.
Perbedaan jender dalam tingkat pembunuhan remaja menunjukkan kepada
kita bahwa sosialisasi laki-laki dan norma norma maskulinitas memberikan
andil terhadap kekerasan. Di Amerika Selatan, dan kawasan Karibia, misalnya,
tingkat pembunuhan di kalangan anak laki-laki dua sampai enam kali lebih
tinggi dibanding angkat yang sama untuk kalangan anak perempuan.63
73. Kebrutalan polisi dan buruknya akses terhadap keadilan sering ada pada
komunitas yang sangat parah terimbas dampak kekerasan.. 64 Di beberapa
negara kekerasan kelompok kejahatan dan kejahatan terorganisasi telah
menyebabkan pemerintah mengambil langkah-langkah represif terhadap
kelompok-kelompok tersebut. Ketika upaya-upaya ini tidak dikaitkan dengan
strategi pencegahan yang konsisten, sistem data yang handal dan
penghormatan penuh terhadap hak-hak asasi manusia, risiko kekerasan
mungkin akan semakin besar. Meningkatnya upaya upaya penghukuman dan
6262 Global Estimates of Health Consequences due to Violence against Children, op.
cit. at footnote 8.
6363 Ibid.
6464 Easy Targets: Violence against children worldwide (New York, Human Rights
Watch, 2001).
74. Berbagai Studi mengenai kekerasan fisik yang tidak fatal mengungkap
bahwa untuk setiap pembunuhan remaja, terdapat sekitar 20 -40 korban
kekerasan yang tidak fatal yang memerlukan perawatan rumah sakit.
Sedangkan mengenai pembunuhan, tingkat viktimisasi kekerasan yang tidak
fatal lebih tinggi di kalangan anak laki-laki di banding kalangan perempuan. 65
75. Anak rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual dari anggota
masyarakat. Kekerasan seksual lebih umum dilakukan oleh seseorang yang
dikenal sang anak, seperti anggota keluarga, atau orang dewasa yang dalam
posisi dipercaya anak (seperti pelatih olah raga, polisi, guru, dan majikan),
namun juga dilakukan oleh mereka yang tidak dikenal anak.. 66 Penelitian barubaru ini menunjukkan bahwa kekerasan merupakan bagian dari hubungan
remaja. Hasil awal dari Survei Global Kesehatan Berbasis Sekolah (Global
School-based
Health
Survey)
yang
tengah
berlangsung
,
yang
diselenggarakan di kalangan siswa yang berusia antara 13-15 tahun,
menunjukkan tingkat kekerasan fisik yang cukup signifikan dalam hubungan
kencan mereka. Ditanya apakah mereka telah dipukul, ditampar, atau disakiti
secara sengaja oleh pacarnya dalam waktu 12 bulan terakhir, 15% anak
perempuan dan 29 persen anak laki-laki di Yordania menjawab Ya,
sedangkan di Namibia, 9 persen anak perempuan dan 16 menyatakan hal
yang sama. Enam persen anak perempuan dan 8 persen anak laki-laki di
Swiss, dan 18 persen anak perempuan dan 23 persen anak laki-laki di Zambia
juga menjawab Ya.67
6767 Analisis diberikan pada Study by the Global School-based Health Survey: The
World Health Organization, op. cit. at footnote 9.
77. Pariwisata yang terjangkau dan murah juga membawa serta wisata seks,
yang sering menjadikan anak-anak sebagai korban. Internet dan
perkembangan teknologi komunikasi lain juga nampaknya juga terkait dengan
meningkatnya risiko eksploitasi seksual anak-anak serta bentuk kekerasan
lainnya.
78. Pengungsi dan anak telantar lainnya juga mengalami kekerasan yang
berarti. Penelitian mengenai pengungsi di lokasi-lokasi pengungsian di Afrika
menyebutkan buruknya keamanan di tempat-tempat umum lantaran risiko
kekerasan seksual dan kekerasan berbasis jender, sebagian besarnya
menimpa anak-anak perempuan..69 Banyak barak pengungsian kekurangan
bangunan yang aman; penegakan hukumnya juga tidak memadai, dan tidak
menjadi tempat aman bagi mereka yang selamat dari berbagai penyerangan,
Di samping itu, sarana pelaporan dan pemberian santunan juga buruk.. 70
Dalam hal diusir paksa, perempuan dan anak-anak gadis khususnya, dapat
terpapar masalah-masalah perlindungan yang terkait dengan jenis kelamin,
jender, termasuk posisi sosial ekonomi dan budaya mereka, serta status
hukumyang berarti bahwa mereka semakin kecil kemungkinannya untuk
dapat melaksanakan hak-hak bila dibandingkan dengan anak-anak laki-laki
dan pria dewasa.
6969 Darfur: women raped even after seeking refuge; donors must increase support to
victims of sexual violence. Human Rights Watch, press release, 11 April 2005; Lives
blown apart: Crimes against women in times of conflict (London, Amnesty
International, 2004); A. C. Okot, I. Amony and G. Otim, Suffering in Silence: A Study of
Sexual and Gender Based Violence (SGBV) in Pabbo Camp, Gulu District, Northern
Uganda (New York, UNICEF, 2005); J. Gardner and J. El Bushra, Somalia, The Untold
Story: The War through the eyes of Somali Women (London, CIIR and Pluto Press,
2004). 2000).
7070 J. Ward, If not now, when? Addressing gender-based violence in refugee, internally
7272 Trafficking for sexual exploitation and other exploitative practices (Florence,
UNICEF Innocenti Research Centre, 2005).
7474 ECPAT, Violence against Children in Cyberspace. Resource report for the United
Nations Secretary- Generals Study on Violence against Children (2005).
83. Seratus sembilan puluh dua negara telah meratifikasi Protokol Opsional
Konvensi Hak hak Anak mengenai penjualan anak, pelacuran anak dan
pornografi anak; serta Opsional Protokol Konvensi Hak-hak Anak mengenai
Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata. Sejak Konvensi itu berlaku,
instrumen-instrumen lain juga telah diadopsi dan berlaku dengan jumlah
ratifikasi yang cukup signifikan. Konvensi ILO No. 182 telah diadopsi pada
tahun 1999 dan Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum
Perdagangan Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak-anak, yang
melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa menentang Kejahatan
Transnasional Terorganisasi diadopsi pada tahun 2000.
84. Berbagai prakarsa telah dilaksanakan dan tindakan konkret telah diambil
berdasarkan pada instrumen hukum ini. Misalnya, Konvensi ILO No. 182 telah
menyebabkan
dibuatnya
atau
diamandemennya
undang-undang
ketenagakerjaan dan rencana-rencana aksi nasional yang memberikan sarana
baru bagi upaya penghapusan pekerjaan pekerjaan yang terburuk untuk
anak. Kemajuan juga telah dicapai dalam pelarangan dan penanganan
perdagangan anak dengan diundangkannya larangan perdagangan manusia
88. Sementara Komite Hak-hak Anak dan Hak Asasi pemegang mandat khusus
mengakui bahwa pelaksanaan undang-undang masih tersendat dan bahwa
prakarsa-prakarsa yang ada pada umumnya belum memadai, Komite tersebut
juga telah mengakui kemajuan yang dicapai dalam perlindungan anak dari
kekerasan dalam segala lingkungan, Dalam dialognya dengan negara-negara
anggota konvensi yang berasal dari semua kawasan, Komite telah
mengidentifikasi dan mencatat dengan penuh penghargaan, keberadaan
praktek-praktek yang baik dan prakarsa prakarsa yang positif, seperti upayaupaya untuk menangani masalah-masalah pemotongan / mutilasi genital
perempuan, pekerja anak termasuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk bagi anakdan kekerasan rumah tangga terhadap perempuan dan
anak-anak. Program program telah dibuat untuk memberikan bantuan dan
pelayanan
bagi
anak-anak
jalanan,
mendukung
orangtua
dan
mengembangkan keterampilan parenting-nya, dan legislasi telah dibuat
dengan tujuan untuk melarang diskriminasi terhadap anak-anak yang berasal
dari kelompok terpinggir, termasuk anak-anak penyandang ketunaan, anakanak yang terkena dampak atau tertular HIV/AIDS, anak-anak pribumi, dan
anak-anak yang berasal dari minoritas bahasa, agama, etnis dan Kebangsaan.
89. Mekanisme perlindungan hak asasi regional telah menjadi perhatian serius
dalam peningkatan standar hukum untuk perlindungan anak terhadap
kekerasan. Mekanisme hak-hak asasi Dewan Eropa, termasuk Peradilan Hakhak Asasi Eropa dan Komisi Hak-hak Sosial Eropa, telah menerbitkan
timbangan dan keputusan mengenai kekerasan terhadap anak, termasuk
hukuman fisik dan kekerasan seksual. Instrumen-instrumen yang mencermati
masalah perdagangan anak dan kekerasan yang terkait dengan teknologi
informasi yang baru juga telah dikembangkan oleh perangkat dalam Dewan
Eropa. Negara-negara anggota Uni Afrika telah mengadopsi Protokol Piagam
Afrika tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Rakyat yang berkaitan dengan Hakhak Perempuan Afrika yang memberikan alat tambahan bagi penghapusan
praktek-praktek tradisional yang merugikan
seperti mutilasi genital. Di
tingkat regional, pada tahun 2000 Asosiasi Negara Asia Selatan untuk Kerja
sama Regional (South Asian Association for Regional Cooperation) telah
mengadopsi Konvensi Regional mengenai Pencegahan dan Upaya memerangi
Perdagangan Perempuan dan anak0-anak untuk Pelacuran. ( Convention on
Preventing and Combating Trafficking in Women and children for Prostitution.
V. KESIMPULAN
Sebagai warga dunia, kami mendesak untuk diakui sebagai manusia kelas
satu, bukan kelas dua.
39
90. Lepas dari berbagai kemajuan ini, masih banyak hal yang harus
dikerjakan, dan beberapa faktor menghambat dampak berbagai upaya yang
telah dilakukan atau diusulkan yang berkaitan dengan kekerasan terhadap
anak. Hal-hal tersebut termasuk kurangnya pengetahuan atau pemahaman
mengenai kekerasan terhadap anak dan akar masalahnya, di mana salah satu
penyebabnya adalah data dan statistik yang tidak memadai. Upaya-upaya
untuk menangani kekerasan terhadap anak sering bersifat reaktif, berfokus
pada gejala dan akibat-akibat yang timbul, bukan penyebabnya. Strategi
cenderung terpecah-pecah bukannya terintegrasi dan sumber-sumber yang
dialokasikan untuk menjawab permasalahan tidak memadai. Selain itu,
komitmen internasional yang untuk melindungi anak dari kekerasan sering
tidak diterjemahkan menjadi tindakan tindakan di tingkat nasional.
91. Negara negara anggota telah membuat komitmen untuk melindungi anak
dari segala bentuk kekerasan. Kendatipun demikian, kita harus menerima
dari kesaksian-kesaksian yang anak-anak dalam proses Studi serta
sebagaimana tercermin dalam penelitian, bahwa komitmen-komitmen itu
masih belum dipenuhi. Pesan terpenting dari Studi ini adalah bahwa tidak ada
kekerasan terhadap anak dalam bentuk apapun juga yang dibenarkan; semua
kekerasan terhadap anak dapat dicegah. Hendaknya tidak ada alasan untuk
memaafkannya. Negara-negara anggota harus bertindak sekarang dengan
tegas untuk memenuhi kewajiban-kewajiban hak asasi mereka dan komitmenkomitmen lainnya untuk menjamin dilindunginya anak dari segala bentuk
kekerasan. Sementara tanggung jawab hukum berada di pihak negara,
segenap lapisan masyarakat, perorangan, hendaknya berbagi tanggung jawab
untuk mengutuk dan mencegah kekerasan terhadap anak dan merespons
anak-anak korban kekerasan. Tak satu pun dari kita yang berani menatap
mata anak-anak bila kita terus merestui dan mendorong kekerasan apapun
terhadap mereka.
92. Pada saat yang sama, akibat-akibat dari kekerasan terhadap anak
bervariasi menurut sifat dan keseriusannya, dan maka dari itu, berbagai
upaya untuk mencegah dan merespons kekerasan semacam itu juga harus
dilakukan dari berbagai sudut sekaligus, sesuai dengan kekerasan yang
39
(a) Tidak ada kekerasan dalam bentuk apapun yang dapat dibenarkan. Anak
hendaknya selalu menerima perlindungan lebih dibanding orang dewasa.
(b) Segala kekerasan terhadap anak dapat dicegah. Negara harus menerapkan
kebijakan dan program-program berbasis bukti untuk menangani faktor-faktor
yang meningkatkan kekerasan terhadap anak.;
VI. REKOMENDASI
tersebut bila hal itu terjadi, dan rekomendasi khusus yang berlaku
untuk rumah dan keluarga, sekolah, dan lingkungan pendidikan
lainnya, institusi untuk pengasuhan atau penahanan, lingkungan
kerja dan masyarakat.
3. Prioritaskan Pencegahan
pada
kebijakan-kebijakan
ekonomi
yang
menjawab
masalah
kemiskinan, jender, dan bentuk-bentuk ketidaksetaraan lainnya,
kesenjangan pendapatan, pengangguran perkotaan yang terlalu
penuh sesak, dan faktor-faktor lain yang menggerus masyarakat.
para orangtua, dengan perhatian khusus pada kelompok anak lakilaki dan perempuan yang rentan.
(d) Menjamin bahwa kurikulum, proses pengajaran dan praktekpraktek lainnya sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan prinsipprinsip Konvensi Hak-hak Anak, bebas dari rujukan yang secara aktif
atau pasif mempromosikan kekerasan dan diskriminasi dalam segala
bentuknya;
dan hendaknya menjadi satu-satunya pilihan bagi bayi dan anak yang
masih kecil. Negara hendaknya menjamin bahwa sepanjang
memungkinkan, anak-anak yang berada di pengasuhan residensial
bisa diintegrasikan dengan keluarga mereka di bawah kondisi yang
tepat. Mengakui / mengetahui adanya kerentanan khusus anak-anak
penduduk asli dan anak-anak dari kelompok minoritas, negara
hendaknya
menjamin bahwa anak-anak ini dan keluarganya diberi dukungan
berbasis budaya dan pelayanan pengasuhan /perawatan dan bahwa
pekerja sosial memiliki pelatihan yang memadai untuk bekerja secara
efektif dengan mereka;
4. Di lingkungan Kerja
(a)
Melaksanakan
undang-undang
tenaga
kerja
domestik,
mengarusutamakan penghapusan pekerja anak ke dalam kebijakan
pembangunan nasional dan memberikan prioritas pada penghapusan
segala bentuk pekerjaan yang terburuk bagi anak yang secara
dengan sendirinya memang mengandung kekerasan. Perhatian
khusus hendaknya dicurahkan pada eksploitasi ekonomi anak di
dalam sektor informal, misalnya di bidang pertanian, perikanan,
pelayanan rumah tangga, di mana fenomena itu lebih banyak
dijumpai. Selain itu, negara-negara anggota hendaknya menjamin
bahwa pekerja anak berpartisipasi dalam diskusi untuk memecahkan
masalah tersebut.
(c) Di mana anak bekerja secara gelap, pastikan bahwa programprogram integrasi dan pemulihan yang tersedia yang berfokus pada
pemberian bantuan anak-anak di bawah umur, dan mereka yang
berada di dalam pekerjaan yang terburuk untuk meninggalkan
tempat itu, menerima pendidikan dan pelatihan dan meningkatkan
kesempatan hidupnya tanpa mengalami viktimisasi lebih lanjut;
5. Di Lingkungan masyarakat
7878 Sebuah pelanggaran hendaknya dianggap kejahatan baik di Negara yang menjadi
80
8080 Pidato Sambutan Delegasi dibawah usia 18. dalam United Nations SecretaryGenerals Study on Violence against Children Regional Outcome Report: East Asia and
the Pacific (2005).
118.
Pemerintah
hendaknya
mempertimbangkan
ditunjuknya
komisioner atau ombudsman untuk hak-hak anak sesuai dengan
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan status lembaga hak asasi
nasionalnya. (The Paris Principles).81 Bekerja bahu-membahu dengan
badan/ instansi lain yang menangani kesehatan masyarakat dan
masalah-masalah perlindungan anak, institusi ini hendaknya memiliki
mandat yang jelas untuk memonitor hak-hak anak di tingkat nasional
regional dan lokal. Bilamana diperlukan, mereka hendaknya memiliki
kompetensi untuk menerima dan melakukan investigasi pengaduan
pelanggaran hak-hak anak dari masyarakat, termasuk anak.
2. Tingkat Internasional
121.
Perwakilan
khusus
hendaknya
menyebarluaskan
dan
mempromosikan rekomendasi rekomendasi Studi ini di berbagai
forum nasional, regional dan internasional. Dia hendaknya secara
berkala melapor ke Dewan Hak Asasi Manusia dan Majelis Umum, dan
hendaknya
mengordinasikan
penyiapan
laporan
mengenai
implementasi rekomendasi , untuk disampaikan ke Majelis Umum
pada persidangan ke enam puluh lima.
-------