Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
DEMOKRASI
Oleh: Muhammad Abduh
Pendahuluan
Demokrasi merupakan salah satu isu global yang terus berkembang
hingga saat
ini1 ,
dan
setidaknya
dalam
wacana
pemikiran
Islam
terdapat
tiga grand
pemikiran;
menolak, menerima dan mengakomodasi. Namun, wacana yang demikian di dalam
realitas-empirik menunjukkan suatu yang berbeda. Bagi mereka yang dianggap
menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan keseharian cenderung tidak merespon isu-isu
tersebut dengan bijaksana.2 Sementara, di sisi lain terdapat suatu fenomena sebaliknya.
Perkembangan ini kemudian menjadikan wacana demokrasi semakin variatif
dan dalam makalah ini hanya akan difokuskan pada wacana perkembangan pemikiran
demokrasi di dunia barat dan implikasinya terhadap islam dengan memetakan beberapa
tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang dibangun oleh
masing-masing tokoh tersebut.
Berbagai Pengertian dan Variant Teori-Teori: Islam dan Demokrasi
Jika dilihat dari basis empiriknya, Islam dan demokrasi, menurut Mahasin (1993: 30)
merupakan dua sisi yang berbeda. Islam berasal dari wahyu, sementara demokrasi
berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian Islam
*Guru Sejarah Kebudayaan Islam MAN Sakatiga dan Mahasiswa pada Program Studi Peradaban Islam
Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam Program Doktoral Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang.
1 Isu-isu penting yang berkembang di era modern di antaranya globalisasi, demokrasi dan
civil
society. Ketiga hal tersebut dalam beberapa hal memaksa umat Islam dan dunia Islam untuk
meresponnya. Oleh karena itu, kajian-kajian tentang hal ini mulai banyak ditemukan, terutama oleh penulis
kontemporer yang berupaya mengakomodasinya dalam wacana keislaman.
2Pengalaman-pengalaman negara-negara Islam tidak sama dalam meresponnya. Saudi Arabia merupakan
kerajaan Islam yang menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan kenegaraannya. Namun, banyak yang
menilai negara tersebut tidak demokratis. Di negara-negara lain, isu yang demikian telah menempatkannya
sebagai isu penting. Sebuah negara atau person lebih aman ketika tidak dijustifikasisebagai negara atau
seorang yang demokratis dan tidak otoriter daripada tidak Islami. Demikian juga terhadap hal-hal yang
melingkupi dari pengalaman negara muslim dalam demokrasi. Minimnya kajian terhadap
demokrasi yang berkembang di negara Islam membuat kajian ini tidak populer di negara-negara
Islam.
memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan
bagi Islam untuk berdampingan dengan demokrasi.
Islam3 adalah agama4 . Sebagai agama, Islam diyakini dan dipahami
merupakan
seperangkat ketentuan dan aturan ( aqidah wa al-syariah) yang bersumber dari Allah
Swt. Agama, dalam keseluruhan aspek ajarannya, dimaksudkan untuk menjadi panduan
bagi manusia. Karena agama menjadi panduan bagi kehidupan manusia, berarti agama
juga harus menjadi basis bagi semua atau keseluruhan perilaku manusia, yang antara lain
meliputi perilaku politik, ekonomi, sosial dan seterusnya.
Sebagai kumpulan ajaran Allah Swt, Islam terkodifikasikan dalam al-Quran. Al-Quran
inilah yang kemudian menjadi rujukan perilaku manusia. Tetapi, karena ajaran-ajaran
dalam al-Quran memerlukan penjelasan, maka keberadaan Nabi Muhammad Saw.,
adalah berperan sebagai orang yang menjelaskan al-Quran
mubayyin al-Quran). Nabi Muhammad lah yang kemudian memberikan penjelaskan
secara operasional terhadap ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Quran. Karena itu
kemudian, keduanya
Islam.
Memperhatikan Islam sebagai kumpulan ajaran yang berasal dari Allah Swt., dan
kemudian dilembagakan melalui Nabi Muhammad Saw., dapat dikatakan bahwa yang bisa
disebut memiliki kemutlakan untuk mengatur manusia di sini adalah Allah. Dalam
pandangan ini Allahlah yang memiliki kedaulatan atas manusia. Allah lah
al-Khaliq) yang menentukan segala ketentuan dan aturan untuk sekalian ciptaannya
3Dari segi etimologis, Islam memiliki sejumlah derivasi (kata turunan), antara lain:
aslama (menyerahkan diri, taat, tunduk, dan patuh sepenuhnya), salimah (selamat,
sejahtera, sentosa, bersih dan bebas dari cacat/cela), salam
(damai, aman dan
tenteram), sullam (tangga; alat bantu untuk naik ke atas).
4 Agama berdasarkan asal kata, yakni al-Din, religi (religere, religare) dan agama.
Al-Din (semit) berarti undang-undang atau hukum. Kemudian mengandung arti
manguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan dan kebiasaan. Adapun dari kata
religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Sedangkan religare
berarti mengikat. Adapun agama berasal dari bahasa Sangsekerta a=tidak,
dan gam = pergi), mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun
menurun.
an sich .
Kaum
wanita, budak dan orang-orang asing dikecualikan. Demokrasi yang berjalan di Athena ini
berjalan sampai 200 tahun (The World of Encyclopaedia, 1983: 106-107). Dari sejarah
panjang inilah kemudian demokrasi berkembang dan sekarang menjadi suatu yang
universal dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia ini.
Perkembangan demokrasi sejalan dengan perkembangan umat manusia dan telah
melahirkan berbagai macam tokoh dan pemikir yang handal. Pemikiran dan aplikasi
teoritis dalam kancah pemerintahan sudah lama terbukti dan teruji secara baik
5 Istilah demokrasi pertama kali muncul dari Yunani sekitar 2,5 ribu tahun silam, di
salah satu kota Yunani, Athena muncul bentuk pemerintahan politik baru.
Namun, bukan berarti substansi demokrasi tidak dapat ditemukan sebelumnya.
Franz Magnis-Suseno (1996: 129-130) melihat jauh sebelum munculnya Yunani
yakni 4 ribu tahun silam di mana munculnya Abraham (Ibrahim) di
masyakarat Israel telah menemukan akar-akar demokrasi ini.
6 Athena adalah kota yang mampu merealisasikan demokrasi secara langsung
dalam sebuah majelis dan di dalamnya hanya terdiri dari 5000 sampai 6000 orang
yang memungkinkan dalam jumlah tersebut berkumpul dalam satu ruangan.
Namun, bentuk demokrasi langsung tersebut tidak lagi banyak dianut oleh negaranegara maju dikarenakan jumlah penduduk yang lebih banyak dan lebih nyaman
menggunakan perwakilan dalam mengurusi suatu tatanan kenegaraan.
dan mengesankan (Effendi, 1996: 86). Walaupun demikian, dalam kapasitas tertentu
simbol tersebut perlu dipertanyakan eksistensi dan aplikasinya dalam kehidupan
masyarakat dunia dalam skala makro maupun mikro.
Pengalaman-pengalaman yang beraneka ragam dan tidak berdimensi satu membuat
makna, ciri dan tinjauan-tinjauan yang berhubungan dengan demokrasi menjadi suatu
yang beragam. Kenyataan ini juga didukung oleh fenomena sosial dari ilmu politik yang
memayungi kajian demokrasi dan yang berhubungan dengannya. Oleh karena itu, setiap
negara dan kawasan memilki banyak ragam dalam merespon demokrasi dalam
kancah perpolitikan mereka. Ada negara
menerapkannya
dan
ada
juga
yang
masih
belajar
dengan
tertatih-tatih tanpa
membuahkan hasil yang memadai dan memberikan perubahan yang cukup berarti.
Pemahaman tentang demokrasi dapat dilakukan secara utuh jika dapat dilakukan
kajian yang mendalam tentang substansi dari demokrasi dan hal-hal lain yang
mendukungnya. Pengalaman dan aplikasi berbagai negara dapat dijadikan sebagai
variant model yang muncul mengiringi paket demokrasi, yang dapat disebut sebagai
upaya kreatif masing-masing negara dalam merespon isu demokrasi. Upaya kreatif
tersebut tidak dianggap sebagai sebuah reduksi dalam memahami dan mencerna isu
penting tersebut. Namun, aplikasi demokrasi akan dapat bermakna bagi negara-negara lain
jika disesuaikan dengan kondisi sosial-politik dan sosial-budaya masyarakat setempat.
Tentu, ada beberapa hal yang sesuai dengan kondisi tertentu dari negara dan tidak cocok
bagi negara lain.
Demokrasi tersusun dari dua kata demos berarti people dankratos berarti
rule or authority (bahasa Greek, Yunani); yang berarti pemerintahan oleh rakyat
(rule or authority by the people) di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan
dijalankan secara langsung maupun melalui perwakilan di bawah sistem pemilihan
yang bebas. Istilah tersebut menurut Abraham Lincoln sebagaimana dikutip oleh
Efendi (1996: 86) didefenisikan sebagai goverment of the people, by the people,
for the people atau pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dari pengertian sederhana tersebut jelas bahwa demokrasi menginginkan
pemerintahan diselenggarakan secara terbuka dan rakyat diberi kesempatan dalam
memerintah.
Demokrasi dan kebebasan sering digunakan secara timbal balik. Namun keduanya
tidak sama atau berbeda. Demokrasi merupakan seperangkat gagasan dan prinsip
tentang kebebasan dan juga seperangkat praktek dan prosedur tertentu melalui sejarah
panjangnya yang berliku-liku. Oleh karena itu, demokrasi sering diartikan sebagai
sebuah pelembagaan kebebasan.
Banyak pemikir yang brusaha memberikan pemaparan mengenai ciri-ciri dari demokrasi.
Robert A. Dahl sebagaimana dikutip oleh Efendi (1996: 89) mengungkapkan bahwa
sebuah rezim dianggap demokratis jika memilki tiga ciri, (1) menyelenggarakan pemilihan
yang terbuka dan bebas, (2) mengembangkan pola politik yang kompetitif
dan (3)
masing-masing.
Di
samping
itu,
manusia
juga
diberi
hak-hak
Walaupun
demikian,
demokrasi
perwakilan
bukan
satu-satunya bentuk
Dari uraian demokrasi atas dapat dikatakan bahwa demokrasi dapat berjalan dengan baik
jika prasyarat tertentu dipenuhi. Demokrasi kalangan para pakar telah terjadi immak
bahwa demokrasi hanya kondusif demokrasi negara maju dan demokrasi
ekonomi) yang berhubungan dengan hubungan elite dengan massa, dan hak aktualisasi diri
(demokrasi
budaya
demokrasi dipaksakan oleh negara maju dengan serangkaian besar dana dan prosedur
yang ketat agar demokrasi dilaksanakan sesuai keinginan mereka, padahal locus dan
tempos-nya berbeda. Ada yang menerima, menolak dan ada yang memberi apresiasi
dengan sewajarnya. Penjelasan terhadap masalah ini dapat dilihat dalam perkembangan
pemikiran demokrasi di dunia barat dan implikasinya terhadap Islam dengan memetakan
beberapa tokoh Islam dalam menyikapi demokrasi beserta argumentasi yang dibangun
oleh masing-masing tokoh tersebut dalam pembahasan berikut ini.
Polis
seharusnya
dikelola sebagai ganti dari model kekuasaan para autocrats
Dari buah pikiran merekalah
dan
tyrants.
yaitu
persamaan ( egalitarianism ) dan kebebasan (
dianggap sebagai dasar sistem politik yang lebih baik ketimbang yang sudah ada waktu itu.
Tentu saja para filsuf Yunani tersebut memiliki pandangan berbeda terhadap kekuatan
dan kelemahan sistem demokrasi itu sendiri. Plato, misalnya, dapat dikatakan sebagai
pengritik sistem demokrasi yang paling keras karena dianggap dapat
mendegenerasi dan mendegradasi kualitas sebuah Polis dan warganya. Kendati Plato
mendukung gagasan kebebasan individu tetapi ia lebih mendukung sebuah sistem
politik dimana kekuasaan mengatur
Polis
yang
memiliki kualitas moral, pengetahuan, dan kekuatan fisik yang terbaik atau yang
dikenal dengan nama
Sebaliknya,
Aristoteles
memandang
justru sistem demokrasi yang akan memberikan kemungkinan Polis berkembang dan
bertahan karena para warganya yang bebas dan egaliter dapat terlibat langsung dalam
pembuatan keputusan publik, dan secara bergiliran mereka memegang kekuasaan yang
harus dipertanggungjawabkan kepada warga.
Demokrasi klasik di Athena, baik dari dimensi pemikiran dan praksis, jelas bukan
sebuah demokrasi yang memenuhi kriteria sebagai demokrasi substantif, karena
pengertian warga
(citizens)
yang egaliter
dan
bebas
pada
kenyataannya sangat
terbatas. Mereka ini adalah kaum pria yang berusia di atas 20 tahun, bukan budak, dan
bukan kaum pendatang (imigran). Demikian pula demokrasi langsung di Athena
dimungkinkan karena wilayah dan penduduk yang kecil (60000-80000 orang). Warga yang
benar-benar memiliki hak dan berpartisipasi dalm Polis kurang dari sepertiganya dan
selebihnya adalah para budak, kaum perempuan dan anak-anak, serta pendatang atau orang
asing! Demikian pula, para warga dapat sepenuhnya berkiprah dalam proses
politik karena mereka tidak tergantung secara ekonomi, yang dijalankan sepenuhnya
oleh para budak, kaum perempuan, dan imigran.
Kedua,
mengemuka
pada fase ini adalah gagasan alternatif terhadap sistem Monarki Absolut yang
dijalankan oleh para raja Eropa dengan legitimasi Gereja. Tokoh-tokoh pemikir era ini
antara lain adalah Niccolo Machiavelli (1469-1527), Thomas Hobbes (1588-1679), John
Locke (1632-1704), dan Montesquieu (1689-1755). Era ini ditandai dengan munculnya
pemikiran
negara yang berdaulat dan terpisah dari kekuasan eklesiastikal (Hobbes). Lebih jauh,
gagasan awal tentang sistem pemisahan kekuasaan (Montesquieu) diperkenalkan
sebagai alternative dari model absolutis.
Pemikiran awal dalam sistem demokrasi modern ini merupakan buah dari Pencerahan
dan Revolusi Industri yang mendobrak dominasi Gereja sebagai pemberi legitimasi sistem
Monarki Absolut dan mengantarkan pada dua revolusi besar yang membuka jalan bagi
terbentuknya sistem demokrasi modern, yaitu Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi
Perancis (1789). Revolusi Amerika melahirkan sebuah sistem demokrasi liberal dan
federalisme (James Madison) sebagai bentuk negara, sedangkan Revolusi
Perancis
mengakhiri Monarki Absolut dan meletakkan dasar bagi perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia secara universal.
Ketiga,
Fase Modern (awal abad 18-akhir abad 20). Pada fase modern
ini dapat
disaksikan dengan bermunculannya berbagai pemikiran tentang demokrasi berkaitan
dengan teori-teori tentang negara, masalah kelas dan konflik kelas, nasionalisme,
ideologi, hubungan antara negara dan masyarakat dan sebagainya. Disamping itu,
terjadi perkembangan dalam sistem politik dan bermunculannya negara-negara baru
sebagai akibat Perang Dunia I dan II serta pertikaian ideologi khusunya antara
kapitalisme dan komunisme.
Pemikir-pemikir demokrasi modern yang paling berpengaruh termasuk JJ Rousseau
(1712-1778), John S Mill (1806-1873), Alexis de Tocqueville (1805-1859), Karl Marx
(civil disobedience)
(liberty)
utama
demokrasi liberal dan sistem demokrasi perwakilan modern
(Parliamentary
system)
di
mana Mill menekankan pentingnya menjaga hak-hak individu dari intervensi
negara/pemerintah. Gagasan pemerintahan yang kecil dan terbatas merupakan inti
pemikiran Mill yang kemudian berkembang di Amerika dan Eropa Barat. De
Toqcueville juga memberikan kritik terhadap kecenderungan negara untuk intervensi
dalam kehidupan sosial dan individu sehingga diperlukan kekuatan kontra yaitu
masyarakat sipil yang mandiri.
Marx dan Engels merupakan pelopor pemikir radikal dan gerakan sosialis- komunis
yang menghendaki hilangnya negara dan munculnya demokrasi langsung. Negara
dianggap sebagai panitia eksekutif kaum burjuis dan alat yang dibuat untuk melakukan
kontrol terhadap kaum proletar. Sejauh negara masih merupakan alat kelas
burjuis, maka keberadaannya haruslah dihapuskan (
dan
digantikan dengan suatu model pemerintahan langsung di bawah sebuah diktator
proletariat. Dengan mendasari analisa mereka mengikuti teori perjuangan kelas dan
materialism dialektis, Marx dan Engels menganggap sistem demokrasi perwakilan yang
diajukan oleh kaum liberal adalah alat mempertahankan kekuasaan kelas burjuis dan
karenanya bukan sebagai wahana politik yang murni (genuine)
serta
mampu
roses
yang
melahirkan
blok
Barat
dan
Timur,
kapitalisme
dan
sosialisme/komunisme. Demokrasi menjadi jargon bagi kedua belah pihak dan hampir
semua negara dan masyarakat pada abad keduapuluh, kenbdatipun variannya sangat
besar dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain.
Demokrasi kemudian menjadi alat legitimasi para penguasa, baik totaliter maupun
otoriter di seluruh dunia. Di negara-negara Barat seperti Amerika dan Eropa, pemahaman
demokrasi semakin mengarah kepada aspek prosedural, khususnya tata
kelola pemerintahan
hancurnya
blok
komunis/sosialis
pada
penghujung
abad ke duapuluh,
demokrasi seolah-olah tidak lagi memiliki pesaing dan diterima secara global.
Fukuyama bahkan menyebut era paska perang dingin sebagai Ujung Sejarah (the End of
History) di mana demokrasi (liberal), menurutnya, menjadi pemenang terakhir. Pada
kenyataannya, sistem demokrasi di dunia masih mengalami persoalan yang cukup pelik
karena komponen-komponen substantif dan prosedural terus mengalami penyesuaian
dean tantangan. Kendati ideologi besar seperti sosialisme telah pudar, namun
munculnya ideologi alternatif seperti fundamentalisme agama, etnis, ras, dsb telah
tampil sebagai pemain dan penantang baru terhadap demokrasi, khususnya demokrasi
liberal.
Kondisi saat ini di mana globalisasi telah berlangsung, maka demokrasi pun mengalami
pengembangan baik pada tataran pemikiran maupun prkasis. Munculnya berbagai
pemikiran dan gerakan advokasi juga menjadi tantangan bagi sistem politik demokrasi
liberal, seperti gerakan feminisme, kaum gay, pembela lingkungan, dan sebagainya.
Termasuk juga gerakan anti kapitalisme global yang bukan hanya berideologi kiri,
tetapi juga dari kubu liberal sendiri, semakin menuntut terjadinya terobosan baru
dalam pemikiran tentang demokrasi. Contoh yang dapat disebutkan
disini adalah upaya mencari jalan ke tiga
yang
menggabungkan
liberalisme dan populisme di Eropa dan Amerika Serikat.
Indonesia sedang dalam proses tranformasi dari sistem otoriter menuju demokrasi
sebagaimana dicita-citakan para pendirinya dalam konstitusi. Tak terelakkan lagi,
diperlukan kemampuan dari para pekerja demokrasi untuk mencari varian
demokrasi yang
perkembangan pemikiran dan praksis demokrasi dari berbagai era dan wilayah dunia akan
sangat membantu dalam usaha tersebut (Rosyada, 2005: 127-130).
Demokrasi Dalam Pandangan Islam
Esposito dan Piscatori (1994: 19-21), memetakan wacana pemikiran politik Islam
terhadap demokrasi menjadi tiga aliran; aliran pemikiran Islam yang menolak konsep
demokrasi, aliran yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi mengakui adanya
perbedaan, dan aliran yang menerima konsep demokrasi sepenuhnya. Pertama, bagi
kelompok yang menolak demokrasi beranggapan bahwa adalah
impossible
jika
Islam
memiliki kesamaan dengan demokrasi. Mereka berpendapat bahwa dalam Islam tidak ada
tempat yang layak bagi demokrasi, yang karenanya Islam dan demokrasi tidak dapat
dipadukan. Beberapa ulama yang berpandangan demikian antara lain adalah, Syaikh
Fadillah Nuri, Thabathabai, dan Sayyid Qutb. Bagi Syaikh Fadillah Nuri, salah seorang
ulama Iran, satu kunci gagasan demokrasi yaitu persamaan semua warga negara adalah
impossible
dalam Islam. Perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti
terjadi, misalnya, antara yang beriman dan yang tidak beriman, antara kaya dan miskin,
dan antara
faqih
(ahli hukum Islam) dan pengikutnya (Kamil, 1999: 38-39). Selain itu,
ia juga menolak legislasi oleh manusia. Islam katanya, tidak memiliki kekurangan yang
memerlukan penyempurnaan. Dalam Islam tidak ada seorangpun yang diizinkan
mengatur hukum. Paham konstitusional sebagai bagian dari demokrasi, karenanya
bertentangan dengan Islam. dalam keyakinan Syaikh Fadillah Nuri, tampaknya manusia
hanya bertugas melaksanakan hukum-hukum Tuhan (Kamil, 1999: 48). Sayyid Qutb,
Pemikir Ikhwanul Muslimin, sangat menentang gagasan kedaulatan rakyat. Baginya, hal itu
adalah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan dan merupakan suatu bentuk tirani sebagian
orang
terhadap
yang
lainnya.
Mengakui
syariah
lengkap,
sehingga tidak ada legislasi lain yang mengatasinya (Kamil, 1999: 48).
Kedua, Kelompok yang menyetujui adanya prinsip-prinsip demokrasi
dalam
Islam tetapi mengakui adanya perbedaan. Kelompok ini diwakili oleh Maududi di
Pakistan dan Imam Khomeini dari Iran, serta beberapa pemikir Islam lainnya. Abu Ala
Maududi misalnya berpandangan bahwa ada kemiripan wawasan antara demokrasi
dengan Islam, seperti keadilan, (QS.
asy-Syuraa/
(QS. al-Hujuraat
4: 58),
musyawarah (QS.
asy-Syuraa/
22:
al-Hajj/
4),
dan hak-hak
oposisi (QS. al-Ahzab/
bahwa
dalam sistem Barat, suatu negara demokratis menikmati kedaulatan rakyat mutlak, maka
dalam demokrasi Islam, kekhalifahan diterapkan untuk dibatasi oleh batas-batas yang
Ilahi
(Kamil,
1999:
49).
Khomeini
sebagaimana
dikutip oleh Yamani (2002: 141) mempunyai pandangan lain terhadap demokrasi,
menurutnya demokrasi Islam berbeda dengan demokrasi liberal, Khomeini meyakini
bahwa kebebasan mesti dibatasi dengan hukum, dan kebebasan yang diberikan itu harus
dilaksanakan di dalam batas-batas hukum Islam dan konstitusi, dengan sebaik-baiknya.
Konstitusi Republik Islam Iran yang didasarkan pada konsep wilayatul faqih
mencerminkan bahwa di satu sisi Iran merupakan negara Islam yang bersumber pada
hukum agama, namun di sisi lain Iran termasuk merupakan sebuah negara yang secara
prinsipil menganut sistem demokrasi.
Ketiga, kelompok
yang
menerima
sepenuhnya
konsep
demokrasi
memandang
bahwa sejatinya di dalam diri Islam sangat demokratis karenanya menurut mereka Islam
menerima sepenuhnya demokrasi sebagai sesuatu yang universal. Pemikir yang masuk
dalam kategori kelompok ketiga ini antara lain, Muhammad Husain Haikal dari Mesir,
Rashid al-Ghannouchi, pemikir politik asal Tunisia, serta Bani Sadr dan Mehdi
Bazargan dari Iran.
Muhammad Husein Haikal, salah seorang pemikir muslim dari Mesir, berpendapat
bahwa dalam dunia pemikiran, demokrasi pertama kali dicanangkan oleh Islam,
menurutnya, semua sistem yang tidak berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi adalah tidak
sesuai dengan kaidah-kaidah utama yang ditetapkan dan diserukan Islam. Karena, kaidahkaidah yang ditetapkan demokrasi merupakan kaidah Islam dan begitu pula dengan prinsipprinsipnya. Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia. Haikal
mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip
persaudaraan Islam, prinsip persamaan, prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau
kebebasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan
syariah.
prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki
oleh khalifah atau imam, prinsip
penguasa, akuntabilitas serta pengendalian nafsu bagi penguasa. Semua itu merupakan
prinsip-prinsip dari sistem politik yang dipraktekkan Nabi di Madinah (Kamil, 1999:
58-59).
Pemahaman dan Pandangan Penulis
Demokrasi yang berkembang di Barat, berangkat
populi vox
dei (Suara rakyat suara Tuhan) yang dikemukakan oleh William of Malmesbury di
abad ke-12. Dalam Islam sebuah pertanyaan besar: apakah kalau rakyatnya semua kafir,
atau musyrik, atau fasiq, itu juga suara Tuhan , atau bodoh-bodoh, itu suara Tuhan? Tuhan
yang mana? dan dalam hal apa saja kapasitas demokrasi itu, apakah kalau mau shalat
harus musyawarah dulu? Melaksanakan hukum Allah harus musyawarah dulu?
Tentu saja tidak! Tetapi juga wajib difahami bahwa, Islam mengatur tata kehidupan
beragama dalam bernegara, -dalam kontek Indonesia, misalnya- hal ini penting untuk
diketahui ,karena banyak
umat yang
beragama
sangat
eksklusif,
yang tidak
Watsiqah Madinah
Muhammad
Saw. membuat perjanjian bela negara dengan orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi,
Shabi-iin, Musyrikiin. Itulah bentuk negara pertama yang sebenarnya, dalam sejarah
ketatanegaraan, kalau kita mau jujur. Lalu, umat Islam kapan lagi, jujur dan konsisten
dengan ajaran pokoknya al-Quran dan al-Sunnah, siapa lagi yang harus diikuti dan
diteladani selain Rasul Allah dan para sahabatnya? (lihat QS. Ali Imran/
QS. an-Nisa/
3: 3, dan
4: 59).
Jadi menurut penulis konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak
sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan Islam adalah keikutsertaan rakyat
dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan
kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara
mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang
keluar dari rambu-rambu
Ilahi.
Kedua,
rakyat diberi kebabasan untuk menyuarakan aspirasinya;
Ketiga,
pengambilan
keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah; Keempat,
dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar daari nilai-nilai agama;
Ketujuh, hukum
Penutup
Nampaknya, entah itu di kalangan barat maupun Islam memiliki perbedaan berikut
persamaan dalam mengartikan demokrasi, dan terlepas dari itu semua,
pada tataran
konsep, memang apapun sistem politik yang digunakan dalam menjalakan sebuah
roda pemerintahan dan negara pada dasarnya adalah ideal dan baik, begitu pun dengan
demokrasi, demokrasi memang pada tataran idea dan konsepnya merupakan sebuah
sistem politik yang dianggap terbaik dari sistem politik yang ada, namun pada tataran
praktis para demokrat yang hidup di alam demokrasi tersebut terkadang melenceng
dari koridor demokrasi yang ada, dengan mengkhianati konsep-konsep demokrasi
yang ideal tersebut, yang mesti dikedepankan kemudian adalah komitmen
dalam menjalankan sebuah sistem politik, dengan mengikuti koridor-koridor yang ada,
apa pun itu sistemnya, termasuk demokrasi. Wallahua`lam
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
al-Aqqad, Abbas Mahmud. t.th. al-Dimuqratiyah fi al-Islam.
alAsriyah, Beirut.
Ali, A. Mukti. 1996.
Mizan,
BandungCet. III.
al-Raziq, Ali ibn Abd. 1925.
Mansyurat al-Maktabat
Dede Rosyada dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani,
(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah), 2005, cet. III
Donohue, John J. dan John L. Esposito,
Islam in Tradition, Muslim
Perspective
(
diterjemahkan oleh Machnun Husein) 1995. Islam dan Pembaruan
Ensiklopedi
Masalah-masalah. Rajawali Press, Jakarta.
Effendi, Bahtiar. 1996. Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed),. Agama dan Dialog
antar Peradaban. Paramadina, Jakarta. Cet. I.
Masyarakat Agama: Deprivatiasai Agama, dalam Jurnal Kebudayaan dan
Peradabn Ulumul Quran edisi 3/VII/1997.
.1995. Islam and Democracyt: in Search of a Viable Systhesis
Islami,
Vo. 2, No. 4, 1995.
dalam Studi
Karim, M. Rusli.
Peluang dan Hambatan Demokratisasi
Tahun XXVII, No. 1 Januari-Maret 1988.
dalam
Analisis
CSIS,
Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Mizan, Bandung. Cet. II.
Lapidus, Ira M. 1999.
Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3 (terj. Ghufron A.
Masadi).
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Magnis-Suseno, Franz. 1996. Demokrasi: Tantangan Universal dalam M. Nasir
Tamara dan Elza Peldi Taher, (Ed), Agama dan Dialog antar Peradaban.
Paramadina,
Jakarta. Cet. I.
Ohmae, Kenichi.
Maret-April 1996.
The End of the Nation State dalam Analisis CSIS Tahun XXV, No. 2
Program Pascasarjana
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajarn, Sejarah, dan Pemikirannya.
UI Press, Jakarta. Cet. VIII.
Taylor,David. 1989. Politik Islam dan Islamisasi Pakistan dalam Harun Nasution dan
Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam.
Yayasan Obor
Indonesia,
Jakarta.
Thaba, Abdul Aziz. 1996.
Press, Jakarta. Cet. I