Você está na página 1de 27

BAB I

PENDAHULUAN
Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai
tempat untuk menampung produksi urine dan sebagai fungsi ekskresi. Secara
fisiologis, fungsi eksresi kandung kemih atau biasa disebut proses berkemih
membutuhkan koordinasi sinergis antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi
pasase keluar, dengan kontraksi detrusor yang adekuat dan dapat dipertahankan
memungkinkan kandung kemih dapat dikosongkan secara sempurna.1
Ketidakmampuan seseorang untuk mengosongkan kandung kemih secara
sempurna dengan proses berkemih yang volunter disebut sebagai retensi urin. 1,2,3.
Kejadian retensi urin dapat bersifat akut, yang biasanya ditandai dengan nyeri
hebat, maupun kronis, yang diakibatkan peningkatan jumlah urine residu terus
menerus sehingga terjadi distensi kandung kemih, tanpa disertai rasa nyeri.1,2,3
Pada laki-laki, terutama pada usia tua, kejadian retensi urin merupakan kasus
yang sering dijumpai, dan sebagian besar disebabkan adanya obstruksi pasase
keluar urin akibat benign prostat hyperplasia (BPH).

1,3

Salah satu penyebab

retensi urine adalah BPH. Pada dua buah studi kohort di amerika, insidensi retensi
urin pada usia 40-83 tahun sebesar 4,5 hingga 6,8 per 1.000 laki-laki per tahun. 2
Hal ini justru berbanding terbalik pada wanita dengan etiologi yang juga beragam.
Karena itu studi epidemiologi cukup sulit dilakukan, sehingga belum ada data
mengenai insidensi retensi urin pada wanita yang terdokumentasi dengan baik.1,2
Secara global, literatur mengenai retensi urin pada wanita lebih sering
ditemukan dalam bentuk laporan kasus atau seri kasus. Beragamnya etiologi dan
kurangnya data serta guideline mengenai tatalaksana retensi urine pada wanita
menyebabkan prognosis pun lebih sulit diprediksi dibandingkan pada laki-laki. 1
Karena itu makalah ini dibuat untuk membahas retensi urin pada wanita, mulai
dari etiologi hingga ke penatalaksanaan dan komplikasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sistem Urinaria
Sistem urinaria atau disebut juga sebagai sistem ekskretori adalah sistem
organ yang memproduksi, menyimpan dan mengalirkan urine. Pada manusia
normal, organ ini terdiri dari ginjal beserta sistem pelvikalises, ureter, buli-buli,
dan uretra.4

Gambar 1. Anatomi Saluran Kemih.


(Sumber : Mader, Sylvia S. 2004. Understanding Human Anatomy and Physiology, Fifth Edition)

2.1.1 Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen (retroperitoneal),
terutama didaerah lumbal kanan dan kiri columna vertebralis.5 Kedua ginjal
pada manusia terletak di tepi dari m.psoas, karena itu menjadi sedikit oblik.
Adanya hepar membuat ginjal kanan lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.
Berat ginjal dewasa rata-rata 150gr.5,6. Bentuk ginjal seperti kacang dengan
warna coklat kemerah-merahan.5
Secara umum, ginjal terdiri dari tiga bagian. Pertama, Korteks, yaitu
lapisan luar ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus
renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus
proksimal dan tubulus kontortus distalis. Kedua, medula, yang yang berisi
jaringan berbentuk setigita yang disebut piramid renalis. Di dalamnya terdiri
dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (duktus
kolektivus).Yang ketiga adalah pelvis renalis, yaitu ruang tengah ginjal yang
berlanjut menjadi ureter.5,6
Satuan fungsional ginjal disebut nefron, terdiri dari susunan tubula
yang mempunyai fungsi eksresi dan sekresi.6 Terdapat 1.000.000 nefron
dalam 1 ginjal.5 Masing-masing nefron terdiri atas beberapa bagian yaitu,
glomerulus yang mempunyai fungsi filtrasi, tubulus proksimal, dan lengkung
Henle, yang mempunyai fungsi reabsorpsi, dan tubulus distal yang
mempunyai fungsi sekresi, dan tubulus kolektivus sebagai saluran ekskresi
urin ke kaliks minor.5 Seperti pada gambar 2, glomerulus dan tubulus
proksimal dan distal selalu terletak pada korteks, sedangkan lengkung Henle
dan tubulus kolektivus terletak pada medula dan memberi gambaran garis
linear pada piramid renalis.5,6

Gambar 2. Anatomi Ginjal. A. Pembuluh darah ginjal dan lapisan ginjal. B. Nefron dan
bagian-bagiannya. (Sumber : Mader, Sylvia S. 2004. Understanding Human Anatomy and
Physiology, Fifth Edition)

2.1.2

Ureter
Ureter, yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih adalah

saluran tubuler kecil berlapis otot dengan panjang sekitar 25-30cm dan
diameter 5cm.5,6
Dinding ureter mempunyai tiga lapisan. Lapisan paling dalam adalah
lapisan mukosa, lapisan tengah merupakan otot polos dan lapisan luar adalah
jaringan ikat fibrosa. Secara normal ureter memiliki 3 tempat penyempitan
yaitu ureteropelvic junction, saat bersilangan dengan arteri dan vena iliaka,
dan saat akan memasuki dinding vesika urinaria.8,9
Pada ureter terdapat gerakan peristaltik yang memungkinkan urin
untuk masuk ke vesika urinaria walaupun orang tersebut dalam keadaan
berbaring.5,6
2.1.3

Vesika Urinaria
Vesika urinaria terletak pada rongga pelvis, dibawah peritoneum

parietal dan tepat di posterior simfisis pubis. Pada pria, vesika urinaria berada
anterior dari rektum, sedangkan pada wanita, vesika urinaria berada anterior
dari vagina dan inferior terhadap uterus.5 Fungsi vesika urinaria adalah
sebagai tempat penampungan urin sebelum dikeluarkan dari tubuh. Kapasitas
normal vesika urinaria pada dewasa adalah 400-500mL.6
Vesika urinaria memiliki tiga orificium, dua untuk ureter, dan satu
untuk uretra. Diantara ketiga orificum ini terdapat suatu area yang merupakan
dasar vesika dan dilapisi mukosa yang licin. Area ini disebut sebagai
trigonum.5
Secara keseluruhan lapisan otot dinding vesika disebut sebagai
muskulus destrusor. Dinding vesika ini terdiri atas tiga lapis yaitu dua lapis
serat otot longitudinal dan diantaranya terdapat satu lapis serat otot
sirkuler.5,6,7
Pada daerah orificium uretra, terdapat susunan otot yang membentuk
dua sfingter berdekatan yaitu sfingter interna dan sfingter eksterna. Sfingter
interna berada di dalam vesika urinaria tepat pada orificium uretra, dan
5

merupakan lapisan otot involunter yang terdiri atas lapisan otot longitudinal
vesika serta otot sirkuler di sekitarnya. Lapisan otot involunter ini sering
disebut sebagai m. sfingter uretra internus. Inferior dari sfingter interna,
terdapat sfingter eksterna yang terdiri atas susunan otot volunter yaitu
m.transversus perinei profundus dan m.sfingter uretra eksternus.5,7
Lapisan otot polos vesika dan orificium uretra dipersarafi oleh sistem
saraf simpatis. Saat muncul stimulus dari sistem saraf simpatis, m. detrusor
relaksasi dan m. sfingter uretra internus berkontraksi sehingga vesika dapat
menampung urin. Saat sistem parasimpatis yang terstimulasi, m. detrusor
berkontraksi, dan m. sfinter uretra eksternus relaksasi, sehingga urin
dikeluarkan dari vesika.5

Gambar 3. Anatomi vesica urinaria dan persarafannya.


(Sumber : Mader, Sylvia S. 2004. Understanding Human Anatomy and Physiology, Fifth Edition)

Gambar 4. Perbedaan anatomi vesica urinaria pria dan wanita


(Sumber: 7. Faller, A, M Schunke, G Schunke.2004. The Human Body: An Introduction to
Structure and Function)

2.1.4

Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi untuk menyalurkan urin keluar

dari buli-buli melalui proses miksi. Panjang uretra wanita 3-5 cm dengan
diameter 8 mm, sedangkan panjang uretra pria dewasa 23-25 cm. Tonus otot
sfingter uretra eksterna dan tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan agar
urin tetap berada di dalam buli-buli pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi
bila tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra akibat kontraksi otot
detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.5,7
2.2 Fisiologi Berkemih
Secara fisiologis, kandung kemih dapat menimbulkan rangsangan pada
saraf apabila volume urin pada kandung kemih berisi 250 - 450 ml (dewasa) dan
200-250 ml (anak- anak). Fisiologi fungsi berkemih juga tergantung pada status
dehidrasi individual.8
Proses berkemih dimulai dari tekanan intramural otot detrusor. Tekanan ini
dahulu dianggap semata-mata akibat persarafan, akan tetapi pada penelitian
terakhir menunjukkan bahwa tekanan intramural otot detrusor lebih ditentukan

oleh keadaan fisik kandung kemih (berisi penuh atau tidak), dimana stimulasi ini
diterima oleh stretch receptor pada kandung kemih.9,10,11
Serat-serat otot detrusor meluas ke segala arah dan bila berkontraksi, dapat
meningkatkan tekanan dalam kandung kemih menjadi 40 sampai 60 mmHg.
Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah langkah terpenting untuk
mengosongkan kandung kemih. Sel-sel otot polos dari otot detrusor terangkai satu
sama lain sehingga timbul aliran listrik berhambatan rendah dari satu sel otot ke
sel otot lainnya. Oleh karena itu, potensial aksi dapat menyebar ke seluruh otot
detrusor, dari satu sel otot ke sel otot berikutnya, sehingga terjadi kontraksi
seluruh kandung kemih dengan segera. Jika kandung kemih terisi cukup dan
mengembang, sementara tekanan intravesika tetap, maka sesuai dengan hukum
Laplace, tekanan intramural otot detrusor akan meningkat.9,10,11
Peningkatan sampai titik tertentu akan merangsang stretch receptor,
sehingga timbul impuls dari medulla spinalis sakralis 2-3-4 yang akan diteruskan
ke pusat refleks berkemih di korteks serebri lobus frontalis pada area detrusor
piramidal. Penelitian terakhir menyatakan bahwa kontrol terpenting terutama
berasal dari daerah yang disebut Pontine Micturition Centre. Sistem ini ditunjang
oleh sistem refleks sakralis yang disebut Sacralis Micturition Centre. Jika jalur
persarafan antara pusat berkemih pontin dan sakralis dalam keadaan baik, maka
proses berkemih akan berjalan dengan baik juga.8,12
Fungsi kandung kemih normal memerlukan aktivitas yang terintegrasi
antara sistem saraf otonom dan somatik. Jalur persarafan yang terdiri dari refleks
fungsi detrusor dan refleks sfingter uretra meluas dari lobus frontalis sampai ke
medula spinalis bagian sakral, sehingga penyebab dari gangguan fungsi berkemih
neurogenik dapat diakibatkan oleh lesi pada berbagai tingkatan jalur persarafan.8,12
Proses berkemih menghasilkan serangkaian kejadian berupa relaksasi
ototsfingter uretra interna, kontraksi otot detrusor kandung kemih dan pembukaan
dari leher kandung kemih dan uretra.8,12 Selain saraf otonom dan somatik, proses
berkemih fisiologis juga dipengaruhi oleh rasa tenang dan rasa takut nyeri.
Perasaan subyektif ini meli/batkan emosi yang diatur oleh sistem limbik pada
sistem saraf pusat. Tingkah laku khusus yang berhubungan dengan emosi,
8

dorongan motorik dan sensoris bawah sadar, serta perasaan intrinsik mengenai
rasa nyeri dan rasa tenang diatur oleh sistem saraf pusat yang dilakukan oleh
struktur sub kortikal yang terletak di daerah basal otak yang disebut sistem limbik.
Struktur sentral serebri basal dikelilingi korteks serebri yang disebut korteks
limbik. Korteks limbik berfungsi sebagai daerah asosiasi untuk pengendalian
fungsi tingkah laku tubuh dan penyimpan informasi yang menyimpan informasi
mengenai pengalaman seperti rasa tenang, rasa nyeri, nafsu makan, bau, dan
sebagainya.8

2.3 Retensi Urine


2.3.1 Definisi
Berdasarkan definisi kata, seseorang yang mengalami retensio urin berarti
tidak mampu untuk mengosongkan kandung kemihnya secara komplit.13 Mevcha
dan Drake (2010) mendefinisikan retensi urin sebagai ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih secara komplit melalui proses berkemih yang
volunter.1
2.3.2 Epidemiologi
Retensi urin merupakan kasus yang cukup sering ditemui pada laki-laki
usia lanjut, namun tergolong kasus yang jarang ditemukan pada perempuan. 1,3,14
Informasi epidemiologi dan insidensi kasus retensi urin pada wanita pun sulit
didapat, karena sebagian besar jurnal hanya berupa laporan kasus, atau seri
kasus.1,3. Sebuah studi di Skandinavia dilakukan untuk meneliti epidemiologi
retensi urin, dikhususkan untuk tipe akut menyatakan bahwa insidensi retensi urin
akut pada wanita sebesar 7 per 100.000 populasi per tahun, dan rasio laki-laki
terhadap perempuan sebesar 13:1.1,3,14
2.3.3 Etiologi
Pada laki-laki, terutama usia lanjut, kasus retensi urin sebagian besar
disebabkan oleh obstruksi outlet vesika / Bladder Outlet Obstruction (BOO) yang
diinduksi oleh pembesaran prostat atau BPH. Sedangkan pada wanita, penyebab
9

retensi urin sangat bervariasi, seperti kurangnya kekuatan kontraksi otot vesika
atau tidak bisa mempertahankan kekuatan kontraksi detrusor, struktur anatomis
yang tidak adekuat, atau kelainan neurologis yang mengganggu fisiologi
miksi.3,13,14 Sebuah studi tentang etiologi retensi urin pada 202 wanita yang
mengalami retensi urin akut menemukan bahwa 37,1% kasus disebabkan oleh
kelainan neurologis dimana 10,9% terkait dengan DM, kemudian 7,9%
disebabkan oleh masalah ginekologis, 22,8% kasus disebabkan oleh gabungan
beberapa etiologi, dan 22,8% lainnya tidak didapatkan etiologi yang mendasari.3
Secara umum, etiologi retensi urin pada wanita dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu anatomis / obstrusi, dan fungsional / neurogenik. Berbagai
etiologi yang medasari retensi urin dapat dilihat di tabel 1
Anatomis / Obstruksi
Fungsional / Neurogenik
Prolaps organ pelvis
Penyakit neurologis (UMN / LMN)
Ginekologik
Diabetes melitus
Post anti-incontinence procedure
Farmakologis (analgesia, anestesi)
Primary bladder neck obstruction
Penuaan
Striktur uretra
Nyeri
Meatal stenosis
Penyakit infeksi / inflamasi
Divertikulum
Sindrom Fowler
Karunkula
Detrusor external sphincter dyssynergia
Batu
Partus
Ureterokel
Benda asing
Tumor
Abses glandula Skene
Tabel 1. Etiologi retensi urin pada wanita1,3,13,14,15
2.3.3.1 Etiologi Anatomis / Obstruksi
Etiologi dari retensi urin secara anatomis dapat dilihat pada tabel 1.
Stenosis

uretra merupakan penyebab retensi yang cukup sering pada wanita

postmenopause, dimana kurangnya hormon cenderung mengarah pada atrofi


urogenital. Penyebab lain dari stenosis uretral termasuk scar setelah operasi atau
instrumentasi atau fibrosis dengan inflamasi kronis.13,15
Retensi urin sering menjadi gejala adanya keganasan uretra. Dengan gejala
lain yaitu hematuri, nyeri pelvik, gejala obstruktif dan iritatif, penurunan berat
10

badan dan malaise. Pada pemeriksaan, seringkali massa dengan konsistensi keras
dapat dipalpasi di dinding anterior vagina atau uretra. Prosedur yang dilakukan
sebagai anti-inkontinensia dapat menyebabkan retensi pada 2.5-24% kasus.13,15
Penyebab retensi urin dari sisi ginekologis paling sering adalah
pembentukan cystocele yang besar. Pasien dapat mengeluhkan retensi urin yang
dipengaruhi posisi. Selain itu, retensi urin juga dapat disebabkan adanya prolaps
dinding vagina anterior, dan dapat menyebabkan oliguria, anuria, dan
hidronefrosis. Penatalaksanaan prolaps vaginal ini terutama melalui tindakan
bedah untuk mengembalikan struktur vagina serta dinding vagina anterior.13
2.3.2.2 Etiologi Fungsional / Neurogenik
Etiologi fungsional kasus retensi urin antara lain dapat berupa penyakit
serebral atau medula spinalis yang berupa kongenital, neoplastik, inflamasi,
vaskular atau traumatik seperti trauma tulang belakang, multiple sklerosis,
parkinson, sindrom kauda ekuina, dan sindrom Fowler.1,13, 14,15
Fowler mendeksripsikan sebuah sindrom pada wanita muda, biasanya
diibawah usia 30 tahun, yang secara tipikal mengalami retensi urin tanpa rasa
nyeri dengan volume residu urine >1000mL. Pada pemeriksaan EMG didapatkan
aktivitas abnormal dari sfingter uretra, dan menyebabkan obstruksi fungsional.
Hal inilah yang disebut sebagai sindrom Fowler. 14,15
Sindrom kauda ekuina disebabkan oleh protusi diskus lumbalis, dan 115% pasien mengalami fungsi kandung kemih yang abnormal akibat adanya
penekanan pada radis saraf sakralis. Protusi paling sering terjadi pada diskus L4-5
dan L5-S1. Usia pasien umumnya pada rentang 35-45 tahun. Selain gejala retensi
urin, pasien juga dpat mengeluhkan nyeri punggung bawah, ischialgia, saddle
anestesia, kelemahan tungkai bawah, dan bowel dysfunction. Pada pemeriksaan
EMG didapatkan denervasi pada kandung kemih dan sfingter. Sindrom kauda
ekuina harus segera didiagnosa dan ditatalaksana, karena keterlambatan dapat
menyebabkan kerusakan neurologis yang permanen. 14,15

11

Manifestasi klinis dari diabetes melitus yang kronis berupa gangguan pada
traktus urinarius bagian bawah, dan terjadi baik pada pria maupun wanita.
Diabetes diasosiasikan dengan demielinasi neuron segmental, degenerasi akson,
dan degenerasi sistem saraf otonom dan somatik perifer. Hal ini kemudian
menjadi dasar pemikiran bahwa pasien dengan DM mengalami retensi urin akibat
overdistensi kandung kemih yang berlangsung lama dan berkurangnya
kontraktilitas muskulus detrusor karena menurunnya sensasi dari kandung
kemih.13
Retensi urin dapat dibagi berdasarkan penyebab lokasi kerusakan saraf,
yaitu : 14 1) Supravesikal Berupa kerusakan pada pusat miksi di medulla spinalis
sakralis S24 dan Th1- L1. Kerusakan terjadi pada saraf simpatis dan
parasimpatis baik sebagian atau seluruhnya, misalnya : retensi urin karena
gangguan persarafan. 2) Vesikal Berupa kelemahan otot destrusor karena lama
teregang, berhubungan dengan - masa kehamilan dan proses persalinan,
misalnya : retensi urin akibat iatrogenik, cedera/inflamasi, psikis. 3) Infravesikal
Berupa kekakuan leher vesika, striktur oleh batu kecil atau tumor pada leher
vesika urinaria, misalnya : retensi urin akibat obstruksi.13,16
2.3.3.3 Retensi Urin Post Partum
Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu :17,18
1. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post partum
tanpa gejala klinis) Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh
pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert dapat diidentifikasikan sebagai
peningkatkan residu setelah berkemih spontan yang dapat dinilai dengan
bantuan USG atau drainase kandung kemih dengan kateterisasi. Wanita dengan
volume residu setelah buang air kecil 150 ml dan tidak terdapat gejala klinis
retensi urin, termasuk pada kategori ini.
2. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis).
Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. Insidensi retensi
urin postpartum tergantung dari terminologi yang digunakan. Penggunaan
12

terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan, telah
dilakukan penelitian analisis retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi
urin jenis yang tampak (overt) secara klinis dibawah 0,14%. Sementara itu,
untuk kedua jenis retensi urin, tercatat secara keseluruhan angka insidensinya
mencapai 0,7%.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensi urin post partum:9,10,11
1. Trauma Intrapartum
Trauma intrapartum merupakan penyebab utama terjadinya retensi urin,
dimana terdapat trauma pada uretra dan kandung kemih. Hal ini terjadi karena
adanya penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap uretra dan
kandung kemih oleh kepala janin yang memasuki rongga panggul, sehingga
dapat terjadi perlukaan jaringan, edema mukosa kandung kemih se dan
ekstravasasi darah di dalamnya. Trauma traktus genitalis dapat menimbulkan
hematom yang luas dan meyebabkan retensi urin post partum.
2. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra.
Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa ketakutan akan
timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi sewaktu
berkemih. Gangguan ini bersifat sementara.
3. Hipotonia selama masa kehamilan dan nifas
Tonus otot otot (otot detrusor) vesika urinaria sejak hamil dan post partum
tejadi penurunan karena pengaruh hormonal ataupun pengaruh obat-obatan
anestesia pada persalinan yang menggunakan anestesi epidural.
4. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum membuat ibu sulit berkemih
spontan

2.3.4 Patofisiologi
Proses pengisian dan pengosongan kandung kemih secara normal
tergantung pada integrasi antara fungsi detrusor dan sfingter. Saat terjadi
13

pengisian, penutupan sfinger menyebabkan kontinensia. Pengisian kandung kemih


harus terjadi pada tekanan yang rendah dan tidak berubah jauh selama masa
penampungan urin. Untuk mendukung hal tersebut, tidak boleh ada kontraksi dari
detrusor. Saat vesica penuh, kontraksi detrusor dan relaksasi sfingter harus terjadi
secara simultan. Kekuatan kontraksi detrusor juga harus cukup dan adekuat untuk
mengosongkan kandung kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis
yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung
ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls
saraf dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral
spinal. Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.13,19,20
Mekanisme patofisiologi dari retensi urin tergantung pada integritas dari
seluruh komponen yang terlibat pada proses ini. Disfungsi sfingter uretra dapat
menyebabkan obstruksi, dimana hal ini sering diasosiasikan dengan penyebab
retensi dari aspek neurologis. Disfungsi destrusor dapat timbul akibat perubahan
strukturan dari otot polos jaringan kandung kemih atau persarafan yang
mendukung fungsi kandung kemih. Hambatan aliran simpatis pada kandung
kemih menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls
berjalan sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet
dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urin dengan resistensi saluran yang
minimal. Retensi postpartum paling sering terjadi. Setelah terjadi kelahiran
pervaginam spontan, disfungsi kandung kemih terjadi 9-14 % pasien; setelah
kelahiran menggunakan forcep, angka ini meningkat menjadi 38 %. Retensi ini
biasanya terjadi akibat dari dis-sinergis antara otot detrusor-sphincter dengan
relaksasi uretra yang tidak sempurna yang kemudian menyebabkan nyeri dan
edema. Sebaliknya pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya
setelah sectio cesaria biasanya akibat dari tidak berkontraksi dan kurang aktifnya
otot detrusor.13,19,20
2.3.5 Diagnosis16,17,20
14

Pada pasien dengan keluhan pada saluran kemih bagian bawah, maka
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis,
pemeriksaan neurologik, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam,
pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, pengukuran volume residu urin, sangat
dibutuhkan. Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat
digunakan uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan
voiding cystourethrography.
a. Anamnesis
o Tidak bisa kencing atau kencing menetes/sedikit-sedikit
o Nyeri dan benjolan/massa pada perut bagian bawah
o Riwayat trauma: "straddle", perut bagian bawah/panggul, ruas
tulang belakang.
o Pada kasus kronis, keluhan uremia
b. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi:
1. Penderita gelisah
2. Benjolan/massa perut bagian bawah
3. Tergantung penyebab: batu di

meatus

eksternum,

pembengkakan dengan atau tanpa fistula didaerah penis dan


skrotum akibat striktura uretra, perdarahan uretra pada

robekan akibat trauma.


Palpasi dan perkusi:
1. Teraba benjolan/massa kistik kenyal (undulasi) pada perut
bagian bawah.
2. Bila ditekan menimbulkan perasaan nyeri pada pangkal penis
atau menimbulkan perasaan ingin kencing yang sangat
mengganggu.
3. Terdapat bunyi redup pada perkusi.

Dari palpasi dan perkusi dapat ditetapkan batas atas buli-buli yang
penuh, dikaitkan dengan jarak antara simfisis-umbilikus. Tergantung
penyebab:

Teraba batu di uretra anterior sampai dengan meatus eksternum.


Teraba dengan keras (indurasi) dari uretra pada striktura yang
panjang
15

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos abdomen dan genitalia: terlihat bayangan buli-buli
yang penuh dan membesar, atau adanya batu (opaque) di uretra
atau orifisium internum.
2. Uretrografi untuk melihat adanya striktura, kerobekan uretra,
tumor uretra.
3. Ultrasonografi untuk melihat volume buli-buli, adanya batu,
adanya pembesaran kelenjar prostat.
4. Pada retensi urin kronik, pemeriksaan yang diperlukan adalah:
Urinalisis: untuk melihat adanya infeksi
Sistoskopi yaitu penggunaan kamera fiberoptik pada uretra.
Dengan sitoskopi dapat dilihat penyebab striktur, letaknya,

dan karakter dari striktur.


Urodinamik adalah suatu perangkat pemeriksaan obyektif
untuk mengetahui fungsi kandung kemih dan merupakan
pemeriksaan

penunjang

yang

cukup

akurat

untuk

menentukkan jenis dan penyebab gangguan pada saluran


kemih bagian bawah, seperti inkontinensia urin (beser
kemih) atau retensi urin ( kesulitan berkemih).
Pemeriksaan
urodinamika
simpel

meliputi:

Uroflowmetry, Cystometrography dan pengukuran volume


residual urin. Dengan memasukan kateter berisi transduser
untuk mengukur tekanan ke dalam kandung kemih dan
rektum dan kateter tersebut ddihubungkan dengan komputer.
Kemudian memasukan cairan steril ke dalam kandung
kemih. Selama fase pengisian tersebut komputer akan
memberikan informasi mengenai tekanan kandung kemih,
dan rektum, refleks kandungan kemih dan kapasitas
kandungan kemih.
Setelah kandung kemih penuh, semua perlengkapan
dilepas dan dilanjutkan dengan pemeriksaan uroflowmetry,
dimana pasien berkemih dan ditampung pada sebuah alat
khusus untuk mengukur laju pancaran urine. Dan terakhir
sisa urin yang masih tersisa di kandung kemih diukur
16

volumennya. Rangkaian pemeriksaan ini relatif tidak lama,


hanya memerlukan waktu 30 menit.
Cystometrography. Tes dengan sinar-X ini untuk
memeriksa kandung kemih dan uretra setelah penyuntikan
cairan kontras khusus melalui kateter pada kandung kemih.
Cairan kontras berisi sifat-sifat khusus yang dapat dilihat
melalui sinar-X yang diambil pada orang dalam berbagai
posisi. Sinar-X juga diambil pada akhir tes selama urinasi.
Khusus untuk retensi urin post partum, Auckland Distric Health Board
pada tahun 2014 mengeluarkan revisi algoritme penatalaksanaan kasus tersebut.
Yang dapat dilihat pada gambar 5 dan gambar 6

Dalam algoritme ini

penatalaksanaan dibedakan untuk kedua jenis retensi, overt dan covert, dimana
masing-masing algoritme membagi prinsip diagnosa dan tatalaksana menjadi
tiga tahap yaitu identifikasi, penilaian volume (untuk tipe overt) atau timed
voiding (untuk tipe covert), dan percobaan berkemih. 18

17

Gambar 5. Algoritme tatalaksana retensi urin post partum tipe overt


(Sumber : Auckland District Health Board. 2014. Bladder Care Postpartum and Management of
Urinary Retention)

18

Gambar 6. Algoritme tatalaksana retensi urin post partum tipe covert


(Sumber : Auckland District Health Board. 2014. Bladder Care Postpartum and Management of
Urinary Retention)

2.3.6

Penatalaksanaan1,11,13,16,20
Bila diagnosis

retensi urin sudah ditegakkan secara

benar,

penatalaksanaan ditetapkan berdasarkan masalah yang berkaitan dengan


penyebab retensi urin. Tujuan utama penatalaksanaan retensi urin adalah
untuk mengalirkan urin yang tertampung dalam kandung kemih keluar agar
tidak terjadi komplikasi selanjutnya
1. Kateterisasi
Kateterisasi Uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli
melalui uretra. Syarat-syarat:

Dilakukan dengan prinsip aseptik


Digunakan kateter nelaton/sejenis yang tidak terlalu besar jenis foley
Diusahakan tidak nyeri agar tidak terjadi spasme dari sfingter.
Diusahakan dengan sistem tertutup bila dipasang kateter tetap.

19

Diberikan antibiotika profilaksis sebelum pemasangan kateter 1 x saja


(biasanya tidak diperlukan antibiotika sama sekali). Kateter tetap
dipertahankan sesingkat mungkin, hanya sepanjang masih dibutuhkan.

Gambar 7. Kateterisasi
(Sumber: Dmochowski, RR. 2000. Urine Retention in Women. Dalam : R. A. Appel (editor).
Current Clinical Urology: Voiding Dysfinction: Diagnosis and Treatment)

Teknik kateterisasi:

Kateter Foley steril, untuk orang dewasa ukuran 16-18 F.


Desinfeksi dengan desinfektans yang efektif, tidak mengiritasi kulit

genitalia (tidak mengandung alkohol)


Anestesi topikal pada penderita yang peka dengan jelly xylocaine 24% yang dimasukkan dengan semperit 20cc serta "nipple uretra"
diujungnya. Jelly tersebut sekaligus berperan sebagai pelicin. (Pada
batu atau striktura uretra, akan dirasakan hambatan pada saat

memasukkan jelly tersebut)


Kateter yang diolesi jelly K-Y steril dimasukkan kedalam uretra. Pada
penderita wanita biasanya tidak ada masalah. Pada penderita pria,
kateter dimasukkan dengan halus sampai urin mengalir (selalu dicatat
jumlah dan warna/aspek urin), kemudian balon dikembangkan sebesar
5-10 ml.
20

Bila diputuskan untuk menetap, kateter dihubungkan dengan kantong

penampung steril dan dipertahankan sebagai sistem tertutup.


Kateter di fiksasi dengan plester pada kulit paha proksimal atau
didaerah inguinal dan diusahakan agar penis mengarah kelateral, hal
ini untuk mencegah terjadinya nekrosis akibat tekanan pada bagian
ventral uretra di daerah penoskrotal.

2. Sistostomi suprapubik
Suatu tindakan pembedahan untuk mengalirkan kencing melalui
lubang yang dibuat di supra pubik untuk mengatasi retensi urin dan
menghindari komplikasi. Macam sistostomi: trokar dan sistostomi terbuka.
a. Sistostomi Trokar
Indikasi:
Kateterisasi gagal: striktura, batu uretra yang menancap

(impacted).
Kateterisasi tidak dibenarkan: robek uretra pasca trauma.
Sebagian ahli berpendapat bahwa sistostomi pada pria lebih aman
daripada kateter tetap karena penyulit akibat pemakaian kateter
pada uretra dapat ditiadakan (uretritis, striktura, fistula)

Syarat-syarat:

Retensi urin dan buli-buli penuh, kutub atas lebih tinggi

pertengahan jarak antara simfisis-umbilikus.


Ukuran kateter Foley lebih kecil daripada celah dalam trokar (<> 20F)

21

Gambar 8. Jenis Sistostomi Trokar.


(Sumber : Gardjito, W. Retensi Urin Permasalahan dan Penatalaksanaannya)

Langkah-langkah Sistostomi Trokar:


1. Desinfeksi lapangan operasi.
2. Mempersempit lapangan operasi dengan kain steril.
3. Injeksi (infiltrasi) anestesi lokal dengan lidocaine 2% mulai dari
kulit, subkutis hingga ke fasia.
4. Insisi kulit suprapubik di garis tengah pada tempat yang paling
cembung 1 cm, kemudian diperdalam sampai ke fasia.
5. Dilakukan pungsi percobaan melalui tempat insisi dengan semprit
10 cc untuk memastikan tempat kedudukan buli-buli.
6. Alat trokar ditusukkan melalui luka operasi hingga terasa
hilangnya tahanan dari fasia dan otot-otot detrusor.
7. Alat obturator dibuka dan jika alat itu sudah masuk ke dalam bulibuli akan keluar urin memancar melalui sheath trokar.
8. Selanjutnya bagian alat trokar yang berfungsi sebagai obturator
(penusuk) dan sheath dikeluarkan melalui buli-buli sedangkan
bagian slot kateter setengah lingkaran tetap ditinggalkan.

Gambar 9. Memasukkan alat trokar ke dalam buli-buli


(Sumber : Gardjito, W. Retensi Urin Permasalahan dan Penatalaksanaannya)

22

Gambar 10. Melepaskan obturator dan slot kateter setengah lingkaran ditinggalkan
(Sumber : Gardjito, W. Retensi Urin Permasalahan dan Penatalaksanaannya)

9. Kateter Foley dimasukkan melalui penuntun slot kateter setengah


lingkaran, kemudian balon dikembangkan dengan memakai
aquadest 10 cc. Setelah balon dipastikan berada di buli-buli, slot
kateter setengah lingkaran dikeluarkan dari buli-buli dan kateter
dihubungkan dengan kantong penampung urin (urinbag).
10. Kateter difiksasikan pada kulit dengan benang sutra dan luka
operasi ditutup dengan kain kasa steril.
Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell, dapat pula
digunakan alat trokar konvensional, hanya saja pada langkah ke-8,
karena alat ini tidak dilengkapi dengan slot kateter setengah lingkaran
maka kateter yang digunakan adalah NG tube nomer 12 F. Kateter ini
setelah dimasukkan ke dalam buli-buli pangkalnya harus dipotong
untuk mengeluarkan alat trokar dari buli-buli.

b. Sistostomi Terbuka
Indikasi:

Bila sistostomi trokar gagal


Bila akan melakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu
di dalam bull-buli, evaluasi gumpalan darah, memasang "drain" di
rongga retzii, dan sebagainya.
23

Jika

terdapat

jaringan

sikatriks/bekas

operasi

di

daerah

suprasimfisis, pasca trauma di daerah panggul yang menciderai


uretra atau buli-buli, dan adanya bekuan darah pada buli-buli
yang tidak mungkin dilakukan tindakan per uretra.
Langkah-langkah Sistostomi Terbuka:
1.
2.
3.
4.

Desinfeksi seluruh lapangan operasi.


Mempersempit daerah operasi dengan kain steril.
Injeksi anestesi lokal, jika tidak mempergunakan anestesi umum.
Insisi vertikal pada garis tengah + 3-5 cm diantara pertengahan

simfisis dan umbilicus.


5. Insisi diperdalam sampai lemak subkutan hingga terlihat linea
alba yang merupakan pertemuan fasia yang membungkus
muskulus rektus kiri dan kanan. Muskulus rektus kiri dan kanan
dipisahkan sehingga terlihat jaringan lemak, buli-buli dan
peritoneum.

Buli-buli dapat dikenali karena warnanya putih

dan banyak terdapat pembuluh darah.


6. Jaringan lemak dan peritoneum disisihkan ke kranial untuk
memudahkan memegang buli-buli.
7. Dilakukan fiksasi pada buli-buli dengan benang pada 2 tempat.
8. Dilakukan pungsi percobaan pada buli-buli diantara 2 tempat
yang telah difiksasi.
9. Dilakukan pungsi dan sekaligus insisi dinding buli-buli dengan
pisau tajam hingga keluar urin, yang kemudian (jika perlu)
diperlebar dengan klem. Urin yang keluar dihisap dengan mesin
penghisap.
10. Eksplorasi dinding buli-buli untuk melihat adanya: tumor, batu,
adanya perdarahan, muara ureter atau penyempitan leher bulibuli.
11. Pasang kateter Foley ukuran 20F-24F pada lokasi yang berbeda
dengan luka operasi.
12. Buli-buli dijahit 2 lapis yaitu muskularis-mukosa dan seromuskularis.

24

13. Ditinggalkan drain redon kemudian luka operasi dijahit lapis


demi lapis. Balon kateter dikembangkan dengan aquadest 10 cc
dan difiksasikan ke kulit dengan benang sutra.
Penyulit
Beberapa penyulit yang mungkin terjadi pada saat tindakan
maupun setelah pemasangan kateter sistotomi adalah:
1. Bila tusukan terlalu mengarah ke kaudal dapat mencederai prostat.
2. Mencederai rongga/organ peritoneum.
3. Menimbulkan perdarahan.
4. Pemakaian kateter yang terlalu lama dan perawatan yang kurang
baik akan menimbulkan infeksi, ekskrutasi kateter, timbul batu
saluran kemih, degenerasi maligna mukosa buli-buli, dan terjadi
refluks vesiko-ureter.
Selain untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih, prinsp
penatalaksanaan retensi urin pada wanita juga harus berdasarkan etiologi,
agar retensi tidak terjadi kembali.
2.3.7

Komplikasi13,20
Komplikasi yang dapat terjadi dari retensi urin antara lain:
1. Tegangan dari dinding buli-buli terus meningkat sampai tercapai batas
toleransi dan setelah batas ini dilewati, otot buli-buli akan mengalami
dilatasi sehingga kapasitas buli-buli melebihi kapasitas maksimumnya,
maka kemampuan elastisitas vesica urinaria menurun.
2. Akibat residu urin yang tidak keluar secara tuntas akan menimbulkan
kecenderungan untuk terbentuknya batu kandung kemih akibat
kristalisasi dari urin.
3. Retensi urin yang berkepanjangan, terjadi peningkatan tekanan intra
vesika yang menyebabkan terjadinya reflux, yang dapat menyebabkan
terjadinya infeksi saluran kemih bagian atas (sistitis, pielonefritis,
urosepsis).
4. Bila keadaan ini dibiarkan berlanjut, tekanan yang meningkat didalam
lumen akan menghambat aliran urin dari ginjal dan ureter sehingga
25

terjadi hidroureter dan hidronefrosis dan lambat laun terjadi gagal


ginjal.

BAB III
KESIMPULAN

Retensi urin merupakan kasus yang cukup sering ditemui pada laki-laki
usia lanjut, namun tergolong kasus yang jarang ditemukan pada perempuan. Hal
ini didukung sebuah studi di Skandinavia yang menemukan bahwa insidensi
retensi urin akut pada wanita sebesar 7 per 100.000 populasi per tahun, dan rasio
laki-laki terhadap perempuan sebesar 13:1.
Pada wanita, penyebab retensi urin sangat bervariasi, Secara umum,
etiologi retensi urin pada wanita dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
anatomis / obstruksi, dan fungsional / neurogenik. Etiologi anatomis/obstruksi
antara lain prolaps organ pelvis, ginekologik, post anti-incontinence procedure,
primary bladder neck obstruction, striktur uretra, meatal stenosis, divertikulum,
karunkula, batu, ureterokel, benda asing, tumor, dan abses glandula Skene.
Sedangkan etiologi fungsional / neurogenik antara lain penyakit neurologis (UMN
/ LMN), diabetes melitus, farmakologis (analgesia, anestesi), penuaan, nyeri,
penyakit infeksi / inflamasi, sindrom Fowler, detrusor external sphincter
dyssynergia, partus. Retensi urin post partum sendiri dibagi menjadi dua tipe yaitu
covert, dan overt dengan penyebab yang paling sering yaitu trauma, cramp pada
sfingter uretra, hipotonia, posisi supinasi pada masa intrapartum.
Sama seperti pasien lain dengan keluhan pada saluran kemih bagian bawah
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis,
pemeriksaan neurologik, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam,
pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, pengukuran volume residu urin, sangat
dibutuhkan Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan

26

uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding


cystourethrography.
Penatalaksanaan retensi yang utama adalah mengalirkan urin yang
tertampung dalam kandung kemih keluar. Untuk itu dapat dilakukan kateterisasi
ataupun sistostomi suprapubik. Sistostomi suprapubik sendiri dibagi menjadi 2
jenis yaitu sistostomi trokar dan sistostomi terbuka. Selain untuk mengeluarkan
urin dari kandung kemih, prinsp penatalaksanaan retensi urin pada wanita juga
harus berdasarkan etiologi, agar retensi tidak terjadi kembali.

27

Você também pode gostar