Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
cair menjadi gas yang mudah terbakar (Basu, 2006: 59). Gasifikasi batu bara pada prinsipnya
adalah suatu proses penghasilan gas sintesis (syngas) yang mudah terbakar dari batu bara.
Pada umumnya, gasifikasi meliputi reaksi karbon dengan udara, O2, steam, CO2, atau
campuran dari gas-gas tersebut pada suhu 700oC atau lebih untuk dapat menghasilkan
produk gas yang dapat digunakan sebagai sumber panas atau bahan baku industri petrokimia.
Setiap materi karbon baik liquid ataupun solid diubah menjadi gas, zat yang tidak diharapkan
seperti sulfur dan abu dihilangkan dari gas.
(Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 5-6)
Pada proses gasifikasi, bahan yang masuk akan mengalami hidrogenasi. Hal ini berarti
hidrogen ditambahkan pada sistem secara langsung atau tak langsung atau bahan dipirolisis
untuk menghilangkan karbon untuk menghasilkan produk dengan rasio hidrogen karbon
yang lebih tinggi dari bahan. Proses ini dapat dilaksanakan secara terpisah atau bersamasama.
(Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 7)
Pada proses hidrogenasi tak langsung, steam digunakan sebagai sumber hidrogen dan
hidrogen dihasilkan dalam reaktor gasifikasi. Proses hidrogenasi tak langsung dikenal juga
sebagai proses gasifikasi udara atau oksigen, tergantung apakah udara atau oksigen yang
digunakan sebagai sumber oksidan. Jika gasifikasi tidak menggunakan oksidan, melainkan
hanya steam dan panas, maka gasifikasi tersebut disebut steam reforming. Selain itu, sedang
dikembangkan proses gasifikasi katalitik. Katalis digunakan untuk menghasilkan gas H2 dan
CO pada temperatur yang rendah. Namun, rintangan terbesar untuk mengkomersialisasi
proses ini adalah katalis sangat mudah terdeaktivasi dan cost proses yang masih tinggi.
(Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 7)
Pada proses hidrogenasi langsung, bahan dipaparkan pada hidrogen pada tekanan
tinggi untuk menghasilkan gas dengan kandungan metana yang lebih tinggi daripada proses
hidrogenasi tak langsung. Proses hidrogenasi secara langsung juga disebut sebagai proses
hidrogasifikasi. Proses ini biasanya digunakan untuk memproduksi SNG.
(Cheremisinoff & Rezaiyan, 2005: 7)
14
Seleksi Gasifier
Terdapat 3 jenis penggas (gasifier) yang banyak digunakan untuk gasifikasi batu bara,
dari bagian bawah reaktor. Selanjutnya batu bara, steam dan udara (O2) ini akan bereaksi
membentuk syngas. Mekanisme ini akan menyebabkan batu bara turun pelan-pelan selama
proses, sehingga waktu tinggal (residence time) batu bara adalah lama yaitu sekitar 1 jam.
Proses gasifikasi dengan menggunakan tipe gasifier ini menghasilkan produk sisa berupa
abu.
(Higman & Burgt, 2003: 87)
Tipe gasifier moving-bed ini beroperasi pada suhu relatif yang rendah, yakni sekitar
900oC, oleh sebab itu batu bara yang akan menjadi umpan harus memiliki suhu leleh abu
(ash fusion temperature) yang tinggi. Hal ini bertujuan agar abu tidak meleleh, karena
apabila abu meleleh maka abu akan mengumpul di bagian bawah alat dan dapat menyumbat
bagian tersebut. Hal ini akan mengganggu proses gasifikasi yang terjadi.
Contoh: Lurgi Dry Ash Gasifier, British Gas Lurgi Gasifier, Ruhr 100 Gasifier.
(Basu, 2006: 74)
Sangat cocok untuk skala kecil dan mudah dalam desain serta pengoperasiannya.
16
Syngas yang dihasilkan sulit sekali diprediksi sehingga kurang sesuai apabila
dipergunakan untuk produksi dalam skala besar.
17
Contoh: Winkler Gasifier, High Temperature Winkler (HTW) Gasifier, Kellog Brown and
Root (KBR) Transport Gasifier, Kellog Rust Westinghouse (KRW) Gasifier, UGas Gasifier, Foster-Wheeler Partial Gasifier.
(Higman & Burgt, 2003: 101-128)
Kondisi temperatur dalam bed dapat lebih dikontrol karena proses pencampuran yang
baik.
Heat transfer dan mass transfer antara gas dan partikel solid lebih sempurna.
Semua tipe batu bara dapat menjadi umpan dalam gasifier ini.
18
19
Bisa digunakan untuk jenis batu bara apa saja (grade rendah-grade tinggi).
Ash yang dihasilkan adalah inert, hal ini terjadi karena banyaknya O2 yang digunakan.
Sangat cocok digunakan pada skala industri karena hasil gasifikasi yang banyak.
Sulitnya pemilihan konstruksi pada combustion zone dikarenakan tingginya suhu pada
zone tersebut.
Ukuran reaktor lebih besar untuk space evaporasi air (jika menggunakan coal-water
slurry feed).
(Basu, 2006: 64 ; Higman & Burgt, 2003: 109-111)
Tabel 2.1 Perbandingan Jenis-Jenis Gasifier
Parameter
Moving-bed
Fluidized-bed
Entrained-flow
Ukuran partikel
<50 mm
<10 mm
<0,1 mm
Metode kontak
Counter-current.
Counter-current.
Co-current dan
Batu bara
Batu bara
down-flow. Batu
menumpuk dalam
terfluidisasi.
bara terfluidisasi.
Dapat
rendah (lignite).
menggasifikasi
Tidak bisa
sub-bituminous) dan
digunakan untuk
biomassa.
gasifier.
Tipe batu bara
untuk biomassa.
Mengandung tar,
Kandungan ash-dust
keluar gasifier
phenol, naphta,
tinggi dengan
phenol serta
sedikit ash.
dust.
21
Toleransi kekasaran
Sangat baik
Baik
Buruk
Toleransi jenis
partikel
rendah.
rendah dan
biomassa.
cocok untuk
partikel
biomassa.
Kebutuhan oksidan
Rendah
Menengah
Tinggi
Kebutuhan steam
Tinggi
Menengah
Rendah
Temperatur reaksi
1090C
800-1000C
>1990C
Temperatur gas
450-650C
800-1000C
>1260C
80%
89,2%
80%
99%
97%
99%
Skala kecil
Skala menengah-
Skala besar
keluar gasifier
menjadi syngas
Aplikasi
besar
Masalah dalam
Produksi tar
Konversi karbon
Pendinginan raw
aplikasi
syngas
Sumber: Basu, 2006: 64
Berikut ini adalah adalah aspek yang menjadi parameter dalam pemilihan gasifier.
Konversi.
Konversi
selalu
menjadi
salah
satu
parameter
dalam
pemilihan
reaktor,
karena konversi menyatakan seberapa besar karbon dalam batu bara dapat
bereaksi dengan media gasifikasi (oksigen dan steam). Fluidized-bed gasifier memiliki
konversi yang terendah di antara kedua bed lainnya, namun dengan menggunakan
teknologi HTW (adanya mekanisme recycle), konversi karbon dapat setara dengan kedua
bed tersebut (Basu, 2006: 74).
parameter
di sini
adalah
jumlah
media
gasifikasinya.
Semakin
banyak jumlah yang dibutuhkan, maka akan berdampak pada biaya utilitas
yang dibutuhkan yang nantinya akan berpengaruh secara ekonomi. Konsumsi media
22
menjadi
dengan
umpan
feedstock
ini adalah
masukan. Karena
di
jenis
batu bara
Indonesia
ini
(coal
rank)
batu bara
yang
dihasilkan bervariasi jenisnya. Untuk low rank coal (lignite sub-bituminous), penggunaan
entrained-flow bed kurang menarik sebab kandungan air low rank coal masih cukup tinggi
sehingga tidak ekonomis menggunakan jenis bed tersebut karena membutuhkan banyak
steam (Higman & Burgt, 2003: 111). Untuk moving-bed dan fluidized-bed memiliki poin
yang sama, sebab keduanya cocok digunakan untuk feedstock low rank coal.
yang
dihasilkan
berupa
gas
yang
tentunya
diharapkan
kemurniannya, terutama dari kandungan tar. Di antara ketiga jenis bed tersebut, moving
bed yang paling banyak menghasilkan tar, sedangkan entrained-flow yang paling sedikit.
Di lain pihak, kandungan tar dalam fluidized-bed dapat ditekan jika suhu pirolisis dapat
mencapai 1100-1200oC. Jika suhu tersebut tercapai, maka tar dapat terurai menjadi
hidrokarbon ringan. (Basu, 2006: 65).
Cost.
Cost atau biaya merupakan harga investasi dari unit reaktor yang digunakan.
Semakin tinggi suhu reaksi dalam gasifier, maka investasi untuk reaktor akan semakin
tinggi karena dibutuhkan material yang tahan akan suhu panas. Jika dilihat dari suhu
reaksinya, entrained-flow membutuhkan investasi yang paling besar sebab suhu reaksinya
yang paling tinggi. Sedangkan untuk moving-bed dan fluidized-bed, seperti yang telah
diringkaskan pada Tabel 2.1, range suhu reaksi dalam gasifier hampir sama sehingga dapat
dianggap investasinya sama.
(Habiburrohman, 2012: 30)
Kelima parameter diatas akan ditentukan urutan prioritasnya menggunakan software
Expert Choice, hasil dari pembobotan dapat dilihat pada tabel berikut.
23
Bobot
Konversi
0,107
0,079
0,334
Purity syngas
0,235
Cost
0,246
Sumber: Habiburrohman, 2012: 31
Dari Tabel 2.2 terlihat bahwa urutan prioritas secara berurutan adalah feedstock (0,334),
cost (0,246), kemurnian syngas (0,235), konversi (0,107), dan terakhir media gasifikasi (0,079).
Batu bara yang digunakan bisa jadi bervariasi jenisnya sesuai dengan kondisi yang ada
di Indonesia. Dalam hal ini maka kemampuan fleksibilitas reaktor dalam memroses semua jenis
batu bara (coal rank) sebagai umpan dan dengan hasil produk yang masih stabil sangat penting.
Oleh karena, itu feedstock menjadi parameter utama dalam pemilihan ini. Kedua disusul oleh
cost yang merupakan harga investasi
dimana
akan
berpengaruh
terhadap
analisis
keekonomian. Faktor ketiga adalah kemurian syngas, hal ini penting karena syngas yang
dihasilkan akan dijadikan sebagai bahan baku pupuk yang membutuhkan kemurnian dan rasio
H/C yang cukup ketat. Selain itu, semakin murni maka akan berdampak pada treatment yang
lebih mudah dan lebih ekonomis. Dan dua parameter yang terakhir adalah konversi dan media
gasifikasi. Berikutnya akan dilakukan pemilihan reaktor yang ada berdasarkan parameterparamater yang telah ditentukan. Dalam pemilihan ini juga digunakan software Expert Choice,
hasil penilaian disajikan dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Hasil Penilaian Setiap Reaktor terhadap Setiap Parameter
Parameter
Moving-bed
Fluidized-bed
Entrained-flow
Konversi
0,540
0,163
0,297
0,484
0,349
0,168
0,122
0,648
0,230
Purity syngas
0,122
0,320
0,558
Cost
0,297
0,540
0,163
1,565
2,02
1,416
Hasil
24
Pada Tabel 2.3 terlihat bahwa untuk setiap jenis reaktor sebenarnya mempunyai
kelebihan masing-masing, seperti moving-bed yang mempunyai kelebihan dalam hal
konversinya yang besar dan jumlah media gasifikasi yang kecil. Entrained-bed dengan
kemurnian produknya yang tinggi, dan fluidized-bed dengan jenis batu bara sebagai
umpannya dapat bervariasi. Setiap nilai tersebut akan digabungkan dan hasilnya akan dipilih
reaktor dengan nilai paling besar. Dari hasil pembobotan pada Tabel 2.3, maka ditetapkan
bahwa gasifier yang digunakan adalah jenis fluidized-bed. Jenis gasifier ini terpilih karena
jenis batu bara sebagai masukan dapat bervariasi yang merupakan parameter utama, selain
itu cost dari jenis ini lebih ekonomis daripada jenis lainnya.
(Habiburrohman, 2012: 32)
2.3
Seleksi Oksidan
Ada dua oksidan yang biasa dipakai pada proses gasifikasi, yaitu udara, yang
jumlahnya tak terbatas di sekitar gasifier, dan oksigen, yang perlu dipisahkan dulu dari udara
dengan biaya tertentu. Pilihan alternatif lain adalah dengan menggunakan udara yang
kandungan oksigennya lebih tinggi daripada udara biasa.
Gasifikasi skala besar menggunakan oksigen dengan kemurnian yang tinggi (>90%).
Hal ini disebabkan karena gas hasil gasifikasi biasa digunakan sebagai bahan baku industri
chemicals dan petrochemicals dimana adanya nitrogen dengan jumlah yang besar akan
memperburuk proses sintesis produk dari industri-industri tersebut. Contohnya, untuk
produksi amonia, gas hasil gasifikasi harus menggunakan oksidan dengan jumlah nitrogen
maksimal 30%. Namun, kriteria ini tak berlaku untuk aplikasi pada pembangkit energi.
Untuk gasifikasi waste dan biomassa, penggunaan udara sebagai oksidan lebih disukai.
(Higman & Burgt, 2003: 219)
Jadi, sebagai oksidan akan digunakan oksigen dengan kemurnian yang tinggi, yakni
98%. Hal ini karena:
1. Produk syngas akan digunakan untuk industri pupuk (petrochemicals).
2. Jika digunakan udara, kandungan N2 yang tinggi (inert) akan membebani gasifier
sehingga dikhawatirkan suhu dalam gasifier tidak dapat mencapai 1.000oC seperti apa
yang diinginkan. Apabila suhu tersebut tak tercapai, reaksi gasifikasi yang terjadi tidak
dapat maksimal, dan juga dikhawatirkan konversi karbonnya rendah. Oleh karena itu,
oksigen dengan kemurnian tinggi diharapkan mampu menyediakan energi yang cukup
untuk reaksi gasifikasi dan juga agar konversi karbonnya tinggi. Jika tetap menggunakan
udara, maka dibutuhkan volume yang lebih besar untuk menyamai volume oksigen
25
berkadar tinggi, sebab kandungan oksigen dalam udara kecil. Dengan demikian
diperlukan ukuran gasifier yang lebih besar. Ini akan mempengaruhi biaya pengadaan
alat.
3. Dari awal, tujuan syngas ini adalah untuk mensubstitusi pemakaian gas alam oleh PT
Pusri. Kita tahu bahwa sintesis amonia berjalan menurut reaksi:
3H2 (g) + N2 (g)
2NH3 (g)
Prioritas utama pemakaian gas alam adalah untuk menghasilkan H2 karena secara
teoretis dibutuhkan 3 mol H2 untuk bereaksi dengan 1 mol N2. Secara alamiah pastilah
kita akan memprioritaskan kebutuhan bahan baku yang lebih besar, apalagi N2 nantinya
akan diperoleh dengan mudah dari udara. Oleh karena itu, diharapkan syngas yang
digunakan sebagai pensubstitusi gas alam ini rendah kandungan N2 sehingga yield
produk H2 akan lebih besar seperti yang akan dipaparkan sebagai berikut. Sebelum
digunakan untuk sintesis amonia, dilakukan steam reforming terlebih dahulu terhadap
gas alam untuk menghasilkan hidrogen menurut reaksi:
CH4 (g) + H2O (g)
H = +206 kJ
H = -41 kJ
(Liu, 2006: 19)
H = -41 kJ
(pusri.co.id/ina/amonia-proses-produksi-amonia)
Diharapkan kandungan CO yang tinggi dalam syngas dapat diproses lebih lanjut untuk
menghasilkan gas H2 yang akan digunakan sebagai bahan baku sintesis amonia yang
kemudian akan digunakan untuk sintesis urea (pupuk). Dengan begitu penggunaan gas
alam oleh PT Pusri ke depannya diharapkan dapat berkurang sehingga tidak terlalu
bergantung pada supply gas alam yang tidak menentu.
26
4. Pada akhirnya, tujuan syngas yang diproduksi ini hanya untuk mensubstitusi
penggunaan gas alam dan tidak mengubah proses yang sudah ada di pabrik tujuan.
2.4
dalam syngas, terutama senyawa sulfur (COS, H2S) dan CO2, antara lain:
Perbandingan antara ketiga metode diatas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.4 Perbandingan Metode Pemurnian Syngas dari Senyawa Sulfur dan CO2
Absorbsi
Mengkontakkan syngas
Adsorpsi
selektif memisahkan
Beberapa adsorbant
Difusi
dapat diregenerasi,
pada semacam
membran polimer.
Rate transport dari
beberapa memerlukan
komponen yang
penggantian secara
melewati membran
atau packing.
berkala.
dipengaruhi oleh
Karakteristik absorbsi
Loading capacity
tergantung property
tergantung dari
karakteristik komponen
dan adsorbant,
dengan diameter
temperatur, serta
kontaminan.
Solvent dapat
dipergunakan kembali
dengan diregenerasi
terlebih dahulu.
Biaya maintenance
cukup mahal.
Rentan terhadap korosi.
kelarutan kontaminan
tekanan.
Hampir dapat
mengadsorb impurities
secara sempurna.
Adsorbant ZnO biasa
dipakai dalam adsorpsi
H2S. Untuk mengadsorb
27
Membutuhkan space
yang luas.
digunakan adsorbant
CuO.
Selexol
MDEA
0,00073 mmHg
0,01 mmHg
175oC
247,2 oC
5,8 cPs
101 cPs
Kapasitas penyerapan
1,32
1,4
Sumber: Kohl & Nielsen, 1997: 49,1197 ; Higman & Burgt, 2003:302
28
Pelarut fisik maupun pelarut kimia memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Selexol memiliki tekanan uap yang rendah sehingga kehilangan pelarut saat
regenerasi kecil. Selain itu, viskositas selexol cukup rendah sehingga energi yang diperlukan
untuk memompa pelarut masuk dalam absorber tidak terlalu besar. Di lain pihak, kapasitas
penyerapan CO2 oleh MDEA jauh lebih besar. Walaupun harganya lebih mahal, namun
MDEA sangat cocok bila digunakan untuk absorpsi dengan kandungan CO2 yang tinggi
(Kidnay, 2006: 105).
MDEA (Methyl Diethanole Amin) merupakan pelarut yang paling banyak digunakan
saat ini untuk absorpsi CO2. MDEA yang digunakan sebagai pelarut memiliki konsentrasi
antara 30-50% dengan solution loading 0,8 mol/mol. Sedangkan untuk pelarut amin lainnya,
seperti MEA dan DEA, solution loading-nya berturut-turut 0,25-0,45 mol/mol dan 0,4-0,8
mol/mol.
(Higman & Burgt, 2003: 302)
Kelebihan
Kekurangan
korosi,
terutama
jika
konsentrasinya di atas
20%wt.
Mengalami
reaksi
tinggi.
Harganya paling murah
lainnya.
hilang
saat
diregenerasi.
Energi yang dibutuhkan
untuk regenerasi cukup
tinggi.
29
Diethanole Amine
(DEA)
sehingga
dapat
meminimalisasi
untuk
regenerasi.
absorpsi
gas
yang tinggi.
keselektifannya
yang
digunakan
dengan
konsentrasi
sampai
60%wt.
tinggi
absorpsi
CO2
terhadap
kurang
H2S.
Tidak korosif.
digunakan
CO2
untuk
adanya H2S.
tinggi.
Energi untuk regenerasi
lainnya.
rendah.
Sumber: Kohl & Nielsen, 1997: 49-54 ; Kidnay, 2006: 98-99
2.4.2 Hidrolisis COS
Karbonil sulfida bukan merupakan gas asam, maka hidrolisis COS untuk membentuk
H2S sering dilakukan untuk pemurnian sulfur yang terkandung dalam COS. Tujuan
pengonversian COS menjadi H2S disebabkan adsorben yang digunakan untuk proses
desulfurisasi lebih selektif terhadap H2S daripada COS. Beberapa katalis padat telah
digunakan untuk hidrolisis COS. Kohl & Riesenfield mengembangkan penggunaan katalis
chromia-alumina dengan suhu operasi dalam kisaran 300-425oC. Hidrolisis COS
30
berlangsung cepat, dan kecepatan reaksi dalam reaktor tinggi. Akibatnya, ukuran reaktor
hidrolisis COS kecil dan biaya reaktor hidrolisis COS sangat kecil dari biaya keseluruhan
pra desain pabrik berbasis gasifikasi.
(Bell, 2011: 115)
Dengan memperhatikan faktor ekonomi serta efisiensi proses, pemisahan COS
dilakukan melalui proses hidrolisis dan pemisahan H2S dilakukan dengan cara
mengadsorbnya menggunakan adsorben ZnO. Pemisahan CO2 dan H2S yang mungkin masih
ada dilakukan dengan cara absorbsi menggunakan solvent MDEA. Energi yang dibutuhkan
untuk meregenerasi MDEA paling kecil dibanding MEA ataupun DEA. Karena tekanan
uapnya rendah, maka kehilangan massa saat regenerasi dapat diminimalisasi. Selain itu,
MDEA yang notabene lebih tidak korosif, akan memperpanjang waktu pemakaian alat. Dan
yang paling penting, pemilihan solvent ini didasarkan pada kenyataan bahwasanya CO2
terdapat sangat banyak di dalam aliran syngas sehingga dibutuhkan pelarut dengan kapasitas
penyerapan yang tinggi.
2.5
batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen, dan oksigen. Batu bara terbentuk
dari tumbuhan yang telah terkonsolidasi antara strata batuan lainnya dan diubah oleh
kombinasi pengaruh tekanan dan panas selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan
batu bara.
(World Coal Institute)
Secara umum, batu bara dapat dikenal dari kenampakan sifat fisiknya, yaitu berwarna
coklat sampai hitam, berlapis, padat, mudah terbakar, kedap cahaya, nonkristalin, berkilap
kusam sampai cemerlang, bersifat getas, dan pecahannya kasar. Unsur kimia utama
pembentuk batu bara adalah karbon (C), hidrogen (H), nitrogen (N), dan sulfur (S). Analisa
unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk bituminous coal dan
C240H90O4NS untuk high grade anthracite (Demirbas, 2010: 12).
Untuk mengetahui tingkat (rank) dari batu bara maka diperlukan analisa klasifikasi
batu bara. Klasifikasi yang saat ini umum digunakan yaitu klasifikasi yang dibuat oleh
ASTM (American Society for Testing and Materials). Parameter dasar yang digunakan
dalam klasifikasi ASTM yaitu:
Untuk batu bara berperingkat tinggi (fixed carbon > 69%), parameter yang digunakan
adalah jumlah karbon tertambat (fixed carbon) dan zat terbang (volatile matter).
31
Untuk batu bara berperingkat rendah (fixed carbon < 69%), parameter yang digunakan
adalah nilai kalori (calorific value)-nya.
I. Antrasit
Tertambat
Nilai Panas
Karakteristik
wt%
BTU/lb
Gumpalan
1. Meta-antrasit
>98
2. Antrasit
92-98
3. Semiantrasit
86-92
1. Low-volatile bituminus
78-86
Tidak menggumpal
II.
Bituminus
2. Medium-volatile
Biasanya
bituminus
69-78
menggumpal
3. High-volatile A
bituminus
<69
>14.000
4. High-volatile B
bituminus
13.000-14.000
5. High-volatile C
bituminus
11.500-13.000
1. Sub-bituminus A
9.500-10.500
2. Sub-bituminus B
8.300-9.500
3. Sub-bituminus C
8.300-9.500
1. Lignit A
6.300-8.300
2. Lignit B
<6.300
Menggumpal
III. Subbituminus
IV. Lignit
Tidak menggumpal
2. Sub-bituminus.
Properties-nya terletak pada range lignit sampai bituminus dan penggunaan utamanya
sebagai bahan bakar untuk steam electric power generation dan bahan bakar industri
semen.
3. Bituminus.
Batu bara tebal, biasanya hitam, kadang kala coklat tua, dapat berikatan dengan baik
dengan bahan-bahan bercahaya dan tumpul. Penggunaan utamanya sebagai bahan bakar
pada steam electric power generation dan bahan bakar tanur peleburan baja.
4. Antrasit.
Batu bara dengan kualitas tertinggi. Batu bara yang lebih kuat, mengkilap, dan hitam.
Utamanya digunakan untuk pemanasan komersial dan bricket.
(chem-is-try.org)
33
Sumber: chem-is-try.org
Gambar 2.7 Jenis Batu Bara dan Proses Pembentukannya
Kualitas batu bara berperan penting dalam menentukan kelas batu bara. Terdapat lima
unsur utama pembentuk batu bara, yaitu karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), nitrogen
(N), dan sulfur (S). Penentuan kualitas batu bara dapat diperoleh dengan cara mengetahui
parameter kualitas pada batu bara. Hal ini dapat diketahui menggunakan analisa kimia dan
pengujian laboratorium terhadap sampel batu bara. Analisa kualitas batu bara terdiri dari dua
jenis, yaitu analisa proksimat dan analisa ultimat.
Analisa proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batu bara. Analisa ini
memiliki empat parameter utama yang digunakan, yaitu:
1. Kadar air (moisture), yaitu kandungan air yang terdapat pada batu bara. Besarnya kadar
air ditentukan melalui pengeringan selama 1 jam pada suhu 104-110oC (Higman &
Burgt, 2003: 45). Kadar air sendiri dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
Kadar air bebas (free surface moisture), yaitu air yang menempel pada permukaan
batu bara yang berasal dari air hujan dan juga air semprotan yang mana akan mudah
menguap dalam kondisi laboratorium.
Kadar air bawaan (inherent moisture), yaitu air yang terdapat pada rongga (pori) dan
mineral yang terdapat dalam batu bara.
Kadar air total (total moisture), merupakan jumlah dari kadar air bebas ditambah
dengan kadar air bawaan.
2. Kadar abu (ash), yaitu kandungan bahan inorganik yang tertinggal atau tidak terbakar
sewaktu pembakaran batu bara. Kandungan utamanya adalah silika, alumina, oksida
besi, lime, dan sebagian kecil oksida magnesium, titanium oksida, alkali, serta senyawa
sulfur (Higman & Burgt, 2003: 45).
3. Zat terbang (volatile matter), yaitu komponen-komponen dalam batu bara yang dapat
lepas atau menguap pada saat dipanaskan pada suhu 900oC. Penentuan besarnya kadar
34
zat terbang dilakukan dengan memanaskan batu bara dalam sebuah wadah pelebur
dengan waktu dan temperatur tertentu. Selisih massa awal dan massa setelah pemanasan,
dikurangi dengan kadar air, merupakan massa zat terbang pada kondisi tersebut (Higman
& Burgt, 2003: 45). Zat terbang ini meliputi zat terbang mineral (volatile mineral matter)
dan zat terbang organik (volatile organic matter).
4. Karbon tertambat (fixed carbon), merupakan jumlah karbon yang tertambat pada batu
bara setelah kandungan-kandungan air, abu, dan zat terbangnya dihilangkan.
Analisa ultimat adalah analisa sederhana yang digunakan untuk mengetahui unsurunsur pembentuk batu bara dengan hanya memperhatikan unsur kimia pembentuk yang
penting dan mengabaikan keberadaan senyawa kompleks yang ada di dalam batu bara. Unsur
yang diukur adalah karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur (Higman & Burgt, 2003:
46)
(Kusuma, 2012: 42-43)
Batu bara kualitas rendah (Low Rank Coal/LRC) secara umum dalam praktek
komersial adalah batu bara yang memiliki kandungan panas yang rendah, yaitu kurang dari
5.100 kCal/kg, termasuk juga peringkat batu bara mulai dari lignit hingga sub-bituminus B
yang memiliki kandungan panas kurang dari 9.500 BTU/lb (<5.278 kCal/kg). Dengan
demikian dipilih batu bara dengan kalori terendah yang berasal dari PT Bukit Asam (Persero)
Tbk. dengan spesifikasi seperti pada Tabel 2.8 berikut.
Tabel 2.8 Spesifikasi Batu Bara BA-55
No.
Parameter
1.
2.
(%, ar)
30,0
(kCal/kg, ar)
4.550
(kCal/kg, ad)
5.500
(%, ad)
15,0
Ash Content
(%, ad)
8,0
(%, ad)
39,0
(%, ad)
38,0
Gross CV
3.
Nilai
Proximate Analysis
35
4.
Ultimate Analysis
Carbon (C)
(%, ad)
63,9
Hydrogen (H)
(%, ad)
5,2
Oxygen (O)
(%, ad)
28,5
Nitrogen (N)
(%, ad)
1,6
Sulphur (S)
(%, ad)
0,8
menjadi bahan lain yang memiliki nilai kalori yang lebih tinggi sehingga margin harga
produk dan bahan baku dapat dibuat sebesar mungkin. Margin yang besar diharapkan
mampu memberikan keuntungan pada perusahaan. Selain itu, batu bara kualitas rendah
lainnya, yaitu BA-59, banyak dikonsumsi oleh PLTU sehingga kurang memungkinkan jika
menggunakan BA-59 sebagai bahan baku (Laporan Tahunan PT BA, 2013: 88).
Hasil analisa proksimat yang dilakukan pada laboratorium memiliki nilai kalori pada
basis pelaporan air dried (ad). Pada basis ad ini, contoh batu bara ditempatkan pada ruangan
udara terbuka sehingga secara perlahan kadar airnya akan mencapai titik kesetimbangan
dengan kelembaban udara. Sedangkan untuk penggolongan batu bara menggunakan
klasifikasi ASTM, batu bara digolongkan berdasarkan nilai kalori pada basis pelaporan dry
mineral matter free (dmmf). Analisa dengan menggunakan basis dmmf ini akan memberikan
gambaran mengenai komposisi organik murni pada batu bara.
(Kusuma, 2012: 44)
2.6
campuran gas yang mengandung H2 dan CO dengan jumlah yang bervariasi. Syngas harus
memiliki tekanan tinggi, mengingat proses untuk sintesis amonia berlangsung pada tekanan
yang tinggi (Higman & Burgt, 2003: 8). Selain itu, syngas harus bebas senyawa sulfur untuk
36
menghindari korosi pada alat dan menghindari lepasnya senyawa sulfur ke lingkungan saat
proses pembakaran, carbon oxide (CO dan CO2), dan air (Higman & Burgt, 2003: 233).
Di samping itu, produk samping berupa CO2 dengan kemurnian 90% dapat digunakan
sebagai bahan baku sintesis urea. Namun, produk samping CO2 ini perlu treatment lanjutan
untuk menghilangkan kandungan airnya, mengingat CO2 yang dapat digunakan untuk
sistesis urea konsentrasinya harus lebih dari 98,5% (Higman & Bugt, 2003: 233).
Berdasarkan spesifikasi standar syngas tersebut, maka target kualitas produk syngas
pada pabrik ini adalah seperti pada Tabel 2.9.
Tabel 2.9 Target Kualitas Produk Syngas Berdasarkan Komponen Penyusun
Komponen
Konsentrasi (%mol)
CO
55,0
H2
40,0
CH4
3,0
CO2
0,05
N2
1,5
H2O
0,45
Tekanan
: 26,67 bar.
Suhu
: 50oC.
Berat molekul
: 18,76.
Kapasitas panas
: 29,92 kJ/kg.oC.
Viskositas
: 0,01598 cP.
Densitas
: 18,58 kg/m3.
LHV
HHV
Berat molekul
: 28,01 g/mol.
37
Titik leleh
: -207oC.
Titik didih
: -192oC.
Specific gravity
Kelarutan
2. Hidrogen (H2).
Sifat fisika hidrogen (Perry, 2008: 2-15):
Berat molekul
: 2,02 g/mol.
Titik leleh
: -259,1oC.
Titik didih
: -252,7oC.
Specific gravity
Kelarutan
: 2,1 cc dalam 100cc air pada 0oC ; 0,85 cc dalam 100cc air
pada 85oC.
3. Metana (CH4).
Sifat fisika metana (Perry, 2008: 2-40):
Gas.
Berat molekul
: 16,04 g/mol.
Titik leleh
: -182,6oC.
Titik didih
: -161,4oC.
Specific gravity
Kelarutan
Berat molekul
: 44,01 g/mol.
38
Titik leleh
Titik didih
: -78,5oC (menyublim).
Specific gravity
Kelarutan
-79oC (solid).
: 179,7 cc dalam 100cc air pada 0oC ; 90,1 cc dalam 100cc air
pada 20oC ; larut dalam larutan asam dan alkali.
5. Nitrogen (N2).
Sifat fisika nitrogen (Perry, 2008: 2-20):
Berat molekul
: 28,01 g/mol.
Titik leleh
: -209,86oC.
Titik didih
: -195,8oC.
Specific gravity
Kelarutan
: 2,35 cc dalam 100cc air pada 0oC ; 1,55 cc dalam 100cc air
pada 20oC ; larut sebagian kecil dalam alkali.
2.7
Kapasitas
Kapasitas pada Pabrik Syngas dari Gasifikasi Batu Bara Kualitas Rendah sebagai
= 617.760 ton/tahun.
2.8
Basis Perhitungan
= 617.760 ton/tahun
= 1.872 ton/hari
= 78.000 kg/jam.
Waktu operasi
= 1 jam operasi.
= 330 hari.
2.9
39
Nilai
52-96
Suhu (oC)
23-33
3,6-332,8
-
25
Sumber: www.bmkg.go.id
2.10 Uraian Proses
Gambar 2.8 Block Flow Diagram Proses Pembuatan Syngas dari Batu Bara
2.10.1 Unit Penyiapan Batu Bara
Proses awal gasifikasi dimulai dari penyiapan batu bara BA-55. Batu bara BA-55 dari
open yard akan di-treatment dengan berbagai macam perlakuan agar sesuai dengan kondisi
dalam reaktor gasifier. Mula-mula batu bara dari open yard coal (F-111) diangkut
menggunakan belt conveyor (J-112) menuju hammer mill (C-110). Di hammer mill ini terjadi
proses size reduction dari batu bara berukuran 5 cm menjadi ukuran yang diinginkan, yaitu
1-6 mm. Setelah itu, batu bara yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam rotary-tube dryer
(B-120) untuk menguapkan sebagian air bawaan yang ada dalam batu bara. Tidak seperti
rotary dryer pada umumnya yang menggunakan udara panas sebagai media pemanas, media
pemanas yang digunakan dalam rotary-tube dryer adalah steam bertekanan yang dialirkan
searah dengan arah aliran batu bara. Jika dilihat dari cara pengontakkan media pemanas
dengan material, tipe rotary dryer yang digunakan adalah tipe tidak langsung, dimana panas
ditransfer dari steam yang ada di dalam tube ke batu bara dengan cara konduksi. Media
pemanas dan tipe tidak langsung ini digunakan karena batu bara merupakan material yang
40
mudah terbakar sehingga kontak batu bara dengan oksigen yang dapat memicu reaksi
pembakaran sebisa mungkin dihindari (Mujumdar, 2006: 1018). Batu bara yang kandungan
airnya telah diuapkan kemudian diangkut oleh scrapper conveyor (J-121) untuk dimasukkan
ke dalam bunker (F-211) dengan bantuan bucket elevator (J-122). Dari bunker, batu bara
dimasukkan ke dalam lock hopper (F-212) untuk dinaikkan tekanannya dari tekanan
atmosfer (1,01 bar) menjadi 31 bar menggunakan gas inert. Kenaikan tekanan ini bertujuan
untuk menyesuaikan tekanan batu bara dengan tekanan operasi gasifier. Dari lock hopper,
batu bara dikeluarkan melalui mekanisme air lock dan dimasukkan ke dalam gasifier
menggunakan screw conveyor (J-213). Mekanisme air lock ini memungkinkan untuk
mengeluarkan batu bara dari lock hopper tanpa ikut sertanya gas inert (Rautalin & Wilen,
1992: 12).
2.10.2 Unit Gasifikasi
Oksidan berupa O2 dari oxygen storage tank (F-214) dinaikkan tekanannya dari 1,01
bar menjadi 32 bar dengan cara dipompa menggunakan oxygen pump (L-215). Kemudian
oksidan bertekanan ini dilewatkan pada oxygen vaporizer (E-216) untuk mengubah fasenya
menjadi gas dan untuk menaikkan suhunya dari -185oC menjadi 160oC. Gas oksigen ini
kemudian diinjeksikan melalui injector nozzle ke dalam gasifier (R-210). Gasifier yang
digunakan berjenis fluidized-bed dengan tipikal proses High Temperature Winkler (HTW
Gasifier). Gasifier ini bekerja pada kondisi temperatur 1.000oC dan tekanan 30 bar. Hal yang
membedakan gasifier fluidized-bed dengan tipe gasifier lain adalah sistem terfluidisasi yang
membuat heat transfer dan mass transfer antara gas dan partikel solid lebih sempurna serta
penggunaan temperatur yang tidak terlalu tinggi sehingga mudah untuk dikontrol dan
dikendalikan (Basu, 2006: 74). Kemajuan yang paling penting dari teknologi ini adalah
kenaikan tekanan yang mencapai 30 bar. Adanya kemajuan ini diharapkan mampu
menurunkan energi kompresi. Temperatur yang tinggi juga berguna untuk meningkatkan
konversi karbon dan kualitas gas, dimana semakin tinggi suhu, kandungan tar akan semakin
menurun. (Higman & Burgt, 2003: 103).
Di dalam gasifier terjadi berbagai macam reaksi yang dimodelkan menjadi tiga reaksi,
yaitu reaksi pirolisis (devolatilisasi), reaksi pembakaran, dan reaksi gasifikasi. Mulanya,
batu bara akan mengalami proses pirolisis untuk dekomposisi batu bara secara kimia dengan
bantuan panas. Hasil dari pirolisis adalah karbon, ash, dan gas-gas ringan. Pada pirolisis
dengan temperatur tinggi, produk yang dominan adalah gas, sedangkan pada temperatur
rendah produk yang dominan adalah tar dan minyak berat (Cherimisinoff & Rezaiyan, 2005:
41
147). Karena temperatur dalam gasifier cukup tinggi (1.000oC), maka diasumsikan tak ada
tar atau minyak berat yang terbentuk. Reaksi pirolisis:
Batu bara
Karbon hasil pirolisis akan mengalami reaksi pembakaran dengan O2 yang berasal dari
tangki penyimpan. Sebagian besar O2 yang diinjeksikan dalam gasifier ini akan digunakan
untuk zona pembakaran. Proses pembakaran ini menghasilkan karbon dioksida, karbon
monoksida, dan uap air, yang menyediakan panas untuk reaksi gasifikasi selanjutnya.
Pirolisis dan pembakaran adalah proses yang sangat cepat. Reaksi-reaksi pembakaran:
C (s) + O2
CO
H = -111MJ/kmol
CO
+ O2
CO2
H = -283 MJ/kmol
H2
+ O2
H2O
H = -242 MJ/kmol
(Higman & Burgt, 2003: 10)
Reaksi gasifikasi terjadi karena karbon bereaksi dengan karbon dioksida dan steam
untuk menghasilkan karbon monoksida dan hidrogen. Reaksinya:
a) Reaksi Boudouard:
C (s) + CO2
2CO
H = +172 MJ/kmol
C (s) + H2O
CO + H2
H = +131 MJ/kmol
CO2 + H2
H = -41 MJ/kmol
d) Reaksi Metanasi:
CH4
H = -75 MJ/kmol
C (s) + 2H2
42
Pada umunya, adsorben ZnO tidak dapat diregenerasi. Akibatnya, adsorben ini kurang
praktis jika digunakan untuk adsorpsi dengan konsentrasi H2S yang tinggi (Bell, 2011: 128).
Untuk keperluan downstream industri pupuk, kandungan H2S di aliran syngas yang keluar
dari tangki desulfurizer diharapkan dapat kurang dari 1 ppmv (Higman & Burgt, 2003: 233).
Syngas dari desulfurizer yang bebas dari kandungan H2S kemudian diturunkan
suhunya melalui waste heat boiler 2 (E-333) sehingga suhunya menjadi 50oC. Media
pendingin yang digunakan adalah air. Proses pendinginan ini juga menghasilkan steam yang
dapat digunakan untuk proses lainnya. Penurunan suhu bertujuan untuk menaikkan
%recovery dari absorber karena absorber bekerja lebih baik pada suhu yang rendah dan
tekanan tinggi. Selanjutnya, syngas dialirkan menuju kolom absorber (D-330) yang
beroperasi pada suhu 50oC dan tekanan 27 bar. Pelarut MDEA 40% berat dari MDEA storage
tank (F-331) diumpankan ke kolom absorber dengan bantuan MDEA pump (L-332). Larutan
MDEA akan mengabsorb gas CO2, dan kemudian keluar menuju stripper (D-340) untuk
proses recovery kembali pelarut. Sedangkan produk syngas bersih yang keluar dari absorber
dialirkan melalui gas pipeline.
43
Untuk melakukan recovery pelarut, larutan MDEA kaya CO2 (rich-amine) yang keluar
dari kolom absorber diturunkan tekanannya dari 27 bar menjadi 3,52 bar dengan expansion
valve. Penurunan tekanan ini bertujuan untuk meyesuaikan tekanan rich-amine dengan
tekanan operasi stripper. Kemudian suhu rich-amine dinaikkan suhunya dengan cara
melewatkannya di lean-rich amine heat exchanger (E-341). Stripper beroperasi pada suhu
125oC dan tekanan 2,03 bar. Untuk mengambil CO2 dari pelarut, digunakan superheated
steam dengan tekanan 2,03 bar dan suhu 125oC. Steam akan men-strip CO2 dan keluar
bersama-sama dari stripper menuju stripper outlet cooler (E-342) untuk didinginkan hingga
suhu 45oC. Pendinginan ini bertujuan untuk mengkondensasi aliran gas CO2 dan steam
sehingga diperoleh fase campuran. Lean-amine yang keluar dari stripper dialirkan kembali
ke lean-rich amine exchanger untuk diturunkan suhunya menjadi 70oC. Lean-amine ini
kemudian diumpankan kembali ke absorber dengan bantuan MDEA recovery pump (L-334).
Aliran CO2 dan steam yang berada dalam fase campuran dipisahkan dalam separator (H343) untuk mendapatkan gas CO2 yang lebih murni. Gas CO2 yang lebih murni dialirkan
menuju gas pipeline untuk proses sintesis urea.
44