Você está na página 1de 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

DIAGNOSA MEDIS GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

GUILLAIN BARRE SYNDROME


A. Definisi
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu inflamasi /peradangan akut
yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Ditandai
dengan kelemahan motorik, paralisis, dan hiperflasia simetris asenden dan
progresif dengan atau tanpa disertai gejala sensorik atau otonom. GBS adalah
sindrom klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh yang disebabkan oleh
kelainan saraf tepi dan buan oleh penyakit yang sistematis (Kuman & Robin,
2011; Dewanto et al, 2009).
B. Etiologi
Penyebab Guillain Bare Syndrome yang merupakan penyakit autoimun
tidak diketahui. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:

Infeksi

Vaksinasi

Pembedahan

Penyakit sistematik ; Keganasan, Systemic lupus erythematosus, Tiroiditis,


Penyakit Addison

Kehamilan atau dalam masa nifas


SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi

kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi
autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. Pada penyakit autoimun ini sel-sel
system imun menyerang dan merusak selubung myelin yang membungkus axon
sel-sel saraf perifer dan juga axon saraf (axon adalalah tonjolan kecil dan panjang
dari sel saraf, yang berfungsi membawa sinyal rangsangan saraf). Akibat rusaknya
selubung myelin maka kecepatan transmisi rangsangan saraf akan menurun.

Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB


Infeksi
Virus

Definite
CMVEBV

Probable

Possible

HIVVaricella-

InfluenzaMeaslesMumps

zosterVaccinia/ Rubella
smallpox

Hepatitis
Coxsackie
Echo

Bakteri

Campylobacter Jejeni

Typhoid

Borrelia

Mycoplasma

BParatyphoidBrucellosis

Pneumonia

Chlamydia
Legionella
Listeria

C. Manifestasi Klinis
Gejala awal antara lain adalah : rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung
jari kaki atau tangan mati raa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku
atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bias menggenggam
erat atau memutar sesuatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng, dll).
Gejala-gejala awal ini bias hilang dalam tempo waktu beberapa minggu,
penderita biasanya tidak merasa perlu perawatan atau susah menjelaskannya pada
tim dokter untuk meminta perawatan lebih lanjut karena gejala-gejala akan hilang
pada saat diperiksa.
Gejala tahap berikutnya disaat mulai muncul kesulitan berarti, misalnya
kaki susah melangkah, lengan menjadi sakit, lemah, dan kemudian dokter
menemukan saraf reflex lengan telah hilang fungsi. Gejala klinis lainnya yaitu
antara lain sebagai berikut.

1. Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama dalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower


motor neurn. Pada sebagian besar kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas
bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak atas dan saraf
cranialis kadang-kadang juga bisa keempat anggota dikenai kemudian menyebar
ke badan dan saraf cranialis.
2. Gangguan sensibilitas
Paratesia biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bias
dikenai dengan distribusi sirkumolar. Defisit sensori obyektif biasanya minimal.
Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Paling sering dikenai adalah N.VI kelumpuhan otot sering dimulai pada satu
sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bias ditemukan berat pada
kedua sisi. Semua saraf cranial bias dikenai kecuali N.I dan N. VIII. Diplopia bias
terjadi akibat terkena N.IV, N.III. Bila N. IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan
gangguan pernapasan karena paralisis dan laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan
tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah
(fasial Flushing), hipertensi atau hipotensi yang fluktuatif,, hilangnya keringat
atau episodic profuse diphoresis. Retensi atau inkonteninsia urin jarang dijumpai.
Gangguan ini jarang menetap lebih dari 1 atau 2 minggu.
5. Kegagalan pernapasan
Merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani
dengan baik. Kegagalan pernapasan ini disebabkan paralisis pernapasan dan
kelumpuhan otot pernapasan, yang dijumpai pada 10-33% penderita.
6. Papiledema
Kadang dijumpai papiledema, penyebab belum diketahui, diduga karena
peninggian kadar protein dalam otot yang menyebabkan penyumbatan
arachcoidales sehingga absorbs cairan otak berkurang (Smeltzer, 2002).

Gejala awal sindrom ini adalah kelemahan otot dan tingling sensation otototot kaki yang kemudian menjala ke lengan dan tubuh bagian atas. Gejala ini
dapat memburuk sehingga dalam beberapa waktu otot penderita tidak dapat
digunakan. Dalam keadaan berat, sekitar 3 minggu kemudian penderita akan
mengalami kelumpuhan total. Akibatnya dapat menggangu system pernapasan,
sehingga dibutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Pengawasan dilakukan
dengan baik untuk memantau fungsi jantung dan tekanan darah, gangguan system
pembekuan darah dan mencegah terjadinya infeksi.
D. Patofisiologi
Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan
limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai
pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah
susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda
asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi
ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin
bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin
disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya
untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls
sensoris dari seluruh bagian tubuh.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar
protein ( 1 1,5 g / dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oloeh

Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan


cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.
Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang
kurang dari 10 / mm3 . pada kultur LCs tidak ditemukan adanya virus ataupun
bakteri
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
Pada

pemeriksaan

EMG

minggu

pertama

dapat

dilihat

adanya

keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls , gelombang F yang


memanjang dan latensi distal yang memanjang .Bila pemeriksaan dilakukan pada
minggu ke 2, akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari
beberapa otot, dan menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira kira pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus GBS. Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit .
Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada
stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy. 1)
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS) 4)
Gejala utama
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan
atau tanpa disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral

5. Disfungsi saraf otonom


6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
F. Diagnosis banding
GBS harus dibedakan dengan beberapa kelainan susunan saraf pusat
seperti myelopathy, dan poliomyelitis. Pada myelopathy ditemukan adanya spinal
cord syndrome dan pada poliomyelitis kelumpuhan yang terjadi biasanya
asimetris, dan disertai demam.
GBS juga harus dibedakan dengan neuropati akut lainnya seperti
porphyria, diphteria, dan neuropati toxic yang disebabkan karena keracunan
thallium, arsen, dan plumbum
Kelainan neuromuscular junction seperti botulism dan myasthenia gravis
juga harus dibedakan dengan GBS. Pada botulism terdapat keterlibatan otot otot
extraoccular dan terjadi konstipasi. Sedangkan pada myasthenia gravis terjadi
ophtalmoplegia.
Myositis juga memberikan gejala yang mirip dengan GBS, namun
kelumpuhan yang terjadi sifatnya paroxismal. Pemeriksaan CPK menunjukkan
peningkatan sedangkan LCS normal

G. Penatalaksanaan
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus
dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien
sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24
jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi
dan vasoaktive juga harus disiapkan .
Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa
diberikan medikamentosa.

Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan

obat obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian
steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat
memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun
mempercepat penyembuhan.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek
lamanya paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling
efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala.
Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 50 ml / kg BB) dengan saline dan
albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik
berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian
menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak
terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul
dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan
dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya
memberikan PE atau IVIg.
Fisiotherapy juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan
fleksibilitas otot setelah paralisa. Heparin dosis rendah dapat diberikan unutk
mencegah terjadinya thrombosis.

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,
trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan
kontraktur pada sendi.
I. Prognosis
95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya
sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural
tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang
disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3
minggu setelah gejala pertama kali timbul. 3 % pasien dengan GBS dapat
mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE
dapat

mengurangi

polyneuropathy.

kemungkinan

terjadinya

relapsing

inflammatory

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


GUILLAIN BARRE SYNDROME
A.

Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan GBS meliputi anamnesis riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
Pengkajian terhadap komplikasi GBS meliputi pemantauan terus-menerus
terhadap ancaman gangguan gagal napas akut yang mengancam kehidupan.
Komplikasi lain mencakup disritmia jantung, yang terlihat melalui pemantauan
EKG dan mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan
emboli paru-paru, yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
1. Anamnesis
a. Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan,
agama, pendidikan, dsb.
b. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan
fisik

secara

umum

maupun

lokalis

seperti

melemahnya

otot-

otot pernapasan.
c. Riwayat Penyakit, meliputi:
1) Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan
merupakan komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal
napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan
ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan
berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi.
Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti
keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah
kelainan dari fungsi kardiovaskular, yang mungkin menyebabkan
gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat
mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang
mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.

2) Riwayat Penyakit Dahulu


Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi
keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami ISPA,
infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan
reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat
menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
d.

Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai
status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping
yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam
keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan,
rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa
digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk
mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan

pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga


memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak
gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis dalam hubungannya
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung
adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.
b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan
denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung.
Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya
akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik
hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan
reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
1. B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan
karena infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien
GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otototot pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS
berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
2. B2 (Blood)

Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan


bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan
darah didapatkan ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi
transien ) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
3. B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
a. Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan keperawatan.
b. Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
yang pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran
biasanya status mental klien mengalam perubahan.
c.

Pemeriksaan saraf kranial


Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup
kelopak mata, paralis ocular.
Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga
mengganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris
karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah,
dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu
pemenuhan nutrisi via oral.

Saraf

XI.

Tidak

ada

atrof

otot

sternokleinomastoideus

dan

trapezius.kemampuan mobliisasi leher baik.


Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien
GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan
motorik secara umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .
e.

Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
periosteum derajat reflexs dalam respons normal.

f.

Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.

g.

System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan
suhu.

4. B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan
kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan
pemenuhan via oral kurang terpenuhi.
6. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan
mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebh banyak dibantu orang lain.

c. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan perkembangan
gejala-gejala klinik.
1.

Lumbal pungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya


dengan kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal
memperlihatkan

adanya

peningkatan

konsentrasi

protein

dengan

menghitung jumlah sel normal


2.

Pemeriksaan Konduksi Saraf mencatat transmisi impuls sepanjang


serabut saraf. Pengujan elektrofisiologis diperlihatkan dalam bentuk
lambatnya laju konduksi saraf. Sekitar 25% orang dengan penyakit ini
mempunyai antibody baik terhadap cytomegalovirus atau virus EpsteinBarr. Telah ditunjukkan bahwa perubahan respons imun pada antigen
saraf tepi menunjang perkembangan gangguan.

3.

Uji fungsi pulmonal dapat dilakukan jika GBS terduga, sehingga dapat
ditetapkan nilai dasar untuk perbandingan sebagai kemajuan penyakit.
Penurunan kapasitas pulmonal dapat menunjukkan kebutuhan akan
ventilasi mekanik.

B.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yakni :

Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif


cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan

Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan


perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.

Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan ketidakmampuan mengunyah dan menelan makanan.

Gangguan

mobilitas

fisik

yang

berhubungan

dengan

kerusakan

neuromuscular, penurunan kekuatan otot, dan penurunan kesadaran.

Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit


yang buruk.

C.

Intervensi Keperawatan
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif
cepat otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak
menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal

Intervensi
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas
tambahan,

perubahan

irama

dan

kedalaman, penggunaan otot bantu


pernapasan
Evaluasi keluhan sesak napas bak
secara verbal maupun nonverbal

Rasional
Menjadi parameter monitoring serangan
gagal napas dan menjadi data dasar
intervensi selanjutnya
Tanda

dan

kesukaran

gejala
bernapas

pernapasan

meliputi

adanya

saat

dangkal

bicara,
dan

ireguler,takikardia dan perubahan pola


napas.
Beri ventilasi mekanik

Ventilasi

mekanik

digunakan

jika

pengkajian sesuai kapasitas vital, klien


memperlihatkan
kemunduran,
kearah

perkembangan
yang

memburuknya

pernapasan

kearah

mengndikasikan
kekuatan

otot

Lakukan pemeriksaan kapasitas vital Penurunan kapasitas vital dhubungkan


pernapasan

dengan kelemahan otot-otot pernapasan


saat

menelan,sehingga

hal

ini

menyebabkan kesukaran saat batuk dan


menelan,

adanya

indikasi

memburuknya fungsi pernapasan.


Membantu pemenuhan oksigen

Kolaborasi :
Pemberian

dan

humidifikasi

yang

oksigen sangat dperlukan tubuh dengan kondisi

3L/Menit

laju metabolism sedang meningkat

Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan


perubahan frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Criteria hasil : stabilitas hemodinamik baik
Intervensi
Rasional
Auskultasi TD, bandingkan kedua Hipotensi dapat terjadi sampai dengan
lengan, ukur dalam keadaan berbaring, disfungsi
duduk, atau berdiri bila memungkinkan

ventrikel,

hipertensi

juga

fenomena umum karena nyeri cemas


pengeluaran katekolamin.

Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi

Penurunan

curah

jantung

mengakibatkan menurunnya kekuatan


nadi.
Catat murmur
Menunjukkan gangguan aliran darah
dalam

jantung,

(kelainan

katup,

kerusakan septum, atau fibrasi otot


papilar).
Pantau frekuensi jantung dan irama

Perubahan frekuensi dan irama jantung


menunjukkan komplikasi disritma.

Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi

Dapat meningkatkan saturasi oksgean


dalam darah

Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan ketdakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Criteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat
penurunan asupan nutrisi
Intervensi
Kaji
kemampuan
klien

Rasional
dalam Perhatian yang diberikan untuk nutrisi

pemenuhan nutrisi klien oral

yang adekuat dan pencegahan kelemahan


otot karena kurang makanan.

Monitor komplikasi akibat paralisis


akibat

insufisisensi

aktivitas

parasimpatis

Ilius paralisis dapat disebabkan oleh


insufisiensi aktivitas parasimpatis. Dalam
kejadian

ini,

makanan

intravena dipertimbangkan

melalui
diberikan

oleh dokter dan perawat mementau


bising usus sampai terdengar
Berikan nutrisi via NGT

Indikasi jika klien tidak mampu menelan

melalui oral
Berikan nutrisi via oral bila paralis Bila klien dapat menelan, makanan
menelan berkurang

melalui oral diberikan perlahan-lahan dan


sangat hati-hati

Gangguan

mobilitas

fisik

yang

berhubungan

dengan

kerusakan

neuromuscular, penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran


Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien
meningkat atau teradaptasi
Criteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis vena
profunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis yang tidak mampu
menggerakkan ekstremitas, dekubitus tidak terjadi
Intervensi
Rasional
Kaji tingkat kemampuan klien dalam Merupakan data dasar untuk melakukan
melakukan mobilitas fisik

intervensi selanjutnya

Dekatkan

alat

dan

sarana

yang Bila pemulihan mulai untuk dlakukan,

dibutuhkan klien dalam pemenuhan klien dapat hipotensi ortostatik ( dari


disfungsi otonom ) dan kemungkinan

aktivitas sehari-hari

membutuhkan meja tempat tidur untuk


menolong mereka mengambil posisi
duduk tegak
Hindari

factor-faktor

yang

memungkinkan terjadinya trauma pada


saat klien melakukan mobilisasi

Individu

paralisis

kemungkinan

mempunyai

mengalalmi

kompresi

neuropati, paling sering saraf ulnar dan


peritonial
Sokong ekstremitas yang mengalami
paralisis

Ekstremitas paralisis disokong dengan


posisi
latihan

fungsional
rentang

dan

memberikan

gerak

secara

pasif paling sedikit dua kali sehari


Monitor komplikasi gangguan mobilitas
fisik

Deteksi awal thrombosis vena profunda


dan

dekubitus

sehingga

dengan

penemuan yang cepat penanganan lebih


Kolaborasi dengan tim fisisoterapis

mudah dilaksanakan.
Mencegah
deformities
dengan

menggunakan

kontraktur
pengubahan

posisi yang hati-hati dean lathan rentang


gerak

Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit


yang buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang
atau berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau
factor yang mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi
Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan Cemas berkelanjutan dapat memberikan
marah, kehilangan, dan takut

dampak serangan jantung selanjutnya

Kaji tanda verbal dan non verbal Reaksi verbal atau nonverbal dapat
kecemasan,

dampingi

klien,

dan menunjukkan rasa agitasi, marah dan

lakukan tundakan bila menunjukkan gelisah


perilaku merusak
Hindari konfrantasi

Konfrontasi dapat meningkatkan rasa


marah, menurunkan kerja sama, dan

Mulai

melakukan

mengurangi

tindakkan

mungkin memperlambat penyembuhan


untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang

kecemasan.

Beri tidak perlu

lingkungan yang tenang dan suasana


penuh istirahat
Orientasikan klien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan kecemasan
rutin dan aktivitas yang diharapkan

DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta.
Jukarnain.,2011. Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Persarafan. Makassar.
R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, EGC,
Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo
dkk, EGC, Jakarta.
Soedarto. 2012.Buku ajar Parasitologi kedokteran. Jakarta: Sagung Seto.

Você também pode gostar