Você está na página 1de 5

Sub.

Bab 1
ASAS LEGALITAS
A. SEJARAH DAN LANDASAN FILSAFATI ASAS LEGALITAS
Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem Von Feuerbach (1775
1883), seorang sarjana hukum pidana jerman dalam bukunya Lehrbuch des
penlichen recht pada tahun 1801. Apa yang dirumuskan oleh feuerbach
mengandung arti yang sangat mendasar yang dalam bahasa latin berbunyi : nulla
poena sine lege: nulla poena sine crimine: nullum crimen sine poena legali. Ketiga
frasa tersebut kemudian menjadi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia
lege ponali. Jauh sebelum lahirnya asas legalitas, prinsip hukum romawi
memperlihatkan wajah tatanan hukum yang individualistis,sedangkan dalam bidang
politik kebebasan warga negara semakin dibelenggu. Pada zaman romawi di kenal
adanya crimine extra ordinaria yang berarti kejahatan kejahatan yang tidak disebut
dalam undang undang. Diantara crimine extra ordinaria ini adalah crimen stellionatus
yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi
kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini
diterima oleh raja raja yang berkuasa dan cenderung menggunakan hukum pidana
itu sewenang wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja.
Pada zaman itu hukum pidana sebagian besar tidak tertulis sehingga kekuasaan
raja yang sangat absolut dapat menyelenggarakan pengadilan dengan sewenangwenang. Penduduk tidak mengetahui secara pasti mana perbuatan yang dilarang
dan mana perbuatan yang tidak dilarang. Proses pengadilan berjalan tidak fair
karena hukum di tetapkan menurut perasaan hukum hakim yang mengadili. Pada
saat yang bersamaan muncul para ahli pikir seperti Montesquieu dan Rousseau
yang menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undang undang tertulis.
Pasca revolusi Perancis struktur hukum mulai dibangun dengan adanya hubungan
antara yang memerintah dan yang diperintah, antara kekuasaan negara dan
individu.
Mungkin karena asas legalitas dirumuskan dalam bahasalatin, ada yang
beranggapan bahwa rumusan ini berasala dari hukum Romawi kuno. Padahal,
menurut Moeljatno, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam
hukum Romawi kuno. Demikian pula menurut Sahetapy yang menyatakan bahwa
asas legalitas yang dirumuskan dalam bahasa latin adalah karena bahasa latin
merupakan bahasa dunia hukum yang digunakan pada waktu itu.
Mengenai hal ini, Hazenwinkel suringa menyatakan:
Art. 1 dan luidt: geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane
wettelijke strafbepaling. De juridiche wetenschaap pleegt deze regel aan te diden als
nullum delictum noela poena sine praevia lege poenali. Dit zou de indruk kunnen
wekken, dat het hier zou gaan om een voorschrift van romeinse oorsprong, hetgeen
echter niet het geval is. Noch tijden de republiek noch tijden het principaat heeft in
rome een dergelijke regel gegolden. Hij is zijn latijnse formulering afkomstig van von
feuerbach, hij stamt dus uit het begin der 19e eeuw en is te beschowen een product
van de klassieke school.

(pasal 1: tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
undnag undang pidana yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Dalam
pengetahuan hukum aturan ini dikenal sebagai nullum delictum noela poena sine
praevia lege poenali. Ada yang beranggapan bahwa asas ini ditulis dan berasal dari
hukum romawi, padahal tidak. Pada zaman republik, demikian juga dalam zaman
Roma, prinsip ini tidak terdapat dalam aturan. Asas ini dalam bahasa Latin
diformulasikan oleh von feuerbach pada awal ke-19 dan merupakan produk dari
aliran klasik).
B.DEFINISI ASAS LEGALITAS
Jonkers menyatakan bahwa menurut pasal 1 ayat (1) KUHP, tidak ada perbuatan
yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang pidana yang ada
sebelum perbuatan dilakukan. Pasal ini adalah suatu pasal tentang asa berbeda
dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit dalam
undang-undang. Padahal, menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum
bukanlah
peraturan
hukum
yang
konkrit.
Bellefroid menyatakan bahwa asas hukum umum itu merupakan
pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat. Demikian pula menurut Van
Eikema Homes, Homes menyatakan bahwa asas hukum tidak boleh dianggap
sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai
dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum uang berlaku. Berdasarkan apa yang
dikemukakan oleh Bellefroid dan Homes, Sudikno Mertokusumo kemudian
menyimpulkan bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum
yang konkret, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar
belakang dari peratuan yang konkret yang terdapat dalam dan dibelakang system
hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umu
dalam peraturan konkret tersebut. Ditegaskan lagi oleh sudikno, bahwa asas hukum
bukanlah kaidah hukum yang konkret, melainkan latar belakang peraturan yang
konkret dan bersifat umum atau abstrak.
Kembali pada definisi asas legalitas, kiranya terdapat kesamaan pandangan
diantara para ahli hukum pidana, bahwa pengertian asas legalitas: tiada perbuatan
dapat dipidana kecuali atas dasar ketentuan pidana menurut undang-undang yang
sudah ada terlebih dahulu. Ketentuan ini, sebagaimana yangtermakhtub dalm pasal
1 ayat 1 KUHP adalah definisi baku dari asas legalitas. Dari definisi baku asas
legalitas tersebut, yang penting untuk diulas selanjutnya adalah makna perbuatan
yang dapat dipidana dan makna ketentuan pidana menurut undang.
C.MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM ASAS LEGALITAS
Makna yang terkandung dalam asas legalitas kiranya terdapat perbedaan pendapat
diantara para ahli hukum pidana. Pemikiran yang sederhana mengenai makna yang
terkandung dalam asas legalitas dikemukakan oleh Enschede. Menurutnya, hanya
ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas, yaitu :
pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundangundangan
pidana.
Kedua, kekuatan ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan surut. Makna asas

legalitas yang dikemukakan enschede ini sama dengan makna yang dikemukakan
oleh Wirjono Prodjodikoro, yaitu bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan
dengan undang-undang dan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Mirip dengan Enschede dan Wirjono adalah sudarto, yang juga mengemukakan
adanya dua hal yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, bahwa suatu tindak
pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, peraturan
perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Sudarto
kemudian menambahkan bahwa dari makna yang pertama terdapat dua
konsekuensi, yaitu perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undangundang sebagai suatu tindak pidana tidak dapat dipidana dan adanya larangan
penggunaan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Sedangkan konsekuensi yang
kedua adalah tidak boleh berlaku surutnya hukum pidana.
Sesungguhnya hanya ada tiga makna yang terkandung delam asas legalitas.
Pertama, ketentuan pidana yang berisi perbuatan pidana yang disertai ancaman
pidana harus tertulis dalam perundang-undangan. Kedua, seseorang tidak dapat
dipidana sebelum ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketiga, pembentuk undangundang tidak boleh memberlakukan surut suatu ketentuan pidana.
1.2
Pasal 1 ayat (2)
Dalam membicarakan masalah berlakunya undang-undang pidana menurut waktu
hendaknya tidak dicampur adukan dengan masalah terjadinya tindak pidana
menurut waktu atau tempus delicti. Tentang tempus ini akan dibicarakan dalam
tindak pidana, sedangkan masalah berlakunya undang-undang pidana menurut
waktu ini masih berhubungan dengan pasal 1 ayat (1).
Telah disebutkan terlebih dahulu bahwa ketentuan pidana dan perumusan
tindak pidana dalam undang-undang harus sudah ada terlebih dahulu sebelum
terjadinya tindak pidana, dengan perkataan lain undang-undang pidana tidak boleh
berlaku surut (retroaktif). Adapun yang menjadi pertanyaan ialah kapan suatu
undang-undang pidana dikatakan telah dinyatakan berlaku dan penerapannya sah
sebagai undang-undang? Terhadap pertanyaan ini, pada dasarnya semua undangundang berlaku sah setelah diundangkan.
Pertanyaan selanjutnya, dunia selalu berubah dan berkembang, demikian pula
peraturan perundang-undangan. Bagaimana sekiranya terjadi ada undang-undang
pidana yang baru yang menggantikan undang-undang yang lama, ataupun dicabut
atau ada perubahan undang-undang pidana yang hanya untuk sementara waktu
karena suatu hal?
Dalam ilmu hukum pidana terdapat asas : Lex temporis Delicti; yang artinya
adalah terhadap si pelaku tindak pidana yang diterapkan adalah undang-undang
yang pada waktu itu berlaku, dalam hal-hal tidak ada perubahan dalm perundangundangan, maka tidak ada masalah, tetapi kalau terjadi perubahan maka undangundang mana yang harus diterapkan, apakah yang lama atau yang baru. Di inggris
yang diterapkan dalahundang-undang yang berlaku pada saat delik dilakukan, jadi
asas Lex Temporis Delicti berlaku disana.

Sebaliknya Swedia menganut system bahwa yang diterapkan adalah


peraturan undang-undang yang baru, dengan anggapan bahwa peraturan yang baru
itu yang lebih baik. Masing-masing ada keuntungan bahwa terdapat kepastian
hukum tapi kerugiannya mungkin kalau peraturan yang lama tidak sesuai dengan
perasaan keadilan lagi, maka penerapan ketentuan lama itu melukai perasaan
keadilan. Bagaimana halnya dengan KUHP kita di Indonesia. Pasal 1 ayat (2) KUHP
yang berisi : jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundangundangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Aturan pada pasal 1
ayat (2) KUHP ini merupakan aturan transitoir, yang mengatur bila suatu saat terjadi
perubahan dalam KUHP dan ketentuan perundang-undangan pidana yang lain, ini
berarti bahwa dengan ketentuan pasal tersebut dimungkinkan berlaku surutnya
aturan pidana, yang bilamana suatu ketika ada perkara pidana yang meringankan
terdakwa, yang baru inilah yang berlaku. Jadi system kita berbeda dengan system di
Inggris
dan
Swedia.
Indonesia mengambil jalan tengah, dasarnya tetap Lex Temporis Delicit sesuai
dengan Pasal 1 ayat (1) diatas, tetapi kalau ada peraturan baru, inilah yang
ditetapkan, walaupun peraturan baru ini, belum ada saat perbuatan dilakukan :
Terdapat dalam pasal 1 ayat (2) KUHP Pidana tersebut yaitu :
1.Ada perubahan peraturan perundang-undangan setelah terjadinya tindak pidana
2.Peraturan yang baru itu meringankan atau menguntungkan terdakwa.
D. ASAS LEGALITAS DALAM KONTEKS HUKUM PIDANA NASIONAL
Asas legalitas ini pertama tama mempunyai bentuk sebagai undang undang adalah
dalam Konstitusi Amerika 1776 dan sesudah itu dalam pasal 8 Declaration de droits
de Ihomme et du citoyen 1789: nul ne peut etre puni quen vertu dune loi etabile et
promulguee anterieurement au delit et legalement appliquee. Asas ini selanjutnya
dimasukkan ke dalam pasala 4 Code Penal Perancis yang disusun oleh
NAPOLEON BONAPARTE, nulle contravention, nul delit, nul crime, ne peuvent
etre punis de peines quin etaient pas prononcees par la loi avant quils fussent
commis. Dari code penal perancis inilah, asas tersebut kemudian dimasukkan
dalam pasal 1 ayat (1) wetboek van starfrecht di negeri belanda yang dengan tegas
menyatakan, geen feit is straafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane
wettelijke strafbepaling. Selanjutnya asas tersebut di muat dalam pasal 1 ayat (1)
KUHP Indonesia.
E. ASAS LEGALITAS DALAM KONTEKS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Terhadap asas legalitas dalam konteks hukum pidana internasional, terdapat
perbedaan di antara para ahli hukum pidana. Antonio Cassese dengan mengambil
perbandingan pelaksanaan asas legalitas di negara negara civil law yang sangat
demokratis, menyatakan bahwa ada empat hal yang terkandung dalam asas
legalitas. Pertama, makna asas legalitas terkandung dalam pstulat nullum crimen
sine lege scripta. Postula ini mempunyai makna bahwa pelanggaran hukum pidana
hanya ada dalam hukum tertulis yang di buat oleh legislatif atau parlemen dan tidak
berdasarkan aturan aturan kebiasaan. Kedua, makna asas legalitas terkandung
dalam postulat nullum crimen sine lege stricta. Artinya, kebijkana kriminal harus
berdasarkan prinsip spesifik melalui aturan aturan yang mengkriminalisasikan suatu
kelakuan manusia secara khusus dan sejelas mungkin sehingga tidak
diinterpretasikan lain. Ketiga, makna asas legalitas terdapat dalam postulat nullum
crimen sine praevia lege. Artinya aturan aturan pidana tidak boleh berlaku surut

sehingga seseorang tidak boleh dipidana berdasarkan ketentuan ketentuan yang


belum ada pada saat ia melakukannya. Keempat, maknas asas legalitas adalah
larangan menerapkan aturan aturan pidana secara analogi.

Você também pode gostar